BAB IV PERBANDINGAN KONSEP KEPEMIMPINAN
MENURUT SYI’AH ISNA ‘ASYARIYYAH DAN AHL AL- SUNNAH WA AL-JAMA’AH
A. Persamaan
Pada bab sebelumnya, pembahasan mengenai konsep kepemimpinan imamahkhilafah menurut Syi’ah Isna ‘Asyariyyah
Syi’ah dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah Sunni telah dijelaskan. Pada pembahasan itu, penulis menemukan beberapa unsur persamaan
dan perbedaan. Persamaan itu meliputi kesamaan dalam intisari pendefinisian kepemimpinan, dan kesamaan dalam penolakan
terhadap dualisme kepemimpinan. Namun di sisi lain, penulis juga menemukan sejumlah perbedaan yang cukup tajam. Perbedaan-
perbedaan itu meliputi, apa persyaratan seorang pemimpin, apa saja tugas-tugas seorang pemimpin, dan bagaimana pola-pola penegakan
kepemimpinan. Pada pembahasan ini, persamaan antara kedua konsep
kepemimpinan menurut Syi’ah dan Sunni akan terlebih dahulu dipaparkan. Berikut unsur-unsur persamaan yang dimaksud:
1. Kesamaan dalam kebutuhan terhadap eksistensi kepemimpinan. Antara kalangan Syi’ah dengan Sunni, mengartikan
imamahkhilafah dengan berbeda. Ibrahim Amini berpendapat bahwa
imamah adalah khalifah Rasulullah yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan yang wajib dipatuhi serta diikuti.
259
Sedangkan menurut Muhammad Ridha Al-Munzhaffar, Imamah merupakan kepemimpinan yang diyakini sebagai buah kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu, sudah merupakan kelaziman adanya pembawa petunjuk pada setiap zaman yang
mewarisi tugas-tugas Nabi SAW dalam misi penyebaran hidayah serta bimbingan, menuju kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia maupun
akhirat.
260
Sementara itu, kalangan Sunni mengartikan khilafah sebagai kepemimpinan agung bagi kaum Muslim di seluruh dunia
untuk menerapkan Islam secara menyeluruh.
261
Atau menurut al- Mawardi diartikan sebagai pengganti Rasulullah yang mengambil alih
peran Nabi Muhammad SAW dalam menjaga agama dan mengatur dunia.
262
Dari definisi ini memang terlihat berbeda, namun pada intinya, imamah dan khilafah itu merupakan kepemimpinan bagi
seluruh umat islam yang harus ditaati dan wajib adanya. Dalil qur’an yang digunakan pun sama, yaitu surah an-Nisa ayat 59:
“Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amri di antaramu.”
263
Q.S an-Nisa4: 59
259 Ibrahim Amini, Para Pemimpin…, h.18. 260 Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, Ideologi Syi’ah…, h. 84-85.
261 Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Panduan Lurus…, h. 05. 262 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah…, h. 01.
263 Al-Qur’an dan Terjemahannya Dengan Transliterasi Arab-Latin, Cimahi: Gema
Risalah Press, t.t, h. 162.
Ayat di atas, walaupun ditafsirkan berbeda oleh pihak Syi’ah dan Sunni khususnya kata ulil amri, namun ayat ini sama-sama
dijadikan dasar oleh kedua golongan untuk menegakkan kepemimpinan, sekaligus menjadi hujjah untuk melegitimasi kekuatan
dan kekuasaan imamkhalifah atas umat Islam. Yang perlu digaris bawahi, persamaan yang terpenting dalam kedua konsep ini, ialah
sama-sama mengharuskan adanya seorang pemimpin di tengah-tengah umat Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, keberlangsungan
dakwah Islam dan pelaksanaan hukum-hukum syariat Islam akan tetap terjaga. Tidak hanya itu, dengan adanya pemimpin, umat Islam juga
akan terlindungi dari gangguan musuh-musuh yang mengancam keselamatan ataupun kehormatan umat Islam.
2. Kesamaan dalam Penolakan Terhadap Dualisme Kepemimpinan. Pola penegakan kepemimpinan antara golongan Syi’ah dengan
Sunni memang sangat berbeda. Hal ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Kaum Syi’ah tetap berpegang teguh pada satu pola
tunggal dalam pemilihan seorang pemimpin, yaitu penunjukan yang jelas dengan nash dan wasiat imam terdahulu.
264
Sementara kaum Sunni lebih fleksibel dalam pemilihan kepemimpinan, dan
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi, ada persamaan yang dapat ditemukan di antara kompleksnya
perbedaan kedua konsep kepemimpinan ini. Yaitu, kedua golongan tidak membenarkan adanya dua pemimpin dalam satu wilayah dan
dalam waktu yang bersamaan dualisme.
264 Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, Ideologi Syi’ah..., h. 85.
Syi’ah misalnya, sejak sepeninggalan Rasulullah hingga saat ini, mereka tetap percaya dan taat kepada satu imam di setiap
periodenya. Tidak ada kepemimpinan kembar dalam satu wilayah maupun satu zaman bagi mereka. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib menjabat
sebagai imam dan mendapat tantangan serius dari Mua’wiyah, kalangan Syi’ah tetap setia dan taat kepada ‘Ali, dan tidak
membenarkan klaim Mu’awiyah atas kepemimpinan yang ia rebut dari ‘Ali bin Abi Thalib, oleh karena itu kalangan Syi’ah berjuang
melawan Mu’awiyah untuk menegakkan kembali imamah yang sah menurut pandangan mereka. Demikian juga ketika imam ke-12 al-
Mahdi mereka ghaib, mereka tetap setia dan menunggu kemunculan imam al-Mahdi untuk kembali memimpin umat Islam.
Tidak berbeda dengan kalangan Sunni, mereka juga tidak mengakui adanya dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah atau
satu waktu yang bersamaan. Seperti pendapat Al-Mawardi mengatakan bahwa, jika kepemimpinan itu diberikan kepada dua
orang di dua wilayah, maka kepemimpinan keduanya tidak sah, karena umat tidak dibenarkan mempunyai dua khalifah pada waktu
yang sama.
265
Pendapat ini mencerminkan kesamaan dalam hal penolakan terhadap dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah dan
satu zaman seperti kalangan Syi’ah.
B. Perbedaan