Adapun pedoman pelaksanaan dan penilaian fit and proper test bagi calon pengurus bank, tertuang dalam Surat Edaran Intern Bank Indonesia. Dimana singkatnya adalah
sebagai berikut:
46
1. Tahap penilaian administratif yang berbobot 50 dan wawancara dengan bobot
50 2.
Aspek penilaian meliputi integritas dan kelayakan keuangan 3.
Tahap administrasi dilakukan dengan cara menilai a
Pra-administratif; bebas DTL integritas, DKM, kelayakan keuangan b
Kelengkapan dokumen c
Informasi berbagai sumber 4.
Tahap wawancara dilakukan melalui penggalian informasi dan konfirmasi atas aspek integritas dan kelayakan keuangan.
B. Sejarah Penerapan Al jarh wa At ta’dil dalam Penilaian Rawi
ْ ﺔ ﺎ
ْ ْ
نأ ﺎ أ
وﺮْ ْ
ْ ﺎﻬ
ﺔ ْا ﻮهو
ﺎ ْرﺄ
ﺎﻬْ إ آو
ﺮ ْ
لﺎ او
ﺎ ﻚ
ﺎ ْ ْ
ءْ ْتءﺎ
لﻮ ر ا
ﻰ ا
ْ و
ْتﺮآﺬ ﻚ ذ
لﺎ ْ
ﻚ ْ
ﺔ ﺎهﺮ ﺄ
ْنأ ﺪ ْ
ْ مأ
ﻚ ﺮ لﺎ
ﻚْ ةأﺮْ ا
ﺎهﺎ ْ ﺎ ْ أ
يﺪ ْ ا ﺪْ
ْا مأ
مﻮ ْﻜ ﺈ
ر ﻰ ْ أ
ﻚ ﺎ اذﺈ
ْ ذ
ْ ﺎ ﺎ
ْ تْﺮآذ
نأ ﺔ وﺎ
ْ أ
نﺎ ْ ﺎ أو
ْﻬ ﺎ
“ لﺎ
لﻮ ر ا
ﻰ ا
ْ و
ﺎ أ ﻮ أ
ْﻬ ﺎ
ﺎ ْ
ﺎ ﺎ أو
ﺔ وﺎ
46
Sunarso, dkk. Penyesuaian Aplikasi fit and proper test sesuai dengan SE No.831Intern tanggal 29 Juli 2006
, hal.6
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya: ”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya suka memukul, sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta”
Hadits Riwayat Muslim.
47
Hadits tersebut merupakan dalil Al jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan. Adapun al - ta’dîl, salah satunya berdasarkan hadits:
ْ أ
ةﺮْﺮه لﺎ
ﺎ ْﺰ لﻮ ر
ا ﻰ
ا ْ
و ﺎ ﺰْ
سﺎ ا نوﺮ
لﻮ لﻮ ر
ا ﻰ
ا ْ
و ْ
اﺬه ﺎ
ﺎ أ ةﺮْﺮه
لﻮ ﺄ نﺎ
لﻮ ْ
ﺪْ ا
اﺬه لﻮ و
ْ اﺬه
لﻮ ﺄ نﺎ
لﻮ ْ
ﺪْ ا
اﺬه ﻰ
ﺮ ﺪ ﺎ
ْ ﺪ ﻮْا
لﺎ ْ
اﺬه ْ
اﺬه ﺪ ﺎ
ْ ﺪ ﻮْا
” لﺎ
ْ ﺪْ
ا ﺪ ﺎ
ْ ﺪ ﻮْا
ْ ْ
فﻮ ا
” لﺎ
ﻮ أ ﻰ
اﺬه ﺪ
ﺮ ﺎ و
فﺮْ ﺪْﺰ
ْ ْ أ
ﺎ ﺎ ْ
أ ةﺮْﺮه
ﻮهو يﺪْ
ﺪ ْﺮ
لﺎ و
بﺎ ْا ْ
أ ﺮْﻜ
ﺪ ا اور
و ﺪ أ ﺮ ا
يﺬ
47
http:ahlulhadist.wordpress.com20071016ilmu-al-jarh-wat-tadil
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik hamba Allah
adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” HR.
Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu‘anhu
48
Para ulama menganjurkan untuk melakukan Al jarh wa At ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang. Menurut Masjfuk
Zuhdi
49
, pada mulanya ulama atau ahli ilmu merasa berkewajiban menerangkan keadaan sebenarnya dari para para perawi hadits, meskipun itu menyangkut hal-hal
yang intern atau pribadi seseorang demi menjaga kemurnian ajaran-ajaran Islam yang tercermin melalui hadits Nabi. Menurut Ibnu Adi dalam kitab al kamil, sejak masa
Sahabat, perbincangan dan praktek untuk menentukan kualitas seorang rawi telah dilaksanakan. Dan pada masa tersebut jarang sekali terjadi pencatatan tentang pribadi
seorang rawi terhadap hadits yang dibawanya. Namun seiring berjalannya waktu dan tuntutan untuk memurnikan ajaran Islam semakin besar, maka pencatatan itu
dipandang perlu mengingat dalam perkembangannya, terdapat kelemahan atas pribadi
seorang perawi hadits yang akan mempengaruhi kualitas hadits yang ia redaksikan.
