Hubungan Fiqh Dengan Bahasa Arab

B. Hubungan Fiqh Dengan Bahasa Arab

Dari segi asal-usul atau dari segi kualitas diyakini bahwa fiqh Islam adalah murni produk pemikiran Arab Islam. Dari perspektif ini, fiqh Islam, di samping ilmu bahasa, membentuk karakter khas dalam kebudayaan Arab Islam. Oleh karena itu tidak ada artinya jika sebagian orientalis berusaha menghubungkan, baik secara langsung maupun tidak, antara undang-undang Romawi dengan fiqh Islam. Mereka yang secara terus menerus berusaha menemukan hubungan serupa, paling-paling hanya bisa mengatakan bahwa “sebagian undang-undang Romawi terimplementasikan di daerah timur wilayah-wilayah yang dulu pernah menjadi jajahan Romawi, sehingga menjadi bagian dari kebiasaan dan tradisi negara, selanjutnya interaksi dan duplikasi ini masuk ke dalam undang-undang Islam secara tidak disadari”. 30 Jelas pernyataan seperti ini sangat lemah jika dijadikan asumsi bagi suatu tindakan, bahkan sangat jauh sekali dari pendapat dan teori yang menegaskan bahwa undang-undang Romawi disusun berdasarkan undang- undang Mesir dan Kildan kuno. 31 Santillana, seorang orientalis Italia, merupakan orang pertama yang menyatakan adanya pengaruh undang-undang Romawi dalam fiqh Islam dan masih dipandang sebagai rujukan dalam masalah ini, dipaksa untuk menarik kembali pernyataannya karena tidak adanya bukti yang menguatkan hipotesanya yang tidak lain adalah hipotesa yang tergesa-gesa. Oleh karena itu dapat diterima pernyataan-pernyataan yang berkembang belakangan ini yang mengatakan “tidak ada artinya jika kita berusaha mencari sumber yang darinya undang-undang timur dan barat Islam dan Romawi itu berasal. Syari’at Islam memiliki batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang baku yang tidak mungkin dikembalikan atau dikaitkan dengan undang-undang Barat karena ia adalah Syari’at keagamaan yang sama sekali berbeda dengan pemikiran kita Barat Romawi”. 32 30 Lihat penolakan terhadap pandangan orientalis dalam masalah ini dan diskusi tentang hubungan undang-undang Romawi dengan undang-undang Mesir dan Kildaniah dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibi, al-Wajîz fî al-Huqûq al-Rumâniah wa Târîkhuhâ, Damaskus: Matba’ah Jâmi’ah, 1959, h. 54. 31 Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibi, al-Wajiz…, h. 42. 32 Lihat tulisannya dalam, Turâts al-Islâmî, diedit dan diarabkan oleh Thomas Arnold, Beirut: Dâr al-Talî’ah, 1972, h. 431. Penting untuk ditegaskan bahwa fiqh Islam merupakan produk nalar Arab yang paling dekat dalam mengekpresikan karakteristik nalar tersebut. Ini dikuatkan dengan mengamati sejarah perkembangan fiqh itu sendiri. Poin-poin berikut adalah kesimpulannya. Pertama , fiqh adalah disiplin ilmu yang disana bertemu berbagai jenis disiplin ilmu sebelum, selama dan setelah era kodifikasi. Hemilton Gibb menyatakan bahwa selama tiga abad pertama Hijrah, berlangsung aktifitas pemikiran fiqh dalam lingkungan umat Islam dengan tanpa batas. Mereka yang berpartisipasi dalam aktivitas ini bukan hanya teolog, ahli hadits atau birokrat tetapi ahli bahasa, sejarawan dan sastrawan juga turut berpartisipasi dalam memperkaya literatur tentang syariat dan mendiskusikan masalah-masalah fiqh. Masuknya syari’at ini merasuk kedalam kehidupan dan pemikiran umat ini hampir-hampir menyerupai aktivitas yang pertama sekali berlangsung dalam peradaban Islam. 