Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengantar

Landasan teori dalam bahasa Inggris Literature Review memiliki pengertian sebagai berikut: A literature review is a written document that presents a logically argued case founded on a comprehensive understanding of the current state of knowledge about a topic of

study. This case establishes a convincing thesis to answer the study‟s question.1

Landasan teori bertujuan mendeskripsikan pemahaman logis pengetahuan berdasar topik studi. Penelitian tentang kemanusiaan Pancasila perspektif Sukarno menggunakan teori sosiologi melalui kedua tokoh utama yaitu Auguste Comte dan Max Weber. Alasan penulis menggunakan kedua tokoh karena sesuai bidang studi Sosiologi Agama. Beberapa tokoh filsafat seperti Immanuel Kant di dalam landasan teori bertujuan sebagai perbandingan dan memperkaya pemahaman kemanusiaan dari tokoh sosiologi dan filsafat. Penulis di dalam landasan teori mendiskusikan pemahaman kemanusiaan dari beberapa tokoh untuk mempertajam analisis teori kemanusiaan.

2.2. Kemanusiaan dalam Diskursus Sosiologi Agama

1

Lawrence A. Machi & Benda T. Mcevoy, The Literature Review: Six Steps To Succes (USA: Corwin Press, 2016), 5.


(2)

Penulis memahami kemanusiaan dalam sosiologi agama sebagai dua dimensi dunia, yaitu dimensi dunia religius dan dimensi dunia sosial. Kemanusiaan terdiri dari dua ruang lingkup dan dua sisi. Pemisahan dunia religius dan dunia sosial bertujuan memahami karakteristik kemanusiaan dari kedua sudut pandang. Prinsip Agama dan masyarakat bahwa agama dalam masyarakat adalah fakta sosial, dan nilai-nilai keagamaan mempengaruhi eksistensi masyarakat. Dua bentuk diskursus sosiologi agama adalah normatif dan empiris. Normatif mengikuti teori-teori sosial seperti contoh teori Karl Marx, Emile Dhurkeim, Max Weber, dan empiris dipahami melalui fakta sosial, ekspresi agama, praktis agama, implikasi, inter-relasi pendekatan geografik, tematik, demografi, dan motivasi keagamaan. Relasi antara edukasi dan agama adalah signifikan dalam sosiologi agama: “the connection between education and religious preferences and choices is of continuing importa nce for sociologists of religion”.2

2.2.1. Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial

Metode pendekatan memahami kemanusiaan dalam dunia keagamaan melalui jalur fenomenologi agama. Penelitian fenomenologi agama menyelidiki tradisi keagamaan. Hasil penyelidikan mencatat tradisi keagamaan adalah plural. Realitas plural keagamaan melalui dialektika fenomenologi, dan berfungsi untuk memahami perbedaan dimensi setiap keagamaan dalam pandangan dunia agama. Penulis mengikuti pendapat Ninian Smart dalam tujuh dimensi agama: “1) the ritual or practical dimension, 2) the doctrinal or philosophical dimension, 3) the mythic or narrative dimension, 4) the experiential or emotional dimension,

2

Ole Preben Riis, “Methodology in Sociology of Religion” dalam The Oxford Handbook of The Sociology of Religion, Peter B. Clarke (ed.) (Oxford: Oxford University Press, 2009), 231.


(3)

5) the ethical or legal dimension, 6) the organizational or socia l component, 7) the material or artistic dimension”.3

Pertama, ritual sebagai dimensi praktis berada dalam kegiatan seperti penyembahan, meditasi, ziarah, pengorbanan, ritus, sakramen, dan aktivitas penyembuhan. Kedua, doktrin sebagai dimensi filosofi berfungsi membantu individu memahami ajaran agama, dan eksistensi doktrin. Contoh doktrin kefanaan dalam tradisi Buddha. Ketiga, mite sebagai dimensi naratif melalui cerita agama, dan histori tradisi agama. Contoh cerita kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus dalam iman Kristen. Keempat, pengalaman sebagai dimensi emosional adalah signifikan dalam sejarah agama, karena pengalaman bersifat visioner dan meditatif. Contoh pencerahan dalam Buddha, visi nabi Muhammad dalam Islam, dan konversi Paulus dalam Kristen. Kelima, etika sebagai dimensi legal dalam bentuk imperatif seperti contoh perintah taurat dalam Yahudi ortodoks, dan syariat dalam Islam. Perkembangan etika sebagai dimensi legal dalam nasional modern terdapat dalam norma sipil dan aturan di sekolah. Keenam, organisasi sebagai komponen sosial dalam spesialis agama seperti para imam, guru, rabi. Ketujuh, material sebagai dimensi artistik berada dalam paham seni bangunan ibadah seperti gereja, dan masjid. Pendapat Armin W. Geertz perihal studi agama: “The study of religion is a theoretical project, exploring an academic construction called „religion‟, which is informed by empirical evidence perceived in terms of a whole range of ideas and assumptions. Religious ideas are connected to human emotional systems. Religious ideas are primarily a function of the social mind. Religion is not a cognitive illusion as such”.4

3

Ninian Smart, Dimensions of Sacred: An Anatomy of the World‟s Beliefs (California: University of California Press, 1996), 10-11.

4

Armin W. Geertz,, “Cognitive Approaches to Study of Religion” dalam New Approa ches to The Study of Religion, Peter Antes (ed.) (Berlin: Walter de Gruyter, 2004), 347.


(4)

Aspek fundamental kognisi manusia adalah kesadaran, representasi, simbol, bahasa dan. emosi. Lima tema kognisi dalam studi sosiologi agama adalah pertama, origins dan

evolutions; kedua, kesadaran dan pribadi; ketiga, naratif, kognisi, dan budaya; keempat, linguistik kognisi; dan kelima, ritual dan kognisi. Orisinal dan evolusi adalah evolusi kognisi dan budaya manusia sebagai contoh penelitian Merlin Donald dalam Origins of Modern Mind

adalah tiga fase transisi Homo Erectus repsentasi mimetik ritual menari, dan gestur drama;

Homo Sapiens: bahasa, budaya mite (myth); mistik ke teori; evolusi biologi manusia. Penelitian Terrence W. Deacon mengenai neurobiologi adalah seksual reproduksi; seleksi seksual dan ritualisasi, perkawinan sebagai komunikasi simbolik. Demonstrasi simbol sebagai fungsi agama adalah menjelaskan dunia jahat dan penderitaan; ancaman kematian; keteraturan sosial moral masyarakat; ilusi. Kesadaran dan pribadi: neural mapping: pikiran, pribadi, memori, sejarah, dan dunia.

