Tujuan Penelitian Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Riwayat Hidup dan Pendidikan al-Amiri

masalah rakyat, raja, dan lainnya yang selalu dikaitkan dengan al- Qur‟an dan Hadist.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui hubungan Agama dengan kekuasaan dalam perspektif Amiri. Kedua, untuk mengetahui pemikiran Amiri tentang perang dalam agama Islam dan sikap politiknya. Selain itu, secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam masalah pemikiran politik Islam klasik dan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar berfikir saat ini.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan library research, dengan metode yang digunakan adalah deskripsi analisis, yaitu mendeskripsikan masalah sehingga dapat memberikan kejelasan. Analisis yaitu dengan mengadakan perincian terhadap masalah yang diteliti dengan jalan memilah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan masalah yang diteliti.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan penulis menelaah buku yang relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Data-data kepustakaan ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. a. Sumber data primer Sumber data ini adalah sumber pokok yang diperoleh melalui buku-buku asing maupun hasil terjemahan yang di dalamnya membahas kekuasaan dan agama. 1. Kitab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam 2. Humanism in The Renaissance of Islam b. Sumber data sekunder Data ini merupakan data penunjang yang membantu dalam penelitian ini, yang berbicara sesuai tema skripsi ini. 1. Ensiklopedi Islam 2. The History of Islamic Philosophy 3. The History of Muslim Philosophy 4. Kitab Ara al-Madinah al-Fadhilah 5. Renaisans Islam Sedangkan secara teknis penulisannya didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam penulisan maka disini akan diuraikan sistematika penulisannya. Tulisan diawali dengan bab pertama yang menguraikan tentang pendahuluan yang berisikan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai al- „Amiri dan berguna untuk mengetahui karakter pemikirannya maka dalam bab dua perlu dibahas masalah biografinya. Sedangkan yang menjadi bahasannya adalah kondisi objektif sosial politik pada masa Al- „Amiri, riwayat hidup dan pendidikan Amiri, serta karya- karya al- „Amiri. Sebelum membahas lebih dalam mengenai kekuasaan pada pandangan Al- „Amiri, perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian kekuasaan dan agama. Pembahasan ini ada pada bab tiga. Isi pembahasannya adalah konsep kekuasaan menurut Al- „Amiri, yang terdiri dari kekuasaan Tuhan, kekuasaan kepala negara, dan kekuasaan ulama dan umara. Adalah bab empat yang membahas mengenai inti dari skripsi ini. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pemikiran al- „Amiri tentang kekuasaan. Isi bahasannya adalah pandangan al- „Amiri tentang kekuasaan, dan pandangan al- „Amiri tentang perang. Dua pokok tersebut akan menjadi kajian, dan semuanya masih terbagi dalam berbagai subjudul. Untuk mengakhiri penulisan skripsi maka dibahas pula mengenai kesimpulan dan saran. Kedua pembahasan ini akan ditulis pada bab lima yaitu bab penutup. Kesimpulan dan saran penting diberikan untuk menyimpulkan hasil dari penelitian ini. 8

BAB II BIOGRAFI AL-

’AMIRI A. Kondisi Objektif Sosial Politik Pada Masa Al- ‘Amiri Dalam tradisi untuk memahami sebuah teks atau pemikiran seseorang maka orang yang akan mengkaji harus mengerti dan memahami terlebih dahulu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tokoh atau teks yang dikaji. Hal ini tidak terjadi hanya pada masa kini saja. 1 Sebab dalam tradisi Hadits Nabi juga dikenal istilah hadits shahih, Hasan dan dhaif dimana penentuannya berdasarkan dua hal utama yaitu dari segi yang meriwayatkan rawi dan isi riwayat matan, dan untuk memahami isi hadits juga dikenal istilah asbab al-wurud. 2 Dalam menafsirkan al- Qur‟an, para ahli di bidang tafsir juga sudah mengenal mengenai asbab al-nuzul yang akhirnya memunculkan suatu ungkapan yang sangat terkenal dan selalu menjadi perdebatan, yaitu bahwa yang menjadi pegangan adalah kalimat yang umum bukan sebab yang khusus atau sebaliknya. 3 1 Pada saat ini, ada trend pembacaan terhadap teks atau pemikiran seseorang melalui hermeneutik. Dalam hermeneutik ada unsur-unsur penggunaan model penelitian yang dilakukan oleh kelompok strukturalis. Dengan strukturalis seseorang ketika memahami suatu pemikiran harus memahami semua struktur yang ada dalam teks atau pemikiran orang tersebut. Struktur yang dimaksud tidak hanya dari segi struktur bahasa, tapi juga struktur kebudayaan, politik, masyarakat bahkan ekonomi orang waktu menulis karya tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui objektif mungkin hasil yang ditulis oleh mereka dan pembaca tidak terjebak pada alirannya dan menjadi subjektif. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai proses kerja strukturalis dan juga hermeneutik lihat pada, W. Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya Bandung: Remadja Karya, 1987, h. 160-168. Jean Peaget, Strukturalisme Jakarta: Yayasan Obor, 1995, h. 102-116. 2 Khusus mengenai ilmu Hadits ini penentuan kesahihan dan ketidaksahihan sangat ketat sekali, dan bahkan paling teliti dibanding teori ilmiah atau penelitian ilmiah yang lain. Untuk mengetahui criteria kesahihan dan ketidaksahihannya lihat pada Muhammad „Ajaj, Ushul al- Hadit: Ulum wa Musthalahuhu Beirut: Dar al-Fikr, 1975, h. 204-253. 3 Untuk perdebatan dan pembahasan lebih lanjut mengenai kasus asbab al-nuzul ini lihat pada, Manna‟ al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an Kairo: Mansyurat al-„Ashr al-Hadits, tt, h. 75-96. Tradisi seperti ini harus dipertahankan untuk menentukan suatu peta pemikiran seseorang atau suatu teks yang ditulis oleh pengarang. Apalagi sekarang ini, dimana penggunaan analisa linguistik sangat kuat dan kental. Padahal analisa linguistik merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan sejarah untuk melihat mengenai sistem penggunaan bahasa yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana menyesuaikannya dengan masa sekarang. Selanjutnya, Islam sudah berkembang secara luas, di mana perkembangan tersebut tidak hanya dalam hal beribadah tetapi sampai pada masalah bahasa Arab, sistem politik, sistem perdagangan dan lain sebagainya. Tercatat dalam sejarah bahwa pusat kekuasaan Islam berada di dua daerah; daerah Barat dan daerah Timur. Daerah Barat biasa disebut dengan istilah Maghribi yang menjadi pusatnya adalah Andalusia dengan pernik pemikiran yang sangat kental dengan Aristotelian. Daerah Timur dengan Persia dimana pengaruh Neo-Platonisme begitu kuat, ditambah dengan sistem kebudayaan Persia yang sangat „Sufistik‟. Dunia Timur mulai menjadi bagian dari Islam pada masa kepemimpinankhalifah Umar dengan adanya penyerbuan ke daerah Khurasan. Pada daerah ini banyak sekali tokoh yang muncul dan bahkan pernah menjadi pusat ibukota dan pusat kebudayaan dunia, terutama pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dengan pusat kekuasaannya yang ada di Baghdad. Dari perkembangan pemikiran Islam muncul pula tokoh yang dibahas saat ini, yaitu al- „Amiri. Al-„Amiri hidup pada masa Bani Buwaihi. 4 Secara garis besar lingkungan masyarakat yang ada pada masa Bani Buwaihi itu bersifat individualisme, kosmopolitanisme dan sekularisme. 5 Individualisme yaitu suatu kesadaran tentang manusia sebagai individu. Dengan kesadaran ini menjadikan adanya suasana kompetitif yang intensif dalam istana Buwaihi yang dapat mempercepat perkembangan personalitas individu dan membantu peningkatan kesadaran yang kuat terhadap diri sendiri. Baik pihak patron raja maupun klien hamba sama-sama termotivasi oleh iming-iming popularitas. Masa ini ditandai oleh pencapaian kesadaran masyarakat dengan mobilitas yang tinggi. 6 Pilar utama yang membangun dan menyangga Buwaihi adalah perwira- perwira yang berwatak keras; mereka individu yang tegas yang selalu berusaha memperluas kekuasaan, mendirikan sebuah kerajaan dengan berbagai manuver. 7 Ada sebuah anggapan yang terjadi pada saat itu, bahwa kehormatan dan popularitas hanyalah merupakan komunitas yang terbatas, yang tidak cukup untuk dibagi-bagi kepada mereka. Oleh karena itu, para negarawan bersaing dalam mengumpulkan pendukungnya; para ahli waris kerajaan berlomba-lomba untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari para pembesar kerajaan. 4 Pendiri dinasti Buwaihi ini adalah tiga bersaudara yang berasal dari pegunungan Dailam, tiga bersaudara yang meletakkan dasar bagi dinasti Buwaihi tersebut adalah „Ali, Hasan dan Ahmad, putra-putra Buwaih atau Bûya. Mereka kemudian mendapat gelar dari khalifah Al- Mustakfi: „Ali sebagai „Imad Al-Daulah pondasi negara, Hasan sebagai Rukn Al-Daulah penyangga negara dan Ahmad sebagai Mu‟izz Al-Daulah penegak negara. Mereka berasal dari suku Dailami, yaitu suku bangsa pegunungan yang garang dari daerah sebelah barat daya Laut Kaspia yang pada awal abad ke-10 menyaingi bangsa Turki sebagai pemasok tentara bayaran bagi dunia Islam. Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Azhar Saleh, Islam Pada Masa Abbasiyah Telaah Historis Kehidupan Kultural dan Politik Pada Masa Buwaihiyah 945-1055, Tesis: UIN Jakarta, 2004, h. 25. 5 Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam Leiden: E.J. Brill, 1986, h. 11. 6 Ibid., h. 11. 