Konseling Feminis KONSELING FEMINIS

2.5. Konseling Feminis

Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an di Amerika Serikat, yang mana para perempuan membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua. Feminisme, yang merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, bertujuan untuk menumbangkan patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan perubahan sosial radikal. 32 The National Organization for Women Organisasi Nasional Para Perempuan, yang lazim disingkat NOW, merupakan salah satu organisasi yang didirikan di Washington D.C pada tanggal 29 Oktober 1966. Organisasi ini sangat serius dalam mengupayakan reformasi struktur sosial dan peran-peran tradisional perempuan, serta menyuarakan feminisme antara tahun 1960 hingga 1970-an. 33 Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran consciousness raising dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya. 34 Kelompok consciousness raising usaha penyadaran para perempuan awalnya merupakan kelompok para perempuan yang bertemu untuk berbagi pengalaman atas tekanan dan ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok self-help tolong diri yang 32 Daniel Horowitz, Betty Frieden and the Making of the Feminine Mystique Northampton: Massachusetts, 2000, 19. 33 Theinkaw dan Rungreangkulkij , “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”,41. 34 Alesha Durfee dan Karen Rosenberg, “Teaching sensitive issues: Feminist pedagogy and the practice of advocacy- based counselling,” Journal of Feminist Teacher, Vol. 19 No.2 2009: 105. tertata dalam memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial yang ada saat itu. 35 Berkaitan dengan penjelasan di atas, Freeman di dalam Gilbert dan Osipow menjelaskan bahwa konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok consciousness raising dan memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Meskipun telah menjadi instrumen penting bagi penyadaran para perempuan, namun dalam hal usaha perubahan secara politis, kelompok-kelompok consciousness raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for Women . 36 Sejalan dengan itu, Lieberman dan Solow menjelaskan kelompok-kelompok consciousness raising lebih banyak mengambil peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya. 37 Konseling feminis sesungguhnya bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang dapat diterapkan pada berbagai orientasi teoritis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria gender-fair , flexible-multicultural , interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan dengan prinsip dan konsep feminis. 38 Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoritis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan 35 Durfee dan Rosenberg, “Teaching sensitive issues: Feminist pedagogy and the practice...”, 106. 36 Lucia Albino Gilbert dan Samuel Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” Journal of Psychology of Women Quarterly, Vol 15 2011: 538. 37 Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 540. 38 Durfee dan Rosenberg, “Teaching sensitive issues: Feminist pedagogy and the practice...”, 103. teknik tertentu. 39 Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi korban. Oleh sebab itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu mereka. 40 Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis cikal bakal lahirnya konseling feminis ialah kepekaan terhadap masalah-masalah perempuan yang kerap terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Menarik dalam penjelasan Enns yang memahami bahwa konseling dan psikoterapi feminis didasari oleh pandangan terhadap perempuan yang menjadi korban. Dari pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa dalam menyikapi masalah perempuan, seorang konselor harus memiliki prinsip yang menjadi dasar untuk melakukan konseling feminis. Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah 41 : 1 Masalah individu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari konteks marginalisasi, subordinasi, dan stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari konseling feminis. 2 Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Para 39 Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber, “Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” Journal of multicultural counseling and development, Vol. 32 2004: 380-381. 40 Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber, “Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” 380-381. 41 Theinkaw dan Rungreangkulkij , “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38-40. konselor feminis memandang praktik konseling tidak hanya untuk membantu konseli menyelesaikan masalah yang dihadapi secara individual, namun juga untuk mewujudkan transformasi sosial. Aksi nyata untuk melakukan perubahan sosial merupakan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai konselor. Sangatlah penting bagi para perempuan yang terlibat dalam konseling, baik konseli ataupun konselor untuk menyadari bahwa masalah yang mereka alami bersumber dari opresi sebagai anggota masyarakat kelas dua dan bahwa mereka dapat berjuang bersama para perempuan lainnya untuk mewujudkan perubahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kondisi sosial yang membebaskan para perempuan dan laki-laki dari kekangan-kekangan yang timbul akibat ekspektasi peran gender, yang hasil akhirnya adalah perubahan individual. 