Agama dalam fase masyarakat nomadik: agama berintegrasi dalam kelompok kekerabatan (kinship). Ciri-ciri Agama fase nomadik adalah kekuatan simbol-simbol.5

Agama dalam fase masyarakat agraris: Ciri-ciri kepercayaan masyarakat agraris adalah pemahaman konsep supernatural. Mitologi sebagai nilai dan moral berasal dari supernatural. Konsep Panteisme (ajaran menyamakan Tuhan dengan kekuatan dan hukum alam; penyembahan kepada semua Dewa dari berbagai kepercayaan). Ritual masyarakat agraris berdasar kalender, dan klerus (golongan rohaniwan) sebagai kontrol ekonomi ritualisasi.6

Keagamaan masyarakat agraris terdiri dari kelompok sosial. kelompok sosial merupakan sejumlah orang hidup bersama dalam suatu area tertentu secara permanen memiliki seperangkat tatanan norma, nilai, dan harapan sama dan secara sadar dan teratur saling berinteraksi. Berikut pernyataan Pippa Norris: “in the agrarian societies, religiosity was strong and broadly

5

Jonathan H. Turner, Theoretical Principles of Sociology vol.1 (New York: Springer, 2010), 231. 6

Jonathan H. Turner & Alexandra Maryanski, On The Otigin of Societies by Natural Selection (New York: Paradigm Publishers, 2008), 233.


(5)

distributed across most social groups by gender, age, work status, income, and marital status”.7

Agama dalam fase masyarakat Industri: ciri-ciri agama fase industri adalah pemisahan antara supernatural dan natural. Agama bersifat universal, dan sekularisasi menciptakan ideologi-ideologi baru seperti: agama masyarakat (“civil religions”), nasionalisme,

kapitalisme, dan humanisme.8

Dimensi dunia sosial: kultur sebagai konstitusi subjektif dan tindakan manusia, seperti kultur agraris. Di satu sisi, kultur adalah pemahaman umum seperti hukum pernikahan, dan doktrin agama dalam sebuah masyarakat. Kultur dalam pikiran kolektif sosial berada pada bahasa, kepercayaan, dan nilai suatu komunitas. John Scott memahami kultur sebagai mentalitas kolektif: culture as collective mentality.9

2.3. Kemanusiaan dalam Multi-Definisi

2.3.1. Terminologi Kemanusiaan

Bahasa Inggris kemanusiaan adalah humanity. Kata humanity terdiri dari banyak kata yaitu human, humane, humanism, humanist, humanitarian. Akar kata kemanusiaan adalah manusia (man) dan dalam bahasa Latin homo hominis atau humanus. Skala Internasional perkembangan kata kemanusiaan berawal dari abad ke 14 humanitd mengarah pada unsur kesopanan (politeness). Pada abad ke 16 penggunaan kata kemanusiaan menjadi humane, dan kata ini mengarah pada human nature, human language, dan human reason. Pada abad ke 17,

humanist menggambarkan grup sekolah pada masa renaisans. Pada abad ke 18, humanism

7

Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (New York: Cambridge University Press, 2004), 69.

8

Jonathan H. Turner, Human Institutions: A Theory of Societal Evolution (New York: Rowman & Littlefield Publishers, 2003), 215.

9

John Scott, Conceptualising the Social World: Principles of Sociological Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 16.


(6)

dari kata humanismus tertuju pada tema budaya (culture) dan peradaban (civilization). Pada abad ke 19, humanities berhubungan dengan sikap (attitude) dan kesempurnaan (perfection). Pada abad ke 20, humanitarian berhubungan dengan tindakan individu dan kesejahteraan (welfare).10

Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan terbagi atas lima kelompok: pertama, pandangan tentang manusia tidak berdasar pada filsafat atau ilmu, melainkan pada kepercayaan religius, dan pada pokok berasal dari sumber Yahudi dan Kristiani. Kedua, pandangan tentang manusia berasal dari penemuan Yunani tentang homo sapiens, atau manusia sebagai makhluk rasional. Ketiga, teori bersifat naturalistis, positivistis, dan pragmatis tentang homo faber, menganggap manusia bukan muncul dari diri sendiri, melainkan sebagai hasil perkembangan alam; manusia merupakan hewan memiliki pemikiran luas dan mampu menggunakan simbol dan alat. Konsep keempat, manusia terpengaruh oleh pandangan pesimisme Schopenhauer, memandang manusia secara negatif, sebagai kemerosotan; manusia telah meninggalkan kehidupan, telah melepaskan suasana kosmis suci. Konsep kelima tentang manusia terdapat dalam ide “manusia super” (Ubermensch) dari Nietzsche.11

2.3.2. Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Filsafat Yunani berdasar pada filsafat alam, dan berkembang menjadi metafisika dan etika. Filsafat Yunani turut mempengaruhi perkembangan ilmu di Barat dan filsuf Islam pada abad pertama. Pytagoras (570-496 SM) konsep manusia berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika sebagai dasar realitas. Manusia berada dalam pemahaman ajaran reinkarnasi

10

Raymond William, Keywords A Vocubylary of Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1983), 149-151.

11


(7)

(badan merupakan kubur jiwa atau soma-sema “tubuh-kubur”). Pembebasan jiwa dari badan manusia melalui jalan pembersihan. Kegiatan pembebasan ini menempuh jalan dengan berfilsafat dan bermatematika bertujuan membebaskan keterikatan indra menuju kerohanian. Persahabatan dan persaudaraan semua manusia merupakan nilai tertinggi. Demokritos (460-371 SM) konsep manusia berkaitan dengan kehidupan praktis sebagai idealisme nilai tertinggi. Manusia masuk dalam kerangka hedonistik dengan kalimat “manusia bukan setiap nikmat, melainkan nikmat dari keindahan dalam pencapaian”. Sokrates (469-399 SM) konsep manusia berkaitan dengan paham-paham etis melalui pendekatan dialogis. Paham etis Sokrates mengantar manusia menjadi pelaku keadilan meskipun manusia itu mengalami ketidakadilan.

Plato (427-348 SM) konsep manusia terbagi atas dua realitas, yaitu realitas indra dan realitas rohani. Realitas indra mencakup badan (makam jiwa), dan bersifat sementara. Realitas Rohani mencakup jiwa bersifat abadi. Realitas jiwa merupakan nilai tertinggi melalui proses pencapaian kebahagiaan (dalam bahasa religius: manusia mencapai kebahagiaan apabila menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi) . Manusia menurut Plato akan mencapai eksistensinya apabila terarah kepada Yang Ilahi. Aristoteles (384-322 SM) konsep manusia bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris. Kemampuan akal budi manusia membuat abstraksi bertujuan mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Aristoteles memahami manusia melalui pendekatan empiris. Filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia, dan bagaimana manusia bertindak untuk mencapai tujuan hidup.12

12

Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 27-32.


