Kriteria-kriteria Penilaian dalam Al - jarh wa al - ta’dîl

a. Hasil penilaian fit and proper test bagi orang yang menjadi calon pengurus ataupun pejabat bank, diklasifikasikan kedalam dua predikat penilaian, yaitu sebagai berikut: • Lulus • Tidak lulus b. Hasil penilaian fit and proper test bagi orang yang telah menjadi pengurus ataupun pejabat bank dan ingin menjabat kembali, diklasifikasikan kedalam tiga predikat penilaian, yaitu sebagai berikut: • Lulus • Lulus bersyarat • Tidak lulus

D. Kriteria-kriteria Penilaian dalam Al - jarh wa al - ta’dîl

Dalam pembahasan kriteria-kriteria penilaian dalam al - jarh wa al - ta’dîl terdapat satu unsur penting yang harus di jelaskan dalam melakukan proses penilaian al - jarh wa al - ta’dîl , yaitu orang-orang atau pihak-pihak dalam hal ini rawi maupun ulama yang diperbolehkan menjadi penilai atau juri dalam proses al - jarh wa al - ta’dîl . Adapun orang-orang tersebut adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat Jarih dan Mu’addil sebagai berikut: 57 57 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, ilmu jarh wa ta’dîl, penilaian kredibilitas para perawi dan pengimplementasiannya .h.47 1. Jarih dan Mu’addil bersifat ‘adalah adil dan bermoralitas tinggi. Definisi sifat ‘adalah yaitu : • Orang Islam • Dewasa Baligh • Berakal sehat • Orang yang bebas terhindar dari sebab-sebab fasik • Orang yang bebas terhindar dari suatu yang menimbulkan kejelekan kredibilitas muru’ah 2. Jarih dan Mu’addil mengetahui sebab-sebab Al jarh wa At ta’dil 3. Jarih dan Mu’addil bertutur kata dengan bahasa yang baik, cermat, dan mengetahui dalil-dalil petunjuk-petunjuk lafal Al jarh wa At ta’dil yang popular dikalangan Ulama. 4. Jarih dan Mu’addil bersifat dhabith cermat terhadap sifat-sifat yang muncul dari diri Majruh dan pandai mencermati diri rawi dengan ucapan yang digunakan dengan tepat. 5. Jarih dan Mu’addil hendaknya mengetahui hukum-hukum syara’ 6. Jarih dan Mu’addil adalah orang yang wara’ bersih, taqwa, jujur, dan selalu bertanya kepada orang yang berilmu. 7. Jarih dan Mu’addil adalah seorang yang moderat tengah-tengah tidak mu’annit berlebihan dalam mencela dan tidak mu’ajjiban orang yang terkagum-kagum. 8. Jarih dan Mu’addil harus orang yang dapat dipercaya di dalam penukilannya menyebutkan sifat-sifat jarh dan ta’dil. 9. Jarih dan Mu’addil hendaknya tidak mempunyai persaingan. 10. Jarih dan Mu’addil hendaknya bijaksana dan jujur, sehingga tidak terdorong oleh emosi dalam melontarkan kritikan. 11. Jarih dan Mu’addil hendaknya bukan kerabatnya ada pertalian saudara sehingga akan menyimpangkan kebenaran dalam penetapan kepada rawi. Setelah penentuan orang-orang yang diperbolehkan memberi penilaian dalam Al jarh wa At ta’dil baik itu dari kalangan rawi maupun ulama telah ditentukan, langkah selanjutnya yaitu penilaian terhadap rawi yang akan dinilai secara Al jarh wa At ta’dil . faktor-faktor penilaiannya adalah: • ‘Adil al ‘adalah atau moralitas • Al dhabth intelektualitas atau kualitas ingatan Kemudian, faktor-faktor penilaian diatas memiliki beberapa kriteria-kriteria sebagai poin penilaian dalam Al jarh wa At ta’dil. Adapun kriteria-kriteria dari faktor penilaian tersebut adalah sebagai berikut : 58 1. ‘Adil al ‘adalah atau Moralitas 58 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, ilmu jarh wa ta’dîl, penilaian kredibilitas para perawi dan pengimplementasiannya .h.30 Istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadits berbeda konteksnya dengan istilah adil secara umum, Namun demikian, dari pendapat-pendapat yang ada dapat dihimpun kriteria berdasarkan kesamaan pada makna tetapi berbeda dalam ungkapan sebagai konsekwensi dari perbedaan sudut pandang para ulama. Kriteria adil tersebut antara lain: a. Seorang Islam; perawi hadits haruslah seorang muslim. Islam menjadi persyaratan diterima persaksiannya, karena di dalam periwayatan Hadits, persaksian menjadi unsur yang urgen. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa orang fasik tidak diterima periwayatannya, sedangkan orang kafir melebihi daripada orang fasik, Oleh karena itu orang kafir non muslim lebih tidak diterima periwayatannya. b. Dewasa baligh; perawi Hadits haruslah seorang yang dewasa, seorang yang belum baligh tidak dipercaya periwayatannya karena tidak adanya tanda-tanda keseriusan dan kedisiplinan dalam menguasai persoalan. c. Berakal sehat; perawi Hadits harus seorang yang sehat normal akalnya karena seorang yang gila tidak dipercayai periwayatannya karena rusak akalnya, baik yang gila terus-menerus, maupun yang gila sewaktu-waktu. Orang yang gila rusak akal ditolak periwayatannya