Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam perspektif historis dan epistemologis

(1)

TESIS

Dimajukan untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Magister (MA) Dalam Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab

Disusun oleh:

ABDUL HAMID

Nim: 07.2.00.1.13.08.0030 Pembimbing:

Dr. Muhbib, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

Nama : Abdul Hamid

NIM : 07.02.00.1.13.08.0030

Pekerjaan : Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Agama : Islam

Menyatakan bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” merupakan hasil karya saya yang digunakan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (Magister) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, Agustus 2009


(3)

iii

berjudul “Qiyâs Ushûlî dan Qiyâs Nahw dalam Perspektif Historis dan

Epistemologis” oleh saudara Abdul Hamid, NIM. 07.02.00.1.13.08.0030,

Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maka kami dapat menyetujui untuk diajukan dalam ujian tesis.

Jakarta, Agustus 2009 Pembimbing,


(4)

iv

Tesis atas nama Abdul Hamid (NIM. 07.2.00.1.13.08.0030) dengan judul “QIYÂS USHÛLÎ DAN QIYÂS NAHWÎ DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS” telah lulus dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 29 Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI :

Ketua Sidang / Penguji,

Dr. Udjang Tholib, MA

Pembimbing / Penguji,

Dr. Muhbib, MA

Penguji,

Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, MA

Penguji,


(5)

v

PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS. Tesis. Jakarta: Program Studi Kajian Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009.

Tesis ini membuktikan bahwa qiyâs, baik yang ada pada ilmu ushûl al-fiqh maupun yang ada pada ilmu nahw mempunyai asal usulnya dalam kebudayaan Arab. Kesimpulan ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel dalam agama Yahudi. Kesimpulan ini juga berbeda dengan pandangan de Boer yang mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw berasal dari filsafat Yunani.

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa qiyâs dengan bebagai maknanya telah dipergunakan dalam bahasa dan kebudayaan Arab sebelum kedatangan Islam. Sesungguhnya qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw berasal dari ra’y yang karena tuntutan kebutuhan dan desakan sosial, berkembang menjadi lebih sistematis. Persamaan-persaman yang ada antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwi menunjukkan bahwa keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Penyebab lainnya adalah karena keduanya bersumber dari epistemology yang sama, yaitu epistemologi bayâni yang salah satu cirinya adalah adanya konsep ashl dan far’, mengembalikan status hukum kasus baru dengan cara menerapkan ketentuan hukum dari kasus yang telah ada ketentuannya, karena keduanya memiliki titik kesamaan tertentu, yang dalam istilah teknisnya disebut

‘illat. Ini merupakan prinsip utama dalam qiyâs.

Materi kata qiyas memang tidak terdapat dalam kedua sumber utama ajaran Islam. Tetapi kata atau ungkapan yang memiliki gagasan yang sama dengan qiyas banyak ditemukan pada kedua sumber utama tersebut. Misalnya kata

I’tabara mempunyai makna atau gagasan yang kurang lebih sama dengan kata qiyas, yaitu melakukan perbandingan antara dua hal dan mengambil pelajaran dari perbandingan tersebut. Demikian pula kata nazara yang mempunyai makna yang kurang lebih sebanding dengan qiyas. Pada sunnah terdapat peryataan yang bersifat perbandingan. Ketika Rasul diminta pendapatnya tentang kebolehan menyelenggarakan ibadah haji atas nama orang yang telah meninggal. Rasul membandingkan hal tersebut dengan kebolehan membayar hutang.

Ra’y merupakan cara penalaran alamiah yang dimiliki oleh semua bangsa, tidak dikhususkan kepada masyarakat tertentu. Dalam tahap perkembangannya ra’y berkembang kearah yang semakin sistematis. Secara berurutan menurut tahap perkembanganya dan tingkat kesistematisannya dapat di susun dengan susunan ra’y, istihsan dan qiyas. Hal ini menunjukkan bahwa qiyas berasal dari ra’y juga.

Sumber-sumber yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku tentang ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw, seperti al-Risalah, karya al-Syafi’i, al-Kitab, karya Sîbawaih dan buku-buku lain yang relevan dengan penelitian ini. Data dianalis secara kritis dengan pendekatan sejarah.


(6)

vi

Epistemologies Perspective. Thesis Jakarta: Islamic Studies Program, Arabic Language Education, UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

The result of the thesis proves that qiyas (analogy), either on the science of Usul al-fiqh (principle of Islamic law) or in nahw has its origins in the Arabic culture. The result of this research refuses Joseph Schacht’s opinion. Schacht stated that the existing qiyas (analogy) in fiqh (Islamic law) derived from the concept of Biblical exegesis in the Jewish religion. And also refuses de Boer’s opinion too; he stated that qiyas (analogy) in nahw sciences comes from Greek philosophy.

The results of the research analysis shows that the kinds of meaning qiyas been used in the Arabic language and culture before the arrival of Islam. Indeed qiyas is in usul al-fiqh (principle of Islamic law) and usul al-nahw (principle of nahw) came from ra'y that needs and demands of social pressure, developed into more systematic. The equations that exists between qiyas ushuli and qiyas nahwi show both are mutually affect one each other. Other causes, both are derived from the same epistemology, it is bayâni epistemology while one of its characteristic is the existence of the concept far and ashl ', restore the legal status of new cases by applying the legal provisions of the existing cases of its provisions, because they have certain common points, which called 'illat. This is the main principle in qiyas.

Perhaps the words material of qiyas do not found in two main sources of Islamic concept. But the words or phrases that have the same idea with qiyas, were found in that two main sources above. For example, the word “I’tabara” has the same meanings with qiyas that makes a comparison between two things then take a conclusion. Similarly with “nazara” that have the same meaning with qiyas, like sunnah have the same statement. When the messenger was asked his opinion about the permissibility of pilgrimage on behalf of people who have died, He compares it with the permissibility of paying debt.

Ra'y is a natural way of reasoning that possessed all nations, not devote to a particular community. According to its development, ra’y developed to high level systematic, that can be rank such as ra’y, istihsan dan qiyas. This condition indicates that qiyas cames from ra’y.

The primary resources analyzed on this research is books of principle of Islamic law (ushul fiqh) and ushul al-nahw such as al-Risalah written by al-Syafi’i, al-Kitâb written by Sîbawaihi and other books that relevant to this research. The data released critically based on historical approach.


(7)

vii

" %. ا

:

" 0 ا " '()ا 1ا " ا ه 3 %4 ".

$. ا ت (ار ا " $آ

٢٠٠٩

.

او 8 9 ا ل

أ +$ ل <

= س $ نأ $ ? $ ا ا@ه "< A B C&

ار@

" %. ا "= C ا = "

أو

.

= س ا نأ B 4 3(

8 ,

D ا ا@ه درو

ب 0 ا % 9& + ه 9

8 9 ا ل

أ

)

Bibel

(

" د I ا "A ا =

.

8 ,

در J @آو

د

)

de Boer

(

" A A ا "9 $9 ا

ا = س ا نأ

.

A . ?0 س ا نأ $ ? $ ا "< A ل &و

= "

BA آ "

ا I

م'()ا ? , " %. ا "= C او "#$ ا

.

ى@ ا يأ% ا

او 8 9 ا ل

أ = س ا نإ

ار N& ر N& "

ا ت

Oاو ت $N

ن آ

.

ا س ا

8 P ا

Q.

IQ. %RS& $ لد

او

.

A ا هو Oاو

ا

IA و

$ 8 0O TA , ى@ ا ?

ا +0O در هو ع%9 او ?

ا م I9 د و IVW VX

"$. ا = I&او

8 0O $ T + ى@ ا ع%9 ا

.

س ا = ( (أ ? أ ا@هو

.

( ( ا م'()ا ير V

= اد

0 + س ا Y9

.

وأ " $0 ا +0 و

& س

. ا " و

ا ةر . ا

Y9 ?C ، ( ( ا ر V ا J ذ = ا%

"

% ا

"

س

و

. 8

.

8 أر ل (% ا ]$^

" ( , ةر

،" ا =و

ا ءادأ زا < ل (% ا 8( , B ا

a ا ةد

ءادأ زا

نأ

.

ر N& 8&bPA "$O% و

. c < T

+ ا c < " . ^ ة% A يأ% ا

ر N& d <&

+

.

ا

ا $ ]&% 8

&و يأ% ا ر N& ن 0 ] &% او

:

س او ن

()او يأ% ا

.

يأ% ا

س ا نأ $ ل

هو

.

،

او 8 9 ا ل

b " $. ا ] 0 ا ه ? $ ا ا@ه = "

ا رد V ا

ا@I " ( ا ى%X ا ] 0 او ،8

ب 0 او ، .= P$ " (ا% آ

? $ ا

.

?$O +R

ر ا ?X

& ' $ & رد V ا J$&

.


(8)

viii

+ ا ا إ A 4رأو ،+ ا طا%V ا Aا ه ي@ ا ،+ . ا $. ا 1 أ .

A ( $ م' او ة'V او

8 f $ و ،+ %0 ا ا ،+( ا أ ما%0 ا 8 أو

.

Segala puji dan syukur hamba panjatkan kehadirat Allah SWT Rab al-‘Alamin. Dia-lah yang telah memberi potensi-potensi kecerdasan, pemberi rizki, pemotivasi jiwa. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan tesis dengan judul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, guna meraih gelar Magister Agama pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kepada Bapak Menteri Agama RI, Kepala Kantor Wilayah Depertemen Agama Provinsi Riau, dan Kepala Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan, Pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam (S. T. A. I) Tembilahan, penulis sampaikan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk belajar di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, guna peningkatan SDM dan profesionalitas penulis.

Kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fu’ad Jabali, MA, dan Dr. Udjang Thalib, MA selaku Direktur dan Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staf pengajarnya, penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas perhatian dan motivasinya.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Pembimbing, yaitu Dr. Muhbib,MA atas diskusi dan bimbingannya di sela-sela kesibukan beliau sebagai dosen tetap Fakultas Pendidikan Bahasa


(9)

ix

Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Pimpinan dan seluruh jajaran pengasuh Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan Riau, yang telah memberikan motivasi, dan tak lupa ucapan terima kasih yang tulus kepada teman- teman tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan atas persahabatannya yang hangat.

Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang baik dan ramah dalam bentuk peminjaman buku-buku maupun foto copy data-data yang penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah swt.

Kepada Ayahanda H. Jamaluddin Siddiq (alm), Ibunda Hamisah, Terima kasih telah membesarkan ananda dengan semangat keilmuan meskipun tanpa kekayaan. Ayahanda Ibrahim dan Ibunda Nurjannah (mertua), terima kasih atas bantuannya karena menjadi ikut direpotkan dengan kehadiran cucu, motivasi dan do’anya selama penulis menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Kepada sahabat-sahabatku pada program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan Program Magister terutama dalam penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.

Wa bi al khusus, ucapan terima kasih yang paling dalam dan tulus yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta, Dewiana, S. Ag yang telah menanggung beban berat mengambil alih beban membiayai dan mengasuh dua buah hati kita. Mawaddah (4 th) dan Najwa Izzati (1,5 th) maafkan ayah yang tidak bisa mendampingi kalian dan tidak sempat memberikan kasih sayang untuk


(10)

x

terakhirmu pada pada saat engkau menghadap Ilahi.

Akhir kata, semoga Tesis ini dengan segala keterbatasannya dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis, khsususnya dan para pembaca pada umumnya sehingga menjadi amal jariyah yang tiada akan terputus, dan menambah wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin.

Jakarta, Agustus 2009 Penulis


(11)

xi penelitian ini adalah:

A. Konsonan Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا Alîf Tidak dilambangkan

ب

Bâ’ B, b Be

ت

Ta’ T, t Te

ث

Tsâ’ Ts, ts Te dan es

ج

Jîm J, j Je

ح

Hâ’ H, h Ha (dengan garis di bawah)

خ

Kha’ Kh, kh Ka dan ha

د

Dâl D, d De

ذ

Dzâl Dz, dz De dan zet

ر

Râ’ R, r Er

ز

Zây Z, z Zet

س

Sîn S, s Es

ش

Syîn Sy, sy Es dan ye

ص

Shâd SH s SH dengan garis di bawah

ض

Dhâd D, d de dengan garis di bawah

ط

Thâ’ T, t te dengan garis di bawah

ظ

Zhâ’ Z, z zet dengan garis di bawah

ع

‘Ain ‘ koma terbalik di atas

غ

Ghain Gh, gh Ge dan ha

ف

Fâ’ F, f Ef

ق

Qâf Q, q Ki

ك

Kâf K, k Ka

ل

Lâm L, l El

م

Mîm M, m Em

ن

Nûn n, n En

و

Wâw w, w We

ـه

hâ’ h, h Ha

&

lâm alîf Lâ, lâ el dan a

ء

Hamzah ˏ apostrof


(12)

xii

َ Fathah a a

ِ

Kasrah i І

ُ

Dammah u u

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

َ...

ى Fathah dan yâ’ ai a dan i

َ...

و

Fathah dan wâw au a dan u

Contoh:


(13)

xiii

Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah

ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:

3ّ56 ا

7ّ56 ا

3 : al-Makkah al-Mukarramah

E. Syaddah

Syaddah/tasydîd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu.

Contoh:

89ّـ:ر

: rabbanâ

لّ;<

: nazzal

F. Kata Sandang

Kata sandang “ـ ا ” dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah dan huruf qamariyah maka ditulis “al”

Contoh:


(14)

xiv H. : Tahun Hijriyah

h. : Halaman

H.R : Hadis Riwayat

j. : Jilid

j. : Juz

M. : Tahun Masehi QS. : al-Quran Surat ra. : Ra iya Allâh ’anu

saw. : Sallallâ ‘Alaii wa Sallam swt. : Subhânahu wa Ta‘âla t.th. : Tanpa tahun

t.tp. : Tanpa tempat penerbit tp. : Tanpa penerbit


(15)

xv

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vii

D ا T $ ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Rumusan masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Signifikansi Penelitian ... 14

E. Kajian Terdahulu yang Relevan ... 15

F. Metode Penelitian ... 17

1. Sumber Data ... 17

2. Pendekatan ... 18

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II ORISINALITAS ILMU KEISLAMAN A. Klasifikasi Ilmu ... 21

B. Hubungan Fiqh dengan Bahasa Arab ... 30


(16)

xvi

C. Qiyâs Nahw ... 87

BAB IV STRUKTUR QIYÂS A. Ushul al-Fiqh ... 102

1. Kasus ‘Ashl ... 102

2. Kasus Cabang ... 120

3. ’Ilat ... 127

B . Ushûl al-Nahw ... 148

1. Ashl ... 148

2. Hukum ... 155

3. ’Illat ... 157

BAB V PENUTUP ... 162

A. Kesimpulan ... 162

B. Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 165


(17)

1

A. Latar Belakang Masalah

Istilah qiyâs dipergunakan dalam dua bidang ilmu keislaman yang berbeda yaitu ilmu ushȗl al-fiqh dan ilmu ushȗl al-nahw. Dalam ushȗl al-fiqh, qiyâs

ditempatkan pada posisi ke empat dari urutan dalil hukum, al-Qur’ân, sunnah, Ijma’ dan Qiyâs. Dalam teori hukum Islam, qiyâs lahir paling belakang. Ia dianggap sebagai prinsip, dasar atau sumber hukum yang ke empat, seperti sumber-sumber lainnya. Sebenarnya qiyâs adalah salah satu cara ijtihad dan bukan sebagai sumber hukum seperti yang digambarkan oleh ke empat perangkat teori hukum di atas.1 Alasannya adalah ia bukan hujjah (otoritas) dan bukan pula sumber yang berdiri sendiri. Ia merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk untuk mengungkap ketetapan hukum. Ia sepenuhnya bergantung pada sumber hukum yang lain, baik al-Qur’ân maupun sunnah. Terkadang ia didasarkan pada Ijma’, yang juga mencari dukungan pada kedua sumber tersebut. Dengan demikian semua sumber tersebut saling terkait dan pada dasarnya merujuk pada satu sumber, yaitu al-Qur’ân. Sedangkan fungsi qiyâs dalam ushul al- fiqh untuk memperluas hukum yang terdapat dalam al-Qur’ân dan sunnah. Karena tidak semua persoalan yang terjadi ada penjelasannya secara tekstual didalam al-Qur’ân dan sunnah.

Hampir sama dengan qiyâs yang ada di dalam ushûl al-fiqh, qiyâs dalam

ushûl al-nahw, ditempatkan pada posisi ketiga dalam deretan urutan dalil dalam cabang ilmu ini, yaitu al-sama’ atau al-riwâyah, ijma’ dan qiyâs. Fungsi qiyâs

dalam ushûl al-nahw untuk memperluas kalam Arab dengan cara mengqiyaskan pada pola bahasa yang ada.

1 Para ahli ushul al-fiqh membedakan antara dalil dan sumber hukum. Sumber merupakan

wadah yang darinya hokum diambil. Sedangkan dalil hanya merupakan petunjuk dimana letak keberadaan hukum. Dengan demikian al-Qur’an dan sunnah dapat disebur dengan sumber sekaligus dalil, sedangkan ijma’ dan qiyâs hanya dapat disebut dalil. Penjelasan lebih lanjut lihat

Muhammad Hasyim Kamali, The Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic


(18)

Beralih ke struktur2 qiyâs, kedua jenis qiyâs tersebut mempunyai banyak persamaan. Menurut al-Âmidî, dengan mengutip pendapat Abu Husain al-Bashri, mengemukakan definisi qiyâs sebagai “penerapan hukum ashl kepada far’ karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya”.3 Sedangkan dalam ilmu ushûl al-nahw, Ibn Anbari (w. 557 H) mendefinisikan qiyâs sebagai “membawa (haml) far’” kepada

asl karena ada ‘illat dan memberlakukan hukm asl kepada cabang tersebut.4 Dengan kata lain ketetapan hukum bagi kasus cabang (far’) didasarkan pada ketetapan hukum kasus pokok (ashl) karena ada sifat yang menghubungkan (wasf jâmi’) antara keduanya. Dengan membandingkan dua pengertian qiyâs di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok pembentuk qiyâs terdiri dari ashl, far’,

hukm ashl dan ‘illat. Ini memperlihatkan ada kesamaan antara dua jenis qiyâs

tersebut, yakni qiyâs dalam ushul al-fiqh dan qiyâs dalam ushul al-nahw. Persamaan lain dapat ditemukan ketika membandingkan macam-macam qiyâs dan cara-cara mencari ‘illat (masâlik al-‘illah). Sejumlah besar persamaan dapat ditemukan.

Dari sekian banyak kesamaan tersebut timbul pertanyaan apakah salah satu dari kedu jenis qiyâs tersebut dipengaruhi atau disalin dari lainnya? Terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli dalam mejawab persoalan ini. Ali Syâmi al- Nassyâr berpendapat bahwa qiyâs yang ada pada ilmu nahw dipengaruhi oleh

qiyâs dalam ushȗl al-fiqh.5 Alasannya adalah bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh lebih sistematis dibanding dengan qiyâs yang ada dalam ilmu nahw (ushul al-nahw). Menurut penulis alasan ini tidak cukup untuk membuktikan hal tersebut. Harus ada bukti kongkrit yang menunjukkan bahwa qiyâs dalam nahw

dipengaruhi oleh qiyâs dalam ushûl al-fiqh.

2 Struktur merupakan unsur-unsur pokok pembentuk qiyâs seperti kasus asal, kasus cabang,

hukum asl dan ‘illat (kausa). Lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence,

(Delhi: Adam Publishers and Distributors,1994), h. 10.

3 Saifuddin Abi Hasan al-Âmidî, Al-Ihkâm fȋ al-Ushȗl al-Ahkâm, (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2003), juz II, h. 126.

4 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’ al-Adillah, (ttp, 1988), h. 93. Bandingkan

dengan Said al-Afghâni, Fȋ Ushûl al-Nahwî, (Beirut: Al-Maktab Al-Islȃmi, 1987), h. 78.

5 Ali Syami al-Nassyar, Manâhij al-Bahs ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, (Iskandariah: Dȃr al- Fikr al-Arabî), 1947, h. 27.