3 Suara, pemahaman, dan pengalaman perempuan diberi tempat yang sejajar dengan pria. Perspektif perempuan merupakan hal yang sentral dalam memahami permasalahan yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling. Konseling-konseling tradisional yang menggunakan norma-norma androcentic, 42 memakai laki-laki sebagai ukuran. Dengan demikian, perempuan seringkali ditemukan menyimpang dari norma tersebut. Tujuan konseling feminis adalah untuk mengganti “kebenaran obyektif patriarkal” dengan kesadaran feminis, yang mengakui perbedaan dalam memahami sesuatu. Para perempuan didorong untuk menghargai emosi dan intuisinya, serta menggunakan pengalaman pribadinya sebagai dasar untuk menentukan “realitas”. Suara perempuan diakui sebagai sumber pengetahuan yang otoritatif dan tidak terhingga nilainya. Penghargaan dan fasilitasi suara perempuan di dalam dan di luar konseling ini akan 42 Keterpusatan pada laki-laki yang merupakan rangkaian nilai-nilai budaya dominan, yang didasarkan pada norma laki-laki. menghilangkan kediaman perempuan dan berkontribusi pada perubahan pokok dalam kondisi politik di masyarakat. 4 Hubungan konseling berlangsung secara egaliter. 43 Salah satu perhatian utama konseling feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter. Para konselor feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling, sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan konseling, serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa konseli adalah ahli untuk dirinya sendiri. Sebuah diskusi yang penuh keterbukaan mengenai power dan perbedaan-perbedaan peran dalam hubungan konseling akan membantu konseli untuk memahami bagaimana dinamika power berpengaruh pada konseling dan hubungan lainnya. Diskusi ini juga mengundang dialog tentang bagaimana cara mengurangi ketimpangan power tersebut. Penemuan cara untuk saling menyeimbangkan power adalah hal yang esensial bagi konselor feminis. Hal ini karena mereka meyakini bahwa konseling seharusnya penuh dengan kesejajaran atau mutualitas kondisi keterhubungan otentik antara konseli dan konselor. 5 Fokus pada kekuatan dan masalah psikologis. Beberapa konselor feminis menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada konseli. Bagi mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling. Konsep masalah di- reframing, 44 artinya masalah tersebut dibingkai ulang dengan mengubah sudut pandang konseli tanpa mengubah kejadian itu sendiri, sehingga konseli mampu melihat masalahnya dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini dapat menjadi strategi untuk survival . 43 Pandangan yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya ditakdirkan sama derajatnya. 44 Cara pandang dari berbagai sudutperspektif. Konselor feminis membicarakan masalah dalam konteks kehidupan dan strategi menyelesaikannya, bukan dalam konteks patologi. 6 Mengenali semua bentuk tekanan. Konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial dan politik berdampak negatif pada semua orang. Konselor feminis berusaha untuk membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotyping 45 , marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya adalah untuk melakukan intervensi dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam lingkungan sosiopolitik yang disfungsional. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan membawa pada pemberdayaan konseli, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan sosial. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, menurut penulis konseling feminis pada hakekatnya diperuntukkan kepada setiap perempuan yang mengalami ketertindasan dan ketidakadilan. Keenam prinsip di atas memaparkan tentang realitas perempuan yang mengalami diskriminasi dari berbagai pihak, yang pada akhirnya hanya untuk memojokkan dan mengucilkan perempuan. Untuk itu peran seorang konselor feminis sangat diperlukan dalam rangka pemulihan dan pemberdayaan konseli yang teralienasi. Sejalan dengan hal di atas, Stein menyatakan bahwa konseling feminis berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga aspek, yakni 46 : 1. Berfokus pada peningkatan kesadaran melalui dialog. 2. Berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai mereka sendiri, sehingga mereka dapat membuat keputusan dan mengontrol kehidupan mereka. 45 Keyakinan yang membentuk sekelompok orang terhadap sikap tertentu. 46 Theinkaw dan Rungreangkulkij , “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38. 3. Kombinasi peningkatan dan pemberdayaan kesadaran. Kombinasi ini dapat membantu kesadaran kritis yang mampu memberdayakan perilaku individu dalam kesiapan mereka menghadapi situasi kritis. Dari ketiga aspek tersebut, Stein dkk menjelaskan tujuan konseling feminis ialah untuk menerapkan perubahan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Proses pemberdayaan ini membantu perempuan memilih dan mengontrol jalur hidup mereka. Meningkatkan kesadaran gender yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian perempuan mampu mengembangkan proses pemberdayaan melalui kesadaran kritis. 47 Sejalan dengan penjelasan di atas, Enns menyatakan bahwa tujuan konseling feminis yang berkisar pada pemberdayaan, menghargai perbedaan, berusaha melakukan perubahan daripada hanya sekedar penyesuaian, kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-nurturance peduli diri. Enns di dalam Whalen juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat. Konseling feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara individual maupun terhadap masyarakat secara umum. 48 Berkaitan dengan pemahaman di atas, melalui studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap pemberdayaan perempuan di Indonesia, menjelaskan tentang beberapa tujuan terkait peran ideal perempuan, yakni 49 : 47 Theinkaw dan Rungreangkulkij , “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38. 48 Mollie Whalen, karen P, dan Jill S. Barber, “Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” 385. 49 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010, 80. 1. Dapat mengubah kesadaran perempuan tentang kemampuan dirinya sebagai pribadi dan dalam mengisi peran sosialnya mengubah sikap ambigu yang masih merupakan ciri dari kebanyakan perempuan. 2. Agar tercipta kesadaran masyarakat pada umumnya dan para pengambil keputusan pada khususnya dengan membuat kebijakan yang menyambung atau benar-benar relevan dengan kebutuhan perempuan dan variasi permasalahannya. 