Konsep Tindakan Komunikatif dalam Pandangan Habermas

16 respons yang sesuai. Makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola perilaku. Ciri khas interaksi yang diperantarai simbol adalah komunitas bahasa hanya memiliki tanda, berangkat dari situasi di mana dua partisipan independen dapat menggunakan dan memahami simbol yang sama dengan makna, juga yang sama dalam situasi yang minimal cukup mirip. 18 Perkembangan selanjutnya yang mengarah kepada wicara speech hanyalah perkembangan yang mengalir dan menjadi suatu komunikasi antara partisipan satu dengan yang lainnya. Analisa awalnya adalah interaksi yang diperantarai syarat karena di sanalah ia menemukan awal proses semantisasi berkaitan dengan bahasa sehingga kebanyakan dalam suatu masyarakat melalui interaksi dan menjadi peristiwa selalu mentransformasikannya menjadi simbol dengan maknanya. Intersubjektivitas yang terbentuk melalui bahasa memungkinkan terjadinya komunikasi. 19

C. Konsep Tindakan Komunikatif dalam Pandangan Habermas

Basis tindakan komunikatif Habermas sebenarnya telah terurai singkat lebih dahulu dalam konsep-konsep tindakan yang ia rumuskan. Pada saat itu konsep tindakannya hanya diorientasikan dengan bahasa sebagai dasarnya menjalin relasi dan kini konsep itu berkembang menjadi suatu model tindakan komunikatif yang benar- benar mempertimbangkan asas-asas perilaku dan asas-asas ilmu komunikasi yang berlaku pada diri manusia, baik secara individu maupun sosial masyarakat. 18 Habermas, The Theory, Vol. 2 …, 6. 19 Ibid., 11. 17 Dalam kaitan antara tindakan komunikasi dengan tindakan komunikatif, Habermas menerangkan bahwa tindakan komunikasi tidak bisa disamakan dengan tindakan komunikatif. Bahasa adalah sarana komunikasi dalam saling mencapai pemahaman, yang berusaha mencapai pemahaman satu sama lain untuk dapat mengoordinasikan tindakan-tindakan mereka mengejar tujuan-tujuan tertentu. Terkait dengan definisi paragraf di atas, struktur teleologis merupakan konsep dasar dalam tindakan tersebut. Jadi sangat jelas di sini bahwa tindakan komunikasi berfungsi sebagai mekanisme koordinasi untuk tindakan-tindakan lain. Lain halnya dengan tindakan komunikatif, dalam model tindakan ini interaksi yang diperantarai secara linguistik, yang di dalamnya semua partisipan ingin mencapai tujuan-tujuan ilokusioner. Pada model ini juga, ada upaya interpretif yang menjadi dasar proses interpretasi kooperatif merepresentasikan mekanisme pengoordinasian tindakan. Namun, kedua model ini menjadi satu ke dalam interaksi-interaksi strategis. Interaksi- interaksi ini diperantai secara linguistik oleh paling tidak salah satu partisipan agar tindak-wicaranya speech act menghasilkan efek-efek perlokusioner kepada pendengar. Pembahasan Model Tindakan Komunikatif ini ada enam hal yang diajukan oleh Habermas untuk memahaminya, namun penulis hanya mengambil tiga hal yang cukup mencakup keenam hal tersebut, yaitu 1 masalah koordinasi tindakan, 2 perbedaan ilokusioner dan perlokusioner yang mempunyai orientasi kepada keberhasilan dan orientasi kepada tercapainya pemahaman, 3 peran klaim validitas: 20 Pertama, masalah koordinasi tindakan . Sebelum terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola tindakan sendiri- 20 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1 …, 279. 18 sendiri. Pada titik peralihan pertama, Habermas melihat kepada teori tindakan Weber yang mempunyai suatu pandangan fundamental bukan kepada relasi antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang bertindak sendiri-sendiri. Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan pada model subjek yang bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling memengaruhi – yaitu tindakan rasional-bertujuan 21 oleh tindakan-tindakan individu yang diorientasikan pada harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Tujuan-tujuan yang demikian juga bisa disebut sebagai tujuan utilitarian, yang dapat dilihat melalui tujuan spesifik menurut situasinya, yang merupakan bentuk makna subjektif dapat dikaitkan subjek yang bertindak dengan aktivitas terarah guna mencapai tujuan. 