33 Kedua , perbedaan mazhab dalam fiqh tidak selamanya tunduk di bawah perbedaan teologis dan ikatan-ikatan politis. Namun sebaliknya, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan Salafiyyun semuanya berusaha menjadikan mazhab fiqh lebih unggul dari mazhab-mazhab lainnya. Dengan demikian di tengah beragamnya mazhab dan perpecahan teologis dan politis, fiqh berperan menjadi alat redistribusi identitas ilmiyah sehingga mazhab fiqh menjadi tempat tercapainya titik temu dari berbagai perbedaan pada tingkat akidah, politik dan filosofis. Peran ini jelas memberi kontibusi dan menjadikan kebudayaan Arab Islam terbentuk sebagai aliran dan jalan yang diantara bagian-bagianya direkatkan oleh pateri, dan aliran dan jalan-jalan ini tidak lain adalah fiqh dan ilmu fiqh. 34 Ketiga, ada fenomena yang menegaskan kekuatan dan independensi fiqh dalam kebudayaan Arab Islam. Tradisi kuno pra Islam yang dihadapi umat Islam pada tingkat akidah tidak mempunyai pengaruh apapun pada tingkat syari’ah. Sejarah tidak mencatat pertentangan atau perselisihan antara undang-undang kuno 33 H. A. R. Gibb, Dirâsât fî Hadhârât al-Islâmî, di Arabkan oleh Ihsan Abbas, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1964, h. 263. 34 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz al-Tsaqâfi al- ‘Arabî, 1991, h. 97. pra Islam dengan syariat Islam, juga tidak mencatat adanya pengaruh undang- undang kuno dalam undang-undang Islam. Syari’at Islam, yang awal perkembangannya hingga perkembangan selanjutnya tetap Islami, menggantikan undang-undang kuno di seluruh wilayah yang diduduki Islam. Sejarah tidak mencatat adanya pertentangan antara yang kuno yakni, sebelum Islam dengan yang baru Islami, apakah berkenaan dengan hukum keluarga atau lainnya, di mana situasi ini berkebalikan dengan yang terjadi pada tataran akidah. Dalam wilayah fiqh, Islam sama sekali terputus dari yang sebelumnya. Memang di sana ada banyak sekali adat kebiasaan, yang sebagian diserap dan diadopsi oleh Islam, sedang sebagian lainnya diabaikan. 35 Namun dalam konteks ini yang menjadi perhatian bukan dalam aspek implementatif dalam fiqh Islam, tetapi adalah struktur teoritisnya atau dengan kata lain pemikiran fiqhnya. Pada tingkat pemikiran dan teoritis ini, kebudayaan dan undang-undang sebelum Islam tidak memiliki pengaruh apapun dalam pemikiran fiqh Islam. Penting untuk ditarik perbedaan tegas antara fiqh aplikatif amalî dengan fiqh teoritis nazharî. Pada masa Nabi dan sahabat, bahkan hingga akhir era Umayyah, fiqh bersifat realistis, bukan teoritis. Manusia mencari ketentuan hukum bagi suatu kasus setelah sebuah peristiwa terjadi dan peristiwa itu tidak diasumsikan. Adapun setelah itu, diawali dari era kodifikasi, fiqh juga dihasilkan lewat teori dan asumsi di samping realitas dan aktivitas. 36 Fiqh menyerupai aktivitas pemikiran yang disana peristiwa diasumsikan dan dicari pemecahannya. Dalam proses asumsi itu para ahli fiqh tidak terikat dengan kemungkinan realistis, tetapi terikat dengan kemungkinan-kemungkinan rasional. Hal ini menjadikan peran fiqh dalam kebudayaan Islam hampir sama dengan peran matematika dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern. Dari sinilah nilai penting fiqh berkaitan dengan kajian epistemologis dalam kebudayaan Arab Islam. Beralih pada signifikansi ushul fiqh bagi fiqh. Ilmu ushûl al-fiqh adalah metode untuk menghasilkan produk-produk teoritis bagi fiqh. Otentisitas fiqh Islam sebenarnya kembali pada ilmu metodik ini, yang tidak ditemukan 35 Muhammad Âbid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 98. 