pakaian minimseksi.
68
Jung Su menjelaskan bahwa nasib para perempuan di Korea sudah lama hidup dalam keadaan marginal, mereka dikekang oleh kekuasaan
patriarkhal yang cenderung membatasi hak mereka dan selalu berada dalam posisi sub ordinat.
69
Dari pemahaman tersebut perempuan secara kultural dilihat rendah terutama dalam masalah seksisme dan budaya yang selalu memojokkan perempuan serta
merendahkan harkat dan martabat perempuan. Nilai-nilai kemanusiaan perempuan menjadi tidak ada artinya, karena perempuan dianggap hanya sebagai komoditas dalam
industri perbudakan seks modern.
70
Menurut penulis, hal ini sejalan dengan yang telah dijelaskan di atas tentang dampak perceraian yang dialami perempuan yang
mengakibatkan mereka selalu berada pada posisi kurang beruntung. Ketidakberuntungan ini kemudian nampak dalam peran perempuan paska perceraian
yang dijelaskan oleh wibowo bahwa peran perempuan terbagi dua yakni peran tradisi domestik dan peran transisi.
71
a. Peran Tradisi Domestik
Peran tradisidomestik merupakan peran perempuan sebagai pengelolah rumah tangga, yakni sebagai istri dan ibu.
72
Menurut White peran perempuan kebanyakan hanya ditemui dalam sektor domestik, sebagai ibu rumah tangga yang harus menjaga,
merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan suasana bahagia dalam rumah tangga sekalipun perempuan tersebut adalah pekerja publik, namun di dalam rumah
tangga kedudukannya tetap tersubordinasi lebih rendah dari laki-laki.
73
Media tidak
68
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata Hati Jakarta: Kompas, 2006, 3.
69
Jung Su Pak, “The Anguish of the Korean Woman’s Soul: Feminist Theologians on a Real-Life,” Pastoral psychol
2011: 291-292.
70
Louise Brown, Sex Slaves: The Trafficking in Asia Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, 2.
71
Dwi Edi Wibowo, “The Dual Role of Women and Gender Equality,” MUWAZAH, Vol. 3, No.1 Juli 2011: 357.
72
Wibowo, “The Dual Role of Women and Gender Equality,” 357.
73
Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang kajian Perempuan, 173.
ketinggalan juga turut menyumbang dan memproduksi
stereotype
mengenai perempuan dan penggambaran citra perempuan, media sering mempresentasikan perempuan
sebagai objek yang lemah dengan menampilkan mereka hanya sebatas berperan di ranah domestik.
74
Berdasarkan penjelasan di atas, Gamble menjelaskan bahwa gambaran perempuan seringkali dikaitkan dengan tugas ibu rumah tangga seperti merawat anak, memasak,
membersihkan rumah, dan mengurus suami. Jika dirunut, kewajiban di ranah domestik ini menurutnya berkaitan dengan
nature
atau biologis.
75
Artinya sejak awal, perempuan telah memiliki karakteristik biologis tertentu yakni mencakup kemampuan untuk
melahirkan. Berbeda dengan perempuan yang dilekatkan dengan ranah domestiknya, laki-laki
justru sebaliknya. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang sesuai di ranah publik. Hal ini kemudian diungkapkan oleh Nugroho bahwa posisi perempuan dalam kebudayaan tidak
seberuntung dan sebaik posisi laki-laki.
76
Nugroho menjelaskan bahwa realitas tersebut diperparah dengan adanya dikotomi yang menjadi pemicu bagi munculnya konstruksi sosial, khususnya dalam pembagian
kerja, dimana perempuan ditempatkan di wilayah domestik dan laki-laki di wilayah publik.
77
Bagi penulis, kecenderungan ini muncul karena tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena kesetaraan gender masih banyak ditemukan di dalam lingkungan masyarakat
Indonesia.
74
Strinati D, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer Yogyakarta: Jejak, 2007, 207.
75
Gamble S, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme Yogyakarta: Jalasutra, 2010, 295.
76
Nugroho R, Gender dan Strategi pengarus utamaannya di Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 172.
77
Nugroho R, Gender dan Strategi pengarus utamaannya di Indonesia , 171.
Paska perceraian, Lamela menjelaskan bahwa peran orang tua khususnya istri lebih cenderung difokuskan kepada pengasuhan anak dan hal-hal yang bersifat domestik.
78
Hal ini dikarenakan pemahaman umum yang telah menjadi
stereotype
seperti dalam pemaparan Gamble dan Nugroho bahwa dalam pembagian kerja perempuan kemudian
berada pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah publik. Menurut penulis, Hal ini semakin didukung dengan kodrat perempuan yang sering dipahami hanya untuk
melahirkan dan menjadi partner bagi laki-laki. Partner yang dimaksudkan pun bukan seperti rekan kerja, namun memiliki pengertian lebih rendah dari status dan kedudukan
laki-laki.
b. Peran Transisi Publik