1
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Istilah qiyâs dipergunakan dalam dua bidang ilmu keislaman yang berbeda yaitu ilmu ushȗl al-fiqh dan ilmu ushȗl al-nahw. Dalam ushȗl al-fiqh, qiyâs
ditempatkan pada posisi ke empat dari urutan dalil hukum, al-Qur’ân, sunnah, Ijma’ dan Qiyâs. Dalam teori hukum Islam, qiyâs lahir paling belakang. Ia
dianggap sebagai prinsip, dasar atau sumber hukum yang ke empat, seperti sumber-sumber lainnya. Sebenarnya qiyâs adalah salah satu cara ijtihad dan
bukan sebagai sumber hukum seperti yang digambarkan oleh ke empat perangkat teori hukum di atas.
1
Alasannya adalah ia bukan hujjah otoritas dan bukan pula sumber yang berdiri sendiri. Ia merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk
untuk mengungkap ketetapan hukum. Ia sepenuhnya bergantung pada sumber hukum yang lain, baik al-Qur’ân maupun sunnah. Terkadang ia didasarkan pada
Ijma’, yang juga mencari dukungan pada kedua sumber tersebut. Dengan demikian semua sumber tersebut saling terkait dan pada dasarnya merujuk pada
satu sumber, yaitu al-Qur’ân. Sedangkan fungsi qiyâs dalam ushul al- fiqh untuk memperluas hukum yang terdapat dalam al-Qur’ân dan sunnah. Karena tidak
semua persoalan yang terjadi ada penjelasannya secara tekstual didalam al-Qur’ân dan sunnah.
Hampir sama dengan qiyâs yang ada di dalam ushûl al-fiqh, qiyâs dalam ushûl al-nahw
, ditempatkan pada posisi ketiga dalam deretan urutan dalil dalam cabang ilmu ini, yaitu al-sama’ atau al-riwâyah, ijma’ dan qiyâs. Fungsi qiyâs
dalam ushûl al-nahw untuk memperluas kalam Arab dengan cara mengqiyaskan pada pola bahasa yang ada.
1
Para ahli ushul al-fiqh membedakan antara dalil dan sumber hukum. Sumber merupakan wadah yang darinya hokum diambil. Sedangkan dalil hanya merupakan petunjuk dimana letak
keberadaan hukum. Dengan demikian al-Qur’an dan sunnah dapat disebur dengan sumber sekaligus dalil, sedangkan ijma’ dan qiyâs hanya dapat disebut dalil. Penjelasan lebih lanjut lihat
Muhammad Hasyim Kamali, The Principles of Islamic Jurisprudence, Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991, h. 30.
Beralih ke struktur
2
qiyâs, kedua jenis qiyâs tersebut mempunyai banyak persamaan. Menurut al-Âmidî, dengan mengutip pendapat Abu Husain al-Bashri,
mengemukakan definisi qiyâs sebagai “penerapan hukum ashl kepada far’ karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya”.
3
Sedangkan dalam ilmu ushûl al-nahw, Ibn Anbari w. 557 H mendefinisikan qiyâs sebagai “membawa haml far’” kepada
asl karena ada ‘illat dan memberlakukan hukm asl kepada cabang tersebut.
4
Dengan kata lain ketetapan hukum bagi kasus cabang far’ didasarkan pada ketetapan hukum kasus pokok ashl karena ada sifat yang menghubungkan wasf
jâmi’ antara keduanya. Dengan membandingkan dua pengertian qiyâs di atas
dapat disimpulkan bahwa unsur pokok pembentuk qiyâs terdiri dari ashl, far’, hukm ashl
dan ‘illat. Ini memperlihatkan ada kesamaan antara dua jenis qiyâs tersebut, yakni qiyâs dalam ushul al-fiqh dan qiyâs dalam ushul al-nahw.
Persamaan lain dapat ditemukan ketika membandingkan macam-macam qiyâs dan cara-cara mencari ‘illat masâlik al-‘illah. Sejumlah besar persamaan dapat
ditemukan. Dari sekian banyak kesamaan tersebut timbul pertanyaan apakah salah satu
dari kedu jenis qiyâs tersebut dipengaruhi atau disalin dari lainnya? Terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli dalam mejawab persoalan ini. Ali Syâmi
al- Nassyâr berpendapat bahwa qiyâs yang ada pada ilmu nahw dipengaruhi oleh qiyâs
dalam ushȗl al-fiqh.