7 Lihat pada „Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1993, h. 138. Persaingan penuh semangat yang tidak dapat terelakkan menumbuh suburkan kecemburuan, fitnah, dan perselisihan. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan kehormatan telah merangsang kesadaran diri dan kreasi pribadi, suatu pembedaan yang tegas antara pribadi dan orang lain, dan sebuah pengenalan yang mendalam tentang individualitas seseorang. Untuk mempopulerkan diri mereka saling menfitnah, menjatuhkan orang lain, mendekatkan diri kepada penguasa dengan cara memujinya, menuliskan prosa dan puisi serta menulis karya tulis yang membuat mereka agar mendapatkan penghargaan dari pihak yang berkuasa. 8 Kosmopolitanisme 9 terjadi karena pada waktu itu Baghdad adalah bagian dari Buwaihi yang menjadi pusat peradaban dan berkumpulannya semua orang yang ingin maju dan terkenal. Ada banyak suku dan etnis yang mendatangi Baghdad, ada berbagai seni dan budaya yang dibawa ke Baghdad untuk dipertontonkan sehingga memunculkan berbagai asimilasi kebudayaan. Para penyair, sarjana dan sekretaris mengembara dari satu istana ke istana lain untuk menyampaikan kesetiaan dengan menyajikan hiburan yang mengesankan, siap menghadapi pemandangan dan horizon yang berubah-ubah, mengembara, dan tidak pernah menetap dalam satu tempat. 10 8 Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi Jakarta: Paramadina, 2003, h. xxviii. 9 Kosmopolitanisme merupakan teori yang menolak hal-hal yang bersifat nasional. Sentimen patriotik dan kebudayaan lokal dijauhkan demi mempertahankan dan mengajukan kesatuan umat Islam. Lihat pada Loren Bagus, Kamus Filsafat Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2000, h. 501. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, kosmopolitanisme merupakan suatu kemestian dan ia mendapatkan legalisasi langsung dari al- Qur‟an. Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina, 1992, h. 442- 443. 10 Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam, h. 12. Dalam hal ini, penghargaan yang tinggi terhadap individualitas, ikatan terhadap kelompok kecil yang terbatas menjadi semakin meningkat. Karena dorongan individualisme dan adanya kosmopolitanisme memunculkan tabrakan berbagai budaya, norma dan adat istiadat sosial dan agama. Untuk menjaga agar tidak terjadi kericuhan sosial dan keamanan antar individu memunculkan berbagai kepura-puraan taqiyah sebagaimana dikenal dalam tradisi Syi‟i yang hidup dalam tradisi Sunni, kaum yang beraliran Syafi‟i menyembunyikan alirannya demi keselamatan diri dan pribadi. Sekularisme 11 berjalan seiring dengan individualisme dan kosmopolitanisme, ciri lain karakter periode ini adalah sekularisme. Kelompok minoritas yang kreatif, khususnya para filosof dan ilmuan, memandang agama sebagai suatu matriks norma-norma sosial dan perilaku komunal yang bersifat konvensional. Tanpa mengurangi atau menghilangkan kekuatannya secara keseluruhan, agama kekurangan sesuatu yang benar-benar valid dan bersifat memaksa. Agama tidak dapat diremehkan, ia merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Ketika berurusan dengan sesuatu, Islam telah menetapkan suatu penilaian sebelum hasil yang dicapai melalui penelitian ilmiah memberikan pembuktian. Bentuk-bentuk penghormatan, pemberkatan, dan harapan-harapan diekspresikan dalam formula-formula keagamaan. Para filosof menghargai simbol-simbol keagamaan untuk menghormati tanggung jawab politik dan sosial mereka. Para ahli filsafat juga telah menganggap agama sebagai kebenaran yang 11 Secara bahasa sekularisme berasal dari bahasa latin saeculum dunia, abad. Secara filosofi mempunyai arti temporal, duniawi; berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral, jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani lihat pada Loren Bagus, Kamus Filsafat, h. 980. bersifat simbolis yang dapat dicari jalan pemecahannya. 12 Orang dapat melihat bagaimana al-Farabi dalam tulisannya tentang politik menganggap bahwa agama sebagai simbolis representasi kebenaran. 13 Para ahli menganggap perbedaan dan perdebatan dalam beragama merupakan suatu latihan intelektual belaka yang tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka. 14 Mereka memperdebatkan masalah zuhud tetapi mereka tetap melakukan pesta pora. Mereka dalam menulis suatu tulisan terutama masalah teologi setelah mengungkapkan pujian kepada Tuhan tidak pernah untuk mengucapkan pujian kepada penguasa mereka. Ini artinya sentimen keagamaan yang mereka kuasai dan miliki hanyalah sentimen biasa yang hanya untuk mencapai kekuasaan dan penghargaan belaka. Dari dasar kebudayaan dan sosial yang seperti itu memunculkan banyak tokoh yang terkenal dan ahli seprti Ibn „Imad gurunya al-„Amiri, Ibn Miskawayh, Al-Amiri sendiri dan banyak tokoh lain.