(8)

2.4. Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Immanuel Kant (1724-1804), kemanusiaan sebagai predisposisi (humanity as a predisposition). Predisposisi berarti kecenderungan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma. Kant membagi tiga fundamen manusia (human nature), yaitu animality; humanity; dan personality. Pertama, animality berkaitan dengan insting seperti memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan seks. Kant menamai proses insting dengan mechanical self-love. Kedua, humanity berada antara predisposisi animality

dan personality. Kant membagi dua bentuk predisposisi humanity dalam antropologi, yaitu

“technical predisposition” (teknik imperatif dalam hal pembelajaran seperti belajar seni dan

ilmu lain) dan “pragmatic predisposition” (aspek pragmatik berkaitan dengan kebijaksanaan atau prudence). Aspek pragmatik dalam humanitas berdiri di atas rasio atau self-love dan berhadapan dengan kondisi sosial. Ketiga, personality berkaitan dengan kesadaran pribadi terhadap moral, dan otonom manusia menyikapi persoalan moral.13

Karl Marx (1818-1883), konsep manusia bahwa dunia manusia adalah negara dan masyarakat. Marx memahami manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi kesosialan manusia berada di dalam Negara. Pekerjaan merupakan tema sentral Marx dalam memahami manusia. Marx membedakan kekhasan pekerjaan antara manusia dan binatang. Binatang bekerja di bawah desakan naluri sesuai kebutuhan, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikat ke dalam realitas alami. Alam manusia mencerminkan siapa itu manusia, dan membuktikan realitas hakikat manusia. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial melalui pekerjaan. Ketergantungan antara individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai dasar.14

Max Scheler (1874-1928), menurut Scheler bahwa manusia mencapai hakikat apabila mentransendensikan diri sendiri.

13

Allen W. Wood, Kant‟s Ethical Thought (Edinburgh: Cambridge University Press, 1999), 118-119. 14

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Da ri Sosialisme Utopis ke P erselisihan Revisionisme


(9)

Kemampuan transenden adalah ciri khas manusia. Manusia mencapai hakikat dalam Iman dan Cinta kepada Tuhan dalam kebersamaan sebuah umat beragama.15

Emmanuel Levinas (1905-1995), Pemikiran Levinas mengenai kemanusiaan terdapat dalam beberapa tulisan, yaitu Totality and Infinity dan Otherwise Than Being. Levinas di sini berupaya memikirkan ulang konsep dan realitas dari “Yang Lain” (Autrui).16

Pemikiran kemanusiaan Levinas seperti contoh konteks pembunuhan. Pembunuhan mengandung kontradiksi logis, dan kontradiksi praktis (in actu exercito). Kontradiksi praktis adalah apa yang dikatakan dan disangkal oleh perbuatan sendiri. Di satu pihak si pembunuh menemui korban, berarti ia mengakui dia sebagai orang lain, ia mengakui dia sebagai sesama manusia, dan di lain pihak, ia menyangkal dia sebagai orang lain, sehingga ia mencabut nyawanya. Kontradiksi adalah bahwa si pembunuh mengakui orang lain sebagai “engkau”, tapi bersamaan ditambahkan “engkau tidak boleh hidup”, “tidak ada tempat untukmu di dunia ini”. Kenyataan ini sebagaimana dalam uraian Levinas bahwa orang lain adalah tampak baginya sebagai “Wajah” (le visage) yang menyapa saya. Apa yang dikatakannya kepada saya, orang lain tidak menggunakan modus indicativus, melainkan modus imperativus. Ia mewajibkan saya untuk mengakui dia sebagai orang lain. Wajah itu mengimbau saya, mengatakan apa yang harus saya lakukan, menunjukkan kewajiban saya terhadapnya. Penampilan “Wajah” menyuruh saya menghormati dia.

Inti imbauan Wajah itu kepada saya adalah: “jangan membunuh”. Sebagai pembunuh saya jatuh dalam kontradiksi, karena saya mengakui korban sebagai orang lain dan serentak juga melanggar imbauan yang keluar dari alteritasnya. Saya mengadakan totalisasi. Saya memasukkan alteritas orang lain dalam totalitas saya, kata Levinas. Penyangkalan alteritas orang lain bisa terjadi dengan pelbagai cara. Banyak bentuk untuk memasukkan orang lain

15

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 29. 16

John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer da ri Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 185.


(10)

dalam proyek totalisasi saya. Misalnya, saya bisa mendominasi orang lain untuk “menggunakan” dia bagi tujuan saya. Penyangkalan alteritas orang lain paling ekstrem adalah dengan membunuh dia. Pembunuhan adalah penyangkalan paling radikal. Pembunuhan adalah cara paling ekstrem untuk memasukkan orang lain dalam proyek totalisasi saya; begitu ekstrem, sehingga alteritasnya tercaplok sama sekali, tidak ada sisa lagi.17

Peter L. Berger (1929-). Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan terdapat dalam beberapa karya tulis seperti The Social Construction Of Reality. Konsep mengenai konstruksionisme oleh sosiolog interpretative: Peter L. Berger bersama Thomas Luckman banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat memiliki pengertian bahwa seseorang baru menjadi seorang pribadi beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada.

Manusia tidak sebagai ketertutupan lepas dari dunia luar. Manusia berusaha menangkap diri dalam menghasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang tercapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif akan menghadapi si penghasil sebagai fakta yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses objektivasi, bahwa masyarakat menjadi suatu realitas

17


(11)

suigeneris. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan ia dibentuk dan dikonstruksi. Pemahaman realitas berwajah ganda atau plural bahwa setiap manusia mempunyai konstruksi berbeda-beda atas suatu realitas.18

2.5. Teori Kemanusiaan

2.5.1. Auguste Comte (1798-1857)

A. Konteks Keluarga dan Pendidikan

Auguste Comte lahir tanggal 19 Januari 1798 di Montpellier sebuah kota wilayah Selatan Prancis, dan Meninggal di Paris karena kanker perut pada 5 september 1857. Nama lengkap Isidore-Auguste-Marie-Francois-Xavier Comte. Ayah Comte bernama Louis Comte bekerja di kantor pajak, dan ibu Rosalie Boyer seorang royalist (pendukung raja atau pemerintahan). Comte hidup dalam keluarga tradisi Roma-Katolik, dan tradisi borjuis. Usia 14 tahun, Comte meninggalkan kepercayaan pada Tuhan, dan politik Comte mengikuti anti-royalist bertentangan dengan keluarga Comte sebagai royalist.

Pada tahun 1814, Comte studi di perguruan tinggi politeknik (École Polytechnique) kota Paris. Awal memasuki pendidikan di Ecole, pihak perguruan tidak mengizinkan Comte dengan alasan usia dini mampu meraih nilai tertinggi. Pendidikan di politeknik berdasar pada matematika, dan menghadirkan perdebatan pandangan antara royalist dan anti-royalist.19

18

Eriyanto, Analisis Framing, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2002), 14-15. 19

Robert Lawless, “Comte, Auguste (1798-1857)” dalam H. James Birx (ed.) Encyclopedia of Anthropology (London: SAGE Publications, 2006), 553.