5
Alasannya adalah bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh
lebih sistematis dibanding dengan qiyâs yang ada dalam ilmu nahw ushul al-nahw
. Menurut penulis alasan ini tidak cukup untuk membuktikan hal tersebut. Harus ada bukti kongkrit yang menunjukkan bahwa qiyâs dalam nahw
dipengaruhi oleh qiyâs dalam ushûl al-fiqh.
2
Struktur merupakan unsur-unsur pokok pembentuk qiyâs seperti kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat kausa. Lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence,
Delhi: Adam Publishers and Distributors,1994, h. 10.
3
Saifuddin Abi Hasan al-Âmidî, Al-Ihkâm f
ȋ
al-Ush
ȗ
l al-Ahkâm, Beirut: Dȃr al-Fikr,
2003, juz II, h. 126.
4
Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’ al-Adillah, ttp, 1988, h. 93. Bandingkan dengan Said al-Afghâni, F
ȋ
Ushûl al-Nahwî , Beirut: Al-Maktab Al-Islȃmi, 1987, h. 78.
5
Ali Syami al-Nassyar, Manâhij al-Bahs ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, Iskandariah: Dȃr al- Fikr al-Arabî, 1947, h. 27.
Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap ilmu nahw sesungguhnya tidak hanya terbatas di seputar qiyâs, tetapi bahkan hampir keseluruh bangunan qiyâs. Para
ahli ilmu nahw nuhât mengakui bahwa mereka mengambil prinsip-prinsip ilmu mereka dari ushȗl al-fiqh Abu Hanîfah. Ibn Jinnî w. 392 H pernah berkata
bahwa para ahli nahw mengambil konsep tentang ‘illat dari kitab Muhammad ibn Hasan al-Syaibânî yang merupakan salah seorang murid Abu Hanîfah. Tetapi di
dalam Khasâisnya, Ibn Jinni mengatakan bahwa qiyâs ahli nahw lebih dekat kepada qiyâs para teolog dibanding dengan ahli fiqh.
6
Alasannya menurut Ibn Jinni adalah karena ‘illat dalam nahwu, dalam proses pencarian dan penetapannya
sangat dekat dengan cara-cara yang dipakai oleh para teolog dalam menetapakan ‘illat
yaitu berdasarkan phenomena yang dapat tertangkap oleh panca indera. Lain halnya dengan proses pencarian ‘illat dalam fiqh. Proses pencariannya seringkali
bersifat ta’abbudi, dimana peran akal hampir tidak berfungsi atau kecil sekali, seperti ketika para ahli fiqh menjelaskan hubungan antara tergelincirnya Matahari
dengan kewajiban shalat dzuhur. Sesungguhnya yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara ushûl al-
fiqh dengan ushûl al-nahw. Pada tahap awal perkembangannya ilmu ushûl al-Fiqh
dipengaruhi oleh ilmu nahwu, khususnya berkaitan dengan pemikiran tentang ashl dan far’ yang merupakan prinsip dalam qiyas. Pada masa yang lebih terkemudian,
ilmu ushûl al-fiqh berkembang lebih cepat dari pada ilmu bahasa dan menjadi cabang ilmu yang berdiri sendiri. Pada tahap ini giliran ilmu bahasa yang
dipengaruhi oleh ilmu ushûl al-fiqh, khususnya yang berkaiatan dengan struktur dalil dalam ilmu nahwu, banyak dipengaruhi oleh struktur dalil dalam ushûl al-
fiqh. Buku-buku yang mengulas tentang biografi para ahli nahw menyebutkan
bahwa ‘Abdullah ibn Ishaq al-Hadramî w. 117 H adalah orang yang mula-mula merumuskan nahw, menetapkan qiyȃs, dan menjelaskan kausa ‘illat dan sangat
teliti dalam mengupas qiyȃs. Juga di jelaskan bahwa al-Khalȋl ibn Ahmad al- Farâhîdî w. 175 H berindak mengoreksi qiyȃs dan merumuskan masalah-
6
Abu al-Fath Utsmân ibn Jinnî, Al-khasâis, Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1982, juz l I, h. 123.
masalah nahw dari kausanya.
7
Sedangkan Sîbawaih w. 180 H, dari buku yang ditulisnya al-Kitab terlihat bahwa qiyâs dalam nahw pada masa hidupnya telah
menjadi alat untuk berfikir, untuk menghasilkan produk teoritis dalam wilayah konstruksi kata nahw.
