kemasyarakatan. Berikut beberapa pandangan Al-Amiri tentang politik yang termuat dalam karyanya al-
I‟lam.
A. Pandangan al- ‘Amiri Tentang Kekuasaan
Pemerintahan pada abad pertengahan, terutama pada masa al-Amiri berdasarkan sistem monarki. Monarki ini muncul sejak pada khilafah Amawiyah,
Abbasiyah dan sampai pada saat ini masih ada, antaranya seperti yang ada di Arab Saudi.
4
Pola monarki inipun dikenal dari tradisi pemerintahanan Persia. Dengan sistem monarki seperti ini, maka dalam sistem politik ada pembedaan
antara raja yang bersifat turun menurun dan rakyat yang tingkatan kedudukannya tidak akan sampai menjadi raja, kecuali dengan pemberontakan.
Selain itu dalam sejarah umat tidak mengenal orang yang benar dan salah dalam politik. Artinya jika ada pemberontakan apabila yang memberontak
menang maka ia adalah pihak yang benar dan penguasa dianggap pihak yang bersalah. Namun anehnya dalam sejarah umat justru pola berfikir para sarjana
muncul dan mencapai peradabannya karena sistem politik yang demikian. Sistem monarki ini bahkan menjadi pilihan yang tepat oleh salah seorang
pemikir politik Islam, Ibn Abi Rabi. Bahkan Ibn Rabi menolak sistem lain selain monarki seperti aristokrasi yaitu pemerintahan yang berada di tangan
4
Hal ini dapat dibaca dalam buku-buku sejarah Islam terutama periode setelah masa Muawiyah dan seterusnya. Mereka semuanya menganut aliran bahwa raja merupakan pembawaan
dan keturunan dari kerajaan lainnya. Selain itu, untuk menjadi raja baru harus melalui pemberontakan sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Abbasiyah terhadap Amawiyah,
Fatimiyah terhadap Abbasiyah dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat pada A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam Jakarta: Al-husna Zikra, 1995, Jilid 2 dan 3. Khusus mengenai Arab
Monarki sampai pada tahun 1930-an lihat pada David Potter, Democratization Mylton Keynes, The Open University, 1997, h. 235.
sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan, oligarki yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya
dan lainnya.
5
Berikut pemikiran Amiri berkaitan dengan kekuasaan.
1. Kedudukan Pemimpin
Menurut Amiri secara natural bahwa setiap manusia dilahirkan membawa potensi sendiri-sendiri, ada yang menjadi orang merdeka ada pula yang menjadi
hamba. Kenyataan ini tidak akan merusak citra manusia itu sendiri. Sebab secara umum mereka mempunyai tugas masing-masing dan tidak akan terjadi tumpang
tindih dalam menjalankan kehidupan mereka. Oleh karena itu, setiap orang harus menerima dan menjalankan profesinya masing-masing yang sudah ada sejak
dilahirkan. Dalam kehidupan seseorang pertama kali yang harus dilihat adalah diri instropeksi diri sebab dengan instropeksi diri sesorang akan mampu untuk
menjadi baik. Dalam hal ini, seseorang yang menjadi perhatian adalah perilakunya bukan perkataannya.
6
Pemikiran seperti ini jika dilihat dari sudut pandang teologi, jelas ia sangat terpengaruh oleh pemikiran Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia
itu tidak mempunyai usaha dan harus menjalani profesinya sendiri sebagaimana adanya. Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak
mempunyai kesanggupan. Semua yang sudah terjadi dan akan terjadi adalah kehendak Tuhan.
7
Namun jika dirujuk ke pemikiran politik pada zaman Yunani, pemikiran Amiri ini nampaknya terinspirasi oleh pemikiran Plato atau
5
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Jakarta: UIP, 1990, h. 46-47.
6
Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al- „Amiri, KItab al-I’lam bi Manaqib al-Islam
Kairo: Dar al-Kitab al- „Arabi, 1967, h. 151.
7
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2 Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995, h. 379.