(19)

Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap ilmu nahw sesungguhnya tidak hanya

terbatas di seputar qiyâs, tetapi bahkan hampir keseluruh bangunan qiyâs. Para ahli ilmu nahw (nuhât) mengakui bahwa mereka mengambil prinsip-prinsip ilmu mereka dari ushȗl al-fiqh Abu Hanîfah. Ibn Jinnî (w. 392 H) pernah berkata

bahwa para ahli nahw mengambil konsep tentang ‘illat dari kitab Muhammad ibn Hasan al-Syaibânî yang merupakan salah seorang murid Abu Hanîfah. Tetapi di dalam Khasâisnya, Ibn Jinni mengatakan bahwa qiyâs ahli nahw lebih dekat kepada qiyâs para teolog dibanding dengan ahli fiqh.6 Alasannya menurut Ibn Jinni adalah karena ‘illat dalam nahwu, dalam proses pencarian dan penetapannya sangat dekat dengan cara-cara yang dipakai oleh para teolog dalam menetapakan

‘illat yaitu berdasarkan phenomena yang dapat tertangkap oleh panca indera. Lain halnya dengan proses pencarian ‘illat dalam fiqh. Proses pencariannya seringkali bersifat ta’abbudi, dimana peran akal hampir tidak berfungsi atau kecil sekali, seperti ketika para ahli fiqh menjelaskan hubungan antara tergelincirnya Matahari dengan kewajiban shalat dzuhur.

Sesungguhnya yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara ushûl al-fiqh dengan ushûl al-nahw. Pada tahap awal perkembangannya ilmu ushûl al-Fiqh dipengaruhi oleh ilmu nahwu, khususnya berkaitan dengan pemikiran tentang ashl

dan far’ yang merupakan prinsip dalam qiyas. Pada masa yang lebih terkemudian, ilmu ushûl al-fiqh berkembang lebih cepat dari pada ilmu bahasa dan menjadi cabang ilmu yang berdiri sendiri. Pada tahap ini giliran ilmu bahasa yang dipengaruhi oleh ilmu ushûl al-fiqh, khususnya yang berkaiatan dengan struktur dalil dalam ilmu nahwu, banyak dipengaruhi oleh struktur dalil dalam ushûl al- fiqh.

Buku-buku yang mengulas tentang biografi para ahli nahw menyebutkan bahwa ‘Abdullah ibn Ishaq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang yang mula-mula merumuskan nahw, menetapkan qiyȃs, dan menjelaskan kausa (‘illat) dan sangat

teliti dalam mengupas qiyȃs. Juga di jelaskan bahwa al-Khalȋl ibn Ahmad al-

Farâhîdî (w. 175 H) berindak mengoreksi qiyȃs dan merumuskan masalah-

6 Abu al-Fath Utsmân ibn Jinnî, Al-khasâis, (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1982), juz l


(20)

masalah nahw dari kausanya.7 Sedangkan Sîbawaih (w. 180 H), dari buku yang ditulisnya al-Kitab terlihat bahwa qiyâs dalam nahw pada masa hidupnya telah menjadi alat untuk berfikir, untuk menghasilkan produk teoritis dalam wilayah konstruksi kata (nahw).

Dengan demikian pada tahap yang masih sangat awal ini, yaitu sebelum al-Syâfi’i menulis kitab al-Risalah, qiyâs dalam nahw telah melampaui tujuan asalnya dari hanya sekedar memperluas perkataan orang Arab, menjadi sebuah keniscayaan-keniscayaan kognitif yang tidak diambil dari perkataan orang Arab atau dari instink Arab. Dalam buku-buku biografi para ahli nahw juga disebutkan bahwa Muhammad ibn al-Mustanbar yang terkenal di daerah Qutrub (w. 204 H) yang tidak lain adalah murid Sîbawaih, menulis buku yang berjudul ‘illal fi al-Nahw. Setelah itu muncul beberapa buku yang mengulas tentang ‘illah dan qiyȃs al-nahwiyyah kemudian disusul buku-buku tentang metode nahw yang mencapai puncaknya pada Ibn Anbari yang menulis buku Luma’ al-Adillah, al-Inshȃf fi Masȃil al-Khilȃf. Penting untuk dicatat bahwa Ibn Sarrâj (w. 316 H) menulis

buku tentang ushul al-nahw dengan judul al-Ushul fi al-Nahw, sebuah karya yang didasarkan pada al-Kitâb Sîbawaih dalam bentuk yang sistematis.

Yang menarik untuk dicermati di sini bahwa proses penetapan dan perumusan metode kajian dalam nahw khususnya qiyȃs telah ada sejak al-Syafi’i

menulis al-Risȃlahnya dalam bidang Ushȗl al-Fiqh, sehingga memunculkan

pertanyaan, siapakah yang lebih dahulu merumuskan qiyȃs ? ahli nahw atau ahli

fiqh. Sulit untuk memberikan jawaban pasti. Namun sumber- sumber yang ada menunjukkan bahwa ahli nahw secara umum adalah lebih dahulu melakukan

qiyȃs secara sistematis. Sebab, jika fiqh untuk pertama kalinya dibangun

berdasarkan naql (al-Qur’ȃn dan sunnah), maka nahw sejak semula dibangun

berdasarkan qiyȃs. Secara definitif nahw adalah ilmu tentang standar penilaian

yang di induksi (istiqra’) dari perkataan orang Arab. Atau seperti yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i bahwa bahwa nahw adalah qiyȃs yang di ikuti (qiyâs

7 Muhammad ‘Abd al-Karȋm, Al-Wasȋt fȋ Tarȋkh al-Nahw al-‘Arabȋ, (Riyȃdh: Dȃr al-Sawȃf,

1992), h.49, Muhammad Thantȃwi, Nasy’ah al-Nahw, (Dȃr al- Manȃr, 1991) h. 46. Syauqi Dhaif,


(21)

yuttaba’).8 Sama halnya jika di tetapkan awal perumusan nahw dikembalikan kepada Abu al- Aswad al-Du’ali (w. 67 H) yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama merumuskan ilmu nahw atau kepada ‘Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadramî dimana para ahli nahw sepakat bahwa dia orang yang mengkaji nahw secara metodik dan mempraktikkan qiyȃs, namun harus diakui bahwa para ahli nahw

dari segi waktu, telah lebih dahulu mempraktikkan qiyȃs secara metodik.9

Terlepas dari persoalan siapa yang lebih dahulu, dari sumber yang ada terlihat jelas bahwa para ahli nahw menyalin perangkat-perangkat konsepsional dan metodis mereka dari para teolog dan ulama’ ushȗl al-fiqh. Hal ini berlangsung

sejak mereka mulai melakukan teoritisasi wacana nahw hingga filsafat nahw

mencapai puncaknya.

Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap nahw sangat nyata pada Ibn Anbari dan

al-Sayûti. Di dalam bukunya (Luma’al-Adillah), Ibn Anbari menyebutkan bahwa ilmu ushûl al-nahw sama seperti ilmu ushȗl al-fiqh. Ia merumuskan bab-bab

untuk qiyâs berikut pembagiannya sama seperti susunan yang ada dalam buku-buku ushȗl al-fiqh. Al-Sayȗti di dalam bukunya (Al-Iqtirâh) menyebutkan

kesamaan antara ilmu ushȗl al- fiqh dengan ilmu ushûl al-nahw, menyusun

bab-bab bukunya seperti susunan yang ada dalam ilmu ushȗl al-fiqh dan membagi qiyȃs menjadi qiyâs ‘illat, qiyâs syabah dan qiyâs thard. Sama seperti yang ada di

dalam ushûl al-fiqh.10

Contoh lain yang menunjukkan dipengaruhinya ilmu nahw oleh ushûl al-fiqh, dipakainya konsep ushȗl al-fiqh dalam ilmu nahw. Ketika mendiskusikan

dua kata kerja (fi’il) yang dimana para ahli ilmu nahw berbeda pendapat tentang apakah keduanya termasuk kata kerja (fi’il) ataukah kata benda (ism). Ibn Anbari (w. 577 H) berpendapat bahwa keduanya adalah kata kerja (fi’il). Selanjutnya ia mengatakan, bukti bahwa ni’ma dan bi’sa adalah kata kerja (fi’il), karena

8 Syauqi Dhaif, Al-Madȃris al-Nahwiyah,(Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979), h. 176.

Bandingkan dengan Khalid Sa’ad, Ushȗl al-Nahw, (Kairo: Maktabah al- Adȃb, 2006) h. 157.

9 Ini dapat dilihat pada buku-buku tentang ushûl nahw seperti Luma’ al-‘Adillah, Kitab al- Iqtirah dan buku-buku sejenis.

10 Lihat Jalâluddin Abdurrahmân ibn Abi Bakr al-Sayûti, Kitâb Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl

al-Nahwî, (Kairo: Al-Jâmiah, 1998), h. 10 dan Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al-Adillah, (Kairo: Al-Jâmiah, 1998), h. 8


(22)

keduanya selalu fathah. Seandainya kedua kata itu adalah kata benda (ism), harus dilengkapi bukti pendukung. Prinsip itu didasarkan pada ”istishâb al-hâl”.11 Istishâb merupakan salah satu dalil dalam ushȗl al-fiqh.