Dengan demikian pada tahap yang masih sangat awal ini, yaitu sebelum al-Syâfi’i menulis kitab al-Risalah, qiyâs dalam nahw telah melampaui tujuan
asalnya dari hanya sekedar memperluas perkataan orang Arab, menjadi sebuah keniscayaan-keniscayaan kognitif yang tidak diambil dari perkataan orang Arab
atau dari instink Arab. Dalam buku-buku biografi para ahli nahw juga disebutkan bahwa Muhammad ibn al-Mustanbar yang terkenal di daerah Qutrub w. 204 H
yang tidak lain adalah murid Sîbawaih, menulis buku yang berjudul al-‘illal fi al- Nahw.
Setelah itu muncul beberapa buku yang mengulas tentang ‘illah dan qiyȃs al-nahwiyyah
kemudian disusul buku-buku tentang metode nahw yang mencapai puncaknya pada Ibn Anbari yang menulis buku Luma’ al-Adillah, al-Inshȃf fi
Masȃil al-Khilȃf. Penting untuk dicatat bahwa Ibn Sarrâj w. 316 H menulis
buku tentang ushul al-nahw dengan judul al-Ushul fi al-Nahw, sebuah karya yang didasarkan pada al-Kitâb Sîbawaih dalam bentuk yang sistematis.
Yang menarik untuk dicermati di sini bahwa proses penetapan dan perumusan metode kajian dalam nahw khususnya qiyȃs telah ada sejak al-Syafi’i
menulis al-Risȃlahnya dalam bidang Ushȗl al-Fiqh, sehingga memunculkan pertanyaan, siapakah yang lebih dahulu merumuskan qiyȃs ? ahli nahw atau ahli
fiqh. Sulit untuk memberikan jawaban pasti. Namun sumber- sumber yang ada menunjukkan bahwa ahli nahw secara umum adalah lebih dahulu melakukan
qiyȃs secara sistematis. Sebab, jika fiqh untuk pertama kalinya dibangun
berdasarkan naql al-Qur’ȃn dan sunnah, maka nahw sejak semula dibangun berdasarkan qiyȃs. Secara definitif nahw adalah ilmu tentang standar penilaian
yang di induksi istiqra’ dari perkataan orang Arab. Atau seperti yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i bahwa bahwa nahw adalah qiyȃs yang di ikuti qiyâs
7
Muhammad ‘Abd al-Karȋm, Al-Was
ȋ
t f
ȋ
Tar
ȋ
kh al-Nahw al-‘Arab
ȋ
, Riyȃdh: Dȃr al-Sawȃf,
1992, h.49, Muhammad Thantȃwi, Nasy’ah al-Nahw, Dȃr al- Manȃr, 1991 h. 46. Syauqi Dhaif, Al-Mad
ȃ
ris al- Nahwiyyah, Kairo: Dâr al-Ma’rif, 1976, h. 23.
yuttaba’ .
8
Sama halnya jika di tetapkan awal perumusan nahw dikembalikan kepada Abu al- Aswad al-Du’ali w. 67 H yang disebut-sebut sebagai orang yang
pertama merumuskan ilmu nahw atau kepada ‘Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadramî dimana para ahli nahw sepakat bahwa dia orang yang mengkaji nahw secara
metodik dan mempraktikkan qiyȃs, namun harus diakui bahwa para ahli nahw dari segi waktu, telah lebih dahulu mempraktikkan qiyȃs secara metodik.
9
Terlepas dari persoalan siapa yang lebih dahulu, dari sumber yang ada terlihat jelas bahwa para ahli nahw menyalin perangkat-perangkat konsepsional dan
metodis mereka dari para teolog dan ulama’ ushȗl al-fiqh. Hal ini berlangsung sejak mereka mulai melakukan teoritisasi wacana nahw hingga filsafat nahw
mencapai puncaknya. Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap nahw sangat nyata pada Ibn Anbari dan
al-Sayûti. Di dalam bukunya Luma’al-Adillah, Ibn Anbari menyebutkan bahwa ilmu ushûl al-nahw sama seperti ilmu ushȗl al-fiqh. Ia merumuskan bab-bab
untuk qiyâs berikut pembagiannya sama seperti susunan yang ada dalam buku- buku ushȗl al-fiqh. Al-Sayȗti di dalam bukunya Al-Iqtirâh menyebutkan
kesamaan antara ilmu ushȗl al- fiqh dengan ilmu ushûl al-nahw, menyusun bab- bab bukunya seperti susunan yang ada dalam ilmu ushȗl al-fiqh dan membagi
qiyȃs menjadi qiyâs ‘illat, qiyâs syabah dan qiyâs thard. Sama seperti yang ada di
dalam ushûl al-fiqh.