karena melebihi daripada orang fasik yang berakal sehat. d. Orang yang bebas terhindar dari sebab-sebab fasik; yaitu orang yang melaksanakan ketentuan agama Islam, menurut Syuhudi Ismail 59 mengutip tentang kriteria melaksanakan ketentuan agama adalah teguh dalam beragama, tidak melakukan dosa besar, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, dan berakhlak mulia. e. Orang yang bebas terhindar dari suatu yang menimbulkan kejelekan kredibilitas muru’ah; arti muru’ah adalah kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikkan moral dan kebiasaan- kebiasaan, dan hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku pada masing-masing daerah atau tempat yang mungkin antar tempat satu dengan tempat yang lain berbeda. 60 Contohnya orang yang tidak melakukan perbuatan- perbuatan aneh menyimpang dari kebiasaan umum yang bisa menimbulkan atau mengurangi sifat baik pelakunya dan kredibilitasnya muru’ah. Misalnya seorang faqih yang memakai peci memanjangkan kedua kakinya ketika duduk di dalam sebuah majelis pertemuan dan lain sebagainya, perbuatan orang itu akan menimbulkan kesan tidak sopan atau tidak pantas dihadapan umum, dan menimbulkan kesan jelek atau hina di kalangan orang-orang. 2. Teknik Al ‘adalah 59 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, bulan bintang, Jakarta, 1992, hal. 68 60 Abi Amr Ustman Bin Abdurahman.Muqaddimah Ibnu ash Shalah fi ulum Hadist, Daar al qutub al ilmiah, Beirut, 1995, cetakan pertama hal. 84, poin 5 Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keadilan seorang perawi, antara lain: 1 Kepopuleran keadilannya dikalangan para ahli ulama; yaitu sebagai gambaran tingkat kapasitas dan kredibilitasnya yang sudah diakui dan teruji. 2 Tazkiyah; yaitu pen-ta’dil-an orang yang telah terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal keadilannya. 3. Hal-hal yang Merusak Al ‘adalah Syuhudi Ismail menyampaikan ada beberapa hal berat yang dapat merusak sifat ‘adil seseorang dan merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam periwayatan: 61 1 Suka berdusta dan telah tertuduh berdusta 2 Berbuat fasik, walaupun belum terjatuh dalam kekafiran 3 Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang tersebut sebagai perawi hadits 4 Berbuat bid’ah yang mengarah pada fasik, walaupun belum terjatuh dalam kekafiran 4. Al dhabth intelektualitas atau Kualitas Ingatan Banyak pendapat ulama yang melansir istilah dhabith yang berlaku dalam ilmu hadits, namun demikian, dari pendapat-pendapat yang ada dapat dihimpun kriteria tentang dhabith sebagai berikut: 62 61 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, bulan bintang, Jakarta, 1992, hal. 70 1 Hafal dengan sempurna hadits yang diterima. 2 Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafal tersebut kepada orang lain. 3 Seorang rawi tersebut juga memahami dengan baik hadits yang dihafal tersebut. Kriteria dhabith pada poin pertama dan poin kedua merupakan kategori dhabith yang bersifat umum, sedangkan kriteria dhabith pada poin ketiga merupakan kategori dhabith sempurna, disebut tamm dhabith atau dhabith plus. Adapun jenis-jenis dhabith adalah sebagai berikut: a. Dhabht al shadri atau merawikan dalam bentuk hafalan; seorang rawi harus selalu ingat, sadar, dan hafal terhadap berita hadits yang ia dengar dari perawi sampai dengan waktu ia menyampaikan berita itu kepada perawi lain. b. Dhabht al kitab atau merawikan dalam bentuk tulisan; seorang rawi harus hafal betul akan tulisannya dan harus terjaga terjamin dari sisipan kalimat, pengubahan huruf al tahrif, pengubahan kalimat al taghyir, dan penggantian kata atau kalimat al tabdil dengan syarat isi kitab isi periwayatan itu tidak dipinjamkan kepada orang lain, dan apabila dipinjamkan kepada orang lain, maka ia tidak boleh meriwayatkan kecuali ia bisa menjamin keutuhan isi kitab tersebut. 62 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, hal. 70 c. Periwayatan bilma’na atau periwayatan tidak dengan lafadznya; apabila Hadits yang diriwayatkan tidak dengan lafadz dasarnya, maka seorang perawi harus mengetahui maksud dan makna Hadits yang tidak diriwayatkan dengan lafadz dasarnya. d. Adapun terhadap rawi yang tersohor kitabnya dan ke-dhabith-an pensyarahnya; seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka disyaratkan agar diriwayatkan dari guru utama Imam Bukhari, guru cabang yang berhadapan dekat dengannya, guru cabang yang berhadapan dengan guru cabang yang juga mendengar darinya, atau dengan kata lain meneliti ke-dhabith-an Imam Bukhari dari syarah yang berbeda-beda yang ditulis para pen-syarah dan di- tashih -kannya, serta terhindar dari perubahan huruf, perubahan titik, mendahulukan kalimat taqdim, mengakhirkan kalimat ta’khir, dan sebagainya. Hal ini persis dilakukan oleh para ahli Hadits kontemporer. Konsekuensinya bagi perawi yang buta tidak melihat harus perpegang pada salinan atau catatan perawi yang hadir bersamanya jika dapat dipercaya pen- tashih -annya. 