36 Mushtafa Zarqa, al-Madkhal li al-Fiqh al-‘Âmm, Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1957, h. 125-126. padanannya pada kebudayaan lain, di luar Islam. Menurut Muhammad Hamidullah, ushûl al-fiqh adalah upaya pertama di dunia, yang dimaksudkan untuk membangun sebuah ilmu tentang tata aturan ‘ilm li al-qânûn yang berbeda dari aturan-aturan spesifik bagi suatu kasus tertentu; ilmu yang bisa digunakan untuk mengkaji tata aturan hukum di negara manapun. Dalam setiap masyarakat sering ditemukan adanya undang-undang dan adat kebiasaan. Dalam masyarakat Yunani, terdapat syari’at Hamurabi dan undang-undang dua belas, dalam masyarakat Romawi terdapat undang-undang Yustianus. Namun undang-undang tersebut tidak dibangun berdasarkan ilmu al-ushûl. Hal ini berbeda dengan fiqh Islam, dimana umat Islam yang mula-mula membangun ilmu ushûl al-fiqh dan tidak ditemukan bandingannya di Barat, baik Yunani maupun Romawi. 37 Pentingnya Ilmu ushûl al-fiqh bagi fiqh sepadan dengan pentingnya ilmu logika bagi filsafat. 38 Lebih jauh dapat dikatakan bahwa posisi fiqh dalam Islam sebanding dengan posisi filsafat dalam kebudayaan Yunani. Dengan demikian dapat dinyatakan jika signifikansi fiqh merupakan tata aturan bagi masyarakat Muslim, maka signifikansi ushûl al-fiqh adalah tata aturan bagi penalaran fiqh tersebut, ini sebanding dengan logika. Metode ushûl al-fiqh ini mempengaruhi cabang-cabang ilmu keislaman yang lain. Alasannya adalah karena ilmu ushûl al- fiqh dibangun dengan cara merangkum berbagai ilmu yang sesuai dengan tujuannya untuk kemudian menjadikannya sebagai sebuah ilmu yang mandiri. 39 Setelah ilmu ini menjadi metode yang matang dan teknis kemudian dipinjam oleh berbagai ilmu yang sebelumnya menjadi asal usulnya dan sumber perumusan ilmu ushul fiqh, termasuk dalam hal ini ilmu bahasa. Ini dapat menjelaskan keterkaitan yang begitu erat antara ilmu ushûl al-fiqh dan ilmu bahasa ushûl nahw baik pada tingkat materi maupun metode. Salah satu metode tersebut adalah qiyâs yang perkembangan dan strukturnya akan dibahas pada bab berikutnya. 37 Muhammad Hamidullah, dalam pengantar untuk buku al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh, oleh Abû Husain al-Bashri, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1983. 38 Lihat pembahasan tentang perbandingan tentang tema ini dalam Syarh Musallam al- Tsubût, di bagian pinggir kitab Al-Mustashfâ fî Ushûl al-Fiqh karya al-Ghazâli, Beirut: Dâr al- Fikr, 1980, h. 10. 39 Khudari Bek, Ushûl al-Fiqh, Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1979, h. 15. Jika unsur terpenting yang disumbangkan orang Arab terhadap peradaban Islam adalah bahasa dan agama itu sendiri, maka agama Islam tetap bercorak Arabik dan tidak mungkin melepaskan diri dari bahasa Arab, sebab al-Qur’ân adalah kitâbun arabiyyun mubîn, yang tidak mungkin dialihkan ke dalam bahasa lain tanpa mengalami penyimpangan-penyimpangan. Seperti dikemukakan oleh ahli ushul fiqh bahwa bahasa Arab adalah bagian esensial dari al-Qur’ân. 40 Juga bisa dipahami sejauhmana signifikansi dasar-dasar ushul ini dalam Islam, jika dilihat dari betapa besar peran yang dimainkan oleh bahasa Arab dalam kajian dan pembahasan-pembahasan kajian-kajian Islam, baik akidah maupun Syari’ah. Kebanyakan dari pertentangan mazhab, baik kalam maupun fiqh, ujung-ujungnya kembali pada persoalan bahasa, karena bahasa Arab menyediakan begitu banyak kata dan kata itu mengandung banyak makna, di samping juga diversitas struktur bahasa dalam bahasa Arab. Fakta historis menunjukkan bahwa aktivitas ilmiah sistemik yang pertama dilakukan adalah mengumpulkan bahasa Arab dan menetapkan kaidah-kaidah kebahasaan. Karena itu, wajar jika aktivitas ilmiah yang mula-mula ini, yang kemudian menghasilkan ilmu bahasa dan ilmu gramatika Arab nahw, dijadikan acuan oleh aktivitas-aktivitas ilmiah lain yang berlangsung setelahnya. Dengan demikian tidaklah aneh jika metode yang digunakan oleh pakar bahasa Arab dan gramatika awal, termasuk konsep-konsep yang mereka gunakan serta mekanisme pemikiran yang mereka jadikan pegangan, semuanya menjadi dasar yang dijadikan pijakan oleh para pendiri ilmu-ilmu keislaman, atau paling tidak dari sana mereka menderivasikan cara kerjanya jika tidak malah merakitnya untuk dijadikan miliknya. Tentu saja dengan tidak menafikan terjadinya saling mempengaruhi pada tahap selanjutnya sehingga ilmu agama menjadi acuan bagi ilmu bahasa. Fakta inilah yang dapat menjelaskan kenapa begitu banyak ditemukan kesamaan antara ilmu bahasa, khususnya ilmu ushûl nahw dengan ‘ilmu ushûl al-fiqh baik pada tataran materi maupun pada tataran epistemologi. 