10
Contoh lain yang menunjukkan dipengaruhinya ilmu nahw oleh ushûl al- fiqh
, dipakainya konsep ushȗl al-fiqh dalam ilmu nahw. Ketika mendiskusikan dua kata kerja fi’il yang dimana para ahli ilmu nahw berbeda pendapat tentang
apakah keduanya termasuk kata kerja fi’il ataukah kata benda ism. Ibn Anbari w. 577 H berpendapat bahwa keduanya adalah kata kerja fi’il. Selanjutnya ia
mengatakan, bukti bahwa ni’ma dan bi’sa adalah kata kerja fi’il, karena
8
Syauqi Dhaif, Al-Mad
ȃ
ris al-Nahwiyah,Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979, h. 176.
Bandingkan dengan Khalid Sa’ad, Ush
ȗ
l al-Nahw , Kairo: Maktabah al- Adȃb, 2006 h. 157.
9
Ini dapat dilihat pada buku-buku tentang ushûl nahw seperti Luma’ al-‘Adillah, Kitab al- Iqtirah
dan buku-buku sejenis.
10
Lihat Jalâluddin Abdurrahmân ibn Abi Bakr al-Sayûti, Kitâb al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl al- Nahwî,
Kairo: Al-Jâmiah, 1998, h. 10 dan Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al- Adillah,
Kairo: Al-Jâmiah, 1998, h. 8
keduanya selalu fathah. Seandainya kedua kata itu adalah kata benda ism, harus dilengkapi bukti pendukung. Prinsip itu didasarkan pada ”istishâb al-hâl”.
11
Istishâb merupakan salah satu dalil dalam ushȗl al-fiqh.
Dalam penetapan ushul, para ahli nahw secara keseluruhan menyalin konsep ushûl al-fiqh. Hal ini terjadi tidak hanya pada tingkat istilah dan
klasifikasi, tetapi juga pada tingkat pendasaran dan struktur. Sejauh pengetahuan penulis, Ibn Anbari w. 557 H adalah orang yang menyalin secara utuh struktur
umum ushûl al-fiqh dan menetapkannya bagi ushûl al-nahw. Ini terlihat jelas dalam risalah kecilnya yang berjudul Luma’ al-Adillah tersebut. Dalam pengantar
buku tersebut tertulis bahwa ushûl al-nahw adalah dalil-dalil nahw yang dari sana lahir cabang dan bagian-bagiannya, sebagaimana ushûl al- fiqh adalah dalil- dalil
fiqh yang dari sana lahir totalitas dan detail-detailnya. Manfaat Ushûl al-nahw
adalah menjadi sandaran dalam berargumentasi dan kausasi dalam menetapkan hukum dan naik dari derajad taqlid menjadi mampu menetapkan hukum dengan
dalil.
12
Persesuaian antara struktur ushûl al-fiqh dengan ushûl al- nahw tidak hanya terbatas pada tingkat definisi dan tujuan, sebab dalil-dalil nahw juga meminjam
dalil-dalil fiqh dan sekaligus mengadopsi persoalan-persoalan dan problematika epistemologisnya. Dengan demikian dalil-dalil nahw secara berurutan ada tiga: al-
naql al-sama’, qiyâs dan istishâb al-hâl, demikian pula istidlâlnya. Yang
dimaksud dengan al-naql adalah perkataan orang Arab yang fasih yang ditransmisikan secara valid sahîh dengan jumlah jalur periwayatan yang banyak.
Dalam hal ini naql ada dua macam: mutawâtir dan âhâd. Naql mutawâtir adalah bahasa Al-Qur’ȃn dan sunnah serta perkataan orang Arab yang ditransmisikan
secara mutawâtir. Transmisi mutawâtir dan âhâd ini mempunyai beberapa syarat.
13
Sedangkan qiyâs adalah ungkapan yang menunjukkan proses penetapan hukum kasus cabang berdasar hukum ashl. Jika dalam fiqh ada orang yang
mengingkari argumentasi qiyâs, tidak demikian halnya dalam nahw, sebab nahw
11
Kamâluddin Abî Barakât ibn Anbari, Al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, Kairo: Al-Istiqâmah, 1364 H, h. 73.