Dalam penetapan ushul, para ahli nahw secara keseluruhan menyalin konsep ushûl al-fiqh. Hal ini terjadi tidak hanya pada tingkat istilah dan klasifikasi, tetapi juga pada tingkat pendasaran dan struktur. Sejauh pengetahuan penulis, Ibn Anbari (w. 557 H) adalah orang yang menyalin secara utuh struktur umum ushûl al-fiqh dan menetapkannya bagi ushûl al-nahw. Ini terlihat jelas dalam risalah kecilnya yang berjudul Luma’ al-Adillah tersebut. Dalam pengantar buku tersebut tertulis bahwa ushûl al-nahw adalah dalil-dalil nahw yang dari sana lahir cabang dan bagian-bagiannya, sebagaimana ushûl al- fiqh adalah dalil- dalil

fiqh yang dari sana lahir totalitas dan detail-detailnya. Manfaat Ushûl al-nahw

adalah menjadi sandaran dalam berargumentasi dan kausasi dalam menetapkan hukum dan naik dari derajad taqlid menjadi mampu menetapkan hukum dengan dalil.12Persesuaian antara struktur ushûl al-fiqh dengan ushûl al- nahw tidak hanya terbatas pada tingkat definisi dan tujuan, sebab dalil-dalil nahw juga meminjam dalil-dalil fiqh dan sekaligus mengadopsi persoalan-persoalan dan problematika epistemologisnya. Dengan demikian dalil-dalil nahw secara berurutan ada tiga: al-naql (al-sama’), qiyâs dan istishâb al-hâl, demikian pula istidlâlnya. Yang dimaksud dengan al-naql adalah perkataan orang Arab yang fasih yang ditransmisikan secara valid (sahîh) dengan jumlah jalur periwayatan yang banyak. Dalam hal ini naql ada dua macam: mutawâtir dan âhâd. Naql mutawâtir adalah bahasa Al-Qur’ȃn dan sunnah serta perkataan orang Arab yang ditransmisikan

secara mutawâtir. Transmisi mutawâtir dan âhâd ini mempunyai beberapa syarat.13 Sedangkan qiyâs adalah ungkapan yang menunjukkan proses penetapan hukum kasus cabang berdasar hukum ashl. Jika dalam fiqh ada orang yang mengingkari argumentasi qiyâs, tidak demikian halnya dalam nahw, sebab nahw

11 Kamâluddin Abî Barakât ibn Anbari, Al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, (Kairo: Al-Istiqâmah,

1364 H), h. 73.

12 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al-Adillah, (Mesir: Al-Jȃmi’ah, 1988) h.81

13 Kamaluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’… h.81-85 bandingkan dengan Mahmûd


(23)

secara keseluruhan adalah qiyâs dan siapa yang mengingkari qiyâs berarti mengingkari nahw14 Sebenarnya penolakan terhadap qiyâs dalam nahw juga terjadi namun tidak seluas yang terjadi dalam wilayah fiqh. Dapat dilihat pada pandangan Ibn Madhâ’ yang menolak qiyâs dalam nahw.

Dalam karya tersebut selanjutnya diulas macam-macam qiyâs dengan meniru apa yang ada di kalangan ulama’ ushûl al-fiqh. Dengan demikian ada tiga macam qiyâs yaitu qiyâs ‘illah, qiyâs syibh dan qiyâs thard. Yang dimaksud dengan qiyâs ‘illah adalah apabila far’ dipersamakan dengan ashl sebab adanya ‘illah yang menghubungkannya dengan hukum asl, seperti mengqiyaskan nȃib al- fȃ’il kepada fȃ’il dengan ‘illat isnâd. Sedangkan qiyâs syibh adalah ketika

disamakan far’ dengan ashl karena adanya persamaan (bukan ‘illah) yang menghubungkan far’ dengan ashl. Misalnya i’rabnya fi’il mudhari’ (kata kerja untuk waktu sekarang) yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum karena memiliki kesamaan dengan kata benda (ism) yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum, maka i’rab fi’il itu seperti i’rab kata benda (ism). Sedangkan qiyâs thard adalah ketika ditemukan adanya persamaan hukum namun tidak ada persesuaian (munâsabah) dalam ‘illah. Terhadap jenis qiyâs yang ketiga ini terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahannya. Jelas pada ketiganya terdapat problem yang sama seperti yang tersebar dalam buku-buku fiqh dan ushûl al-fiqh seputar masalah qiyâs dan jenis-jenisnya, sehingga seolah-olah problematika nahw seolah-olah sama dengan problematika ushûl al-fiqh. Lebih lanjut dia juga membahas masalah istihsân dan kontradiksi antara naql dengan

naql dan qiyâs dengan qiyâs, setelah itu kembali kepada dalil yang ketiga yaitu

istishâb al-hâl yakni berlanjutnya hukum ashl untuk kata benda (ism) dalam keadaan mu’rab, dan berlanjutnya hukum untuk kata kerja (fi’il) dalam keadaan

mabnî.

Mahmûd Ahmad Nahlah15 dan Âbid al-Jâbiri berpendapat sejalan dengan pandangan di atas. Dengan menggunakan argumen historis al-Jâbiri mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw telah lebih dahulu matang dalam tulisan

14 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’… h. 82

15 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl Al-Nahwî al-‘Arabî, (Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah al-


(24)

Sîbawaih.16 Sementara qiyâs dalam ushȗl al-fiqh baru menemukan bentuknya

yang sistematis ketika al-Syâfi’i merumuskannya dalam tulisan-tulisannya.17 Dan al- Syâfi’i ketika merumuskan tesisnya tentang qiyâs dalam ushȗl al-fiqh tersebut

terjadi sekitar penghujung abad kedua hijrah, bahkan mungkin di awal abad ketiga hijrah.18 Jadi dari segi waktu jelas qiyâs dalam ilmu nahw lebih dahulu dirumuskan dan mencapai kematangannya pada saat qiyâs dalam ushûl al-fiqh

belum dirumuskan.19

Berbeda dengan al-Jâbiri, Mahmûd Ahmad Nahlah mempunyai argumen lain. Baginya, karena bahasa merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka bahasa hadir terlebih dahulu dibanding ilmu lainnya, termasuk dalam hal ini qiyâs. Istilah dan konsep bahasa sering dipinjam oleh disiplin ilmu lain.20 Riwayat berikut memperlihatkan pengaruh ilmu nahw terhadap ushûl al-fiqh.

Seorang ahli fiqh yang bermazhab al-Syâfi’i, Ibn al-Haddâd al-Misrî mengkhususkan satu malam tertentu di dalam seminggu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan fiqh berdasarkan kaidah nahw. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Abu Ja’far al-Nahhâs al- Misrȋ tidak pernah absen menghadiri

majlis Ibn al-Haddâd tersebut.21 Jamâl al-Dîn al-Isnawi menulis sebuah buku yang berjudul al-Kawâkib al-Durriyyah fȋ al-tanzîl al-furû’ al-fiqhiyyah ‘alâ al-Qawâid al-nahwiyyah. Judul buku tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa ushûl al-fiqh dipengaruhi oleh ilmu nahw.

Qiyâs dalam ilmu nahw boleh jadi juga dipengaruhi oleh ilmu kalam. Mengingat banyak tokoh-tokoh ilmu nahw menganut teologi mu’tazilah. Sîbawaih, Al-Farrâ’, Abu Ali al-Fârisi, al-Rummânî, Ibnu Jinnî dan Al- Zamakhsyari adalah beberapa tokoh ilmu nahw yang yang menganut paham

16 Untuk biografi Sîbawaih lihat Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyah, (Mesir: Dâr

al-Ma’ârif, 1976), h, 57. Muhammah ’Abd al-Karim, Al-Wasith Fi Târikh al-Nahw al-‘Arabi,

(Riyadh: Dâr al-Syawaf, 1992), h, 58. Muhammad al-Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr

al-Manâr, 1991), h, 47.

17 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut, Al-Markaz al-Saqâfi al- Arabi, 1991), h. 100

18 Al-Syâfi’i Wafat tahun 205 Hijriyah, kuat dugaan bahwa dia menulis buku Al-Risalahnya

beberapa tahun menjelang wafatnya.

19 Muhammad ‘Âbid Al-Jâbiri, Takwîn…h.50.

20 Muhammad ‘Abid Al-Jâbiri, Takwîn…h.52.

21 Abû Bakr Muhammad ibn Hasan al-Zubaidi, Tabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn,


(25)

mu’tazilah. Adalah Mungkin metodologi kalam mu’tazilah tersebut, khususnya analogi, masuk ke dalam ilmu nahw.22Dalam ilmu kalam dikenal ada istilah qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid, membandingkan yang tidak nyata dengan yang nyata.

Pengaruh wacana teologis dalam wacana nahw sepanjang abad ketika ilmu teologi tumbuh dengan pesat. Konsep dan persoalan teoritis nahw banyak diambil dari teolog. Mereka sangat menyukai metode diskusi, dialektika dan analisa. Misalnya mereka menghubungkan konsep gerak (harakah) dalam wilayah teologis dengan dengan harakah dalam i’rab, mereka melarang menggabungkan dua i’rab dengan bersandar pada landasan yang dijadikan pegangan oleh para teolog, yaitu landasan yang mengatakan bahwa dua faktor yang berpengaruh (al-muatsirâni ) tidak bisa dikumpulkan di satu tempat. Ilmu nahw juga dipengaruhi oleh ilmu hadits. Ilmu nahw menggunakan metoda ilmu hadits untuk menentukan kriteria riwayat-riwayat yang bisa diterima dari kalam Arab.

Perbedaan pendapat tentang qiyâs tidak berakhir sampai di situ. Pada ranah epistemologis terjadi perbedaan pendapat. Qiyâs adalah bentuk penalaran yang sistematis baik dalam bahasa maupun dalam ushûl al-fiqh. Sebelum menjadi ajaran yang komplek di tangan Sîbawaihi dan al-Syâfi’i, qiyâs pada awalnya hanya merupakan bentuk penalaran sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan minor yang logis dengan faktor-faktor esensial yang sama belumlah muncul. Waktu itu qiyâs hanya merupakan pengutipan preseden yang mirip atas sebuah kasus yang analog. Suatu persamaan sederhana sudah dapat dilakukan qiyâs. Misalnya, dalam bahasa Arab, ketika para ahli nahw

mengqiyâskan sejumlah kata sifat dengan kata kerja dari segi bahwa kata sifat tersebut dapat beramal seperti kata kerja (fi’il). Dalam kasus fiqh hal yang sama juga terjadi. Contohnya seperti kasus berikut.

Jika seorang pencuri mengumpulkan barang-barang di suatu tempat dalam rumah yang ingin dicurinya, tetapi barang tersebut tidak diangkutnya keluar rumah, maka tangan orang tersebut tidak dipotong. Kasus ini sejajar (diqiyâskan) dengan kasus seseorang yang menyiapkan minuman keras di hadapannya untuk

22 Lihat Said al-Afghâni, Fȋ al-Ushȗl al-Nahwî, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1987), h. 103-104.


(26)

diminum, tapi dia tidak meminumnya, orang ini tidak dikenai hukuman hadd bagi kejahatan tersebut.