41 40 Khudari Bek, Ushûl…, h. 204. 41 Muhammad Abid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 100. Termasuk dalam kontek ini kesamaan-kesamaan yang terdapat pada qiyâs dalam ushûl al-fiqh dengan qiyâs dalam ushûl al-nahw. Sebenarnya, para ahli gramatika bahasa Arab nuhât memandang logika Aristoteles sebagai sesuatu yang asing yang masuk dakhîl ke dalam bahasa Arab yang kedatangannya justru merusak bahasa Arab. Hal ini jelas tercermin dari sikap Abû Said al-Sirafi, seorang tokoh gramatika, ketika dia berdebat dengan Abû Basyar Matta, seorang tokoh logika di Bagdad pada tahun 326 H, dihadapan menteri Abu Ja’far ibn Furat. 42 Menurut al-Sirafi, Logika dirumuskan oleh orang- orang Yunani dengan bahasa penuturnya dan peristilahan mereka dan berdasarkan kepada apa yang mereka kenal berkenaan dengan karakteristik dan sifat bahasanya. Oleh karena itu yang harus menggunakannya tidak lain hanyalah orang-orang Yunani. Karena itulah al-Sirafi menyatakan kepada Matta “sesungguhnya anda tidak menyeru kepada kami agar mempelajari logika, namun menyeru agar mempelajari bahasa Yunani, karena logika, logika Aristoteles adalah gramatikanya bahasa Yunani sebagaimana nahw Arab adalah logikanya bahasa Arab”. Dengan kata lain, gramatika nahw adalah logika namun ditarik dari bahasa Arab dan logika adalah gramatika nahw namun dipahami dengan bahasa. Dengan demikian, penggunaan atau penerapan logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab sama halnya dengan “menciptakan bahasa dalam bahasa yang telah eksis di antara penuturnya”. Lebih jauh tentang hubungan fiqh dengan bahasa Arab. Pemikiran Islam, dimulai sejak awal pembentukannya sampai terbentuknya aliran-aliran dan terkristalisasinya persoalan, cenderung terbagi kepada dua aliran. Pertama, aliran yang berpegang kepada warisan Islam dan menyerukan agar menjadikannya sebagai satu-satunya pegangan otentik untuk menilai segala sesuatu. Kedua, aliran yang berpegang kepada pemikiran ra’y yang menjadikannya sebagai sumber untuk dijadikan pegangan, baik untuk menilai sesuatu yang baru maupun untuk menilai warisan Islam itu sendiri. Pembagian kecenderungan pemikiran Islam ke 42 Perdebatan ini diabadikan oleh Abû Hayyân al-Tauhîdi dalam al-Imtâ’ wa al- Mu’ânasah , Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1993, h. 17. dalam dua pembagian ini, berlaku pada seluruh cabang ilmu keislaman. 43 Dalam tafsir misalnya, ditemukan dua aliran, yaitu salah satunya aliran tafsir yang berpegang kepada riwayat, yakni apa yang ditransmisikan dari Nabi dan sahabat dan aliran yang lainnya, aliran yang berpegang kepada pemikiran ra’y, di mana dalam memahami al-Qur’ân dilakukan berdasarkan ijtihad dalam sinaran hukum- hukum akal dengan berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa Arab dan dengan mempertimbangkan situasi diturunkannya suatu ayat. 44 Kasus yang sama terjadi pula pada ilmu hadits. 