(12)

Pertentangan pandangan politik tahun 1816 Comte memisahkan diri dari keluarga. Tahun 1817, Comte bekerja sebagai sekretaris Henri Simon (1760-1825). Pemikiran Saint-Simon perihal teori sejarah dan sistem moral (supernatural-politeistik moral: Roma-Yunani; Teisme Kristen: sains sokratis, feodalisme, dan Abad Pertengahan; positivisme: masyarakat industri) kemudian mempengaruhi pemikiran Comte perihal tiga hukum fase intelektual manusia. Tahun 1824, Comte memisahkan diri dari H. Saint-Simon dan di Paris Comte bekerja sebagai jurnalis dan tutor demi mencukupi biaya pendidikan. Pada tahun 1825, Comte menikah dengan Caroline Massin, dan pada 1842, usia 44 tahun Comte bercerai dengan Massin. Dua tahun kemudian tahun 1844, Comte menaruh hati pada wanita bernama Madame Clothilde de Vaux, dan tidak lama perasaan Comte berubah ketika Clothilde meninggal tahun 1846 usia 31 tahun.

Tulisan Comte pertama dipublikasikan antara tahun 1830 dan 1842 dengan judul:

Course of Positive Philosophy. Comte menyebut dirinya sebagai imam kemanusiaan“High

Priest of Humanity” pada pengantar tulisannya System of Positive Polity. Awal dan akhir

karir Comte bagi kalangan akademik maupun intelektual disebut sebagai penemu ilmu sosial (the founder of sociology). Comte mempelajari ide-ide filsafat hukum pada abad 18 disebut abad pencerahan (Enlightment). Empat tokoh berpengaruh dalam pemikiran Comte: Charles Montesquieu (1689-1755); Jacques Turgot (1727-1781); Jean Condorcet (1743-1794); dan Claude Henri de Saint-Simon (1760-1825).20

20

Roger A. Salerno, Beyond The Enlightment : lives and thoughts of social theorists (London: Praeger Publishers, 2004), 19-21.


(13)

B. Konteks Sosial dan Politik

Konteks sosial dan politik periode kelahiran Comte berada dalam gejolak revolusi Prancis (1789-1799) dan pemberontakan masa pemerintahan Kaisar Napoleon. Comte hidup pada masa kegelisahan akibat despotisme (kekuasaan sistem pemerintahan tidak terbatas atau sewenang-wenang). Pada masa raja Louis Philippe I tahun 1830, perkembangan industrialisasi di Prancis mengubah pemandangan politik. Industrialisasi menghadirkan kelas baru (new classes) bagi setiap individu. Pengupahan kaum borjuis terhadap pekerja pabrik sebagai contoh sistem struktur. Sosiologi Comte dipengaruhi kondisi ekonomi, politik, dan sosial revolusi Prancis.

C. Ide Kemanusiaan Comte

Sumber primer buku asli Auguste Comte: Cours de philosophie positive (1830-1842) enam volume, dan Systéme de politique positive, ou Traité de sociologie instituant la religion

de L‟Humanité (1851-1854) empat volume. Alasan keterbatasan penulis memahami buku

bahasa Prancis, maka penulis memanfaatkan tiga buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, the positive philosophy of Auguste Comte: Harriet Martineau sebagai translator; kedua, system of positive polity: John Henry Bridges sebagai translator; dan ketiga, the catechism of positive religion (1852): Richard Congreve sebagai translator. Penulis menggunakan buku sumber sekunder seperti salah satu tulisan Mary Pickering: “Auguste Comte: An Intellectual Biography volume 1-3”. Penulis memahami ide kemanusiaan Comte diuraikan melalui tiga tema sentral, yaitu pertama: kemanusiaan dalam dimensi Positivistik, kedua: kemanusiaan dalam „sociocracy‟, dan ketiga: kemanusiaan dalam „religion of humanity‟.


(14)

C. 1. Kemanusiaan dalam Dimensi Positivistik

Argumentasi Comte dalam memahami nilai dan karakter filosofi positivistik adalah pemahaman fase perkembangan pengetahuan manusia, yaitu teologi sebagai fiktif, metafisika sebagai abstrak, dan sains sebagai positif. Berikut pernyataan Comte:

“in order to understand the true value and character of positive philosophy, we must take a brief general view of the progressive course of the human mind: the theological, or fictitious; the metaphysical, or abstract; and the scientific, or positive. In the theological state: the human mind seeking the essential nature of beings, all phenomena to be produced by the immediate action of supernatural beings. In the metaphysical state: the mind supposes instead of supernatural beings abstract force. In the final, positive state: the mind has given over the vain search after absolute notions, the origin and destination of the universe, and the causes of phenomena”.21

Premis Comte dalam buku Course of Positive Philosophy adalah hukum natural (natural law), dan hukum inheren dalam natural. Comte memahami pengetahuan level pertama sebagai pengetahuan primitif (primitive knowledge). Pengetahuan level pertama berada pada kemagisan dan agama. Konsep omnipresent (Tuhan hadir di segala tempat) sebagai jalan memahami dunia dan sekitar. Level pertama ini disebut theological (teologis), dan dimensi sosial teologi mengarah pada perbudakan dan despotisme militer. Fase teologi terbagi tiga, yaitu animisme atau fetisisme (kepercayaan dan penyembahan benda-benda), politeisme (kepercayaan lebih dari satu Dewa atau Tuhan), dan monoteisme (kepercayaan kepada satu Tuhan).

Level pengetahuan kedua adalah metaphysical (metafisika). Titik-tolak metafisika berdasar abstrak dan konsepsi. Unsur-unsur pendekatan metafisika adalah mengkategorikan, logis, dan kebijaksanaan filsuf. Dimensi sosial level metafisika berkenaan dengan identitas

21

Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte: Harriet Martineau (trans.) (New York: Cosimo Classic, 2009), 25-26.


(15)

hukum dan sistem legal politik. Level ketiga adalah positivism (positivisme). Level ini ditandai dengan aplikasi logis, ilmu ilmiah, dan empiris. Dimensi sosial level positivisme adalah industri dan teknik. Comte berpendapat bahwa teori evolutionary hierarchy hadir di semua tempat. Masyarakat sebagai contoh mengalami perkembangan dari primitif menuju kemajuan.