Aristoteles, di mana menurut keduanya negara yang paling baik adalah monarki, hanya saja Aristoteles masih menganggap oligarki sebagai sistem yang baik.
8
Pendapat Amiri yang menyatakan bahwa sifat manusia membawa potensi sendiri-sendiri dalam hidup juga mempunyai kesamaan dengan pemikiran Plato
yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai penduduk yang menempati kedudukannya masing-masing. Kedudukan tersebut berfungsi sebagai alat untuk
kesejahteraan masyarakat.
9
Keberadaan negara tersebut oleh Amiri dibagi menjadi tiga,
10
yaitu: Pertama, para penjamin makanan. Golongan ini adalah mereka yang bekerja agar
barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta atau pelaut. Mereka harus diatur demi kepentingan umum oleh
penjaga. Kedua, penjaga. Golongan ini seluruhnya mengabdikan diri pada kepentingan umum. Mereka harus hidup dengan cara mengutamakan kepentingan
umum. Ketiga, golongan pemimpin. Golongan ini dapat diperoleh dari golongan penjaga yang sudah dipercaya dan sangat mendalami filsafat.
11
Dengan adanya posisi manusia yang membawa tabiatnya masing-masing, maka yang perlu diketahui ialah berkaitan dengan kedudukan pemimpin.
Pemimpin yang berhak memimpin, secara umum dibagi menjadi dua; pertama kenabian yang benar, kedua raja mulk yang benar. Sebab tidak ada yang
mencapai ilmu dan hikmah di atas dari Nabi dan tidak ada yang mempunyai
8
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I Yogyakarta: Kanisius, 1980, h. 44.
9
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani Jakarta: Tinta Emas Indonesia, 1986, h. 112.
10
Dalam hal ini Amiri tidak membagi mengenai kedudukan masyarakat baik secara hierarkis atau secara tidak hierarkis. Ia hanya menyatakan membawa tabiat masing-masing.
11
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2003, h. 187.
kekuasaan dan keagungan di atas kepemimpinan raja. Kesemua itu adalah berasal dari langit.
12
Jika dilihat pada pemikiran al-Farabi, ditemukan bahwa pemimpin itu tidak bisa sembarang orang. Yang dapat menjadi kepala negara adalah
masyarakat atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi, dibantu oleh orang-orang yang menjadi pilihan yang sederajat. Pemimpin
tersebut adalah yang memenuhi salah satu dari dua kriteria,
13
yaitu orang yang secara fitrah dan natural siap untuk memimpin di mana orang ini biasa dikenal
dengan para filosof dan kedua dengan hay’ah, malkah dan kehendak Tuhan, atau
biasa disebut dengan Nabi. Dalam pengakuannya, Amiri mendasarkan pemikirannya pada al-
Qur‟an surat al-Maidah dan surat al-Nisa.
Artinya: “Dan Ingatlah ketika Musa Berkata kepada kaumnya: Hai kaumku, ingatlah
nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa
yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain. Q.S al-Maidah5 : 20
12
Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al- „Amiri, KItab al-I’lam bi Manaqib al-Islam
Kairo: Dar al-Kitab al- „Arabi, 1967, h. 151-152.
13
Al-Farabi, Kitab Ara al-Madinah al-Fadhilah Beirut: Dar al-Masyriq, 2002, h. 124.