12
Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al-Adillah, Mesir: Al-Jȃmi’ah, 1988 h.81
13
Kamaluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’… h.81-85 bandingkan dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-‘Arabi, Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 2002.
secara keseluruhan adalah qiyâs dan siapa yang mengingkari qiyâs berarti mengingkari nahw
14
Sebenarnya penolakan terhadap qiyâs dalam nahw juga terjadi namun tidak seluas yang terjadi dalam wilayah fiqh. Dapat dilihat pada
pandangan Ibn Madhâ’ yang menolak qiyâs dalam nahw. Dalam karya tersebut selanjutnya diulas macam-macam qiyâs dengan
meniru apa yang ada di kalangan ulama’ ushûl al-fiqh. Dengan demikian ada tiga macam qiyâs yaitu qiyâs ‘illah, qiyâs syibh dan qiyâs thard. Yang dimaksud
dengan qiyâs ‘illah adalah apabila far’ dipersamakan dengan ashl sebab adanya ‘illah yang menghubungkannya dengan hukum asl, seperti mengqiyaskan nȃib al-
fȃ’il kepada fȃ’il dengan ‘illat isnâd. Sedangkan qiyâs syibh adalah ketika
disamakan far’ dengan ashl karena adanya persamaan bukan ‘illah yang menghubungkan far’ dengan ashl. Misalnya i’rabnya fi’il mudhari’ kata kerja
untuk waktu sekarang yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum karena memiliki kesamaan dengan kata benda ism yang bersifat khusus setelah
sebelumnya bersifat umum, maka i’rab fi’il itu seperti i’rab kata benda ism. Sedangkan qiyâs thard adalah ketika ditemukan adanya persamaan hukum namun
tidak ada persesuaian munâsabah dalam ‘illah. Terhadap jenis qiyâs yang ketiga ini terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahannya. Jelas pada ketiganya
terdapat problem yang sama seperti yang tersebar dalam buku-buku fiqh dan ushûl al-fiqh
seputar masalah qiyâs dan jenis-jenisnya, sehingga seolah-olah problematika nahw seolah-olah sama dengan problematika ushûl al-fiqh. Lebih
lanjut dia juga membahas masalah istihsân dan kontradiksi antara naql dengan naql
dan qiyâs dengan qiyâs, setelah itu kembali kepada dalil yang ketiga yaitu istishâb al-hâl
yakni berlanjutnya hukum ashl untuk kata benda ism dalam keadaan mu’rab, dan berlanjutnya hukum untuk kata kerja fi’il dalam keadaan
mabnî .
Mahmûd Ahmad Nahlah
15
dan Âbid al-Jâbiri berpendapat sejalan dengan pandangan di atas. Dengan menggunakan argumen historis al-Jâbiri mengatakan
bahwa qiyâs dalam ilmu nahw telah lebih dahulu matang dalam tulisan
14
Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’… h. 82
15
Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl Al-Nahwî al-‘Arabî, Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah al- Jâmi’iyyah, 2002, h. 25.
Sîbawaih.
16
Sementara qiyâs dalam ushȗl al-fiqh baru menemukan bentuknya yang sistematis ketika al-Syâfi’i merumuskannya dalam tulisan-tulisannya.
17
Dan al- Syâfi’i ketika merumuskan tesisnya tentang qiyâs dalam ushȗl al-fiqh tersebut
terjadi sekitar penghujung abad kedua hijrah, bahkan mungkin di awal abad ketiga hijrah.
18
Jadi dari segi waktu jelas qiyâs dalam ilmu nahw lebih dahulu dirumuskan dan mencapai kematangannya pada saat qiyâs dalam ushûl al-fiqh
belum dirumuskan.
19
Berbeda dengan al-Jâbiri, Mahmûd Ahmad Nahlah mempunyai argumen lain. Baginya, karena bahasa merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka
bahasa hadir terlebih dahulu dibanding ilmu lainnya, termasuk dalam hal ini qiyâs. Istilah dan konsep bahasa sering dipinjam oleh disiplin ilmu lain.
20
Riwayat berikut memperlihatkan pengaruh ilmu nahw terhadap ushûl al-fiqh.
Seorang ahli fiqh yang bermazhab al-Syâfi’i, Ibn al-Haddâd al-Misrî mengkhususkan satu malam tertentu di dalam seminggu untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan fiqh berdasarkan kaidah nahw. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Abu Ja’far al-Nahhâs al- Misrȋ tidak pernah absen menghadiri
majlis Ibn al-Haddâd tersebut.