45 Dalam hal ini ada ditemukan kecenderungan sebagian ahli hadits yang menerima setiap riwayat yang dikatakan berasal dari Nabi dan tidak pernah mempersoalkan validitasnya karena boleh jadi tidak terbayang dalam benak mereka akan adanya orang-orang yang melakukan kebohongan terhadap Nabi. Di sisi lain terdapat ahli hadits yang menetapkan sejumlah syarat untuk menerima sebuah hadits dengan dasar pemikiran ra’y. Demikian pula halnya dalam wilayah bahasa dan gramatika. Sebagian ahli bahasa berpegang kepada riwayat dan pendengarannya, ini berpusat di Kufah dan sebagian lagi berpegang kepada ra’y dan qiyâs, ini berpusat di Basrah. Sedangkan dalam bidang fiqh mereka yang berpegang kepada riwayat berpusat di Madinah sedangkan mereka yang berpegang kepada ra’y berpusat di Iraq. 46 Perbedaan yang terjadi dalam ilmu keislaman, khususnya dalam fiqh, gramatika dan bahasa, sesungguhnya merupakan perbedaan sudut pandang dan kecenderungan para ahli di bidang ilmu-ilmu tersebut. Hanya saja pertentangan dalam ilmu gramatika nahw dan bahasa tidak bersentuhan secara langsung dengan masalah agama, baik masalah akidah maupun syari’ah. 47 Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan mendesak untuk merumuskan aturan-aturan metodologi yang 43 Muhammad Âbid al-Jâbirî, Takwîn…, h. 105. 44 Dalm ilmu tafsir terkenal pembagian tafsîr riwâyat dan tafsîr dirâyah. Lihat Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-fikr, 1995, h. 75. 45 Istilah yang sama dengan yang ada dalam ilmu tafsir, ditemukan pula dalam ilmu hadis. Pembagian tersebut berpangkal dari kecenderungan penggunaan nalar. Lihat Subhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuh , Birut: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1980, h.16. 46 Sedangkan dalam fiqh digunakan istilah ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y, istilah yang lebih jelas memperlihatkan penggunaan nalar tersebut. 47 Muhammad Âbid al-Jâbiri, Takwîn…, h. 110. cermat dalam perdebatan antara ahli Kufah dan ahli Basrah berkenaan dengan dasas-dasar yang mereka tetapkan. 48 Sedangkan dalam wilayah syari’ah situasinya sama sekali berbeda, baik dari segi kuatnya pertentangan maupun signifikansi produk yang dihasilkan, karena disana terus-menerus terjadi pertentangan antara ahl al-ra’y dengan ahl al-hadîts bahkan sampai terjadi pemisahan antara kedua aliran tersebut. Di bawah desakan kebutuhan untuk mengakomodasi masalah- masalah baru secara empiris dan tuntutan keniscayaan-keniscayaan teoritis dan justifikasinya, hadis terus menerus mengalami pemalsuan dan, pada sisi lain, ra’y berkembang semakin jauh dan seringkali beralih dari teks dan jalan para ulama salaf kepada istihsân dan rasio murni. Dengan demikian menjadi keharusan untuk merumuskan kaidah-kaidah yang secara keseluruhan dapat melindungi hadits dan berpegang kepada nalar ra’y dalam batas-batas yang telah ditentukan dan jelas. Di sinilah al-Syâfi’i memberikan kontibusinya dengan menawarkan metodologi moderat antara ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Pertentangan dalam masalah “ushûl” prinsip, metodologi dalam wilayah tasyri’ berpengaruh pada aspek-aspek sosial dan politik. Perkembangan dalam pemikiran Islam khususnya dalam wilayah tasyri’ ini, telah sampai pada titik yang mengharuskan dicarinya pemecahan yang mendasar dalam wilayah “ushûl” ini. Al-Syâfi’i yang hidup pada masa penuh pertentangan tersebut mengambil perannya dengan tawaran alternatif yang dimajukannya. Al-Syâfi’i menetapkan batasan-batasan bagi ushûl dan melegalkan ra’y, dan ia ingin meletakkan tatanan syari’ah di bawah metodologi yang dibangunnya. Dalam upayanya merumuskan ilmu ushûl al-fiqh ini, al-Syâfi’i berhutang kepada ahli bahasa dan gramatika yang dari mereka ia belajar, berdebat dan kemudian mengambil manfaat dari ilmu mereka yang saat itu sedang berupaya keras mengkodifikasi bahasa dan gramatika dengan bergerak dari ushûl prinsip, metodologi yang jelas dan definitif – khususnya al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih yang mengakhiri metode kebahasaan secara utuh. 48 Akibatnya perbedaan-perbedaan dalam persoalan nahw tidaklah seluas, jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang ada dalam ushûl al-fiqh. Pada masa mudanya al-Syâfi’i 49 150 H- 204 H semasa dengan al-Khalîl ibn Ahmad 100- 175 H 50 , peletak dasar ilmu sya’ir ‘arûdh dan juga orang yang mengumpulkan dan mengkodifikasi bahasa dengan asas-asas metodik yang jelas. Al-Syâfi’i juga hidup semasa dengan murid al-Khalîl ibn Ahmad, Sîbawaih 147 H-180 H 51 yang menulis buku al-Kitâb dan mengumpulkan kaidah-kaidah bahasa Arab dan mengokohkan prinsip-prinsipnya dalam metode yang baku. Dengan demikian sulit untuk mengatakan bahwa al-Syâfi’i tidak terpengaruh oleh para ahli bahasa tersebut. Pengaruh metoda ahli bahasa dan ahli gramatika jelas terlihat dalam karya ushul al-fiqhnya, al-Risâlah, baik dari segi bentuk maupun muatannya. Penamaan buku ushul fiqh al-Syâfi’i dengan al-Risâlah memberikan petunjuk adanya hubungan al-Syâfi’i dengan penulis buku al-Kitâb karya Sîbawaih, sebuah buku yang mengkaji tentang gramatika Arab, sedangkan buku yang ditulis al-Syâfi’i tentang ushûl al-fiqh. Penjelasannya adalah al-Khalîl ibn Ahmad telah menjelaskan bayân Arab lewat ‘arûdh, Sîbawaih menetapkan i’râb dan tasrîf dan al-Syafi’i menjelaskan apa yang dimaksud dengan bayan itu kaif bayân . Artinya perumusan bayan Arab pada tingkat konstruksi nahw dan tingkat makna telah dikerjakan oleh al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih. Yang masih tersisa adalah bayan tentang hubungan pada tingkat konstruksi dan makna, khususnya dalam teks keagamaan guna mengatasi terjadinya kekacauan yang melanda wilayah tasyri’, sebagai akibat dari pemalsuan hadits dan penggunaan ra’y tanpa terkendali. Jika penjelasan di atas dapat diterima, maka menjadi tidak ada gunanya mencari otoritas referensial yang dijadikan pegangan oleh al-Syâfi’i dalam proyeknya ini kepada logika Yunani ataupun lainnya seperti yang umumnya dilakukan oleh sarjana Barat. Sebenarnya al-Syâfi’i, dalam al-Risâlahnya, sejak 49 Untuk biografi al-Syâfi’i lihat Abu Zahrah, al-Imâm al-Syâfi’i, Mesir: al-Maktab al- Islami, 1976. Sebuah kajian yang bagus tentang al-Syâfi’i, pemikiran fiqh dan pengarunya di dunia Islam. 50 Untuk Biografi al-Khalîl ibn Ahmad al-Farâhidî lihat Abd al-Karîm Muhammad al- As’ad, al-Wasît fî Târîkh al-Nahw al-‘Arabî, Riyadh: Dâr: al Syawaf, 1992, h. 53, al-Zubaidî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn , Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tt, h. 47-51, Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah , Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1976, h. 30-59. 51 Untuk Biografi Sibawaih lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris…, h, 57-93, al-Zubaidî, al- Thabaqât …, h. 66-72, ‘Abd al-Karîm, al-Wasîth…, h. 58. awal telah mengisyaratkan otoritas referensial yang menjadi acuan dalam proyeknya itu. Otoritas referensial itu sebenarnya berkaiatan secara langsung dengan aktifitas intelektual yang berlangsung dalam wilayah pemikiran Arab itu sendiri dan bukan dari luarnya. Karena itulah persoalan pertama yang dimajukan oleh al-Syâfi’i dalam al-Risâlahnya adalah “kaif bayân, bagaimana bayan? Kemudian ia sendiri menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan penjelasan bahwa bayân adalah ungkapan yang mencakup berbagai makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya berbeda-beda. Bagi mereka yang sangat mendalam penguasaannya tentang bahasa Arab, dimana al- Qur’ân diturunkan dengan bahasa itu, persamaan dan pecabangannya tampak jelas bayân dan serasi, meskipun sebagiannya nampak lebih kuat aspek bayânnya dari sebagian yang