Artinya: “Ataukah mereka dengki kepada manusia Muhammad lantaran karunia yang
Allah Telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami Telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya
kerajaan yang besar
”. Q.S al-Nisa4 : 54 Karena al-
Qur’an merupakan sesuatu yang wajib diimani, maka menjadi suatu kewajiban bagi seseorang muslim untuk mempercayai bahwa raja harus
mempunyai akhlak yang mulia. Sebab secara un sich bahwa raja adalah panutan bagi orang lain, sebagaimana kaca bagi orang yang bercermin. Kaca jika tidak
bersih maka tidak dapat dijadikan berhias dengan sempurna. Jika seorang raja tidak mempunyai akhlak maka langsung akan menjadi gunjingan para rakyat dan
semua kejelekannya akan lansung diketahui oleh rakyat. Ada dua bagian, tujuan, dan kemestian dalam politik, yaitu: Pertama, dari
bagian politik adalah kepemimpinan, tujuannya untuk memperoleh keutamaan dan kemestiannya adalah memperoleh kebahagiaan abadi. Kedua adalah untuk
memenangkan, tujuannya adalah menyiapkan akhlak dan akhirnya kehancuran dan khidmah. Hal ini dapat dimengerti karena setiap manusia mempunyai potensi
untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Permasalahan utama adalah untuk mencapai negara utama dan
kebahagiaan abadi adalah konsep yang sama dengan pemikiran al-Farabi dalam kitab al-Madinah al-Fadhilah,
14
dan juga tujuan politik dari Aristoteles.
15
Dalam kitabnya, al-Farabi, menyatakan bahwa secara mendasar setiap manusia membutuhkan orang lain untuk berinteraksi. Maka dari itu manusia
14
Dalam hal ini kita membandingkan atau mengutip pemikiran al-Farabi sebab ia adalah ada lebih dahulu dari Amiri.
15
Aristoteles menyatakan bahwa tujuan bernegara adalah sama dengan tujuan hidup manusia yaitu untuk memperoleh kebahagiaan. Franz Magnis Suseno, Etika Politik, h. 188
tidak akan sampai pada tingkat yang sempurna kalau ia tidak berinteraksi dengan orang lain. Bila ditilik dari konsep untuk mencapai al-Madinah al-Fadhilah maka
seorang pemimpin suatu negara haruslah pemimpin yang amanah, pemimpin yang bisa mengelola bumi dan untuk menjalankan itu harus memenuhi 12 syarat
sebagai berikut: a.
Anggota tubuhnya harus sempurna, badannya sehat sehingga mampu menjalankan tugas dengan mudah;
b. Mudah memahami permasalahan dan mengabstraksikan setiap apa yang
dikatakan; c.
Baik daya hafalnya, ketika ia memahaminya, melihat, mendengar, menemukan beberapa masalah dan tidak pelupa;
d. Cerdas, pandai. Artinya jika ia menemukan masalah dengan sedikit
penjelasan ia langsung dapat menangkapnya; e.
Baik interpretasinya, dapat mengungkapkan dengan lisannya apa yang ia utarakan dengan ungkapan sempurna;
f. Suka dunia pendidikan dan hal-hal yang berguna, mempermudah dunia
pendidikan dan tidak menghancurkan institusi pendidikan; g.
Kurang menyukai makanan, minuman, kawin, menjauhi dunia pesta, dan membenci hal-hal yang menyebabkan itu;
h. Cinta kejujuran dan orang-orang jujur menjauhi kebohongan;
i. Berjiwa besar, cinta pada sifat kemuliaan;
j. Masalah keuangan dan seluruh tujuan dunia ia remehkan;
k. Cinta kepada keadilan dan membenci ketidakadilan, dan aniaya serta orang-
orangnya; l.
Mempunyai tujuan yang kuat untuk sesuatu yang dianggap baik untuk dilakukan, tidak takut bertindak dan kecil nyalinya.
16
Untuk memenuhi semua itu, bagi al-Farabi, susah ada dalam satu orang. Oleh karenanya, jika tidak memenuhi keseluruhannya maka hendaknya lima atau
enam dari dua belas syarat di atas dapat dipenuhi. Jika tetap tidak ada yang memenuhi syarat maka yang dijadikan dasar adalah syariat dan sunah Rasul.
Artinya minimal ia memenuhi dan menjalankan syariat dengan baik. Dan ia berhak menjadi pengganti dari kriteria pemimpin pertama. Dan telah memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut: a.
Haruslah seorang yang bijak hakim; b.
Pandai dalam menjaga syariat dan sunah dan cara menata kota; c.
Gampang dalam menetapkan aturan yang tidak ada pada masa sebelumya, tapi standar aturannya sesuai dengan pendahulunya;
d. Mudah mengingat dan mengambil keputusan yang strategis sesuai dengan
waktu dan tempat; e.