Tapi pada tahap selanjutnya, terutama setelah masa Sȋbawaihi dan al-

Syâfi’i, qiyâs berkembang menjadi ajaran yang komplek dan sistematis karena dilengkapi dengan sejumlah syarat yang ketat.23 Maka wajar kemudian muncul pertanyaan dari mana orang Arab memperoleh gagasan tentang qiyâs? Apakah

qiyâs merupakan hasil pemikiran orang Arab yang lahir karena kebutuhan sosial mereka atau berasal dari luar?. Apalagi jika dibandingkan dengan qiyâs yang ada dalam logika Yunani, maka menjadi wajar jika terjadi perbedaan pendapat seputar asal usul qiyâs tersebut.

Joseph Schacht, dalam The Origins berpendapat bahwa qiyâs dalam ushȗl al-fiqh dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi.24 Menurut Schacht, qiyâs diturunkan dari istilah tafsir dalam agama Yahudi hiqqish, dari akar kata bahasa Aramea

naqsh yang berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kata tersebut dipergunakan untuk arti berikut. Pertama, untuk penjajaran dua pokok masalah dalam Bibel, dan menunjukkan bahwa keduanya harus diperlakukan dengan cara yang sama. Kedua, mengenai kegiatan penafsir Bibel yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis dan ketiga, untuk kesimpulan dengan analogi, berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus lain yang disejajarkan. Arti yang ketiga ini menurut Schacht identik dengan qiyâs yang ada dalam ushȗl

fiqh.25

Ahmad Hasan mempunyai pendapat yang berbeda dengan Schacht. Menurut Ahmad Hasan, qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat

23 Untuk penjelasan rinci tentang qiyâs dalam ushȗl fiqh lihat Ahmad Hasan, Analogical

Reasoning in Islamic Jurisprudence,(Delhi: Adam Publishers And Distributors, 1994), h. 200-250

danal-Âmidi, al-Ihkam…,Hasyim Kamali, The Principle of Islamic Jurisprudence, (Cambridge:

The Islamic texts society, 1991), h. 197-226. Sedangkan untuk pembahasan rinci tentang qiyâs dalam ilmu nahw lihat Muna Ilyas, Al-Qiyâs fî al-Nahwî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), dan Muhammad Hasan ‘Abd al-Azîz, Al-Qiyâs fî al-Lughah al- Arabiyyah, (Beirut: Dâr Fikr al-Arabi, 1995).

24 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford, 1959), h.

99


(27)

Arab Islam, bukan berasal dari pengaruh pemikiranYahudi atau lainnya.26 Menyanggah pandangan Schacht, Ahmad Hasan menjelaskan andai kata bahwa kata hiqqish dalam istilah tafsir Bibel itu identik dengan qiyâs yang ada dalam hukum Islam, masih harus dibuktikan bahwa qiyâs dalam hukum Islam itu dipinjam dari dari kata Yahudi tersebut. Dengan kata lain diperlukan bukti yang memadai untuk menetapkan asal-usul dari qiyâs. Karena bahasa Arab dan bahasa Yahudi termasuk dalam rumpun bahasa yang sama, tampaknya kedua kata tersebut mempunyai kesamaan arti, atau paling kurang hampir sama.27 Dari sudut pandang sosiologis, setiap masyarakat menciptakan norma-norma dan pranata-pranata sosialnya sendiri menurut kebutuhan masing-masing. Menjadi keliru untuk membuat asumsi pranata-pranata tersebut selalu mesti dipinjam dari pranata asing, kecuali jika bisa dibuktikan sebaliknya. Jadi menurut penulis, prinsip-prinsip qiyâs muncul karena desakan kebutuhan sosial ummat Islam walaupun dalam perkembangannya pada masa belakangan dipengaruhi oleh unsur asing.

Hal yang sama terjadi pada qiyâs nahw. Terjadi perbedaan pendapat tentang asal usul qiyâs. De Boer berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh pemikiran Persia. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Ibn al-Muqaffa’ (w. 142 H) adalah orang yang melapangkan jalan bagi orang-orang Arab untuk mengenal bahasa dan filsafat Persia.28 Menurut Syauqi Dha’if, Ibn al-Muqaffa’ menyediakan jalan bagi masuknya pengaruh Yunani ke dalam ilmu nahw. Ia menerjemahkan buku-buku Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Ia hidup sezaman bahkan berteman dengan al-Khalȋl ibn Ahmad (w. 170 H). Besar kemungkinan

al-Khalȋl Ibn Ahmad mengenal logika Yunani lewat buku terjemahan Ibn

al-Muqaffa’ tersebut.29 Penelitian yang lebih belakangan menunjukkan bahwa al-Kalîl ibn ahmad tampaknya tidak memperoleh manfaat dari buku Ibn al-Muqaffa’ tersebut. Masih menurut de Boer juga, bahwa Pengaruh Logika Yunani yang

26 Ahmad Hasan, The Early Development…h, 125.

27 Ahmad Hasan, The Early Development…h, 126.

28 De Boer, Târîkh al Falsafah fȋ al Islâm, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu

Ridah, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Turjumah, 1938), h. 38.


(28)

masuk ke dalam ilmu nahw bukan melalui terjemahan Ibn Muqaffa’ tetapi lewat terjemahan Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain.30

Perbedaan pendapat tentang qiyâs juga terjadi tentang keabsahan qiyâs

untuk dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengistinbatkan hukum dalam Islam. Mayoritas ulama’ menerima qiyâs sebagai salah satu metoda ijtihad, walaupun dengan tingkat penerimaan yang berbeda. Tetapi Ibn Hazm menolak

qiyâs untuk dijadikan metode istinbat dalam hukum Islam.

Ibn Hazm adalah musuh besar bagi qiyâs. Yang mengherankan sebagai seorang ahli logika ia justru menolak qiyâs.31 Ada beberapa alasan mengapa ia menentang penggunaan qiyâs dalam hukum. Ia mengakui penggunaan qiyâs

dalam ilmu fisika, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu keagamaan, terutama hukum Islam. Sebagai seorang ahli logika ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang al-Qur’an dan menemukan hanya ada tiga sumber hukum: al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Ia berpendapat bahwa ummat Islam tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki oleh Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-wenang. Jika pintu sebab-akibat aturan-aturan syari’ah terbuka, maka akan banyak terjadi perselisihan di antara manusia dan kekacauan akan melanda hukum. Menurutnya, dalam hukum tidak ada ruang bagi akal sama sekali. Hukum didasarkan pada nass yang diwahyukan Tuhan.32

Ia menganggap bahwa logika dan hukum adalah dua ilmu yang terpisah, dan merupakan kesalahan yang besar menyamakan satu dengan lainnya. Dalam logika, sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah persepsi indera, penyelidikan dan sebab-sebab. Sedang dalam hukum sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah wahyu. Ada perbedaan besar antara objek yang tidak terlihat (mughibat) dengan objek-objek fisik (thabî’iyyât). Benar bahwa hasil keduanya

30 De Boer, Târȋkh....h. 25.

31 Penolakan Ibn Hazm tehadap qiyâs ia bentangkan dalam bukunya Al-Ihkâm fî ushûl

al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt) dan bukunya tentang logika, Taqrîb li Hadd al-Mantiq, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt).


(29)

kadang- kadang bertepatan. Tetapi seseorang tidak boleh tertipu oleh ketepatan ini, karena premis kedua ilmu itu berbeda. Karena itu, syari’ah tidak boleh disamakan dengan ilmu-ilmu kealaman. Syariah didasarkan pada premis-premis yang diambil dari al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ ulama’.33 Argumen Ibn Hazm ini kemudian dipakai oleh Ibn Madhâ’ untuk menyerang qiyâs dalam nahw.34 Yang menarik adalah bahwa keduanya sama-sama beraliran literalis. Pada umumnya aliran literalis tidaklah terlalu menekankan persoalan yang berkaiatan dengan penggunaan logika.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan qiyâs, khususnya tentang asal usul konsep qiyâs masih menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh para ahli. Dengan demikian masih layak untuk dijadikan objek penelitian. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan keyakinan mengenai gagasan tentang konsep qiyâs dan asal usulnya.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat di identifikasi beberapa masalah. Dari kesamaan yang begitu banyak antara qiyâs ushûlî dengan qiyâs nahwî adalah layak untuk menjadi pertanyaan, pertama, bahwa Apakah salah satu dari kedua jenis qiyâs tersebut dipengaruhi oleh lainnya atau keduanya saling mempengaruhi dan seperti apa sifat keterpengaruhan itu. Kedua, dari mana orang Arab mendapatkan gagasan tentang qiyâs, Apakah qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab, dengan kata lain merupakan produk pemikiran Arab, atau diambil dari budaya lain. Dan terakhir, mengenai keabsahan qiyâs

sebagai metode penalaran hukum. 2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam tesis ini dibatasi hanya pada masalah yang kedua yaitu mengenai asal-usul atau

33 Abû Muhammad ‘Ali ibn Hazm, Al-Taqrîb…h. 144, 163, 170 dan 202.

34 Lihat Abû al-Abbâs Ahmad ibn Abdirrahmân ibn Madha’, Al-Radd ‘ala Al-Nuhât,

(Kairo: Dâr al-Fikr Al-‘Arabi, 1949). Seluruh buku tersebut diarahkan untuk mengkritik ilmu nahw, khususnya konsep ‘âmil dan qiyâs.


(30)

sumber qiyâs. Mengenai masalah pertama, yaitu keterpengaruhan atau tepatnya saling mempengaruhi antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwî, sejumlah studi telah dilakukan oleh para peneliti. Kajian perbandingan yang cukup bagus tentang topik ini dapat dilihat pada karya Mahmûd Ahmad Nakhlah, yang membandingkan struktur dalil dalam ushûl al-fiqh dengan struktur dalil dalam ushûl al-nahw. Dengan cara yang hampir sama, Ibn Anbari juga melakukan perbandingan antara struktur dalil ushûl al-fiqh dengan dalil ushûl al-nahw. Karya ‘Abid al-Jâbiri, membandingkan dua jenis qiyâs tersebut dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa kedua qiyas tersebut berasal dari epistemologi yang sama yaitu epistemologi bayâni.35 Dengan demikian penulis tidak lagi perlu membahas topik tersebut. Sedangkan untuk masalah yang ketiga, yaitu tentang keabsahan qiyâs, pada prinsip qiyâs dapat dipakai sebagai salah satu metoda penetapan hukum.dengan demikian topik tersebut tidak cukup menarik untuk dibahas.

3. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dijadikan objek penelitian ini memastikan geneologis qiyas. Apakah memang murni berasal dari produk pemikiran atau kebudayaan Arab, atau berasal dari kebudayaan non Arab.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk, pertama, mendeskripsikan asal usul qiyâs termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kedua, Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan qiyâs sampai pada tingkat kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang di sekitar qiyâs, dan untuk mengetahui dan menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh budaya non Arab ikut berperan dalam pembentukan qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun qiyâs nahwî.

D. Signifikansi Penelitian

Signifikansi yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya untuk pertama,Mengkaji konsep awal tentang qiyas. Kedua, Mengkaji perkembangan

35 Kajian tentang perbandingan qiyâs tersebut dapat diihat pada karya-karya berikut.

Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw


(31)

lebih lanjut tentang konsep qiyâs sampai pada tahap kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang diseputar qiyâs. Manfaat lainnya, agar menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti lain untuk melanjutkan penelitian di bidang ini. Studi perbandingan antara qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh dan nahw untuk

kemudian dibandingkan dengan analogi yang ada dalam logika formal mungkin dapat dijadikan objek penelitian lanjutan.

E. Kajian Terdahulu Yang Relevan

Objek penelitian dalam tesis ini memang bukan merupakan objek penelitian yang benar-benar baru. Sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap objek ini. Akan tetapi menurut hemat penulis, masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan mungkin dikaji ulang terhadap hasil penelitian terdahulu tersebut. Di antara para peneliti yang telah mengkaji topik ini antara lain Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence,36 yang menyimpulkan bahwa qiyâs dalam hukum Islam berasal dari qiyâs yang ada dalam agama Yahudi. Tetapi Schacht tidak menjelaskan bagaimana proses masuknya gagasan tentang qiyâs yang ada dalan agama Yahudi tersebut masuk atau tepatnya diadopsi oleh para ahli hukum Islam.

Berbeda dengan Schacht, Ahmad Hasan dalam The Early Development of Islamic Jurisprudence,37 mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh

bukan berasal dari agama Yahudi atau budaya asing lainnya, melainkan ia muncul sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab Islam. Tapi perlu penjelasan lebih lanjut mengenai proses pembentukan qiyâs tersebut sampai pada tingkat kematangannya seperti sekarang ini. Bisa jadi dalam perkembangannya qiyâs

mendapat pengaruh dari budaya asing.

Beralih ke qiyâs dalam ilmu nahw. Secara umum pendapat tentang qiyâs

dalam ilmu nahw dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka

36 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, london: Oxford University

Press, 1959. Topik yang sama lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law,

United kingdom: Cambridge University Press, 2005. Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law,

(Great Britain: Curzon Press, 1999).

37 Lihat Ahmad Hasan, The Early Develofment of Islamic Jurisprudence, (Islamabad:

Islamic Research Institute, 1970), dan Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, (Islamabad:


(32)

yang berpendapat bahwa qiyâs berasal dari budaya asing. De Boer dalam Târȋkh al-Falsafah fî al-Islâm, berpendapat bahwa qiyâs nahw dipengaruhi oleh budaya Persia. Ia menjelaskan bahwa Ibn al-Muqaffa’ menterjemahkan buku-buku yang berasal dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dan al-Khalȋl ibn Ahmad

memperoleh gagasan tentang qiyâs dari buku-buku tersebut. Di buku yang sama de Boer juga berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh logika Yunani lewat buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain. Pendapat ini di ikuti oleh Syauqi Dhaif. Pendapat ini menjadi diragukan karena qiyâs telah ada dalam ilmu nahw sebelum terjadinya penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.

Kelompok kedua berpendapat bahwa qiyâs yang ada dalam ilmu nahw

telah ada seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Ia lahir dan tumbuh dalam sistem bahasa Arab itu sendiri dan tak ada hubungan sama sekali dengan budaya asing. Pandangan seperti ini dianut oleh Thantâwi,38 Abbâs Hassân,39 Affâf Hasanain40 Taufiq Muhammad Syâhin.41 Pandangan seperti ini tidak melihat kenyataan bahwa bahasa Arab itu hidup dan tumbuh berdampingan bahkan telah didahului oleh budaya lain. Dan sulit untuk mengatakan bahwa bahasa itu tidak sama sekali dipengaruhi oleh unsur asing.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw ada dan tumbuh seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh unsur asing, khususnya logika Yunani. Menurut penulis, hal ini merupakan pandangan yang moderat. Masuknya pengaruh asing ke dalam bahasa Arab, khususnya logika Yunani, memang telah terjadi walaupun terdapat penolakan. Perdebatan terbuka yang terjadi antara Yunus ibn Matta yang mewakili filosof dan al-Sirâfi yang mewakili para ahli

nahw, tentang manfaat relatif logika dapat ditafsirkan sebagai cermin kegelisahan

38 Muhammad Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1991).

39 Abbâs Hassân, Al-Lughah wa al-Nahwu Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Mesir: Dâr al-

Ma’ârif, 1971).

40 Affâf Hasanain, Fî Adillah al-Nahwî, (Mesir: Al-Maktabah al-Akâdimiyyah, 1996).

41 Taufiq Muhammad Syâhin, ’Awâmil Tanmiyyah al-Lughah al-Arabiyyah, (Kairo:


(33)

para ahli nahw tentang masuknya unsur asing ke dalam bahasa Arab.42 Pandangan seperti ini dianut oleh Muhammad Husain Ali Yasin,43 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm,44 Tammâm Hassân45 dan Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân.46

F. Metodologi Penelitian

1. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalan dua kelompok, sumber primer dan sumber sekunder.

Untuk sumber yang berkaitan dengan ushȗl al-fiqh, sumber utamanya

adalah Al-Risalah karya al-Syâfi’i, al-Muwattha’ karya Mâlik, Kitâb al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Husain al-Bashri dan buku-buku lain yang relevan.

Karya al-Syâfi’i dipilih karena karya itu merupakan buku ushȗl al-fiqh

pertama dan secara cukup jelas memperlihatkan konsep qiyâs. Sedangkan Al- Muwatta’, meskipun secara umum merupakan buku kumpulan hadits, namun buku tersebut memuat metodologi penalaran hukum Mâlik, yangs secara implisit memberikan gambaran awal terhadap perkembangan konsep qiyâs. Schacht, sejauh pengetahuan penulis adalah orang pertama yang meyakini bahwa qiyâs

dalam ushȗl al-fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel Yahudi. Sedangkan Ahmad

Hasan melakukan penelitian tentang qiyâs dan dalam beberapa hal kesimpulan penelitiannya berbeda pandangan dengan Schacht.

Untuk sumber utama tentang qiyâs nahw, penulis menggunakan buku Al- Kitab karya Sîbawaihi, Luma’ al-Adillah, al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, keduanya karya Ibn Anbari, dan Kitab al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushȗl al-Nahwî karya al-Sayȗthi.

Demikian pula karya Ibn Sarrâj yang telah disebutkan diatas, yaitu Ushul fi al-nahw dan buku-buku lainnya tentang nahw.

42 Perdebatan ini dapat dilihat dalam, Abu Hayyân al-Tauhîdi, Al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah,

(Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1939). Dalam perdebatan yang berakhir dengan vonis yang dijatuhkan oleh Al-Sirâfi terhadap para filosof bahwa mereka telah membuat bahasa di dalam bahasa.

43 Muhammad Husain Ali Yâsin, Al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, (Beirut: Dâr

al-Maktabah al-Hayah, 1980), h. 90-91.

44 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm, Al-Dars al-Nahw fî al-Qarn al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah al- Adab, 2004), h. 187.

45 Tammâm Hassân, Al-Ushûl, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 2000).

46 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwî ‘Inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah


(34)

Karya Sîbawaih, al-Kitab, memperlihatkan dengan sangat jelas bagaimana

qiyâs telah dipakai dalam penalaran kebahasaan. Sedangkan Ibn Anbari berada pada era di mana pertentangan antara aliran Kufah dan Basrah sudah sedemikian luasnya, khususnya dalam penggunaan qiyâs. Al-Sayȗthi mewakili puncak

kematangan ilmu ushȗl al-nahw.

Sedangkan untuk sumber sekunder, baik untuk ushȗl al-fiqh dan ushûl al-nahw, penulis mempergunakan buku-buku ushȗl al-fiqh dan ushûl al-nahw, dan

buku-buku lain yang relevan untuk penelitian ini. 2. Pendekatan

Penelitian ini mengkaji basis epistemologis qiyâs dan pengaruh pemikiran asing (Yunani) terhadap qiyâs. Pendekatan yang akan dipakai adalah pendekatan sejarahdan filsafat. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat. Objeknya adalah membahas tentang sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era sejarah tertentu.47 Pendekatan filsafat digunakan untuk mengkaji struktur-struktur pembentuk qiyâs untuk mengetahui basis epistemologisnya. Singkatnya, metode ini dipergunakan untuk mengungkap perangkat pemikiran dan prinsip-prinsip dasar yang melahirkan qiyâs. Dengan ini diharapkan dapat diketahui asal-usul pemikiran tentang qiyâs dikalangan ahli bahasa dan ahli ushȗl al-fiqh.

Pendekatan sejarah dipakai untuk melacak adanya pengaruh pemikiran asing terhadap konsep qiyâs ini. Juga untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk dan sifat keterpengaruhan itu. Umpamanya jika dikatakan bahwa qiyâs

dipengaruhi oleh pemikiran Yunani, maka pernyataan ini perlu dibuktikan dengan bukti-bukti kesejarahan yang dapat menjelaskan proses masuknya pemikiran Yunani itu ke dalam Islam dengan melihat buku-buku sejarah yang ditulis tentang keterpengaruhan pemikiran Islam oleh pemikiran Yunani.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Setelah data terkumpul maka akan dilakukan langkah analisa data sebagai berikut. Pertama, menganalisis dan membanding unsur-unsur pokok struktur kedua qiyâs tersebut. langkah ini dilakukan untuk mendapatkan penjelasan


(35)

tentang sebab terjadinya kesamaan antara kedua qiyâs. Juga untuk mengetahui Epistemologi qiyâs tersebut. Kedua, melakukan kajian kritis terhadap sejarah masuknya pemikiran asing ke dalam Islam dan motif yang melatarbelakangi penerjemahan buku-buku Yunani secara massif. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah pendekatan sejarah. langkah ini dilakukan untuk mengetahui kapan masuknya pemikiran asing ke dalam Islam.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan ditulis dalam lima bab, yakni pendahuluan, orisinalitas ilmu keislaman, qiyâs: awal mula dan perkembangannya, struktur qiyâs dan terakhir merupakan penutup dan kesimpulan.

Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasai penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan landasan teori yang menjelaskan bahwa qiyâs yang terdapat pada ilmu ushûl al-fiqh dan pada ushûl al-nahw memiliki landasan epistemologisnya dalam kebudayaan Arab Islam. Bab ini bertujuan untuk melihat hubungan qiyâs yang ada dalam ushûl al-Fiqh dan ushûl al-nahw tersebut. Juga akan dibahas pendapat sejumlah sarjana Barat yang mengatakan bahwa qiyâs

yang ada pada dua disiplin ilmu tersebut berasal bukan dari produk budaya Arab sendiri, melainkan berasal dari luar. Disamping akan dikemukakan pula sanggahan atau keberatan atas pandangan tersebut.

Bab ketiga membahas tentang qiyâs yang mencakup awal mula dan perkembangannya. Ini merupakan bab inti. Pada bab ini akan dibahas mengenai penggunaan qiyâs oleh para ahli hukum awal di daerah perkembangan pemikiran hukum, Madinah dan Iraq. Termasuk proses perkembangan qiyâs pada era al-Syâfi’i dan sesudahnya. Disamping itu juga akan dibahas tentang penggunaan

Qiyâs dalan ilmu nahw oleh para ahli nahw awal seperti al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaihi dan tokoh yang seangkatan dengannya. Tujuan utama bab ini untuk memberikan gambaran bagaimana qiyâs telah dipakai oleh para ahli hukum dan


(36)

ahli nahw sejak masa-masa awal, sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku asing, utamanya buku-buku filsafat dari Yunani kedalam bahasa Arab.

Bab ke empat membahas tentang struktur qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun

qiyâs nahwî, yang mencakup kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat. Bab ini akan membahas tentang unsur-unsur pokok qiyâs, persyaratan yang ditetapkan oleh ahli ushûl al-fiqh dan ahli nahw bagi keabsahan persyaratan tersebut. Perbedaan pendapat mereka tentang persyaratan tersebut juga akan dibahas. Bab ke tiga dan ke empat ini sekaligus merupakan pembuktian bahwa qiyâs yang ada pada ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw tersebut memang berasal dari produk pemikiran Arab Islam, bukan berasal dari produk budaya asing. Ini dibuktikan dengan tidak adanya kesamaan antara struktur qiyâs Ushûl al-fiqh dan qiyâs al-nahw dengan struktur analogi dalam filsafat.

Bab kelima merupakan bab penutup dan kesimpulan. Bab ini berisi temuan-temuan penting yang di dapat dari pembahasan bab-bab sebelumnya.


(37)

21

A. Klasifikasi Ilmu

Menurut Makdisi, pada masa klasik pengetahuan Islam terbagi ke dalam tiga Kelompok.1 Pertama, kelompok pengetahuan yang disebut dengan adâb

(sastra), yaitu pengetahuan yang terkait dengan bahasa.Termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu nahw (tata bahasa Arab), puisi (syi’ir), balâghah (keindahan bahasa), retorika, seni menulis surat dan sejarah. Kedua, kelompok pengetahuan yang disebut dengan ilmu-ilmu agama. Ke dalam kelompok pengetahuan ini, termasuk pengetahuan yang terkait dengan al-Qur’ân (ulûm al-Qur’ân), ilmu-ilmu yang terkait dengan hadist (ulûm al-hadits), hukum Islam (fiqh), teologi dan tasawwuf. Ketiga, kelompok pengetahuan asing atau kuno. Termasuk dalam pengetahuan ini adalah ilmu-ilmu yang berasal dari kebudayaan di luar Arab, seperti filsafat.

Klasifikasi ini membantu menjelaskan sumber pengetahuan tersebut. Filsafat, berikut seluruh cabang-cabangnya jelas berasal dari kebudayaan Yunani. Ilmu nahw, balâghah, syi’ir dan lainnya, yang masuk dalam kelompok adâb

(sastra), mengindikasikan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan produk pemikiran Arab. Sedangkan ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang tumbuh setelah Islam berkembang di tanah Arab. Walaupun terkait erat dengan ajaran Islam, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan budaya, terutama, bahasa Arab. Karena itu Makdisi mendiskusikan secara khusus hubungan antara rumpun ilmu pengetahuan adab dengan rumpun pengetahuan agama, khusus hubungannya dengan al-Qur’ân, hadits dan fiqh.2 Metode riwayat (samâ’) yang dipakai dalam adâb (sastra), merupakan metode yang juga diterapkan dalam hadits. Lebih jauh Ia menganalogikan adâb (sastra) dengan hadist sebagai dua sungai kembar yang mengalir dari sumber yang sama, sebuah analogi yang memperlihatkan kedekatan kedua cabang ilmu tersebut. Hubungan antara adâb (sastra) dengan fiqh sangat

1 George A. Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and Christian West,

(Edinburg: Edinburgh University Press, 2000), h. 120.


(38)

erat karena adanya kesamaan orientasi metodologi. Sejak awal para ahli fiqh dikenal sebagai sastrawan, sebaliknya sastrawan memahami betul masalah fiqh. Seorang tokoh fiqh dari Suriah, al-Auza’i (w.157 H/ 774 M), selain seorang tokoh hadits, juga cemerlang dalam penulisan dan kearsipan. Abdullah ibn Mubârak (w.181H/797M) selain tokoh fiqh, juga diriwayatkan memadukan antara ilmu agama dengan ilmu sastra, nahw, sya’ir dan retorika.

Kesamaan orientasi metodologi pada akhirnya menimbulkan banyak kesamaan dalam persoalan-persoalan yang didiskusikan dan metoda-metoda penyelesaiannya. Seperti telah ditunjukkan pada bagian yang lalu (pada bab satu), persoalan-persoalan ilmu ushûl al-nahw hampir tidak ada bedanya dengan persoalan-persoalan ushûl al-fiqh. Singkatnya dapat dikatakan bahwa persoalan

ushûl al-fiqh adalah juga persoalan ushûl al-nahw.

Secara umum, ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang terbentuk dari hasil pemahaman ummat Islam terhadap ajaran agama. Meskipun sejumlah cabang ilmu ini tetap menjadi perdebatan. Ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’ân tidak terdapat perdebatan tentang asal-usulnya, demikian pula yang terkait dengan hadist, meskipun asal usul hadist sendiri diperdebatkan.3 Sedangkan ilmu fiqh, teologi Islam dan sufisme merupakan cabang-cabang ilmu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik mengenai asal usulnya maupun perangkat metodologinya. Sufisme dicurigai bukan berasal dari ajaran Islam karena sejumlah praktiknya mempunyai kesamaan dengan praktik agama lain di luar Islam, seperti Hindu,

3 Beberapa sarjana non Muslim meragukan apa yang dikatakan sebagai hadis adalah asli berasal dari Nabi. Goldziher, Schacht dan Juynboll misalnya mengatakan terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa Hadist Nabi diciptakan pada masa yang lebih akhir dalam sejarah Islam, dan yang secara perlahan-lahan dinisbatkan kepada Nabi. Schacht menempatkan Sunnah dan laporan-laporan verbal yang mengekspresikannya, pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah. Sementara Juynboll yakin bahwa hal itu muncul seperempat abad lebih awal. Akan tetapi, penelitian yang akhir-akhir ini dilakukan, sejauh yang berhubungan dengan asal-usul historis hadist Nabi, menunjukkan bahwa Goldziher, Schacht dan Juynboll terlalu skeptis dan bahwa sejumlah hadist berasal lebih awal dari pemikiran di atas, bahkan semasa dengan Nabi. Penemuan-penemuan ini ditambah dengan studi-studi penting lainnya yang kritis terhadap tesis Schacht, menunjukkan bahwa, sementara banyak hadist Nabi yang berasal dari periode setelah

hijrah, ada juga sejumlah materi yang berasal dari masa Nabi. Lihat Joseph Schacht, The Origins

of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1950), G.H.A Juynboll, Muslim

Tradition: Studies in Cronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge:

Cambridge University Press, 1983), M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, (Beirut: al

Maktabah al Islâmî, 1968), On Schacht’s Origin of Muhammad Jurisprudence, (New York: John


(39)

Budha bahkan Kristen.4 Teologi Islam dikritik keras karena pengaruh filsafat yang sangat kuat dalam metodologinya.5

Fiqh Islam, ilmu tentang hukum Islam, termasuk metodologi penalaran hukumnya (ushûl al-fiqh), juga diperdebatkan oleh para ahli baik mengenai asal usul maupun metodologinya. Tesis-tesis Schacht yang memberikan gambaran secara garis besar sejarah dan perkembangan hukum Islam, sampai hari ini tetap menjadi tolak ukur semua kajian modern tentang topik ini. Tesis Schacht tentang topik ini, seperti yang tertuang dalam karyanya The Origins, dapat diringkas sebagai berikut. Hukum Islam (fiqh), seperti yang dikenal sekarang, belum ada pada masa hidup Muhammad atau pada sebagian besar abad pertama Hijriah. Meskipun al-Qur’ân membuat aturan-aturan tertentu dalam wilayah hukum keluarga, waris dan ibadah (ritual). Menurut Schacht, generasi muslim pertama hanya memberikan sedikit perhatian atas aturan-aturan tersebut dan mereka hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan yang paling elementer darinya dan dalam beberapa kasus praktek hukum awal memang menyimpang dari kata-kata exsplisit al-Qur’ân.