21
Jamâl al-Dîn al-Isnawi menulis sebuah buku yang berjudul al-Kawâkib al-Durriyyah fȋ al-tanzîl al-furû’ al-fiqhiyyah ‘alâ al-Qawâid
al-nahwiyyah . Judul buku tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa ushûl al-
fiqh dipengaruhi oleh ilmu nahw.
Qiyâs dalam ilmu nahw boleh jadi juga dipengaruhi oleh ilmu kalam.
Mengingat banyak tokoh-tokoh ilmu nahw menganut teologi mu’tazilah. Sîbawaih, Al-Farrâ’, Abu Ali al-Fârisi, al-Rummânî, Ibnu Jinnî dan Al-
Zamakhsyari adalah beberapa tokoh ilmu nahw yang yang menganut paham
16
Untuk biografi Sîbawaih lihat Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyah, Mesir: Dâr al- Ma’ârif, 1976, h, 57. Muhammah ’Abd al-Karim, Al-Wasith Fi Târikh al-Nahw al-‘Arabi,
Riyadh: Dâr al-Syawaf, 1992, h, 58. Muhammad al-Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, Mesir: Dâr al- Manâr, 1991, h, 47.
17
Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut, Al-Markaz al-Saqâfi al- Arabi, 1991, h. 100
18
Al-Syâfi’i Wafat tahun 205 Hijriyah, kuat dugaan bahwa dia menulis buku Al-Risalahnya beberapa tahun menjelang wafatnya.
19
Muhammad ‘Âbid Al-Jâbiri, Takwîn…h.50.
20
Muhammad ‘Abid Al-Jâbiri, Takwîn…h.52.
21
Abû Bakr Muhammad ibn Hasan al-Zubaidi, Tabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, Kairo: Muhammad Sâmi al- Khâniji, 1954, h. 240.
mu’tazilah. Adalah Mungkin metodologi kalam mu’tazilah tersebut, khususnya analogi, masuk ke dalam ilmu nahw.
22
Dalam ilmu kalam dikenal ada istilah qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid
, membandingkan yang tidak nyata dengan yang nyata. Pengaruh wacana teologis dalam wacana nahw sepanjang abad ketika ilmu
teologi tumbuh dengan pesat. Konsep dan persoalan teoritis nahw banyak diambil dari teolog. Mereka sangat menyukai metode diskusi, dialektika dan analisa.
Misalnya mereka menghubungkan konsep gerak harakah dalam wilayah teologis dengan dengan harakah dalam i’rab, mereka melarang menggabungkan
dua i’rab dengan bersandar pada landasan yang dijadikan pegangan oleh para teolog, yaitu landasan yang mengatakan bahwa dua faktor yang berpengaruh al-
muatsirâni tidak bisa dikumpulkan di satu tempat. Ilmu nahw juga dipengaruhi
oleh ilmu hadits. Ilmu nahw menggunakan metoda ilmu hadits untuk menentukan kriteria riwayat-riwayat yang bisa diterima dari kalam Arab.
Perbedaan pendapat tentang qiyâs tidak berakhir sampai di situ. Pada ranah epistemologis terjadi perbedaan pendapat. Qiyâs adalah bentuk penalaran
yang sistematis baik dalam bahasa maupun dalam ushûl al-fiqh. Sebelum menjadi ajaran yang komplek di tangan Sîbawaihi dan al-Syâfi’i, qiyâs pada awalnya
hanya merupakan bentuk penalaran sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan minor yang logis dengan faktor-faktor esensial yang sama
belumlah muncul. Waktu itu qiyâs hanya merupakan pengutipan preseden yang mirip atas sebuah kasus yang analog. Suatu persamaan sederhana sudah dapat
dilakukan qiyâs. Misalnya, dalam bahasa Arab, ketika para ahli nahw mengqiyâskan sejumlah kata sifat dengan kata kerja dari segi bahwa kata sifat
tersebut dapat beramal seperti kata kerja fi’il. Dalam kasus fiqh hal yang sama juga terjadi. Contohnya seperti kasus berikut.
Jika seorang pencuri mengumpulkan barang-barang di suatu tempat dalam rumah yang ingin dicurinya, tetapi barang tersebut tidak diangkutnya keluar
rumah, maka tangan orang tersebut tidak dipotong. Kasus ini sejajar diqiyâskan dengan kasus seseorang yang menyiapkan minuman keras di hadapannya untuk
22
Lihat Said al-Afghâni, F
ȋ
al-Ush
ȗ
l al-Nahwî, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1987, h. 103-
104.
diminum, tapi dia tidak meminumnya, orang ini tidak dikenai hukuman hadd bagi kejahatan tersebut.
