sebelumnya, penulis telah menggambarkan lebih detail tentang bagaimana kondisi dan situasi chaos yang dialami umat Islam pada
masa naiknya ‘Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Jika melihat berdasarkan fakta sejarah, sekurang-kurangnya ada
tiga cara penegakan kepemimpinan yang dipraktekkan oleh kalangan Sunni. Yang pertama, pemilihan oleh para perwakilan umat Ahl al-
Halli wa al-Aqdi. Kedua, penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Dan yang ketiga pewarisan jabatan khalifah dari khalifah sebelumnya, dan
dalam pewarisan itu didasarkan kepada garis keturunankeluarga. Berikut penjelasan mengenai tiga pola penegakan khilafah yang
berkembang dalam dunia Sunni:
a. Pemilihan Oleh Para Perwakilan Umat Ahl al-Halli wa al- Aqdi.
Pola pertama dilakukan pada saat pemilihan Abu Bakar, Utsman, dan ‘Ali. Pada saat Abu Bakar terpilih, ia dipilih
berdasarkan syura dan kesepakatan wakil umat Islam yang berkumpul di balairung Saqifah. Pertemuan itu dihadiri perwakilan
dari kaum Muhajirin dan Anshar dan menemui kesepakatan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang akan
menggantikan Rasulullah sebagai kepala Negara. Pada saat beliau wafat, tampuk kepemimpinan kemudian
berpindah kepada Umar setelah adanya penunjukan dari Abu Bakar. Pola ini berbeda karena tidak ada dewan syura yang
bermusyawarah untuk mengangkat dan menetapkan Umar sebagai khalifah. Sehingga pola kedua ini tidak termasuk dalam pemilihan
oleh para perwakilan umat Islam. Namun pada masa setelah Umar,
pengangkatan Utsman dilakukan dengan mekanisme syura yang diwakili oleh enam sahabat Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqas. Dari proses musyawarah yang
dilakukan oleh perwakilan umat itulah Utsman kemudian terpilih menjadi khalifah pengganti Umar ibn Khaththab.
249
Pada masa selanjutnya, ‘Ali terpilih sebagai khalifah setelah sebagian besar umat Islam menghendaki dirinya untuk
menggantikan Utsman. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa terjadi gejolak serius dalam tubuh umat Islam yang
kemudian menyebabkan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan dalam suatu huru-hara. Pada saat beliau terbunuh, beberapa hari
kemudian sebagian besar umat Islam yang sudah bermusyawarah mendatangi rumah ‘Ali bin Abi Thalib dan meminta beliau untuk
memimpin umat Islam. Akhrnya ‘Ali pun terpilih dan dibai’at ramai-ramai oleh umat Islam.
250
‘Ali terpilih pada masa-masa sulit, dan pemilihan atas dirinya dianggap kurang legitimate oleh
sebagian orang karena umat Islam tidak satu suara pada masa itu. Pada pola pertama ini, metode bai’at digunakan untuk
melegitimasi dan menyempurnakan kedudukan khalifah. Bai’at sendiri memiliki pengertian “mengadakan janji setia,” dalam surah
al-Fath ayat 10 menyebutkan tentang bai’at:
249 Muhammad Husain Haekal, ‘Usman bin Affan, terj. Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2004, h. 03.
250 Al Hamid Al-Husaini, Dari Saqifah..., h. 85.
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di
atas tangan mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” Q.S Al-Fath: 10
Dalam ayat ini, bai’at bukan hanya sebuah keharusan, secara praktis bai’at berguna untuk memperkuat dan menyempurnakan
kepemimpinan. Sebagaimana Rasulullah SAW. Para khalifah juga mempunyai tugas yang sama dengan Rasulullah SAW selalin
tugas-tugas kenabiannya. Kepemimpinan baru akan menjadi kuat setelah adanya bai’at dari umat. Dengan demikian, pemimpin akan
mendapatkan dukungan dan keta’atan dari umat, sehingga ia akan dapat melaksanakan pemerintahan dengan baik.
b. Penunjukan Secara Langsung dari Khalifah Sebelumnya.