5. Hal-hal yang merusak dhabiht Menurut Ibnu Hajar al Asqalani sebagaimana yang dikutip oleh syuhudi Ismail, bahwa beberapa hal berat yang dapat merusak ke-dhabith-an seseorang adalah: 63 1 Dalam meriwayatkan hadits lebih banyak salah daripada benarnya 63 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadist Nabi, hal. 71 2 Lebih dominan sifat lupanya daripada sifat hafalnya 3 Dari sisi isi yang diriwayatkan diduga keras mengandung kekeliruan 4 Yang diriwayatkan bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah 5 Jelek hafalannya 6. Tingkatan-tingkatan al - jarh wa al - ta’dîl Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedhabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang adil dan amanah serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama yang sempurna pengetahuan mereka. Tingkatan atau martabah yang menjadi kriteria atau standardisasi bagi seseorang dilambangkan melalui tingkatan lafadz atau label bagi masing-masing individu. Adapun tingkatan atau martabah dalam al jarh wa at ta’dil antara lain: 64 a. Tingkatan al - ta’dîl 1 Tingkatan Pertama: Yang menggunakan bentuk superlatif dalam pentadil-an, atau dengan menggunakan wazan afala dengan menggunakan ungkapan- ungkapan seperti Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan 64 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, ilmu jarh wa ta’dîl, penilaian kredibilitas para perawi dan pengimplementasiannya .h.60 atau Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya. 2 Tingkatan Kedua: Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah- annya, ke-adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya mamun, atau tsiqah dan hafidh. 3 Tingkatan Ketiga: Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh. 4 Tingkatan Keempat: Yang menunjukkan adanya ke-adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Mamun dipercaya, mahalluhu ash-shidq ia tempatnya kejujuran, atau laa basa bihi tidak mengapa dengannya. Khusus untuk Ibnu Main kalimat laa basa bihi adalah tsiqah Ibnu Main dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid , sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsiqahan perawi tersebut. 5 Tingkatan Kelima: Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh fulan seorang syaikh, ruwiya anhul-hadiits diriwayatkan darinya hadits, atau hasanul-hadiits yang baik haditsnya. 6 Tingkatan Keenam: Isyarat yang mendekati celaan jarh, seperti : Shalihul- Hadiits haditsnya lumayan, atau yuktabu hadiitsuhu ditulis haditsnya. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dhabith . Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabith. b. Tingkatan al jarh 65 1 Tingkatan Pertama: Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits lemah haditsnya, atau fiihi maqaal dirinya diperbincangkan, atau fiihi dlafun padanya ada kelemahan. 2 Tingkatan Kedua: Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : Fulan tidak boleh dijadikan hujjah , atau dlaif, atau ia mempunyai hadits-hadits yang munkar, atau majhul tidak diketahui identitaskondisinya. 3 Tingkatan Ketiga: Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : Fulan dlaif jiddan dlaif sekali, atau tidak ditulis 65 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, ilmu jarh wa ta’dîl, penilaian kredibilitas para perawi dan pengimplementasiannya .h.68 haditsnya, atau tidak halal periwayatan darinya, atau laisa bi-syai-in tidak ada apa-apanya. Dikecualikan untuk Ibnu main bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit. 4 Tingkatan Keempat: Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib dituduh berdusta atau dituduh memalsukan hadits, atau mencuri hadits, atau matruk yang ditinggalkan, atau laisa bi tsiqah bukan orang yang terpercaya. 5 Tingkatan Kelima: Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzab tukang dusta, atau dajjal, atau wadldla pemalsu hadits, atau yakdzib dia berbohong, atau yadla dia memalsukan hadits. 6 Tingkatan Keenam: Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : Fulan orang yang paling pembohong, atau ia adalah puncak dalam kedustaan, atau dia rukun kedustaan. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali. Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154.

E. Komparasi Konsep Fit and Proper Test pada Promosi Jabatan di Bank