menyatakan bahwa konselor seharusnya tidak mereplikasi ketidakseimbangan
power
di masyarakat atau menciptakan dependensi pada konseli. Sebaliknya, konselor dan
konseli harus mengambil peran yang aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan dan prosedur. Kesamaan umum antara pendekatan feminis dan
posmodern adalah penolakan atas peran konselor sebagai ahli yang tahu segalanya. Menurut kedua pendekatan ini konselor seharusnya memegang peran sebagai
“
relational-expert
”.
56
2.6. Hubungan Konseling Pastoral dan Konseling Feminis
Konseling pastoral dan konseling feminis memiliki hubungan dilihat dari tujuan dan fungsinya. Clinebell menjelaskan fungsi konseling pastoral adalah menyembuhkan,
menopang, membimbing, mendamaikan, dan mengasuh.
57
Fungsi-fungsi ini dapat dikaitkan dengan tujuan konseling feminis.
Fungsi menyembuhkan dapat dikaitkan dengan tujuan mengembangkan rasa personal dan daya sosial. Konselor membantu konseli untuk menyembuhkannya dari
kesakitan masalah yang dialami dengan cara mengembangkan indentitas personalnya serta kemampuannya dalam bersosialisasi. Fungsi menopang setara dengan tujuan
mengidentifikasi pesan-pesan positif yang membuat konseli berkembang. Konselor bertugas sebagai pelindung dan penopang bagi konseli dengan memberikan masukan-
masukan positif yang dapat membuatnya lebih berkembang dan merasa ada yang menopangnya. Fungsi membimbing dapat dikaitkan dengan tujuan memperoleh
keterampilan. Konselor dapat membimbing dan mengajak konseli untuk memperoleh keterampilan yang akan dikembangkan olehnya sendiri. Keterampilan tersebut dapat
menjadi salah satu media untuk konseli keluar dari masalahnya. Fungsi mendamaikan berkaitan dengan tujuan penyadaran peran gender. Konseli akan dibantu untuk
56
Gilbert dan Osipow, “Feminist Contribution to Counselling Psychology,” 544-545.
57
Clinebell, Basic Types of Pastoral Care and Counseling, 43.
berdamai dengan diri dan masalahnya sendiri dengan pemahaman bahwa perannya sebagai perempuan tidak berbeda dengan peran laki-laki adanya kesetaraan, sehingga
tidak ada penyesalan diri, rasa minder bahkan penolakan terhadap dirinya sendiri. Fungsi mengasuh dapat dikaitkan dengan tujuan mengembangkan perilaku bebas dan
pemberdayaan. Konseli diasuh untuk mengenal kekuatannya dan pilihan bebas terhadap dirinya sehingga ia mampu memberdayakan dirinya paska perceraian. Terkait dengan
fungsi ini, Kellenbach melalui penelitiannya menjelaskan bahwa hak pilihan moral perempuan dalam perannya paska perceraian adalah suatu tindakan keberanian serta
menentang pengekangan dan pembatasan.
58
Penulis berpendapat bahwa Kellenbach melalui penelitiannya ingin mengedepankan kekuatan perempuan yang memiliki
kebebasan untuk melawan pengekangan. Sejalan dengan itu, Kubany dan Taft menjelaskan melalui penelitian mereka di
Thailand bahwa proses konseling dapat membantu perempuan korban kekerasan dalam meningkatkan kondisi mereka serta memberdayakan kekuatan mereka untuk melawan
akibat dari kekerasan yang diterima.
59
Dari penelitian tersebut dapat dilihat kesamaan fungsi konseling pastoral terhadap peran perempuan yang mengalami masalah
ketidakadilan baik masalah perceraian maupun kekerasan. Alasan penulis membandingkan dengan masalah kekerasan perempuan ialah karena penulis ingin
menunjukkan bahwa tindakan konseling yang berorientasi kepada masalah perempuan sebagian besar menekankan kepada pemberdayaan kekuatan perempuan, sehingga tiga
aspek yang dikemukakan Stein terkait konseling feminis dan pemberdayaan perempuan dapat teraplikasikan.
60
58
Katharina Von Kellenbach, “God’s Love and Women’s Love,” Journal of Feminist Studies in Religion
2011: 7-8.
59
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38.
60
Theinkaw dan Rungreangkulkij, “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38.
Dapat dilihat juga ialah tentang tujuan konseling. Dalam penjelasan konseling pastoral, telah dipaparkan bahwa tujuan konseling secara umum ialah untuk membantu
konseli keluar dari masalah, serta memberi mereka kebebasan untuk mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi. Hal tersebut sejalan dengan tujuan
konseling feminis yang diungkapkan oleh Worrel dan Remer, yang menyatakan bahwa konselor membantu konseli untuk menyadari, memahami, mengembangkan serta
mempercayai diri mereka sendiri dalam menyikapi masalah yang dihadapi.
61
Hal ini berarti konseling pastoral dan konseling feminis bertumpu pada pemberdayaan pada
diri perempuan secara utuh serta kebebasan mereka. Kebebasan perempuan menjadi penting karena menyangkut pilihan hidupnya.
62
Malahayati menjelaskan bahwa perempuan selalu membawakan kehangatan, setia menjadi pendengar yang baik, sabar, tekun, sehingga dari segi transisi perempuan
memiliki lebih banyak partner kerja karena pekerjaan baginya adalah sebuah seni yang harus dinikmati. Hal ini berkaitan dengan peran pemberdayaan yang berfokus pada
kesadaran perempuan melalui dialog. Perempuan dapat menjadi partner yang menyenangkan karena kesadaran dialog mereka yang tinggi, ada kepedulian untuk
saling berbagi. Dengan demikian kehadiran perempuan dapat menjadi penopang, pembimbing dan pendamai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka fungsi konseling
pastoral dan konseling feminis dapat dirasakan.
63
61
1 Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri, 2 Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya untuk kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif membuatnya lebih
dapat berkembang, 3 Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik masyarakat yang seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada dirinya, 4 Memperoleh keterampilan-keterampilan untuk
melakukan perubahan pada lingkungan, 5 Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari praktik-praktik diskriminasi, 6 Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas,
7 Mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya, 8 Mengembangkan rasa personal dan daya sosial, 9 Mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan, 10 Mempercayai pengalaman pribadi dan
intuisinya.
62
Benyamin Y, Kekerasan terhadap Perempuan dan Bagaimana Menyikapinya Denpasar: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003, 48.
63
Malahayati, I’m the Boss Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010, 22-24.
2.7. Peran Perempuan Paska Perceraian dari Perspektif Konseling Feminis