Mudah menjelaskan ucapan para pendahulunya; f.
Mampu untuk turun dalam medan perang secara langsung.
17
Jika tidak ditemukan syarat-syarat itu dan hanya ditemukan dua syarat maka yang diambil ialah yang bijak dan salah satu dari lima. Jadi, pemikiran
mengenai kekuasaan dan syarat menjadi penguasa sangat susah dan tidak semua
16
Al-Farabi, al-Madinah al-Fadhilah, h. 127-129.
17
Ibid., h. 129-130.
orang dapat menjalankannya. Namun, walaupun demikian, ia tidak kaku dalam menentukan, mereka juga memberi kelonggaran dengan harapan tidak ada
kekosongan kepemimpinan. Begitu juga pada pemikiran al-Amiri. Kewajiban-kewajiban dan tugas-
tugas penting seorang pemimpin atau penguasa adalah mewujudkan tujuan- tujuan dan maksud-maksud negara Islam. Sebagaimana yang dijelaskan sejumlah
besar ulama dan para pemikir dari kalangan pemuka salaf, berkisar pada dua pusat inti, sebagaimana yang dikatakan oleh al-
Mawardi: “Melindungi agama dan mengatur dunia”.
2. Kedudukan Rakyat
Rakyat adalah masyarakat yang menjadi bagian penting dalam struktur kepemerintahan. Sebab suatu pemerintahan itu akan berdiri dengan tegak ketika
rakyatnya mendukung mereka dan rakyatnya merasa tentram dalam lindungan para penguasa yang memerintahnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Khaldun,
rakyat yang mengkristal menjadi ‘Ashabiyyah’ dan merupakan struktur dasar yang sangat penting yang dapat mempengaruhi bergerak tumbuh dan hancurnya
suatu kekuasaan.
18
Bahkan dalam pemikiran pada masa pemerintahan al- Khulafa’ al-
Rasyidin dinyatakan bahwa rakyat mempunyai peranan penting dalam mengontrol suatu kekuasaan. Misalnya, Abu Bakar ketika ia dikukuhkan sebagai
khalifah, meskipun ia menyatakan mendapat kepercayaan untuk memimpin rakyat tetapi tidak berarti bahwa dia lebih baik dari pada anggota masyarakat itu.
18
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1993, h. 111.
Oleh karenanya, rakyat diminta untuk membantu jika keputusannya itu baik dan mengoreksi jika keputusanya salah. Bahkan ia menyatakan bahwa
rakyat yang lemah adalah pihak yang kuat dan berhak mendapat perlindungan dari pada rakyat yang kuat di mana yang ada pada mereka adalah kewajiban-
kewajiban.
19
Sedangkan menurut Amiri bahwa pada dasarnya rakyat itu lebih cenderung untuk membesarkan keberadaan raja. Sebab, setiap makhluk adalah
instrumen ketika ia dibutuhkan dan setiap individu mempunyai hak. Oleh karenanya, setiap orang berusaha untuk memperbaiki kehendaknya, maka ia akan
menjadi raja untuk dirinya.
20
Berdasarkan premis yang dibangun di atas maka dapat diketahui bahwa secara umum rakyat itu ada yang lemah dan ada pula yang
tinggi, ada yang mulia dan ada pula yang rendah ada yang saling bersitegang ada pula yang damai. Jika keadaan rakyat berbeda-beda seperti itu, maka mereka
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban ini harus didasarkan pada agama. Misalnya, rakyat yang kuat maka ia mempunyai
kewajiban untuk bekerja dan memelihara yang lemah. Namun jika rakyat tersebut lemah, maka perlu diperinci kelemahannya
itu, jika lemahnya dari segi gender, wanita, maka ia mempunyai beberapa dispensasi dalam kehidupan ini, jika lemahnya dari segi umur, yatim, maka
adalah menjadi kewajiban raja untuk memeliharanya dan menjaganya. Jika lemahnya dari segi kehidupan maka berhak mendapat sandang dan pangan dari
raja. Jika lemahnya karena status sosial seperti sebagai hamba maka hak yang ia
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 28.