Mengenai hadits, Schacht mengatakan, riwayat tentang perilaku dan ucapan yang berasal dari Nabi sesungguhnya riwayat itu baru ada pada akhir abad pertama Hijrah. Dasar-dasar hukum Islam, sesungguhnya tidak diletakkan oleh Muhammad atau para sahabatnya, tetapi justru oleh para qâdhi generasi awal, yaitu ahli hukum yang ditunjuk oleh para gubernur Dinasti Umayyah, yang mentransformasikan praktik-praktik populer dan administratif pemerintahan Umayyah menjadi hukum-hukum religius. Ketika kelompok-kelompok ahli hukum bertambah secara kuantitas dan kualitas sepanjang dekade-dekade pertama abad kedua Hijrah maka itu semua kemudian berkembang menjadi mazhab-mazhab hukum awal di Kufah, Basrah, Makkah, Madinah dan Suriah. Pada masa ini, para ulama mulai memberikan perhatian yang serius terhadap norma-norma

4 Untuk informasi lebih rinci lihat ‘Ali Syâmi al-Nassyâr, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri

al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1947), h. 64. Bandingkan dengan Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 246.

5 Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut: Markaz Saqâfi


(1)

Ibn Jinni, al-Khasâis, Kairo: Dâr al-kutub al-Misriyyah, 1952

Ibn Madha’, Al Radd ‘alâ al Nuhât, Kairo: Dâr al Fikr Al Arabȋ, 1949. Ibn Manzur, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Fikr, tt

Ibn Qudâmah, Raudhât al-Nazîr, Kairo: Dâr al-Kutub, 1988 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997 ---, Kitâb al-Muqaddimât, Kairo: Dâr al-Mushtafâ, t.t Ibn Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975

Ibn Sarrâj, al-Ushûl fî al-Nahw, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1997 Ibn Subkî, Jam’ al-Jawâmi’, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997

Al-Ijî, Adhuddin, Syarh Muhtashar al-Muntahâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1960 Ilyas, Muna, Al Qiyâs fî al Nahwî, Beirut: Dâr al Fikr, 1985.

Al-Isnawi, Nihîyat al-Sûl, Kairo; Dâr al-Kutub al-Arabiyyah, tt

Al-Jâbiri, Muhammad ‘Âbid, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz al-Tsaqâfi al- ‘Arabî, 1991

Al-Jashshâsh, Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-kutub, 1925

---, Ushûl al-Jashshâsh, Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1995 Al-Jauharî, al-Shihâh, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1977

Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, ‘Ilâm al-Muwaqqi’în, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985 Joseph Schacht, A Revaluation of Islamic Traditions. Dalam Journal of the Royal

Asiatic Society, 1949, h.144.

---, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford, 1959. Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and

Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983 Juynboll, G.H.A, The Date of the Great Fitna, Cambridge: Cambridge University

Press, 1973

Al-Jumhî, Ibn Salâm, Thabaqât Fuhûl al-Syu’arâ’, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1952 Kamâlî, Hasyîm, Principles of Islamic Jurisprudence, London: Cambridge, 1991


(2)

Al Karîm, Abd Allah Jâd, Al Dars al Nahw fî al Qarn al ‘Isyrîn, Kairo: Maktabah al Adab, 2004.

Al Karîm, Abd, Al Wasîth fî Târîkh al Nahwî al Arabî, Riyâdh: Dâr al Syawaf, 1992

Khadduri, Majid, Islamic jurisprudence, Baltimore, 1961

Khan Nyazee, Imran Ahsan, Islamic Jurisprudence, Islamabad: The International Institute of Islamic Thought, 2000

Kraemer, Joel L, Philosophy in the Renaissance of Islam, Leiden: E. J. Brill, 1986 Al-Makarim, Ali Abû, Ushûl al-Tafkîr al-Nahw, Beirut: Dâr al-Hadîts, 1978 M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, Beirut: al Maktabah al Islâmî,

1968 On Schacht’s Origin of Muhammad Jurisprudence, New York: John Wiley, 1986

Mahmud, Asyraf Mahir, Mustalahât ‘Ilm Ushûl al-Nahw, Kairo: Dâr Gharȋb, 2001.

Makdisi, George A., The Rise of Humanism in Classical Islam and Christian West, Edinburg: Edinburgh University Press, 2000

Mâlik, Al-Muwaththa’, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1951

Margoliouth, The Early Development of Muhammedanism, London: Oxford University press, 1941

Muhammad ‘Abd, al-Riwâyah wa al-Istisyhâd fi al-Lughah, Kairo: ‘Âlam al-Kitab, 1978

Muhammad al-Thanthâwi, Nasy’ah al-Nahw, Kairo: Dar al-Mânar, 1992 Muhammad Ied, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, Kairo: Âlam al-Kutub, 1989

Mukarram, ‘Abd al-‘Ali Salam, Halaqah Mafqûdah fi Tarikh Nahw al-‘Arabi, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993

Mustafâ Jamaluddin, al-Qiyâs, Najaf: Mathba’ah Nu’mân, 1972

Nahlah, Muhammad Mahmûd, Ushûl al-Nahw al ‘Arabi, Mesir: Dâr al-Ma’rifah al-Jam’iyyah, 2002

Al-Nassyâr, ‘Ali Syâmi, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1947


(3)

Owens, Jonathan, The Foundations of Grammar: An Introductions to Medievel Arabic Grammatical Theory, Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 1996.

Powers, David, Studies in al Qur’an and Hadith: The Formation of Islamic Law of Inheritance, California: University of California, 1978

Al-Qattân Mannâ’ Khalîl, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-fikr, 1995 Al-Rawi, Thaha, Nazharât fi al-Nahw, Beirut: Dâr al-Fikr, 1962

Al-Râzî, Al-Mahsûl min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986 Al-Sarakhsi, Ushûl Sarakhsi, Kairo: Dâr al-Kutub, 1982

Al-Sayuti, Kitâb al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushûl al- Nahw, Beirut: Al-Jami’ah al-Suriyah, 1957

Al-Shâlih Subhî, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuh, Birut: Dâr Kutub al-Hadîtsah, 1980

Al-Syâfi’i, al-Risâlah, Beirut: Dâr al Fikr, 1980

---, Kitâb al-Umm, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1924 Al-Syaibânî, al-Siyâr al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1957 ---, al-Asl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1964

Al-Syarakhsi, Ushûl al-Syarakhsî, Kairo: Dâr al-Kitab al-Arabi, 1954

Al-Syariah, Shadr, al-Taudhîh, Kairo: Dâr al-‘ahd al-Jadid li al-Thiba’ah, 1957 Al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syari’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000

Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ tahqîq al-haq min ‘Ilm al-ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000

Al-Syirâzî, Abû Ishaq, Al-Lumâ’, Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1925

S. H. Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, New York: RoutLedge, 1996

Sahnûn, al-Mudawwanah al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Fikr, 1939

Santillana, Turâts al-Islâmî, diedit dan diarabkan oleh Thomas Arnold, Beirut: Dâr al-Talî’ah, 1972


(4)

Schacht, Joseph, An Introduction of Islamic Law, London: Oxford University Press, 1964.

---, Joseph, Law and Justice, Cambridge: Cambridge University Press, 1970 ---, Joseph, The origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford

University Press, 1959

Stetkevych, Jaroslav, The Modern Arabic Literature London, The Unuversity of Chicago, 1970.

Sya’bân, Khâlid Muhammad, Ushûl al-Nahw Inda ibn Mâlik, Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2006

Syami, Al-Nassyâr Ali, Manâhij al-Baht ‘Inda Mufakkir al Islâm, Iskandariah: Dâr al Fikr al Arabȋ, 1947.

Al-Taftazâni, al-Talwîh Syarh al-Taudhîh, Kairo: Dâr ‘Ahd Jadid li al-Thiba’ah, 1957

Taimiyyah, Ibn, Al-Qiyâs fî al-Syar’ al Islâmî, Kairo: Matba’ah al Salafiah, 1375 H.

Taqiuddin dan Tâjuddin al-Subkî, al-Ibhâj Syarh Minhâj al-Ushûl, Kairo: Mathba’ah al-Taufîq al- Adabiyyah, tt

Al-Tauhîdi, Abû Hayyan, al-Imtâ’ wa al- Mu’ânasah, Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1993

Thantâwi, Nasy’ah al Nahwî, Mesir: Dâr al Manâr, 1991.

Al-Thawil, Razak, Al Khilâf Bain al Nahwiyyîn, Makkah: Al Faishaliyyah, 1984. Weiss, Bernard G, The Spirit Of Islamic Law, United State Of America:

University of Georgia Press, 1998.

Yâsîn, Muhammad Husain ‘Alî, al-Dirâsat al-Lughawiyyah Inda al-‘Arab, Beirut: Maktabah al-Hayâh, 1980

Al Zubaidi, Tabaqât al Nahwiyyîn wa al Lughawiyyîn, Kairo: Muhammad Sami al Khaniji, 1954.

Zahrah, Abu, al-Imâm al-Syâfi’i, Mesir: al-Maktab al-Islami, 1976 Al-Zajjâj, al-Idhâh fi ‘Ilal al-Nahw, Kairo: Dâr al-Urûbah, 1959 ---, Ma’âni al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Hadîts, 1994


(5)

Al-Zamakhsyari, Asas al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980 Zarqa, Mushtafa, al-Madkhal li al-Fiqh al-‘Âmm, Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah,

1957

Al-Zarkasyî, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub, 1958 Zuhailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Asriyyah


(6)

Nama : Abdul Hamid

Tempat Tanggal Lahir : Sungai Selan 30 Oktober 1968.

Pekerjaan : Pengajar Pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tembilahan-Riau.

Alamat: Jalan H. Arif, Tembilahan, Riau.

Pendidikan Terakhir : Universitas Cokroaminoto Yogjakarta, 2000. B. Identitas Keluarga

Ayah : H. Jamaluddin Siddiq (alm.) Ibu : Hamisah

Istri : Dewiana. S,Ag.

Anak : Mawaddah, Muhammad Najatullah al-Shiddiqi, Najwa ‘Izzati. C. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri di Sungai Selan, tamat tahun 1982 2. SMP Pancayasa di Sungai Selan, tamat tahun, 1985

3. Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, Bukit Tinggi, Sumatra Barat, tamat tahun 1992

4. S1 Universitas Cokroaminoto Yogjakarta, tamat tahun 2002 . D. Riwayat pekerjaan