lain, tetapi hal tersebut menjadi tidak jelas bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab. 52 Dengan demikian, yang dimaksud dengan bayân adalah wacana al-Qur’ân yang diturunkan dengan bahasa Arab dengan keserasian gaya bahasa pengungkapannya. Sedangkan tujuan al-Syâfi’i adalah menetapkan hubungan konstruksi dan makna yang ada di dalamnya dengan berangkat dari titik tolak bahwa bayân adalah ushûl dan furû’ dan bahwa hubungan antara ushûl dan furû’ ini ditentukan oleh pengetahuan tentang bahasa Arab. Ketidak jelasan dalam hubungan ini adalah karena orang tidak memahami bahasa Arab. Adapun fokus perhatian al-Syâfi’i hanya terbatas pada wilayah syari’ah, bukan pada wilayah akidah. Selanjutnya al-Syâfi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek-aspek bayân dalam wacana al-Qur’ân dan membaginya menjadi lima. Pertama, titah yang dijelaskan oleh Allah untuk makhluk-makhluk-Nya secara tekstual nashsh dan tidak memerlukan ta’wîl atau penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua , titah yang telah dijelaskan oleh Allah kepada makhluk-makhluk-Nya secara tekstual namun masih membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan. Dan fungsi penjelasan ini dipenuhi oleh Nabi. Ketiga, titah yang ditetapkan oleh Allah 52 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, Beirut: Dâr al Fikr, 1980. h. 21. Bandingkan dengan Wahbah Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Asriyyah, h. 125. dalam kitab-Nya dan titah ini dijelaskan oleh Nabi-Nya. Keempat, masalah- masalah yang tidak disinggung oleh al-Qur’ân namun dijelaskan oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana titah yang sebelumnya karena terkait dengan kewajiban mentaati rasul-Nya. Kelima, apa yang Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad, dan cara untuk sampai kearah itu adalah dengan memahami bahasa Arab dan stalistika ungkapan dan membangun fikiran berdasarkan qiyâs, yaitu menganalogikan suatu kasus yang tidak ada hukum tentang itu dalam teks nashsh atau khabar, dengan suatu keputusan hukum yang telah ada yang didasarkan pada teks, khabar atau ijma’. 53 Dari sini kemudian ditetapkan aturan umum yang membingkai fikiran dan membatasi wilayah geraknya. Dalam hal ini al-Syâfi’i menegaskan bahwa tidak seorangpun berhak untuk mengatakan halal dan haramnya sesuatu kecuali dari perspektif ilmu. Dan perspektif ilmu itu adalah informasi dari kitab dan sunnah, ijmâ’ dan qiyâs. 54 Dengan demikian al-Syâfi’i telah menetapkan prisip fundamental dalam wilayah tasyri’ ushûl tasyrî’ ke dalam empat prisip pokok, yakni al-Qur’ân, sunnah, ijmâ’ dan qiyâs. Di sana ia mempertemukan ushûl ahl al-hadîts dan ushûl ahl al-ra’y , dengan mendasarkan pada dua prinsip penting: membatasi ra’y dan menetapkan syarat-syarat bagi qiyâs pada satu sisi, dan menghubungkan kata dengan makna berdasarkan bayân Arab pada sisi yang lain. Berkaiatan dengan hal yang pertama, ra’y tidak boleh berjalan kecuali berdasarkan qiyâs. Qiyâs adalah proses penalaran yang didasarkan kepada adanya persesuaian dengan informasi yang telah ada dengan yang sebelumnya dalam kitab dan sunnah, persesuaian antara ashl dengan cabang far’, karena keduanya memiliki kesamaan makna atau adanya keserupaan. Untuk syarat qiyâs, al-Syâfi’i mengatakan bahwa orang tidak boleh melakukan qiyâs kecuali memiliki perangkat yang cukup untuk melakukannya, yakni mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum yang ada di dalam kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nâsikh dan mansûkhnya, ‘âmm dan khasnya serta petunjuk- petunjuknya. Orang tidak boleh melakukan qiyâs kecuali memiliki pengetahuan 53 Al-Syâfi’i, al- Risâlah, h. 38. 