3. Memberikan arah pada perubahan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari berlangsungnya proses pembangunan dimana kaum perempuan berperan sebagai objek ataupun subjek pembangunan. 4. Menjawab kebutuhan kaum perempuan di suatu kelompokdaerah berbeda dengan kaum perempuan yang ada di kelompokdaerah lain. 5. Menyertakan partisipasi laki-laki yang mau peduli. Keikutsertaan ini membuat laki- laki lebih peka dan memahami pengalaman perempuan. Sehingga, mereka turut membantu memecahkan persoalan yang biasa perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan diskrminasi dalam lingkungan kerja. Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis, pada level individual konselor feminis bekerja untuk membantu para perempuan dan pria agar mengenali, menuntut, dan mendapatkan kekuatan personal mereka. Pemberdayaan konseli merupakan inti dari konseling ini dan merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan diberdayakan, konseli akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan peran gender serta dapat menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya. Sejalan dengan itu, Worell Remer di dalam Black menambahkan konseling feminis membantu konseli untuk 50 : 1. Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri. 50 Shannon Trice Black da n Victoria A, “Sexuality of Women with Young Children: A Feminist Model of Mental Health Counseling ,” Journal of mental health counseling, Vol. 33, No. 2 2011: 97. 2. Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif membuatnya lebih dapat berkembang. 3. Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya. 4. Memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada lingkungan. 5. Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari praktik- praktik diskriminasi. 6. Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas. 7. Mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya. 8. Mengembangkan rasa personal dan daya sosial. 9. Mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan. 10. Mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya. Dari penjelasan di atas, bagi penulis, para konselor feminis telah mengintegrasikan feminisme ke dalam pendekatan konseling dan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tindakan, keyakinan, serta kehidupan personal dan profesional mereka sejalan dengan feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk selalu memonitor bias dan distorsi pribadi mereka, khususnya mengenai dimensi sosial dan kultural pengalaman perempuan. Bagi Freeman, konselor feminis juga berkomitmen untuk memahami penindasan dalam segala bentuknya: seksisme, rasisme, heteroseksisme, dan mencoba menyadari dampak penindasan dan diskriminasi tersebut pada kesejahteraan psikologis seseorang. Mereka bersedia hadir secara emosional untuk konseli, mau berbagi selama sesi konseling, menjadi model perilaku-perilaku proaktif, dan berkomitmen pada proses peningkatan kesadaran counsciousness-raising pribadinya. 51 Akhirnya, walaupun para konselor feminis mungkin menggunakan teknik dan strategi dari teori lain, mereka sangat unik dengan asumsi-asumsi feminis yang mereka pegang teguh. Konselor feminis memiliki dasar yang sama dengan konselor Adlerian 52 dalam hal tekanan utamanya pada kesetaraan dan minat sosial. Konselor feminis sama dengan konselor eksistensial 53 yang menekankan konseling sebagai perjalanan bersama; bahwa kehidupan berubah tidak hanya untuk konseli, namun juga untuk konselor, serta sama dalam meyakini bahwa konseli mampu untuk bergerak maju secara positif dan konstruktif. Para konselor feminis meyakini bahwa hubungan konseling harus tidak bersifat hierarkikal, harus hubungan person-to-person antar pribadi, dan mereka berusaha memberdayakan konseli untuk menjalani hidup menurut nilai pribadinya serta bersandar pada lokus kontrol internal bukan eksternal dalam menentukan mana yang baik untuk dirinya. Hal ini dapat dilihat pada konselor person-centered . Konselor feminis menunjukkan genuineness ketulusan dan sikap saling empati antara konselor dan konseli. Konselor feminis tidak memandang hubungan konseling semata sebagai sesuatu yang mencukupi untuk terjadinya perubahan. Insight , introspeksi, dan kesadaran diri merupakan batu loncatan untuk menuju aksi. Konselor feminis bekerja untuk membebaskan para perempuan dari peran-peran yang telah mengikat mereka untuk merealisasikan potensi masing-masing. 54 Beberapa konselor feminis sama dengan konselor posmodern dalam hal penekanan pada politik dan power relation 55 dalam proses konseling, serta dalam hal fokus kepada power relation di dunia secara umum. Baik konselor feminis maupun posmodern 51 Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 543. 52 Salah satu teknik konseling yang menekankan pentingnya unsur sosial dalam proses penyesuaian individu. 53 Salah satu teknik konseling yang berfokus pada diri manusia dan mengutamakan sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. 54 Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 544-545. 55 Artinya, melalui hubungan tersebut akan lahir kekuatan baru untuk membantu konseli menyelesaikan masalah mereka. menyatakan bahwa konselor seharusnya tidak mereplikasi ketidakseimbangan power di masyarakat atau menciptakan dependensi pada konseli. Sebaliknya, konselor dan konseli harus mengambil peran yang aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan dan prosedur. Kesamaan umum antara pendekatan feminis dan posmodern adalah penolakan atas peran konselor sebagai ahli yang tahu segalanya. Menurut kedua pendekatan ini konselor seharusnya memegang peran sebagai “ relational-expert ”. 56

2.6. Hubungan Konseling Pastoral dan Konseling Feminis

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis T1 752014014 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis T1 752014014 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling Feminis

0 4 11