22 Seorang aktor bertingkah laku secara rasional-bertujuan ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan individu, misalkan apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu kesadaran yang jelas tentang komplementaritas melengkapi sekaligus 21 Istilah ini ialah istilah langsung dari Weber yang menganalisa masyarakat dan perekonomiannya. 22 Ibid., 280. Lih. juga H. Girndt, Das Soziale Handeln als Grundkategorie der erfahrungwissenschaftlichen Soziologie Tübingen, 1967. 19 ketidakmenentuan posisi kepentingan mereka sendiri. Beda halnya dengan interaksi yang didasarkan pada konsensus normatif. Interaksi ini tidak hanya menimbulkan tindakan konvensional adat pembiasaan, melainkan juga tindakan dalam bentuk gagasan tentang kontrak dasar antara orang-orang yang bebas dan setara. 23 Tindakan komunikatif dalam koordinasi tindakan dapat didefinsikan bahwa orientasi utama partisipan bukanlah mencapai keberhasilan pribadi. Para partisipan itu dapat mengejar tujuan-tujuan asalkan mereka dapat mengharmoniskan rencana tindakan mereka berdasar definsi-situasi yang sama. Dalam hal ini negoisasi definisi-situasi adalah suatu elemen mendasar bagi upaya interpretatif yang diperlukan bagi tindakan komunikatif. 24 Kedua, perbedaan ilokusioner dan perlokusioner yang mempunyai orientasi kepada keberhasilan dan orientasi kepada tercapainya pemahaman. Dalam hal ini, tindakan sosial dapat dipilah-pilah menurut apakah para partisipan menerapkan sikap orientasi pada keberhasilan atau orientasi pada pencapaian pemahaman sehingga dapat dipahami unsur-unsur struktural proses pencapaian pemahaman yang dari itu dapat diambil beberapa asumsi pragmatika umum tentang tindakan komunikatif. Untuk dapat menjelaskan maksud dengan “suatu sikap yang diorientasikan kepada tercapainya pemahaman”, Habermas mempunyai penjelasan mengenai konsep pencapaian pemahaman yang padat. “Tercapainya pemahaman dipandang sebagai suatu proses tercapainya kesepakatan antar subjek yang berbicara dan bertindak. Secara alamiah, sekelompok orang dapat sama-sama merasa berada dalam satu mood yang begitu cair sehingga kandungan proposisionalnya atau objek intensional yang menjadi sasarannya sulit diidentifikasi. Kemiripan pikiran secara 23 Ibid., 283. 24 Ibid., 285. 20 kolektif semacam itu belum memenuhi syarat tipe kesepakatan di mana upaya untuk mencapai pemahaman dapat dihentikan ketika pemahaman telah berhasil dicapai. Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif, atau kesepakatan yang secara timbal balik diasumsikan terjadi di dalam tindakan komunikatif, dipilah-pilah berdasarkan kandungan proposisionalnya. Dikarenakan adanya struktur linguistik tersebut, kesepakatan ini tidak dapat hanya diraih melalui pengaruh dari luar; kesepakatan ini harus diterima atau diyakini validitasnya oleh para partisipan. Sampai di sini, kesepakatan ini dapat dibedakan dari persetujuan secara de fa cto . Proses tercapainya pemahaman berusaha meraih suatu kesepakatan yang memenuhi syarat-syarat persetujuan yang bermotif rasional terhadap isi wicara. Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif memiliki basis rasional; dia tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak, apakah secara instrumental melalui intervensi di dalam situasi secara langsung atau secara strategis dengan cara mempengaruhi keputusan pihak lawan.” Akan tetapi, ada juga jenis kesepakatan melalui paksaan: “Kesepakatan memang bisa dicapai secara objektif melalui paksaan; namun, yang muncul secara terang-terangan melalui pengaruh luar atau penggunaanya kekerasan tidak dapat secara subjektif disebut sebagai kesepakatan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama. Tindak-wicara seorang baru berhasil jika orang lain menerima tawaran yang ada di dalamnya dengan mengambil posisi betapa p un implisitnya “ya” atau “tidak” terhadap klaim validitas yang dapat dikritik. Kedua ego pihak yang