20
Al-Amiri, KItab al- I’lam bi Manaqib al-Islam, h. 163.
dapat untuk dimerdekakan. Dalam al- Qur’an memerdekakan hamba adalah
pekerjaan yang sangat mulia. Jika status lemahnya karena sebagai pengembara maka haknya adalah sebagaimana statusnya dalam Ibn Sabil yang ada dalam al-
Qur’an. Rakyat juga dapat dilihat dari segi sifat mulia dan rendahnya status.
Status mulia dan rendah itu ada saling berkaitan satu sama lain. Orang dikatakan mulia jika dikaitkan dengan orang yang statusnya ada dibawahnya dan begitu
pula sebaliknya, pemikiran seperti ini didasarkan pada hadist;
هتيعر نع ؤس ه عار ا ااف هتيعر نع ؤس ك عار ك ,
ىف عار اج لاف تيب ىف ةيعار ةأ لا هتيعر نع ؤس ف ه ها
ا ج
21
Artinya : Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinan itu.
Imam adalah
pemimpin dan
akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpin, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya,
perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. HR: Bukhari, Muslim, Abu Daud
dari Ibn Umar.
Sedangkan contoh dibuat oleh Amiri yaitu seseorang harus menjaga hak dan kewajiban orang tuanya, orang tua harus menjaga hak dan kewajiban kakek
dan neneknya. Begitu seterusnya sampai kepada penguasa.
22
Amiri membuat contoh seperti di atas juga didasarkan pada beberapa hadits.
23
21
Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami al-Shaghir Surabaya: Al-Hidayah, tt, Jilid 2., h. 95
22
Al-Amiri, KItab al- I’lam bi Manaqib al-Islam, h. 165.
23
Untuk kutipan hadits yang dipakai lihat pada ibid, hal. 165 bandingkan dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami al-Shaghir, h. 142, 133, dan 180.
Rakyat jika dilihat dari segi karakter perorangan dalam pandangan Amiri ada dua kelompok; yang saling mengasihi dan bermusuhan. Saling mengasihi
dalam pandangan Amiri terbagi tiga; wilayah munasabah , wilayah mu’aqadah,
wilayah diyanah.
24
Sedangkan kalau dilihat dari segi yang saling bermusuhan, maka dapat dibagi menjadi; mulhid, musyrik dan kitabi.
25
Pandangan Amiri dari kedua kelompok di atas lebih mengutamakan pada sisi keagamaan yang benar dan sesuai dengan ajarannya masing-masing, serta
sangat dianjurkan untuk tidak saling bermusuhan dalam agama. Apabila rakyat yang sering memerangi dan bermusuhan sudah jelas termasuk kelompok yang
sesat.
3. Posisi Solidaritas Sosial
Sebelum Ibn Khaldun membahas mengenai solidaritas sosial, ternyata Amiri sudah membahas. Hanya saja istilah yang ia gunakan adalah al-Ajyal.
26
Bagi Amiri, kekuasaan adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada yang dikehendaki dan dianggap mampu oleh-Nya. Oleh karenanya seseorang
yang mendapat kekuasaan hendaknya menjaga dan tidak menyiakan-nyiakan. Berkaitan dengan pembagian daerah dan masyarakat yang berdampak
pada posisi solidaritas sosial, maka Amiri membagi jenis penduduk dengan sebagai berikut:
24
Dalam hal ini Amiri tidak memberikan definisi dan penjelasan, lihat pada al-Amiri, ibid, h. 166.
25
Ibid., h. 166.
26
Term Ajyal merupakan bentuk plural dan singular jayl atau jil artinya golongan manusia al-shinf min al-
nas segolongan dalam zaman. Lihat pada Luis Ma’luf, al-Munjid fi al- Lughah wa al-
A’lam Beirut: Dar al-Syuruq, 2000, h. 135.
a. Bagian Timur bumi ini di tempati oleh orang Cina dan arah Utaranya
adalah Turki; b.