Tabel

Tiga Hukum Sistem Tahapan Comte

Sistem teologis metafisis positivistik

1. kultur

Sistem moral

a. nature of ideas ide non-empiris ide esensi ide sains

supranatural fenomena

b. spiritual leaders imam filsuf ilmuwan

2. struktural

sistem temporal

a. most prominent units kekerabatan negara industri

b. basis of integration kelompok hukum ketergantungan


(16)

C. 2. Kemanusiaan dalam ‘sociocracy’

Comte membagi dua system, yaitu sistem kulturalsebagai moral dan sistem struktural sebagai temporal. Sistem kultur terbagi dua yaitu ide natural (nature of ideas)dan pemimpin spiritual (spiritual leaders); sistem struktur terbagi dua: most prominent units dan basis of integration. Tahapan (stages) terbagi tiga: theological, methaphysical, positivistic.22 Argumentasi Comte dalam hukum ekuivalen berdasar ide “kehidupan” (idea of life). Ide kehidupan berdasarkan konsep organisme (organik dan non-organik). Konsep organik terdiri dalam dua bagian, yaitu organik tubuh (the organic bodies) dan organik hierarki (the organic hierarchy), dan memiliki dua level, yaitu level tertinggi dan level terendah. Berikut argumen Comte: “the higher in the ranks of organic bodies is minds. In the lowest ranks of the organic

hierarchy we find vegetables and fixed animals”.23

Comte mengakui bahwa konsep kehidupan dipengaruhi oleh filsafat dan biologi (biological philosophy). Perbedaan mendasar antara kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan adalah manusia berada antara relasi inteligensi dan sosial. Pendekatan Comte menganalisis fenomena kehidupan memakai model relasi ketergantungan antar organisme dan lingkungan hidup. Media manusia dalam relasi ketergantungan adalah negara melalui tindakan dan reaksi. Sosiologi fokus terhadap hukum intelektual, dan konsentrasi pada biologi dan moral. Pendapat Comte: “Sociology is reduced essentially to the true science of the understanding. The static or dynamic study of the human mind includes the exercise of practical reason. Although the latter must prevail in the demonstration of the fundamental law of the intellectual movement, the former really dominates in the historic appreciation, as

22

Jonathan H. Turner, Leonard Beeghly, Charles H. Powers, The Emergence of Sociological Theory: seventh edition (Los Angeles: SAGE, 2012), 19-22.

23

Auguste Comte, The Positive Philosophy: freely translated and condensed by Harriet Martineau (New York: Calvin Blanchard, 1858), 307.


(17)

the principal source of the successive modifications of the mental regime…thus…the science of the mind necessarily constitutes the very major part of sociology”.24

Kata kunci memahami fisika sosial Comte dalam perspektif penulis adalah osilasi sosial. Fisika sosial sebagai fondasi studi sosial statis dan sosial dinamis. Sosial statis sebagai

order mendeskripsikan proses sosial dan struktur sosial. Sosial dinamis sebagai progress

mengacu pada mekanisme perubahan sosial. Disiplin ilmu menurut Comte mengalami perkembangan level, seperti matematika-astronomi-fisika-kimia-biologi-sosiologi. Penelitian Comte dalam fisika sosial berdasar pengamatan masyarakat Eropa khusus Prancis. Teori sosiologi dalam positivistik adalah praktis sosial dan institusi ilmu fisika sosial. Osilasi sosial seperti contoh ide politik dalam masyarakat mengubah kondisi natural masyarakat. Ide dunia politik berasal doktrin kuno teologi dan sistem militer, seperti Katolik dan konstitusi feodal: “All ideas of order in the political world are derived from the old doctrine of the theological and military system, regarded especially in its catholic and feudal constitution. the theological school explains the fact, as far as it can, by fortuituous and personal causes of a mysterious caprice of providence which has allotted to social order”.25

Comte memahami kriteria nilai doktrin sosial bersifat kutukan empati dalam teologi, seperti contoh doktrin takdir. Abad pertengahan (middle ages) Comte mengamati kepercayaan teologi dan kehidupan militer tidak konsisten dengan pemisahan teoretis dan praktis: osilasi antara imperialisme dan teokrasi. Regenerasi pengetahuan individu dari Sekolah Katolik ke sekolah revolusioner. Metafisika: doktrin kesadaran akan kebebasan. Intelektual anarki pada sekolah the catholic feudal school terdapat fenomena retrogradasi versus regenerasi.

24

Mary Pickering, Auguste Comte : An Intellectual Biography, volume III (New York: Cambridge University Press, 2009), 253.

25


(18)

“The constant experience of all peoples living under a prolonged constitutional or representative regime. revolutionary school, stationary school, retrograde school. revolutionary school supplied, as we have seen, the dissolving influence which rendered the system of corruption necessary. The stationary school even sets it up as type, declaring the equal admission of all the public functions to be the final destination of the geberal social movement. Retrograde school with all its pretensions to moral purity, it employs corruption as fatally”.26

Empat karakteristik kondisi sosial dalam perspektif Comte, yaitu pertama, kondisi intelektual (intellectual condition), kedua, korupsi politik (political corruption), ketiga, pertanyaan politik (political questions), dan keempat, kepemimpinan politik (political leaders). Pertama, kondisi intelektual teologi dalam agama berkaitan dengan doktrin dan politik dalam pemerintahan berkaitan dengan moral. Kedua, korupsi politik seperti Protestanisme di Inggris, profession of political faith. Korupsi sistematik seperti sogok dalam ruang lingkup pemerintahan. Ketiga, pertanyaan politik seperti dogma ekualitas bagi Comte sebagai hambatan bagi reorganisasi sosial, seperti kondisi perbudakan mendiskreditkan rasional. Keempat, kepemimpinan politik, seperti Napoleon Bonaparte: doktrin mempengaruhi masyarakat sipil.

Ide sociocracy Comte bertujuan mengatur klasifikasi masyarakat modern dalam keadaan normal melalui metode fenomena fisika sosial. Demikian pendapat Comte: “The positive philosophy be friends public order by bringing back men‟s understanding to a normal state through the influence of its method alone, before it has had time to establish any social theory. the function of the positive polity, regarded as regulating the final classification of modern society.the study of the phenomena of social physics”.27

26

Auguste Comte, The Positive Philosophy, Ibid., 426. 27


(19)

C. 3. Kemanusiaan dalam Religion of Humanity

Tulisan Systeme de Politique positive, ou traite de sociologie instituant la Religion de

l‟Humanite (1851-1857), Comte memfokuskan pada tema agama dan sistem moral.

Pengalaman religius Comte masa remaja adalah Katolik. Kemanusiaan dalam agama menurut Comte bersifat kolektif. Sakramen dan ritus dalam Katolik adalah fenomena sistem kesatuan. Di satu sisi, Comte menilai agama adalah egois perihal keselamatan, dengan alasan agama menghindari konsep keselamatan di luar intelektual agama. Dimensi sosial kemanusiaan agama diamati melalui ibadah masyarakat (worship society).

