Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World Trade Center WTC di New York serta gedung Pentagon di Washington DC, Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada kebijakan luar negeri AS. 1 Pascatragedi tersebut, AS terus-menerus mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia. Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. 2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS. Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or either you are with us or with our enemy, dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional. 3 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh 1 Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi 911. 2 Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 Mei-September 2003, h. 36. 3 Ibid. untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi. 4 Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 911. 5 Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak. Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda. 6 Menurut AS, Irak turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 911 yang menelan ribuan korban jiwa. 7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari 2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama 4 Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, h . 96. 5 Ibid., h. 97. 6 Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS Jakarta: Pensil-324, 2003, h. 152. 7 Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota Al- Qaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid. Korea Utara dan Iran, I rak dimasukkan dalam “poros setan” axis of evil, dan digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS dengan senjata pemusnah dunia. 8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and Inspection Comission UNMOVIC, yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Association IAEA sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak. 9 Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan, dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. 10 Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang. 11 Waktu itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwa Irak belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers 8 Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”, h. 73. 9 Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah Jakarta: PT Mizan Publika, 2007, h.147. 10 AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia, pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 Mei-September 2003: h. 8. 11 Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, h.147. yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB. 12 Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan. 13 Tidak ada perubahan dari posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu menguasai minyak Ira. 14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi UNMOVIC maupun IAEA. 15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki, Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal. 16 Sebelumnya, Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan menjangkau Israel. 17 Meskipun tuduhan-tuduhan yang sebelumnya telah diutarakan pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak. 18 Faktor minyak merupakan alasan lain yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS. 12 Ibid. 13 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33. 14 Ibid. 15 Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak. Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid., h. 38. Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut Centre for Global Energy Studies CGES London, Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barel cadangan minyak. 19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar itu, Irak merupakan pemilik 11 cadangan minyak dunia. Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak. 20 Timur Tengah memiliki arti yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya. Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi, penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS kehilangan basis utamanya di kawasan ini. 21 Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS, terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak 19 Ibid. 20 Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2 nd ed. Jakarta: CSIS, 1982, h. 4. 21 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 30. internasional. 22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia. Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat negara- negara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries OPEC agar tetap menggunakan Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta korporasi- 22 Pada tahun 1971 para anggota Organization of Petroleum Exporting Countries OPEC mengadakan pertemuan di Teheran OPEC merupakan organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia yang terdiri dari 11 negara yaitu: Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Qatar, Kuwait, Indonesia, Nigeria, Venezuela, dan Libya. Pertemuan ini disebabkan karena setelah sepuluh tahun terbentuk, OPEC tidak dapat menstabilkan harga minyak. Pertemuan ini membuahkan hasil agenda bersama yang berkaitan dengan harga minyak yaitu memberlakukan penggunaan mata uang Dolar Amerika untuk pembelian minyak. Alasan yang sangat mendasar atas penggunaan mata uang Dolar Amerika yakni agar terhindar dari fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil. korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia. Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah. 23 Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003.

B. Identifikasi Masalah