Tapi pada tahap selanjutnya, terutama setelah masa Sȋbawaihi dan al- Syâfi’i, qiyâs berkembang menjadi ajaran yang komplek dan sistematis karena
dilengkapi dengan sejumlah syarat yang ketat.
23
Maka wajar kemudian muncul pertanyaan dari mana orang Arab memperoleh gagasan tentang qiyâs? Apakah
qiyâs merupakan hasil pemikiran orang Arab yang lahir karena kebutuhan sosial
mereka atau berasal dari luar?. Apalagi jika dibandingkan dengan qiyâs yang ada dalam logika Yunani, maka menjadi wajar jika terjadi perbedaan pendapat seputar
asal usul qiyâs tersebut. Joseph Schacht, dalam The Origins berpendapat bahwa qiyâs dalam ushȗl
al-fiqh dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi.
24
Menurut Schacht, qiyâs diturunkan dari istilah tafsir dalam agama Yahudi hiqqish, dari akar kata bahasa Aramea
naqsh yang berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut dia menjelaskan
bahwa kata tersebut dipergunakan untuk arti berikut. Pertama, untuk penjajaran dua pokok masalah dalam Bibel, dan menunjukkan bahwa keduanya harus
diperlakukan dengan cara yang sama. Kedua, mengenai kegiatan penafsir Bibel yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis dan ketiga,
untuk kesimpulan dengan analogi, berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus lain yang disejajarkan.
Arti yang ketiga ini menurut Schacht identik dengan qiyâs yang ada dalam ushȗl fiqh.
25
Ahmad Hasan mempunyai pendapat yang berbeda dengan Schacht. Menurut Ahmad Hasan, qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat
23
Untuk penjelasan rinci tentang qiyâs dalam ushȗl fiqh lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence,
Delhi: Adam Publishers And Distributors, 1994, h. 200-250 dan al-Âmidi, al-Ihkam…,Hasyim Kamali, The Principle of Islamic Jurisprudence, Cambridge:
The Islamic texts society, 1991, h. 197-226. Sedangkan untuk pembahasan rinci tentang qiyâs dalam ilmu nahw lihat Muna Ilyas, Al-Qiyâs fî al-Nahwî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985, dan
Muhammad Hasan ‘Abd al-Azîz, Al-Qiyâs fî al-Lughah al- Arabiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr al- Arabi, 1995.
24
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford, 1959, h. 99
25
Joseph Schacht, The Origins…h, 100.
Arab Islam, bukan berasal dari pengaruh pemikiranYahudi atau lainnya.
26
Menyanggah pandangan Schacht, Ahmad Hasan menjelaskan andai kata bahwa kata hiqqish dalam istilah tafsir Bibel itu identik dengan qiyâs yang ada dalam
hukum Islam, masih harus dibuktikan bahwa qiyâs dalam hukum Islam itu dipinjam dari dari kata Yahudi tersebut. Dengan kata lain diperlukan bukti yang
memadai untuk menetapkan asal-usul dari qiyâs. Karena bahasa Arab dan bahasa Yahudi termasuk dalam rumpun bahasa yang sama, tampaknya kedua kata
tersebut mempunyai kesamaan arti, atau paling kurang hampir sama.
27
Dari sudut pandang sosiologis, setiap masyarakat menciptakan norma-norma dan pranata-
pranata sosialnya sendiri menurut kebutuhan masing-masing. Menjadi keliru untuk membuat asumsi pranata-pranata tersebut selalu mesti dipinjam dari pranata
asing, kecuali jika bisa dibuktikan sebaliknya. Jadi menurut penulis, prinsip- prinsip qiyâs muncul karena desakan kebutuhan sosial ummat Islam walaupun
dalam perkembangannya pada masa belakangan dipengaruhi oleh unsur asing. Hal yang sama terjadi pada qiyâs nahw. Terjadi perbedaan pendapat
tentang asal usul qiyâs. De Boer berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh pemikiran Persia. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Ibn al-Muqaffa’
w. 142 H adalah orang yang melapangkan jalan bagi orang-orang Arab untuk mengenal bahasa dan filsafat Persia.