Kemanusiaan adalah objek bagi segala studi ilmu pengetahuan. Comte menganut pendekatan sintesis. Setiap ilmu berada dalam sintesis, seperti filsafat, ilmu Alam, sosiologi, politik, dan agama. Tiga elemen Agama sebagai positivism, yaitu dogma (dogme), aturan moral (regime), dan sistem penyembahan (culte). Dogma dipahami sebagai pengertian sintesis, aturan moral sebagai tindakan sinergis, dan kultur sebagai mobilisasi simpati. Comte membuat perbandingan dalam konteks masyarakat industri terhadap dogma sebagai aturan moral gereja. Di satu sisi, imam memperhatikan moral dalam jiwa masyarakat industri, di lain sisi masyarakat mengalami tekanan fisik akibat pengupahan dan proses kerja. Comte berpendapat bahwa agama seharusnya tidak hanya memperhatikan jiwa tetapi tubuh masyarakat sebagai positif.28

Comte menggunakan metode perjuangan (struggle) dalam menganalisis agama kemanusiaan (religion of humanity). Gambaran perjuangan dianalogikan perang antara Tuhan, dan antara kemanusiaan metafisika dan post-metafisika kemanusiaan. Mode fetisisme dalam agama kemanusiaan adalah tempat natural, dan mengembalikan tradisi awal

28

Andrew Wernick, Auguste Comte and the Religion of Humanity (Cambridge UK: Cambridge University Press, 2001), 2-4.


(20)

keagamaan. Comte berpendapat bahwa mengeliminasi egoisme metafisis dengan dua metode, yaitu altruistis dan Cinta (love). Implikasi eliminasi metafisis pada struktur politik mengarah pada eliminasi egoisme dalam masyarakat modern. Alternatif Comte adalah tugas manusia (human duties) untuk melawan kejahatan manusia (crimes against human). Sentral-sosio dan sentral kemanusiaan adalah prinsip menciptakan suasana kondusif.29

Ide agama kemanusiaan berdasar tritunggal kultus (trinitarian cult): “great being” (manusia); “great fetish” (dunia);

dan “great mean or middle” (ruang). Volume catechisme positiviste (1852) agama kemanusiaan berada pada kesatuan eksistensi dimensi individu dan sosial. Tujuan akhir agama kemanusiaan adalah pencapaian kualitas manusia secara fisik, intelektual, dan moralitas.30

Konsep religius kemanusiaan Comte tidak terlepas dari konsep kosmologi dan biologi. Sesuai dengan kata pengantar Comte: “my philoshopical work was dedicated to the two most prominent names in cosmological and biological science. My religious construction comes out now under the sole auspices of a young lady who died five years ago, unknown and oppressed by proverty. I have only to speak of the conception which unites all these various aspects. As summed up in the positivist motto, Love, Order, Progress, they lead us to the conception of Humanity”.31

Kosmologi dan biologi mendeskripsikan bahwa logika membutuhkan peran hati dalam mencapai simpati sosial. Gambaran konkret adalah analogi hubungan pria dan wanita. Di satu sisi pria cenderung logis dan wanita cenderung afeksi atau menggunakan perasaan. Comte dalam prinsip positivisme menyebut dengan istilah subordinasi intelek ke dalam hati: “the subordination of the intellect to the heart is the subjective principle of positivism. The

29

Mike Gane, Auguste Comte (London: Routledge, 2006), 121-122. 30

Roberto Cipriani, Sociology of Religion: An Historical Introduction (New York: Aldine De Gruyter, 2000), 31.

31

Auguste Comte, System of Positive Polity: John Henry Bridges (trans.) (London: Longmans, Green & Co., 1875), 5.


(21)

study of cosmology and biology should precede the study of sociology. Self-love to social feeling”.32

Religius kemanusiaan adalah agama positivistik sebagai sumber karena arah penelitian menuju kepada kemanusiaan sentris. Demikian pandangan Comte: “Positive religion influences the practical life of humanity: principle of positive polity, the separation of temporal from spiritual power. Natural order of society: the first principle is, that man should support woman; the second, that the active class should support the speculative class. positivism: theoretic function of humanity. Positive religion: fundamental duties. The priest of humanity may hope to regenerate the material power of wealth, and bring the nutritive functions of society intio harmony with the other parts of the body politics”.33

Konsekuensi relasi intelektual logika dan afeksi menciptakan keselarasan atau harmonisasi dalam masyarakat berdasar intelektual, moral, dan kualitas sosial. Praktik agama kemanusiaan berada dalam intelektual dan moral. Pada masa revolusi terdapat moto: liberty and equality. Kebebasan memberi superioritas moral, mental, dan bersifat destruktif. Monoteisme di Eropa Barat seperti Katolik dan Protestan memiliki kecenderungan doktrin mendiskredit kelas pekerja dengan menghindari difusi sosial dalam simpati sosial. Tiga elemen agama, yaitu doktrin, kehidupan, dan penyembahan. Demikian pendapat Comte: “Theological principles: and the only issue of this crisis lies in the substitution of the permanent government of humanity for the provisional government of God. Theocracy and theolatry: sociocracy and sociolatry sociokrasi sebagai prinsip objek. The religion of demonstration. All our energies to the continuous service of humanity.. The synthesis of positive truth as having for its subject matter the relation of humanity with two correlative conceptions of the world and of life”.34

32

Auguste Comte, System of Positive Polity., Ibid., 17. 33

Auguste Comte, System of Positive Polity., Ibid., 302. 34


(22)

Simpati sosial sebagai intrumen afeksi progres dalam publik dan privat. Menurut Comte terdapat dua elemen kekuasaan sosial, yaitu kekuatan moral dan kekuatan politik. Kekuasaan spiritual berada pada Imam, perempuan seperti peran ibu dalam keluarga, dan masyarakat. Prinsip Comte dalam religius kemanusiaan adalah cinta sebagai prinsip, order sebagai basis, dan kemajuan sebagai akhir. Berikut pendapat Comte: “The religious formula of positivists: Love is our principle, Order is our basis, Progress our end. Feeling, reason, activity is the final condition of the ascendancy of positivism in private or in public life. The conception of humanity the three essential aspects of positivism, its subjective principle, its objective dogma, and its practical object, are united”.35

Aspek statis kemanusiaan dan aspek dinamis kemanusiaan berada dalam tipe teologi, monoteisme dan politeisme. Contoh puisi kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, kematian, musik, dan seni. Kemanusiaan sebagai tugas menggantikan hak manusia dalam agama seperti pada abad pertengahan (middle ages) Comte mengamati kepercayaan teologi dan kehidupan militer tidak konsisten dengan pemisahan teoretis dan praktis, yaitu osilasi antara imperialisme dan teokrasi. Berikut pendapat Comte: “theocratic right, right of man. In the positive state, where no supernatural claims are admissible, the idea of right will entirely disappear.our political and social action as the service of humanity. The consensus of social organism. Social science: the ascendendy of a positive social doctrine is secured by its perfect logical coherence in its entire applications”.36

Religius kemanusiaan Comte memperhatikan peran wanita dalam spiritual dan kaum proletar pada masa industri abad pencerahan di Eropa. Moto Comte dalam buku the

35

Auguste Comte, System of Positive Polity., Ibid., 264. 36


(23)

catechism of positive religion: to act from affection, and to think in order to act.37 Bertindak dari afeksi dan berpikir dalam keteraturan tindakan.

