sumber qiyâs. Mengenai masalah pertama, yaitu keterpengaruhan atau tepatnya saling mempengaruhi antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwî, sejumlah studi telah
dilakukan oleh para peneliti. Kajian perbandingan yang cukup bagus tentang topik ini dapat dilihat pada karya Mahmûd Ahmad Nakhlah, yang membandingkan
struktur dalil dalam ushûl al-fiqh dengan struktur dalil dalam ushûl al-nahw. Dengan cara yang hampir sama, Ibn Anbari juga melakukan perbandingan antara
struktur dalil ushûl al-fiqh dengan dalil ushûl al-nahw. Karya ‘Abid al-Jâbiri, membandingkan dua jenis qiyâs tersebut dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa
kedua qiyas tersebut berasal dari epistemologi yang sama yaitu epistemologi bayâni
.
35
Dengan demikian penulis tidak lagi perlu membahas topik tersebut. Sedangkan untuk masalah yang ketiga, yaitu tentang keabsahan qiyâs, pada
prinsip qiyâs dapat dipakai sebagai salah satu metoda penetapan hukum.dengan demikian topik tersebut tidak cukup menarik untuk dibahas.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dijadikan objek penelitian ini memastikan geneologis qiyas. Apakah memang murni berasal dari produk
pemikiran atau kebudayaan Arab, atau berasal dari kebudayaan non Arab.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk, pertama, mendeskripsikan asal usul qiyâs termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kedua, Untuk
mengetahui lebih lanjut perkembangan qiyâs sampai pada tingkat kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang di sekitar qiyâs, dan untuk mengetahui dan
menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh budaya non Arab ikut berperan dalam pembentukan qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun qiyâs nahwî.
D. Signifikansi Penelitian
Signifikansi yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya untuk pertama,Mengkaji konsep awal tentang qiyas. Kedua, Mengkaji perkembangan
35
Kajian tentang perbandingan qiyâs tersebut dapat diihat pada karya-karya berikut. Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw
al- ‘Arabî, Ibn Anbari, Luma’ al-Adillah.
lebih lanjut tentang konsep qiyâs sampai pada tahap kematangannya dan wacana- wacana yang berkembang diseputar qiyâs. Manfaat lainnya, agar menjadi sumber
inspirasi bagi para peneliti lain untuk melanjutkan penelitian di bidang ini. Studi perbandingan antara qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh dan nahw untuk
kemudian dibandingkan dengan analogi yang ada dalam logika formal mungkin dapat dijadikan objek penelitian lanjutan.
E. Kajian Terdahulu Yang Relevan
Objek penelitian dalam tesis ini memang bukan merupakan objek penelitian yang benar-benar baru. Sejumlah peneliti telah melakukan kajian
terhadap objek ini. Akan tetapi menurut hemat penulis, masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan mungkin dikaji ulang terhadap hasil penelitian terdahulu
tersebut. Di antara para peneliti yang telah mengkaji topik ini antara lain Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence,
36
yang menyimpulkan bahwa qiyâs dalam hukum Islam berasal dari qiyâs yang ada
dalam agama Yahudi. Tetapi Schacht tidak menjelaskan bagaimana proses masuknya gagasan tentang qiyâs yang ada dalan agama Yahudi tersebut masuk
atau tepatnya diadopsi oleh para ahli hukum Islam. Berbeda dengan Schacht, Ahmad Hasan dalam The Early Development of
Islamic Jurisprudence ,
37
mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh bukan berasal dari agama Yahudi atau budaya asing lainnya, melainkan ia muncul
sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab Islam. Tapi perlu penjelasan lebih lanjut mengenai proses pembentukan qiyâs tersebut sampai pada tingkat
kematangannya seperti sekarang ini. Bisa jadi dalam perkembangannya qiyâs mendapat pengaruh dari budaya asing.
Beralih ke qiyâs dalam ilmu nahw. Secara umum pendapat tentang qiyâs dalam ilmu nahw dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka
36
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, london: Oxford University Press, 1959. Topik yang sama lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law,
United kingdom: Cambridge University Press, 2005. Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, Great Britain: Curzon Press, 1999.
37
Lihat Ahmad Hasan, The Early Develofment of Islamic Jurisprudence, Islamabad: Islamic Research Institute, 1970, dan Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence, Islamabad:
Islamic Research Institute, 1986.
yang berpendapat bahwa qiyâs berasal dari budaya asing. De Boer dalam Târȋkh al-Falsafah fî al-Islâm
, berpendapat bahwa qiyâs nahw dipengaruhi oleh budaya Persia. Ia menjelaskan bahwa Ibn al-Muqaffa’ menterjemahkan buku-buku yang
berasal dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dan al-Khalȋl ibn Ahmad memperoleh gagasan tentang qiyâs dari buku-buku tersebut. Di buku yang sama
de Boer juga berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh logika Yunani lewat buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn
Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain. Pendapat ini di ikuti oleh Syauqi Dhaif. Pendapat ini menjadi diragukan karena qiyâs telah ada dalam ilmu nahw sebelum
terjadinya penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Kelompok kedua berpendapat bahwa qiyâs yang ada dalam ilmu nahw
telah ada seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Ia lahir dan tumbuh dalam sistem bahasa Arab itu sendiri dan tak ada hubungan sama sekali dengan
budaya asing. Pandangan seperti ini dianut oleh Thantâwi,
38
Abbâs Hassân,
39
Affâf Hasanain
40
Taufiq Muhammad Syâhin.
41
Pandangan seperti ini tidak melihat kenyataan bahwa bahasa Arab itu hidup dan tumbuh berdampingan
bahkan telah didahului oleh budaya lain. Dan sulit untuk mengatakan bahwa bahasa itu tidak sama sekali dipengaruhi oleh unsur asing.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw ada dan tumbuh seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Namun dalam
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh unsur asing, khususnya logika Yunani. Menurut penulis, hal ini merupakan pandangan yang moderat. Masuknya
pengaruh asing ke dalam bahasa Arab, khususnya logika Yunani, memang telah terjadi walaupun terdapat penolakan. Perdebatan terbuka yang terjadi antara
Yunus ibn Matta yang mewakili filosof dan al-Sirâfi yang mewakili para ahli nahw
, tentang manfaat relatif logika dapat ditafsirkan sebagai cermin kegelisahan
38
Muhammad Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, Mesir: Dâr al-Manâr, 1991.
39
Abbâs Hassân, Al-Lughah wa al-Nahwu Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, Mesir: Dâr al- Ma’ârif, 1971.
40
Affâf Hasanain, Fî Adillah al-Nahwî, Mesir: Al-Maktabah al-Akâdimiyyah, 1996.
41
Taufiq Muhammad Syâhin, ’Awâmil Tanmiyyah al-Lughah al-Arabiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1980.
para ahli nahw tentang masuknya unsur asing ke dalam bahasa Arab.
42
Pandangan seperti ini dianut oleh Muhammad Husain Ali Yasin,
43
‘Abd Allah Jâd al-Karîm,
44
Tammâm Hassân
45
dan Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân.
46
F. Metodologi Penelitian