28
Menurut Syauqi Dha’if, Ibn al-Muqaffa’ menyediakan jalan bagi masuknya pengaruh Yunani ke dalam ilmu nahw. Ia
menerjemahkan buku-buku Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Ia hidup sezaman bahkan berteman dengan al-Khalȋl ibn Ahmad w. 170 H. Besar kemungkinan al-
Khalȋl Ibn Ahmad mengenal logika Yunani lewat buku terjemahan Ibn al- Muqaffa’ tersebut.
29
Penelitian yang lebih belakangan menunjukkan bahwa al- Kalîl ibn ahmad tampaknya tidak memperoleh manfaat dari buku Ibn al-Muqaffa’
tersebut. Masih menurut de Boer juga, bahwa Pengaruh Logika Yunani yang
26
Ahmad Hasan, The Early Development…h, 125.
27
Ahmad Hasan, The Early Development…h, 126.
28
De Boer, Târîkh al Falsafah f
ȋ
al Islâm, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu
Ridah, Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Turjumah, 1938, h. 38.
29
Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyyah, Mesir: Dâr al-Manâr, 1976, h.30.
masuk ke dalam ilmu nahw bukan melalui terjemahan Ibn Muqaffa’ tetapi lewat terjemahan Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain.
30
Perbedaan pendapat tentang qiyâs juga terjadi tentang keabsahan qiyâs untuk dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengistinbatkan hukum dalam
Islam. Mayoritas ulama’ menerima qiyâs sebagai salah satu metoda ijtihad, walaupun dengan tingkat penerimaan yang berbeda. Tetapi Ibn Hazm menolak
qiyâs untuk dijadikan metode istinbat dalam hukum Islam.
Ibn Hazm adalah musuh besar bagi qiyâs. Yang mengherankan sebagai seorang ahli logika ia justru menolak qiyâs.
31
Ada beberapa alasan mengapa ia menentang penggunaan qiyâs dalam hukum. Ia mengakui penggunaan qiyâs
dalam ilmu fisika, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu keagamaan, terutama hukum Islam. Sebagai seorang ahli logika ia mempunyai pemikiran yang mendalam
tentang al-Qur’an dan menemukan hanya ada tiga sumber hukum: al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Ia berpendapat bahwa ummat Islam tidak dituntut untuk
mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki oleh Tuhan,
hal itu merupakan keputusan yang sewenang-wenang. Jika pintu sebab-akibat aturan-aturan syari’ah terbuka, maka akan banyak terjadi perselisihan di antara
manusia dan kekacauan akan melanda hukum. Menurutnya, dalam hukum tidak ada ruang bagi akal sama sekali. Hukum didasarkan pada nass yang diwahyukan
Tuhan.
32
Ia menganggap bahwa logika dan hukum adalah dua ilmu yang terpisah, dan merupakan kesalahan yang besar menyamakan satu dengan lainnya. Dalam
logika, sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah persepsi indera, penyelidikan dan sebab-sebab. Sedang dalam hukum sarana untuk memperoleh
pengetahuan adalah wahyu. Ada perbedaan besar antara objek yang tidak terlihat mughibat dengan objek-objek fisik thabî’iyyât. Benar bahwa hasil keduanya
30
De Boer, Târ
ȋ
kh.. ..h. 25.
31
Penolakan Ibn Hazm tehadap qiyâs ia bentangkan dalam bukunya Al-Ihkâm fî ushûl al- Ahkâm,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt dan bukunya tentang logika, al-Taqrîb li Hadd al- Mantiq,
Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
32
Abû Muhammad ‘Ali ibn Hazm, Al-Ihkâm…h. 515.
kadang- kadang bertepatan. Tetapi seseorang tidak boleh tertipu oleh ketepatan ini, karena premis kedua ilmu itu berbeda. Karena itu, syari’ah tidak boleh
disamakan dengan ilmu-ilmu kealaman. Syariah didasarkan pada premis-premis yang diambil dari al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ ulama’.
33
Argumen Ibn Hazm ini kemudian dipakai oleh Ibn Madhâ’ untuk menyerang qiyâs dalam nahw.
34
Yang menarik adalah bahwa keduanya sama-sama beraliran literalis. Pada umumnya
aliran literalis tidaklah terlalu menekankan persoalan yang berkaiatan dengan penggunaan logika.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan qiyâs, khususnya tentang asal usul konsep qiyâs masih menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh
para ahli. Dengan demikian masih layak untuk dijadikan objek penelitian. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan keyakinan mengenai gagasan tentang
konsep qiyâs dan asal usulnya.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah