8
BAB II BIOGRAFI AL-
’AMIRI A.  Kondisi Objektif Sosial Politik Pada Masa Al-
‘Amiri
Dalam  tradisi  untuk  memahami  sebuah  teks  atau  pemikiran  seseorang maka  orang  yang  akan  mengkaji  harus  mengerti  dan  memahami  terlebih  dahulu
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tokoh atau teks yang dikaji. Hal ini tidak terjadi hanya pada masa kini saja.
1
Sebab dalam tradisi Hadits Nabi juga dikenal istilah hadits shahih, Hasan dan  dhaif  dimana  penentuannya  berdasarkan  dua  hal  utama  yaitu  dari  segi  yang
meriwayatkan rawi dan isi riwayat matan, dan untuk memahami isi hadits juga dikenal istilah asbab al-wurud.
2
Dalam  menafsirkan  al- Qur‟an,  para  ahli  di  bidang  tafsir  juga  sudah
mengenal mengenai asbab al-nuzul yang akhirnya memunculkan suatu ungkapan yang  sangat  terkenal  dan  selalu  menjadi  perdebatan,  yaitu  bahwa  yang  menjadi
pegangan adalah kalimat yang umum bukan sebab yang khusus atau sebaliknya.
3
1
Pada  saat  ini,  ada  trend  pembacaan  terhadap  teks  atau  pemikiran  seseorang  melalui hermeneutik.  Dalam  hermeneutik  ada  unsur-unsur  penggunaan  model  penelitian  yang  dilakukan
oleh  kelompok  strukturalis.  Dengan  strukturalis  seseorang  ketika  memahami  suatu  pemikiran harus memahami semua struktur yang ada dalam teks atau pemikiran orang tersebut. Struktur yang
dimaksud tidak hanya dari segi struktur bahasa, tapi juga struktur kebudayaan, politik, masyarakat bahkan  ekonomi  orang  waktu  menulis  karya  tersebut.  Hal  ini  penting  untuk  mengetahui  objektif
mungkin  hasil  yang  ditulis  oleh  mereka  dan  pembaca  tidak  terjebak  pada  alirannya  dan  menjadi subjektif. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai proses kerja strukturalis dan juga hermeneutik
lihat pada, W. Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya Bandung: Remadja Karya, 1987, h. 160-168. Jean Peaget, Strukturalisme Jakarta: Yayasan Obor, 1995, h.
102-116.
2
Khusus  mengenai  ilmu  Hadits  ini  penentuan  kesahihan  dan  ketidaksahihan  sangat  ketat sekali,  dan  bahkan  paling  teliti  dibanding  teori  ilmiah  atau  penelitian  ilmiah  yang  lain.  Untuk
mengetahui  criteria  kesahihan  dan  ketidaksahihannya  lihat  pada  Muhammad  „Ajaj,  Ushul  al- Hadit: Ulum wa Musthalahuhu Beirut: Dar al-Fikr, 1975, h. 204-253.
3
Untuk  perdebatan  dan  pembahasan  lebih  lanjut  mengenai  kasus  asbab  al-nuzul  ini  lihat pada, Manna‟ al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an Kairo: Mansyurat al-„Ashr al-Hadits, tt,
h. 75-96.
Tradisi  seperti  ini  harus  dipertahankan  untuk  menentukan  suatu  peta pemikiran  seseorang  atau  suatu  teks  yang  ditulis  oleh  pengarang.  Apalagi
sekarang  ini,  dimana  penggunaan  analisa  linguistik  sangat  kuat  dan  kental. Padahal  analisa  linguistik  merupakan  suatu  pekerjaan  yang  membutuhkan
ketelatenan  sejarah  untuk  melihat  mengenai  sistem  penggunaan  bahasa  yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana menyesuaikannya dengan masa sekarang.
Selanjutnya, Islam sudah berkembang secara luas, di mana perkembangan tersebut  tidak  hanya  dalam  hal  beribadah  tetapi  sampai  pada  masalah  bahasa
Arab,  sistem  politik,  sistem  perdagangan  dan  lain  sebagainya.  Tercatat  dalam sejarah  bahwa  pusat  kekuasaan  Islam  berada  di  dua  daerah;  daerah  Barat  dan
daerah  Timur. Daerah  Barat  biasa disebut dengan istilah  Maghribi  yang  menjadi pusatnya  adalah  Andalusia  dengan  pernik  pemikiran  yang  sangat  kental  dengan
Aristotelian.  Daerah  Timur  dengan  Persia  dimana  pengaruh  Neo-Platonisme begitu  kuat,  ditambah  dengan  sistem  kebudayaan  Persia  yang  sangat
„Sufistik‟. Dunia Timur mulai menjadi bagian dari Islam pada masa kepemimpinankhalifah
Umar  dengan  adanya  penyerbuan  ke  daerah  Khurasan.  Pada  daerah  ini  banyak sekali  tokoh  yang  muncul  dan  bahkan  pernah  menjadi  pusat  ibukota  dan  pusat
kebudayaan dunia, terutama pada masa kekuasaan Bani  Abbasiyah dengan pusat kekuasaannya yang ada di Baghdad. Dari perkembangan pemikiran Islam muncul
pula tokoh yang dibahas saat ini, yaitu al- „Amiri. Al-„Amiri hidup pada masa Bani
Buwaihi.