Secara implisit Qadir Hasan
50
sebab timbulnya orang-orang terdahulu melakukan al jarh, mengingat metode ini dilakukan dengan menyebutkan dan
meneliti tentang kelemahan seorang perawi dan harus diungkapkan secara jujur dan
48
http:ahlulhadist.wordpress.com20071016ilmu-al-jarh-wat-tadil
49
http:ahlulhadist.wordpress.com20071016ilmu-al-jarh-wat-tadil
50
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits. Diponegoro. Bandung. 1990, h. 458
kadang menyakitkan untuk diungkapkan tetapi karena kepentingan yang lebih besar
maka hal ini layak dilakukan, sebab-sebab tersebut diantaranya:
1. Karena hawa nafsu, dan karena suatu maksud
2. Karena berlainan kepercayaan
3. Karena adanya perselisihan antara ahli tashawwuf dan ahli dzahir
4. Berpegang dengan yang samar-samar serta tidak ada wara’
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al jarh wa At ta’dil untuk menjaga syari’atagama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh
dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan untuk dilakukan penilaian Al jarh wa At ta’dil, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam
masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta
51
. al - jarh wa al - ta’dîl dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama
setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam:
و ﺪ
ﺪ ْ
ﺪْ ا
ْ ﺮْ
ﺮْهزو ْ
بْﺮ ﺎ ﺎ
ﺎ ﺪ ﺪْ
ا ْ
ﺪ ﺰ لﺎ
ﺪ ﺪ
ْ أ
بﻮ أ لﺎ
ﺪ ﻮ أ
ﺎه ْ
أ نﺎ ْ
ْ ْ
رﺎ ْ
أ ةﺮْﺮه
ْ لﻮ ر
ا ﻰ
ا ْ
و أ
“ لﺎ
نﻮﻜ ﺮ
أ سﺎ أ
ْ ﻜ ﻮ ﺪ ﺎ
ْ اﻮ ْ
ْ ْأ ﺎ و
ْ آؤﺎ ْ آﺎ ﺈ
ْ هﺎ إو ”
ا اور
52
51
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, h. 458
52
al-maktabah al- syâmilah, shahiih al-Muslim juz 1 hal 2.
Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian
mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” Shahih Muslim.
و ﺎ ﺪ
وﺮْ ْ
ﻮ أ ْ
لﺎ ْ
ﻰ ْ ْ
ﺪ ”
لﺎ ْﺄ
نﺎ ْ يرْﻮ ا
ﺔ ْ و ﺎﻜ ﺎ و
ْاو ﺔ ْ
ْ ﺮ ا
ﺎ نﻮﻜ
ﺎ ْ ﺪ ْا
ْﺄ ﺮ ا
ﺄْ ْ
اﻮ ﺎ ْﺮ ْ أ
ْ أ
ْ ْ
“ ر
او ا
53
Dari Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang
yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata, ”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat”
Shahih Muslim.
Maka dengan demikian, penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut
akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak
sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua al - jarh wa al - ta’dîl akan
menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
53
al-maktabah al- syâmilah, shahiih al-Muslim juz 1 hal 40.
Men-Jarh dan men - ta’dîl orang telah dilakukan oleh sebagian besar ulama hadits. Tetapi pembicaraan mereka terbatas hanya kepada mereka yang tidak nampak
sifat mulianya dan tidak sampai mebicarakan keadaan para Sahabat. Dalam mengkritik rawi diperbolehkan hanya pada hal-hal yang diperlukan. Mengkritik rawi
secara berlebihan adalah merupakan penyimpangan, karena akan membuat tujuan al - jarh wa al - ta’dîl
yang objektif dan maslahat berubah menjadi ghibah yang dilarang. Contohnya jika seseorang pengkritik sudah memberikan penilaian Al jarh kepada
seseorang dengan satu penilaian Al jarh, dan dengan satu penilaian tersebut sudah mengenai objek sasaran penilaian bahwa periwayatannya tercela, maka pengkritik
tidak diperbolehkan memberikan penilaian Al jarh lainnya, karena dikhawatirkan hal tersebut akan menjerumuskan pada persoalan ghibah yang tercela dan dilarang oleh
agama.
54
Dari penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa al - jarh wa al - ta’dîl
dilaksanakan terhadap:
1. Perawi Hadits yang akan meriwayatkan Hadits. Alasannya sangat urgent karena
menyangkut tanggung jawab untuk menjaga syariat agama, bahkan untuk memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama. Rasulullah pernah
berpesan agar berhati-hati dalam menerima Hadits karena, akan datang zaman yang pada zaman tersebut terdapat pihak-pihak yang menyebarkan hadits palsu
yang menyesatkan.
54
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, ilmu jarh wa ta’dil, penilaian kredibilitas para perawi dan pengimplementasiannya
, Bandung, Gema Media Pusakatama, 2003.
2. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in yunior shighar atau tabi’in
akhir, karena kebanyakkan dari mereka terkadang mursal dan banyak melakukan kesalahan.
3. Hadits-hadits dengan periwayatan rawi majhul rawi tidak dikenal. ditetapkan
periwayatan Hadits dengan rawi majhul, apabila seorang rawi tidak dikenal oleh ahli hadits dan tidak dikenal haditsnya kecuali oleh seorang rawi, jadi
batas minimal seorang rawi hilang status majhulnya adalah apabila telah dikenal oleh dua orang rawi dan adanya ulama yang men-tsiqat-kan padanya.
C. Kriteria-kriteria Penilaian dalam Fit and Proper Test