54 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 39. tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama’ sebelumnya, ijma dan perselisihan umat serta menguasai bahasa Arab. 55 Ini memperlihatkan keterkaitan dan peran penting bahasa Arab dalam hubungannya dengan fiqh. Mengenai istihsân, al-Syâfi’i mengatakan bahwa istihsân tidak boleh, sebab seandainya boleh meninggalkan qiyâs, tentunya bagi mereka yang bukan ahl al-‘ilm ahl al-hadîts boleh mengatakan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan istihsân, padahal pendapat yang tidak didasarkan pada khabar atau qiyâs tidak dibolehkan. 56 Al-Syâfi’i juga menolak maslahah Mursalah yang ada dalam mazhab Mâlik. 57 Dengan demikian al-Syâfi’i telah menarik diri dari Abu Hanîfah yang berpegang kepada ra’y istihsân dan juga dari Mâlik yang menggunakan Maslahah Mursalah 58 sebagai pengganti hadits, ketika hadits tidak dijumpai untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Selanjutnya, al-Syâfi’i mengembalikan segala sesuatu kepada kitab dan sunnah melalui qiyâs. Selanjutnya al-Syâfi’î menetapkan hubungan antara kata dan makna dalam lingkup syari’ah. Sementara pada tingkat struktur telah diselesaikan oleh al- Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaih. Menurut al-Syâfi’i, didalam al-Qur’ân Allah memberikan titah kepada orang Arab dengan bahas Arab serta dengan makna yang telah mereka kenal. Di antara makna-makna yang mereka kenal adalah keluasan bahasa Arab, karakternya dengan cara mengungkapkan sesuatu, dengan pola umum-eksplisit ‘âmm-zahir, dengan maksud yang juga umum dan eksplisit. Sehingga yang pertama tidak memerlukan pernyataan yang kedua. Ada pula pernyataan yang umum-eksplisit dengan maksud umum, namun mengandung makna khusus khâs. Dalam hal ini hanya sebagian yang dititahkan saja yang dapat dijadikan dalil. Ada pula pernyataan yang umum-eksplisit dengan arti khusus, serta pernyataan eksplisit-literal zâhir tetapi dari konteks 55 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 509-510. 56 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, h. 505. 57 Lihat pengantar yang ditulis oleh Ahmad Muhammad Syakir dalam tulisannya sebagai pengantar al- Risâlah, Kairo: Bâbî al Halabî, 1940, h. 12. 58 Al-Masâlih al-Mursalah adalah setiap maslahat yang tidak ada ketentuannya secara tekstual. Al-Ghazali menyebutnya dengan al-istishlâh. Lihat al-Ghazali, al-Mustasfa, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, h. 300. pengungkapannya, harus diberi arti implisit-non literal ghair zâhir. Dalam pembicaraannya orang Arab menjadikan awal kata menjadi penjelas bagi akhirnya, atau sebaliknya, memulai suatu pembicaraan dengan asumsi kata-kata terakhir memperjelas kata pertama. Mereka kadang-kadang membicarakan sesuatu yang mereka kenali maknanya tanpa penjelasan melalui kata-kata, tetapi melalui isyarat. Pola bahasa yang terakhir ini merupakan pola bahasa tinggi yang hanya bisa difahami oleh mereka yang tingkat kecerdasannya tinggi pula. 59 Demikianlah pola hubungan kata dengan makna dalam lingkup syari’ah 60 yang digagas al-Syâfi’i. Dengan demikian, ijtihad pada dasarnya hanyalah upaya memahami teks keagamaan dalam lingkup yang ditetapkan tadi. Pemecahan suatu masalah harus dicari dalam dan hanya melalui teks. Qiyâs sama sekali bukan ra’y, tetapi suatu proses yang dilakukan berdasarkan dalil sesuai dengan informasi yang ada dalam dalam kitab dan sunnah. Dengan demikian, agar qiyâs dapat terlaksana, harus ada khabar teks dalam kitab atau sunnah yang dapat dijadikan dalil dan harus ada pula persamaan antara cabang dengan ashl. Mekanisme yang sama terjadi pula dalam qiyâs yang ada dalam nahw.

C. Budaya Ilmiah Bangsa Arab Sebelum dan Setelah kedatangan Islam