4
Secara  garis  besar  lingkungan  masyarakat  yang  ada  pada  masa  Bani Buwaihi itu bersifat individualisme, kosmopolitanisme dan sekularisme.
5
Individualisme  yaitu  suatu  kesadaran  tentang  manusia  sebagai  individu. Dengan kesadaran ini menjadikan adanya suasana kompetitif yang intensif dalam
istana Buwaihi yang dapat mempercepat perkembangan personalitas individu dan membantu  peningkatan  kesadaran  yang  kuat  terhadap  diri  sendiri.  Baik  pihak
patron  raja  maupun  klien  hamba  sama-sama  termotivasi  oleh  iming-iming popularitas.  Masa  ini  ditandai  oleh  pencapaian  kesadaran  masyarakat  dengan
mobilitas yang tinggi.
6
Pilar  utama  yang  membangun  dan  menyangga  Buwaihi  adalah  perwira- perwira  yang  berwatak  keras;  mereka  individu  yang  tegas  yang  selalu  berusaha
memperluas kekuasaan, mendirikan sebuah kerajaan dengan berbagai manuver.
7
Ada  sebuah  anggapan  yang  terjadi  pada  saat  itu,  bahwa  kehormatan  dan popularitas hanyalah merupakan komunitas yang terbatas, yang tidak cukup untuk
dibagi-bagi  kepada  mereka.  Oleh  karena  itu,  para  negarawan  bersaing  dalam mengumpulkan  pendukungnya;  para  ahli  waris  kerajaan  berlomba-lomba  untuk
mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari para pembesar kerajaan.
4
Pendiri dinasti Buwaihi ini adalah tiga bersaudara yang berasal dari pegunungan Dailam, tiga  bersaudara  yang  meletakkan  dasar  bagi  dinasti  Buwaihi  tersebut  adalah  „Ali,  Hasan  dan
Ahmad,  putra-putra  Buwaih  atau  Bûya.  Mereka  kemudian  mendapat  gelar  dari  khalifah  Al- Mustakfi:  „Ali  sebagai  „Imad  Al-Daulah  pondasi  negara,  Hasan  sebagai  Rukn  Al-Daulah
penyangga negara dan Ahmad sebagai Mu‟izz Al-Daulah penegak negara. Mereka berasal dari
suku  Dailami,  yaitu  suku  bangsa  pegunungan  yang  garang  dari  daerah  sebelah  barat  daya  Laut Kaspia yang pada awal abad ke-10 menyaingi bangsa Turki sebagai pemasok tentara bayaran bagi
dunia  Islam.  Untuk  keterangan  lebih  lanjut  lihat  pada  Azhar  Saleh,  Islam  Pada  Masa  Abbasiyah Telaah  Historis  Kehidupan  Kultural  dan  Politik  Pada  Masa  Buwaihiyah  945-1055,  Tesis:  UIN
Jakarta, 2004, h. 25.
5
Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam Leiden: E.J. Brill, 1986, h. 11.
6
Ibid., h. 11.
7
Lihat  pada  „Abd  al-Rahman  Ibn  Khaldun,  Muqaddimah  Ibn  Khaldun  Beirut:  Dar  al- Kutub al-Ilmiyah, 1993, h. 138.
Persaingan  penuh  semangat  yang  tidak  dapat  terelakkan  menumbuh suburkan  kecemburuan,  fitnah,  dan  perselisihan.  Perjuangan  untuk  mendapatkan
pengakuan  dan  kehormatan  telah  merangsang  kesadaran  diri  dan  kreasi  pribadi, suatu pembedaan yang tegas antara pribadi dan orang lain, dan sebuah pengenalan
yang mendalam tentang individualitas seseorang. Untuk  mempopulerkan  diri  mereka  saling  menfitnah,  menjatuhkan  orang
lain,  mendekatkan  diri  kepada  penguasa  dengan  cara  memujinya,  menuliskan prosa dan puisi serta menulis karya tulis yang membuat mereka agar mendapatkan
penghargaan dari pihak yang berkuasa.
8
Kosmopolitanisme
9
terjadi  karena  pada  waktu  itu  Baghdad  adalah  bagian dari  Buwaihi  yang  menjadi  pusat  peradaban  dan  berkumpulannya  semua  orang
yang  ingin  maju  dan  terkenal.  Ada  banyak  suku  dan  etnis  yang  mendatangi Baghdad,  ada  berbagai  seni  dan  budaya  yang  dibawa  ke  Baghdad  untuk
dipertontonkan  sehingga  memunculkan  berbagai  asimilasi  kebudayaan.  Para penyair,  sarjana  dan  sekretaris  mengembara  dari  satu  istana  ke  istana  lain  untuk
menyampaikan  kesetiaan  dengan  menyajikan  hiburan  yang  mengesankan,  siap menghadapi  pemandangan  dan  horizon  yang  berubah-ubah,  mengembara,  dan
tidak pernah menetap dalam satu tempat.
10
8
Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi Jakarta: Paramadina, 2003, h. xxviii.
9
Kosmopolitanisme  merupakan  teori  yang  menolak  hal-hal  yang  bersifat  nasional. Sentimen  patriotik  dan  kebudayaan  lokal  dijauhkan  demi  mempertahankan  dan  mengajukan
kesatuan  umat  Islam.  Lihat  pada  Loren  Bagus,  Kamus  Filsafat  Jakarta:  PT  Gramedia  Pustaka, 2000,  h.  501.  Dalam  pandangan  Nurcholish  Madjid,  kosmopolitanisme  merupakan  suatu
kemestian  dan  ia  mendapatkan  legalisasi  langsung  dari  al- Qur‟an. Untuk keterangan lebih lanjut
lihat pada Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina, 1992, h. 442- 443.
10
Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam, h. 12.
Dalam  hal  ini,  penghargaan  yang  tinggi  terhadap  individualitas,  ikatan terhadap  kelompok  kecil  yang  terbatas  menjadi  semakin  meningkat.  Karena
dorongan  individualisme  dan  adanya  kosmopolitanisme  memunculkan  tabrakan berbagai budaya, norma dan adat istiadat sosial dan agama.
Untuk  menjaga  agar  tidak  terjadi  kericuhan  sosial  dan  keamanan  antar individu  memunculkan  berbagai  kepura-puraan  taqiyah  sebagaimana  dikenal
dalam tradisi Syi‟i yang hidup dalam tradisi Sunni, kaum yang beraliran Syafi‟i menyembunyikan alirannya demi keselamatan diri dan pribadi.
Sekularisme
11
berjalan seiring
dengan individualisme
dan kosmopolitanisme,  ciri  lain  karakter  periode  ini  adalah  sekularisme.  Kelompok
minoritas  yang  kreatif,  khususnya  para  filosof  dan  ilmuan,  memandang  agama sebagai  suatu  matriks  norma-norma  sosial  dan  perilaku  komunal  yang  bersifat
konvensional.  Tanpa  mengurangi  atau  menghilangkan  kekuatannya  secara keseluruhan,  agama  kekurangan  sesuatu  yang  benar-benar  valid  dan  bersifat
memaksa.  Agama  tidak  dapat  diremehkan,  ia  merupakan  faktor  yang  harus diperhitungkan.  Ketika  berurusan  dengan  sesuatu,  Islam  telah  menetapkan  suatu
penilaian  sebelum  hasil  yang  dicapai  melalui  penelitian  ilmiah  memberikan pembuktian.  Bentuk-bentuk  penghormatan,  pemberkatan,  dan  harapan-harapan
diekspresikan  dalam  formula-formula  keagamaan.  Para  filosof  menghargai simbol-simbol  keagamaan untuk  menghormati tanggung jawab politik dan sosial
mereka. Para ahli filsafat juga telah menganggap agama  sebagai  kebenaran  yang
11
Secara  bahasa  sekularisme  berasal  dari  bahasa  latin  saeculum  dunia,  abad.  Secara filosofi  mempunyai  arti  temporal,  duniawi;  berkaitan  dengan  benda-benda  yang  tidak  dianggap
sakral, jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani lihat pada Loren Bagus, Kamus Filsafat, h. 980.
bersifat  simbolis  yang  dapat  dicari  jalan  pemecahannya.
12
Orang  dapat  melihat bagaimana al-Farabi  dalam  tulisannya tentang politik menganggap bahwa agama
sebagai  simbolis  representasi  kebenaran.
13
Para  ahli  menganggap  perbedaan  dan perdebatan dalam beragama merupakan suatu latihan intelektual belaka yang tidak
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka.
14
Mereka  memperdebatkan  masalah  zuhud  tetapi  mereka  tetap  melakukan pesta pora. Mereka dalam menulis suatu tulisan terutama masalah teologi setelah
mengungkapkan  pujian  kepada  Tuhan  tidak  pernah  untuk  mengucapkan  pujian kepada  penguasa  mereka.  Ini  artinya  sentimen  keagamaan  yang  mereka  kuasai
dan  miliki  hanyalah  sentimen  biasa  yang  hanya  untuk  mencapai  kekuasaan  dan penghargaan belaka.
Dari  dasar  kebudayaan  dan  sosial  yang  seperti  itu  memunculkan  banyak tokoh yang terkenal dan ahli seprti Ibn „Imad gurunya al-„Amiri, Ibn Miskawayh,
Al-Amiri sendiri dan banyak tokoh lain.
B. Riwayat Hidup dan Pendidikan al-Amiri