mengajukan klaim yang valid dengan cara berbicara, dan orang lain pendengar, yang mengakui atau menolaknya, mendasarkan keputusan masing-masing pada dasar atau alasan- alasan potensial. ” 25 Jika analisis model percakapan ini dipakai sebagai pendekatan untuk memisahkan tindakan yang diorientasikan pada tercapainya keberhasilan dengan tindakan yang diorientasikan pada tercapainya pemahaman akan ditemukan kesulitan. Pada satu sisi, dengan bantuan tindakan komunikatif pembicara dan pendengar dapat sampai kepada pemahaman tentang sesuatu mekanisme untuk mengoordinasikan 25 Jürgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif, Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat Bantul: Kreasi Wacana, cetakan ketiga, 2009, 352-3; yang diterjemahkan oleh Nurhadi dari judul asli Theorie des Kommunikativen Handelsn, Band 1: Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung. Proposisional ialah ungkapan yang mengandaikan sesuatu dapat dipercaya, disangsikan, atau dibuktikan benar-tidaknya. 21 tindakan. Namun, unsur teleologisnya dapat diamati melalui penghubungan rencana tindakan terstruktur dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi. Sehingga pada sisi lainnya, terdapat nuansa tercapainya pemahaman sebagai solusi atas masalah koordinasi antar subjek yang bertindak dengan orientasi ke arah keberhasilan. Pengamatan dapat dilihat melalui seorang subjek memberikan sesuatu untuk dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu. Artinya, ini menimbulkan kesan bahwa seorang subjek terang-terangan memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri, yaitu, menyuruhnya bertindak sebagaimana yang ia kehendaki dengan secara manipulatif menggunakan sarana linguistik dan memperalatnya demi kesuksesan dirinya. 26 Inilah tindakan yang diorientasikan pada keberhasilan. Tindakan yang diorientasikan kepada keberhasilan disebut sebagai tindakan instrumental dan tindakan strategis. “…Tindakan instrumental jikalau tindakan itu dilihat berdasarkan aturan teknis tindakan dijajaki keampuhannya dalam mengintervensi suatu kompleks situasi dan peristiwa- peristiwa. … tindakan strategis jikalau tindakan itu dilihat berdasarkan aspek aturan-aturan pilihan rasional dan dijajaki keampuhannya dalam memengaruhi keputusan-keputusan lawan yang rasional. ” 27 Habermas mencoba membedahnya dengan memastikan bahwa kesulitan ini tidak akan terjadi jikalau pemakaian bahasa yang berorientasi pada tercapainya pemahaman adalah model pemberian suatu pemahaman untuk dipahami dan membiarkan sesuatu untuk dipahami. Bagi Habermas, Austin mempunyai pemilahan ini, yaitu, antara ilokusi dan perlokusi. Austin sendiri memperkenalkan ketiga istilah ini 26 Ibid., 288. 27 Habermas, Teori Tindakan Komunikatif …, 350. 22 sebagai berikut: a lokusi : semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak suatu tindakan yang mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu di dalam kamus dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya; b ilokusi : hal tertentu yang dimaksudkan atau ingin dicapai dari suatu tindak wicara; dan c perlokusi : mengacu pada efek yang ditimbulkan oleh tindak wicara yang dihasilkan. 28 Austin menggunakan istilah „lokusioner‟ untuk menunjuk kandungan kalimat proposisional, mengekspresikan keadaan-keadaan, juga mengatakan sesuatu. Melalui tindakan ilokusioner seseorang menampilkan suatu tindakan ketika mengatakan sesuatu, sedangkan tindakan perlokusioner ini, pembicara menimbulkan efek bagi pendengar dan dengan melakukan percakapan dia menyebabkan terjadinya sesuatu di dunia ini. Habermas merumuskan kata kuncinya sebagai berikut: mengatakan sesuatu, bertindak ketika mengatakan sesuatu, menyebabkan sesuatu terjadi dengan cara bertindak ketika mengatakan sesuatu. 