Bagian Barat bumi ini penduduknya adalah Habsyi dan arah Selatannya adalah orang Barbar dan Qibthi;
c. Bagian Tengah bumi ini adalah orang Hindia, dan arah Baratnya adalah
Rum.
27
Dari pembagian daerah tersebut kesemuanya merupakan perisai dari Persia dan jazirah Arab. Sedangkan di antara keadaan negara yang sangat
beruntung pada posisi iklim dan alamnya adalah negara Arab dan ‘ajam. Kedua
alam negara ini memiliki posisi yang paling sempurna iklimnya. Akan tetapi, secara historis posisi negara Arab sebelum Islam adalah masa kebodohan
Jahiliyah. Dalam gagasan Persia kuno tentang solidaritas sosial, yang diadopsi dari
India, menjadi arus pemikiran baru di dunia Islam. Pada masa-masa awal, Islam telah mengembangkan potensi egaliter karena Islam menganggap perbedaan
manusia tidak ada hubungannya dengan nilai moral individu dan takdir mereka di akhirat. Meski demikian, Al-Quran mengakui adanya tingkatan manusia; Allah
telah “meninggikan sebagian kalian beberapa derajat, sehingga sebagian lainnya
dapat meminta bantuan dari sebagian yang lain”.
4. Hubungan Kekuasaan dan Dunia Intelektual
Al-Amiri adalah sosok yang sangat kuat dalam berfikir dan bahkan ia adalah salah seorang yang menyatakan bahwa akal adalah segalanya. Baginya
27
Al-Amiri, KItab al- I’lam bi Manaqib al-Islam, h. 171.
akal adalah pada esensinya itu sudah mencukupi, hanya saja dalam memahami sesuatu seseorang mempunyai derajat dan kemampuan masing-masing.
28
Konsep hubungan kekuasaan dikutip untuk menegaskan tugas utama para penguasa, yakni menjalankan keadilan. Satu aspek penting dari keadilan ini
adalah terpeliharanya perbedaan status antar berbagai kelompok masyarakat. Keadilan diwujudkan dalam usaha untuk menjaga setiap orang yang merupakan
bagian dari umat manusia; baik rakyat, pelayan, pejabat, maupun orang yang bertanggungjawab dalam urusan agama dan dunia.
Meski banyak yang tak setuju, seorang intelektual tak mesti selalu berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Adakalanya jika sejarah menuntutnya
demikian, tak ada salahnya seorang intelektual dekat dengan kekuasaan. Malahan, jika memungkinkan, seorang intelektual boleh saja menjadi pemuncak
kekuasaan. Jika ditakdirkan memiliki kekuasaan, seorang intelektual tak menjadikannya hanya sekadar ajang untuk meraih kepuasaan seperti para raja
pada abad pertengahan. Jika dekat dengan kekuasaan, seorang intelektual tak berposisi seperti seorang abdi dalem. Jika pemangku kekuasaan terbukti
berprestasi, seorang intelektual sudah seharusnya mengapresiasi agar terus bergerak ke arah kemajuan. Namun jika kekuasaan gagap atau gagal dalam
menjalankan peran, seorang intelektual harus mengoreksi meski akan terkucilkan secara pribadi.
Intelektual bukanlah jabatan, tapi lebih kepada integritas yang melekat pada seseorang yang dianugrahi ilmu yang amat luas dan kemudian ilmunya itu
28
Ibid., h. 179.
dia pergunakan untuk memperjuangkan umat manusia. Intelektual bukanlah profesi duniawi untuk meraih capaian pribadi, tak terikat pada formalisme sempit
yang mengungkung kemerdekaan. Intelektual adalah panggilan hidup pada seorang manusia yang dilebihkan kemampuan berpikirnya. Intelektual boleh
berprofesi apa saja, namun dia senantiasa mengedepankan ideologi dan moral kemanusiaan yang berpijak pada kebenaran.
B. Pandangan Amiri Tentang Perang