B. Riwayat Hidup dan Pendidikan al-Amiri

Abu Hasan Muhammad ibn Yusuf al- „Amiri, atau biasa juga disebut sebagai Abu al-Hasan ibn Abu Dzarr keberadaannya sedikit sekali dikenal sampai saat ini terutama di dunia pemikiran Barat. 15 Namun di belahan Islam klasik sangat dikenal. Misalnya, secara langsung al-Syahristani memasukkan dalam 12 Joel L. Kramer, Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah, Bandung: Mizan, 2003, h. 39. 13 Abu Nashr al-Farabi, al-Madinah al-Fadhilah, Beirut: Dar al-Masyriq, 2002, h. 114- 116. 14 Lihat pada Osman Bakar, Hierarki Ilmu Bandung: Mizan, 1997, h. 208. 15 Henry Corbin, History of Islamic Philosophy London: Kegan Paul International, 1993, h. 165. kelompok filosof Islam. 16 Pada hakekatnya al- „Amiri adalah salah satu tokoh penting dalam filsafat di daerah Khurasan yang hidup antara al-Farabi dan Ibn Sina. Kedudukannya oleh Syahristani disepadankan dengan al-Kindi, Ibn Miskawayh, Hunain Ibn Ishaq, Abu Sulaiman al-Sijzi, al-Farabi dan lain sebagainya. Al- „Amiri dilahirkan di Nisabur pada permulaan abad ke-4 H ke-10 M dan meninggal di tempat kelahirannya pada tanggal 27 Syawal 381 H 6 Januari 992 M. 17 Ia adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan pada sufisme, bersahabat dengan para sufi dan bahkan menulis beberapa persoalan yang menjadi subjek kalangan sufi. Ia mendapat pendidikan dari tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Abu Zayd Ahmad ibn Sahal ibn Balkhi. Ia darinya mendapat pendidikan dalam bidang filsafat, metafisika, dan beberapa pemikiran Aristoteles dan keseluruhan pemikiran yang kemudian dijadikan pegangan Ibn Sina. Sebagaimana kebanyakan orang yang sezamannya, al-Amiri juga melakukan pengembaraan ke wilayah-wilayah yang jauh, yang biasanya dilakukan untuk mencari ilmu, pencerahan, dan juga mencari perlindungan bahkan untuk mendekati penguasa. 18 Dalam pengembaraannya itu, salah satu yang dikunjungi adalah Baghdad bahkan sampai dua kali. Pertama, sebelum 360 H970 M, di mana dalam kunjungannya tersebut ia menghadiri perkumpulan majlis Abu Hamid al-Marwarrudzi dan mendiskusikan persoalan hukum, yang memperbincangkan anggurkhamr secara analitikel tahlil 16 Abu al- Fatah Muhammad ibn „Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal Beirut: Dar al-Kutub al- „Ilamiyah, tt, h. 522. 17 Joel L. Kramer, Renaisans Islam, terj., h. 317-318. 18 Hal ini merupakan fenomena yang umum dalam dunia Islam lihat Abu „Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, h. 129. al-khamr. Kedua, pada tahun 364 H974 M, di mana perjalanan yang dilakukan untuk menyertai Abu Al-Fath Dzu al-Kifayatain ke kota damai Madinah Al- Salam. Dalam kesempatan ini, ia mengikuti kegiatan dan perdebatan yang dilakukan oleh para filosof. Kemudian ia kembali ke Iran, tepatnya di Rayy dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar ilmu kepada Abu Al-Fadhl ibn Al- „Amid. Namun pada tahun 375 H982 M, ia kembali ke tempat kelahirannya Khurasan sampai meninggal dunia pada tahun 381 H991 M. 19 Dalam masa hidupnya ia mempunyai banyak teman dan pengikut, misalnya Abu Qasim al-Khatib, Ibn Hindun, Ibn Masykukah. Ia juga menjadi rujukan Ibn Sina secara langsung sebagaimana disebutkan oleh Ibn Sina dalam kitab al-Najah dengan reservasi tentang kemampuan filsafatnya.

C. Karir dan Aktifitas al-Amiri