29 Ada batasan konseptual yang ditekankan oleh Austin, tindakan ilokusioner dihadirkan sebagai sesuatu yang sesuai dengan diri pembicara itu sendiri dan selalu dengan tujuan komunikatif, yaitu agar pendengar dapat memahami dan menerima perkataannya. Cukup memadainya percakapan harus dipahami dengan pengertian bahwa maksud komunikatif pembicara dan tujuan ilokusioner yang sedang ia upayakan berasal dari makna manifes hal-hal tertentu yang dimaksud atau ingin dicapai dari setiap yang dikatakannya. Lain hal dengan efek perlokusioner. Tindakan ini muncul dari fakta bahwa tindakan ilokusioner berada pada konteks interaksi, percakapan dapat menimbulkan 28 Lih. J.L.Austin, How To Do Things with Words Oxford, 1962. 29 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1 …,289. 23 efek samping yang tidak dapat diperkirakan maksudnya oleh sang aktor. Tindakan ilokusioner kadang-kadang berperan di dalam konteks interaksi dengan efek-efek yang muncul ketika suatu percakapan dengan orientasi keberhasilan memperalat percakapan untuk tujuan yang kaitannya dengan makna hal-hal yang dikatakan tidak dapat dipastikan. Kalau makna hal-hal yang dilakukan adalah hal mendasar bagi tindakan ilokusioner, maka yang mendasar bagi efek perlokusioner adalah maksud dari aktor itu sendiri. Ada empat kriteria demarkasi atau garis batas antara tindakan ilokusioner dan tindakan perlokusioner: 30 Pertama, dengan tindakan ilokusioner seorang pembicara membiarkan seorang pendengar mengetahui kalau dia menginginkan apa yang dia katakan dipahami sebagai sapaan, perintah, peringatan, dan lain-lain. Dengan kata lain ada identifikasi-diri. Tujuan perlokusioner pembicara melalui tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, tidak berasal dari isi yang tampak dari percakapan tersebut. Artinya, tujuan ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara. Contoh: seorang pendengar memahami suatu permintaan yang ditujukan kepadanya dari pembicara hanya sedikit dari apa yang diutarakan pembicara yang pada saat itu tergesa- gesa, tetapi pendengar memahami mengapa ia tergesa-gesa. Pendengar paling tidak dapat menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu. 31 Kedua, syarat bagi keberhasilan ilokusioner pembicara tidak serta-merta menjadi syarat bagi keberhasilan perlokusioner – yang mungkin ingin dicapai – karena dalam setiap percakapan terjadi maksud-maksud yang lain sehingga menimbulkan 30 Ibid., 290-5. 31 Ibid. 24 kesan-kesan yang satu sama lain dan terkadang tidak pada situasi mencapai pemahaman bersama. Kriteria yang ketiga, menegaskan sedikit dari kriteria kedua yaitu hasil ilokusioner terdapat di dalam kaitan yang diatur secara konvensional. Sementara itu, efek perlokusioner tetap bersifat eksternal bagi makna apa yang dikatakan. Artinya, hasil ilokusioner – keberhasilan atas konsekuensi kesepakatan – tidak selalu menjadi perlokusioner. Namun, perlokusioner sudah pasti memanfaatkan tindakannya pada ilokusioner. Kriteria keempat , pada kriteria yang terakhir ini efek-efek perlokusioner hanya dapat dicapai dengan tindak-wicara jika tindak-wicara dilibatkan sebagai sarana ke dalam tindakan yang berorientasi pada keberhasilan. Tindakan-tindakan perlokusioner merupakan indikasi tentang adanya integrasi tindak-wicara ke dalam konteks interaksi strategis. Tindakan-tindakan yang demikian menjadi bagian dari konsekuensi atau hasil yang dikehendaki dari suatu tindakan teleologis yang dilakukan seorang aktor dengan keinginan memengaruhi pendengar dengan cara tertentu menggunakan keberhasilan ilokusioner. Ketiga, peran klaim validitas . Dalam penjelasan ini, Habermas menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh persetujuan konvensional yang tercapai secara komunikatif yaitu fungsi tindakan koordinatif. Ada model pasangan elementer wicara, yaitu tindak wicara pembicara dan respons afirmatif dari pendengar. Penjelasan dengan kata “ya” dalam suatu pembicaraan, pembicara menerima suatu tawaran tindak wicara dan menyatakan kesepakatan tentang apa yang terkandung dalam ucapan. Keberhasilan ilokusioner ini relevan dengan interaksi selama di antara 25 pembicara dan pendengar terbangun suatu relasi antar pribadi yang efektif bagi koordinasi tindakan dan rangkaian interaksi. Melalui perspektif