2.5.2. Max Weber (1864-1920)

A. Konteks Keluarga dan Pendidikan

Max Weber lahir 21 April 1864 di Efurt, Thuringia. Weber anak pertama dari delapan bersaudara. Ayah bernama Max Weber bekerja sebagai dewan pemerintah, dan ibu Helene Fallenstein Weber adalah pencinta budaya dan kepercayaan Protestan. Pada umur dua tahun Weber menderita meningitis. Pada umur 13 tahun, Weber sudah menulis esai sejarah:

“Concerning the course of German history”.Pada 1882, belajar di Heidelberg, 1884 belajar

hukum dan ekonomi di Berlin. Usia 20 tahun Pengalaman militer di Alsace. Pada usia 26 tahun 1889 Weber memperoleh gelar doktor dengan judul disertasi „the agrarian history of

Rome‟ (1891) dan the history of law, concerning North Italian trading companies in Midle

Ages. Tahun 1891 bekerja sebagai dosen, 1893 menikah dengan Marianne Schnitger, dan tahun 1903 mengundurkan diri sebagai dosen. Latar belakang pendidikan di Jerman pada tahun 1800-1900 berada pada titik filsafat dan budaya. Tokoh sosiolog pertama di Jerman yang mempengaruhi Weber adalah Ferdinand Tönnies dengan tulisan Community and Society

(1887) dan Georg Simmel dengan tulisan The essay “On Social Differentiation” (1890).38

37

Auguste Comte, The Catechism of Positive Religion: Ricahrd Congreve (trans.) (London: John Capman, 1858), 70.

38

Fritz Ringer, Max Weber: An Intellectual Biography (Chicago: The University of Chicago Press, 2004), 31.


(24)

B. Konteks Sosial dan Politik

Hidup Weber dari masa kecil berada dalam lingkungan politik. Tradisi keluarga seperti pekerjaan ayah Weber sebagai politikus pemerintahan di Berlin, dan anggota partai nasional liberal turut mempengaruhi pemikiran Weber dalam politik. Jerman masa Weber adalah masa isu politik. Atmosfer politik di Jerman khusus di Prusia mempengaruhi Weber. Usia muda Weber telah menjelma sebagai politikus masa Bismarck‟s (1880) Realpolitik. “In his childhood, Weber must have listened to frequent political discussions in his father‟s house; likewise he got to know the great figures of German liberalism through personal observation”.39

Pengalaman sosial Weber berada dalam relasi keluarga dan masyarakat di Strassburg, seperti pengalaman religius Pantekosta dalam keluarga Baumgarten, dan kondisi sosial seperti masyarakat pertanian di Jerman Timur. Penelitian Weber di Jerman Timur adanya isu komersialisasi di bawah gaya hidup patriarki, dan politik agitasi.40

C. Ide Kemanusiaan Weber

Sumber primer buku asli Max Weber: Wirtschaft und Gesellschaft 1910 (economy and society) dalam “outlines of universal social and economic history 1919-1920” dan Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus 1904-1905 (The protestant Ethic and the spirit of Capitalism). Penulis memanfaatkan dua buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills sebagai translator; kedua The protestant Ethic and the spirit of Capitalism:

39

Wolfgang J. Mommsen, Max Weber and Germa n Politics 1890-1920 (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), 2.

40

R. Bendix, Max Weber Classic Monographs: Volume II Max Weber: An Intellectual Portrait


(25)

Talcott Parsons sebagai translator. Penulis memahami ide kemanusiaan Weber melalui tema sentral, yaitu pertama kemanusiaan dalam sosio-kultural (sociocultural), dan kedua, kemanusiaan dalam etika persaudaraan.

C. 1. Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural

Penulis memahami konsep “brotherhood” Weber adalah bagian dari konsep sosio -kultural. Menurut penulis terdapat tiga pokok penelitian Weber dalam sosio-kultural, yaitu ekonomi, politik, dan agama. Pertama, ekonomi bahwa kata kunci memahami sosio-kultural Weber dalam bidang ekonomi, antara lain kelas dan kapitalisme. Kelas menurut Weber sebagai status sosial, dan berfungsi sebagai petunjuk posisi seseorang dalam sebuah kelompok. Situasi dalam kelas sosial terdapat kompetisi dan monopoli. “mode of distribution

monopolizes the opportunities for profitable deals for all those who provided with goods”.41

Kapitalisme dalam perspektif Weber adalah kompleks dan variabel. Faktor kelahiran kapitalisme dipengaruhi teknologi modern, rasionalisasi, uang, dan pekerjaan. Kata kunci memahami kapitalisme Weber adalah afinitas elektif antara ekonomi dan kepercayaan religius. Agama sebagai faktor kapitalisme dalam penelitian Weber seperti di Inggris. Berikut pernyataan Weber: “capitalism with religious factors may have come about in the days of the

early development of capitalism. Methodist workmen in the eighteenth century met at the hands of their comrades were not solely nor even principally the result of their religious

eccentricities, England had seen many of those and more striking ones”.42

41

Max Weber, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills (transl.) (New York: Rouletge, 2009), 181.

42

Max Weber, The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism: Talcott Parsons (transl.) (New York: Dover Publications, 2003), 63.


(26)

C. 2. Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)

Konsep “brotherhood” sebagai fondasi cinta dalam komunitas, dan persaudaraan sebagai hukum natural (Brotherhood as a law of nature). Konsep etika persaudaraan Weber sesuai dengan realita fraternitas melalui konferensi sosiologi di Frankurt terdapat fenomena meminum darah tercampur sebagai kontrak primitif. Fraternitas tidak hanya berdasar atas relasi darah, dan makanan bersama. Pada abad ke-13 di Eropa, salah satu ciri kebudayaan fraternitas pelajar adalah menyanyi dan minum bersama. Pengalaman sosial Weber adalah tipe manusia berdasar budaya, agama, dan ekonomi.43

Konsep etika persaudaraan membudaya di kalangan pelajar di Jerman masa Weber. Konsep kemanusiaan Weber berada dalam pemahaman tindakan manusia dan tindakan sosial.

C.2.1. Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi

Homo politik sebagai personalitas, dan terdiri atas karisma, puritan.44 Pemahaman

perihal charisma adalah dasar konsep homo politik Weber. Tipe karisma terbagi dalam tiga bagian, yaitu legitimasi dominasi, tradisional, dan birokratis legal. Pertama, legitimasi dominasi karisma adalah kebenaran atas kuasa (truth of power) dan tipe karisma adalah tipe kuasa dominasi atas devosi. Kedua, tradisional berarti politik sebagai vokasi, dan politik sebagai kepemimpinan. Ketiga, birokratis legal berarti politik sebagai distribusi kuasa, dan karakter manusia politis. Tipe kepemimpinan karismatis dalam penelitian Weber di Asia melalui ciri keagamaan di Asia seperti di Cina dan India adalah ortodoks dan heterodoks. Sifat agama di Asia adalah representasi irasional dalam sistem etika agama, dan tidak

43

Joachim Radkau, Max Weber: A Biography (Cambridge: Polity Press, 2009), 50. 44

orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosaanggota mazhab Protestan yang pernah berkembang pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris yang berpendirian bahwa kemewahan dan kesenangan adalah dosa.


