Qiyâs dalam Bahasa Arab

47

BAB III QIYÂS: AWAL MULA DAN PERKEMBANGANNYA

Pembahasan pada bab ini bertujuan untuk membuktikan bahwa qiyâs, baik yang ada pada ushûl al-fiqh maupun pada ushûl al-nahw, mempunyai akar- akarnya dalam kebudayaan Arab. Qiyâs yang ada dalam dua cabang ilmu tersebut sesungguhnya merupakan ra’y, yang karena desakan kebutuhan sosial, berkembang menjadi lebih sistematis.

A. Qiyâs dalam Bahasa Arab

Qiyâs mempunyai beberapa makna. Secara umum keseluruhan makna tersebut dapat dikembalikan kepada makna dasarnya yaitu mengukur. Sebuah ungkapan Arab ر atau ر berarti mengukur tombak atau lembing. Fakta ini juga menunjukkan bahwa kata qiyâs mempunyai dua akar kata yaitu ق – ي – س ق – و س yang memiliki arti yang sama. Ungkapan Arab qistu al-syai’a bighairih berarti saya mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang serupa. 1 Kesamaan jumlah dan kwalitas adalah dua hal yang mendasari pengukuran. Kata qiyâs digunakan oleh orang Arab untuk mengukur kedalaman luka di kepala. Sebuah ungkapan Arab ا ا س atau ا ا س yang berarti dokter mengukur luka di kepala atau mengukur kedalaman luka. 2 Sedangkan ungkapan ر ا dapat berarti gadis itu melangkah dengan teratur. 3 Ketika berjalan ia melangkah dengan langkah-langkah yang terukur dan seimbang. Langkah- langkahnya nyaris sama. Dari sini diturunkan makna menyamakan sesuatu. Kata س ّ berarti orang yang sering atau banyak melakukan qiyâs, sedangkan adalah orang yang mengukur kedalaman luka di kepala dengan dugaan. Bentuk lain dari qiyâs adalah iqtiyâs berarti mengikuti atau merujuk pada kesamaan atau pada sesuatu yang memiliki unsur yang sama. 4 1 Al-Jauharî, al-Shihâh, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1977, h. 200. 2 Muhammad ibn Umar al-Zamakhsyari, Asas al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1980, h.150. Lihat juga Jamâluddin Muhamad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab , Beirut: Dâr al-Fikr, juz. I, h. 81, juz II, h. 69. 3 Jamâluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân…, juz III, h.59, juz IV, h.26. 4 Jamâluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân…, juz XIII, h.364. Qiyâs , yang menggambarkan pengertian ukuran dan persamaan, dalam arti kiasan dapat berarti ketetapan atau cara yang telah ditentukan. Dari sini diturunkan makna lain dari qiyâs yaitu menentukan taqdîr. Misalnya seseorang mengatakan, س ا اه, yang berarti menurut ketetapan yang telah ditentukan. Demikian juga ungkapan اآ س ا , yang berarti menurut cara begini. 5 Istilah ini sering dipergunakan oleh para ahli hukum awal dalam pengertian “prisip umum” atau hukum yang telah ditentukan, seperti banyak ditemukan dalam literatur hukum. Berbagai makna qiyâs dapat diringkas menjadi pengukuran, perbandingan, kesamaan, hukum yang telah ditentukan, menetapkan dan prinsip umum. Dalam pemakaiannya secara teknis makna ini hanya dipakai dalam pengertian membandingkan antara dua kasus yang sama dan menyelesaikan kasus baru berdasarkan ketetapan hukum yang telah diterapkan sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa kata qiyâs dengan sejumlah maknanya tersebut telah ada dan dipakai oleh orang Arab jauh sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Ini berarti bahwa qiyâs bukanlah sesuatu yang asing dalam bahasa dan budaya Arab. Berdasarkan analisa kebahasaan ini, al-Âmidî menyimpulkan bahwa qiyâs mensyaratkan dua hal yang masing-masing dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh kesamaan yang menjadi titik temu hubungan tersebut. 6 Jika dikatakan bahwa si A dibandingkan dengan si B, ini dapat berarti A sebanding dengan B karena keduanya mempunyai kesamaan tertentu. Makna literal qiyâs ini berpengaruh pada makna teknisnya. Dalam bidang fiqh misalnya, para ahli fiqh berpendapat bahwa kata qiyâs mengandung tiga makna. Pertama, mengukur atau mengevaluasi, yakni memastikan tingkat atau ukuran sesuatu dengan cara membandingkan dengan objek lainnya yang pas dan setara dan diketahui ukurannya. Seperti mengukur kain dengan meteran. Ini merupakan pengukuran nilai sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kedua, qiyâs berarti kesamaan. Seperti contoh di atas. 5 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad: Islamic Research Institute, 1970, h. 140-141. 6 Saifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 2003, h. 125. Terakhir, qiyâs dapat berarti gabungan dari kedua makna di atas, yaitu makna evaluasi dan kesamaan. Makna ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membuktikan kesamaan dua hal, dan terbukti keduanya sama. Dengan demikian, pengukuran dan evaluasi mengandaikan adanya kesamaan dalam pengertian qiyâs secara literal. Karena itu al-Bazdawî dan al-Nasafî tidak menambahkan apapun kepada makna literal qiyâs. Keduanya berpendapat bahwa qiyâs menurut makna asalnya berarti menentukan atau memastikan kualitas atau nilai sesuatu, atau menjadikan ukuran dua hal yang sama dalam kwantitasnya, baik keduanya terkait berdasarkan persepsi indra maupun berdasarkan persepsi akal. 7 Pandangan yang sama tentang makna qiyas ini dikemukakan pula oleh para ahli nahw. 8 Namun kata-kata qiyâs tidak pernah dipakai dalam al-Qur’ân. Tetapi kata-kata yang memiliki gagasan atau makna yang sama dengan qiyâs dapat ditemukan didalamnya, contohnya seperti kata i’tibâr dan nazhar. Kata qiyâs juga tidak muncul dalam literatur hadits. Akan tetapi ada ungkapan Nabi yang memiliki gagasan yang kurang lebih setara dengan makna qiyâs dalam bahasa Arab. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Nabi apakah ia boleh menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya yang telah meninggal. Nabi memberikan jawaban dengan membandingkan pada kebolehan membayarkan hutang atas nama orang tua. Jawaban tersebut memperlihatkan penggunaan makna qiyâs dalam penalaran yang bersifat alamiah meskipun tidak terdapat materi kata qiyas dalam hadits. Dapat disimpulkan bahwa qiyâs, dengan beragam maknanya, telah dipakai dalam bahasa dan kebudayaan Arab sebelum terjadinya penterjemahan buku- buku Yunani kedalam bahasa Arab. 7 Kamâl ibn Humam, al-Tahrîr, Kairo: Dâr al Kutub, 1951, h. 263-264. Dan komentarnya oleh Amir Badsyah. 8 Lihat penjelasan Mahmûd Ahmad Nahlah yang membandingkan struktur ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw . Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, Iskandariyah: Dâr al-Ma’rifah al- Jâmi’iyyah, 2002, h. 99. Disebabkan karena pada masa-masa yang terkemudian ushûl al-nahw banyak dipengaruhi oleh ushûl al-fiqh, maka ketika ahli nahw menjelaskan pengertian qiyâs penjelasan mereka sangat mirip dengan pengertian qiyâs dalam ushûl al-fiqh. Argumen lainnya adalah karena biasanya seorang ahli nahw juga seorang ahli fiqh.

B. Qiyâs dalam Ushûl al-Fiqh