demikian reaksi terhadap tindak wicara dapat dibedakan menjadi tiga level, yaitu pendengar memahami ucapan dengan memahami maksud dari apa yang dikatakan; dengan kata “ya” atau “tidak” pendengar bersikap terhadap klaim yang diajukan dengan tindak wicara, dia menerima tawaran tindak wicara atau menolaknya; dan sebagai konsekuensi dari kesepakatan yang tercapai, pendengar mengarahkan tindakannya sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Artinya, syarat-syarat yang harus dipenuhi sudah jelas, yaitu syarat penerimaan identik dengan syarat keberhasilan ilokusionernya. Habermas lebih menekankan bahwa suatu tindak wicara dikatakan “dapat diterima” jika dia memenuhi syarat-syarat yang diperlukan agar pendengar dapat mengambil posisi “ya” terhadap klaim yang diajukan oleh pembicara. Syarat-syarat tersebut lebih merupakan syarat bagi adanya pengakuan intersubjektif. 32 Habermas mengajukan ada dua cara untuk menganalisa model percakapan imperatif, yaitu dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, jika pendengar terbiasa dengan syarat yang menjadikan terjadinya sesuatu ketika dia merokok, dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan sendiri dalam situasi tertentu agar syarat-syarat tersebut terpenuhi. Syarat-syarat pemenuhan ini ditafsirkan sebagai kewajiban yang relevan dengan sekuel interaksi. Artinya, seseorang harus mengetahui 32 Ibid., 296. 26 syarat kebenaran proposisi agar bisa memahaminya, dia harus tahu syarat kebenaran yang menjadikan suatu imperatif dapat terpenuhi jika dia ingin memahaminya. 33 Dalam pengertian sempit dapat dilihat cakupan konteks interaksi hanya sebatas mengetahui apakah suatu imperatif diterima atau tidak. Sedangkan dalam pengertian luas, analisa diperluas sampai kepada kesadaran akan imperatif yang menjadi dasar kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang relevan dengan sekuel interaksi. Maksud Habermas adalah ada faktor lain dalam imperatif tersebut sehingga dipatuhi oleh pendengarnya sesuai dengan konteks pada saat itu faktor yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Melalui imperatif ini, pembicara mengajukan klaim kekuasaan terhadap pendengar dan ini hanya berlaku dalam kondisi si pembicara tahu bahwa lawan bicaranya memiliki alasan untuk menerima imperatifnya, yaitu alasan sanksi atau hukuman. Artinya ada syarat sanksi – dalam syarat pemenuhan – untuk melengkapi syarat penerimaan. Melalui dua cara ini, sempit dan luas, pendengar baru bisa dikatakan telah memahami permintaan imperatif ketika dia mengetahui apa saja syarat- syarat yang harus dipenuhi agar keadaan yang diinginkan itu segera dilakukannya dan melalui ini dapat diketahui apa yang akan membuat ucapan si pembicara dapat diterima mengetahui alasannya. Melalui pemaparan di atas, apabila memakai bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas, itu berarti telah mengandaikan berbagai macam sikap performatif terhadap dunia. Artinya, orang dapat membeda-bedakan macam-macam pernyataan- 33 Kebenaran proposisi ini ialah ungkapan dari pembicara menyangkut kalimat imperatifnya mempunyai suatu sinyal kebenaran dengan keadaan yang akan terjadi dan tindakan apa yang harus dilakukan dalam taraf interpretasi dari pendengar, seperti: pendengar memahami bahwa merokok menyebabkan sesuatu nantinya bisa juga dalam konteks pada saat itu dan dia harus melakukan tindakan sebagai tanda dia memahaminya. 27 pernyataan yang diungkapkan, yaitu pernyataan bersifat emipiris-objektif, subjektif dan normatif. Ia menggunakan ketiga hal ini sebagai dimensi-dimensi klaim kesahihan Geltungsansprüche , di mana pernyataan-pernyataan setiap orang itu benar wahr , tepat tichtig , atau jujur wahrhaftig , dan di dalam praksis komunikasi sehari-hari apa yang disebutnya klaim-klaim kesahihan ini diandaikan dengan begitu sajatanpa disadari. 34 Penjabarannya sebagai berikut: 35 1 Klaim validitas normatif ketepatan : kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. Dalam hal ini harus dibedakan antara validitas suatu tindakan atau norma yang mendasarinya dan klaim bahwa syarat-syarat bagi dipenuhinya valid. Orang yang meragukan validitas norma-norma yang ada harus memberikan alasan dan landasannya, baik itu secara moral-praktis maupun secara terang-terangan melawan kekuatan sosial. Klaim ini mempunyai daya jaminan yang kuat dari lawan bicaranya ketika pembicara mampu memberikan landasan dan alasan yang kuat. “Seorang pembicara dapat memotivasi secara rasional seorang pendengar untuk menerima tawaran tindak wicara karena – berdasarkan kaitan internal antara validitas klaim yang valid, dan penolakan kevalidan klaim – dia dapat memperoleh jaminan bagi tersedianya, jika diperlukan, alasan-alasan meyakinkan yang akan membentuk kritik atas kevalidan klaim. Dengan demikian seorang pembicara memperoleh kekuatan yang mengikat mempersatukan tindakan ilokusionernya tidak dari validitas hal-hal yang dikatakan melainkan dari efek koordinasi jaminan yang ditawarkannya, tempat bagi kekuatan sanksi yang didorong secara empiris digantikan oleh kekuatan pendorong rasional untuk menerima jaminan pembicara bagi diterimanya klaim validitas. ” 36 34 F. Budi Hardiman, Demokrasi Liberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas Jogjakarta: Kanisius, 2009, 36. 35 Ibid., 301-316. Lih.juga F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jürgen Habermas Yogyakarta: Kanisius, cet. Ke-4, 2012, 18. 36 Ibid., 302. 28 2 Klaim kebenaran : kesepakatan tentang dunia alamiah yang sedang terjadi dan objektif. Klaim ini berdasar atas suatu pengalaman subjektif yang terungkap dan berdasar atas kebenaran suatu proposisi. Ungkapan ini akan menjadi valid ketika seorang pendengar memahami suatu pengakuan dan dalam pemahaman itu ia mengetahui adanya syarat-syarat yang memungkinkan seseorang memahami ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan oleh pembicara dalam perkataan dan maksudnya. 3 Klaim kejujuran : kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. Seorang pembicara bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya hanya dapat dipastikan di dalam konsistensi hal-hal yang dilakukannya, yaitu adanya konsistensi perilaku pada hal-hal tertentu. Habermas mengatakan bahwa seseorang dapat menganalisis maksud orang-orang yang berinteraksi untuk sampai kepada pemahaman harus mulai dari posisi yang mengacu pada model percakapan. Oleh karena itu, ia memaparkan fungsi dari percakapan seperti ini: 37 a. Untuk membangun dan memperbarui hubungan antar pribadi, yang di dalamnya pembicara menciptakan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia tatanan sosial sebagai sesuatu yang legitim; b. Untuk merepresentasikan atau menduga kondisi dan peristiwa yang di dalamnya pembicara menciptakan hubungan dengan sesuatu di dunia keadaan yang sedang terjadi; 37 Ibid., 308. 29 c. Untuk memperlihatkan pengalaman – representasi diri – yang di dalamnya pembicara menciptakan hubungan dengan sesuatu di dunia subjektif tempat dia memiliki akses istimewa. Kesepakatan yang tercapai secara komunikatif diukur berdasarkan tiga klaim kesahihan yang telah disajikan oleh Habermas di atas. Keberhasilan komunikasi tergantung pada kemampuan pendengar untuk menerima atau menolak klaim-klaim kesahihan itu. Seseorang yang menolak suatu tindak wicara yang sedang dipahami berarti sedang mempersoalkan salah satu klaim validitas. Jika ada penolakan dengan mengatakan “tidak,” sebenarnya pendengar sedang mengekspresikan fakta bahwa ucapan atau kalimat yang dikatakan pembicara belum memenuhi fungsinya yang telah dipaparkan oleh Habermas. 38

D. Proses Pengambilan Putusan

Dokumen yang terkait

Bab 1 Berkomitmen Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara

0 9 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB IV

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB II

0 6 99

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB II

0 0 29

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ADMINISTRASI_NEGARA ADMINISTRASI_NEGARA

0 0 7