(27)

koheren. Penelitian Weber perihal homo politik adalah konteks Eropa dan Asia. Eropa bersifat rasional, dan Asia bersifat irasional. Penelitian Weber terhadap konfusius bahwa individu adalah habitat kohesif. Komparasi Konfusianisme di Asia dan Puritanisme di Eropa dalam perspektif Weber: “Weber defined personality as “a concept which entails a constant and intrinsic relation to certain ultimate „value‟ and „meaning‟ of life”. the interests of Asiatic intellectuality, so far as it was concerned with every day life, lay primarily in directions other than political”.45

Penelitian Weber dalam masyarakat Yunani Kuno mengasumsikan bahwa persaudaraan pra-kekristenan adalah rumah bersama “housing together” dalam bahasa

Yunani adalah synoikismos. Berikut pendapat Weber: “Die Stadt”: the political situation of medieval townsman determined his path of a homo oeconomicus, whereas in antiquity the polis preserved during its heyday its character as the technically most advanced military organization. The ancient townsman was a homo politicus”.46

Analisis Weber bahwa negara dan dominasi sebagai kontribusi sosiologi politik. Tipologi dominasi yaitu hak tradisional, hak karismatik, hak legal definisi Negara. Pandangan Weber: “the term „charisma‟ will be

applied to a certain quality of an individual personality by virtue of which he is considered extraordinary and treated as endowed with supernatural, superhuman, or at least specifically

exceptional power or qualities”.47

Masyarakat tradisional dalam pengaruh karisma terhadap perubahan sosial bersifat revolusi. Masyarakat modern dalam pengaruh karisma berada dalam relasi vokasi. Figur

45

Sara R. Farris, Max Weber‟s Theory of Personality: Individuation, Politics, and Orientalism in The

Sociology of Religion (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 209. 46

Wilfried Nippel, “Homo Politicus and Homo Oeconomicus: The European Citizen According to

Max Weber” dalam Anthony Pagden (ed.), The Idea of Europe:from Antiquity to The European Union

(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 135.

47

Richard Swedberg & Ola Agevall,

The Max Weber Dictionary: Key

Words and Central Concepts, Second Edition

(California:

Stanford University


(28)

karismatik dalam masyarakat tradisional adalah harapan rakyat akan putus asa. Tipikal karismatik dalam masyarakat tradisional adalah pahlawan, nabi, dan penyelamat. Pergerakan karismatik dalam masyarakat tradisional adalah tipikal organisasi patrimonial. Di satu sisi, karisma tidak hanya sebagai kualitas individu, karena pemimpin karismatik adalah bagian komunitas, dan karismatik terdapat pengikut dan murid. Sifat laten perjuangan berada antara manusia sebagai individu majemuk atau tipe sosial. Tipe sosial Weber yaitu tradisional, afektual, nilai rasional, dan rasional instrumental. Rasional sebagai nilai adalah ide, rasional sebagai instrumen adalah material. Sosial berada dalam ide dan emosi aktor-aktor sosial.

Persaudaraan agama dan dunia dalam lingkaran ekonomi berangkat dari cara hidup masyarakat purba dalam kepercayaan magis seperti asketik. Persaudaraan kelompok militer dalam perang berbeda dengan persaudaraan dalam kelompok agama. Nilai ekonomi, politik, agama tidak dapat terdamaikan. Fenomena aturan ekonomi menggantikan cinta melalui kompetisi pasar, dan menggantikan saudara dengan uang.

C.2.2. Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)

Persaudaraan dalam etika agama menurut Weber bersifat irasional dan erotisme, khusus perihal rasionalisasi keselamatan dalam agama. Prinsip persaudaraan dalam etika agama cenderung radikal dan antagonis terhadap realita empiris, berikut pendapat Weber: “a principled ethic of religious brotherthood is radically and antagonistically opposed to all the value of eroticism. Weber notes that prophetic and priestly religion have stood in “intimate relation with rational intellectualism” because the “more „doctrine‟ a religion contains, the


(29)

religion is based on the fact that there is basic contradiction between the fundamental postulate of religion and the observed empirical reality”.48

Penelitian Weber di Asia bahwa doktrin keagamaan bersifat non-kompetisi etika dan reflektif, sedangkan di Eropa bersifat kompetisi etika dan produktif. Pertanyaan Weber terhadap etika adalah apakah etika sebagai tanggung jawab atau etika sebagai keyakinan, atau etika sebagai aturan ?.

48

Basit Bilal Koshul, The Postmodern Significance of Max Weber‟s Legacy (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 27-28.


(1)

B. Konteks Sosial dan Politik

Hidup Weber dari masa kecil berada dalam lingkungan politik. Tradisi keluarga seperti pekerjaan ayah Weber sebagai politikus pemerintahan di Berlin, dan anggota partai nasional liberal turut mempengaruhi pemikiran Weber dalam politik. Jerman masa Weber adalah masa isu politik. Atmosfer politik di Jerman khusus di Prusia mempengaruhi Weber. Usia muda Weber telah menjelma sebagai politikus masa Bismarck‟s (1880) Realpolitik. “In his childhood, Weber must have listened to frequent political discussions in his father‟s house; likewise he got to know the great figures of German liberalism through personal observation”.39

Pengalaman sosial Weber berada dalam relasi keluarga dan masyarakat di Strassburg, seperti pengalaman religius Pantekosta dalam keluarga Baumgarten, dan kondisi sosial seperti masyarakat pertanian di Jerman Timur. Penelitian Weber di Jerman Timur adanya isu komersialisasi di bawah gaya hidup patriarki, dan politik agitasi.40

C. Ide Kemanusiaan Weber

Sumber primer buku asli Max Weber: Wirtschaft und Gesellschaft 1910 (economy and society) dalam “outlines of universal social and economic history 1919-1920” dan Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus 1904-1905 (The protestant Ethic and the spirit of Capitalism). Penulis memanfaatkan dua buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills sebagai translator; kedua The protestant Ethic and the spirit of Capitalism:

39

Wolfgang J. Mommsen, Max Weber and Germa n Politics 1890-1920 (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), 2.

40

R. Bendix, Max Weber Classic Monographs: Volume II Max Weber: An Intellectual Portrait


(2)

Talcott Parsons sebagai translator. Penulis memahami ide kemanusiaan Weber melalui tema sentral, yaitu pertama kemanusiaan dalam sosio-kultural (sociocultural), dan kedua, kemanusiaan dalam etika persaudaraan.

C. 1. Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural

Penulis memahami konsep “brotherhood” Weber adalah bagian dari konsep sosio -kultural. Menurut penulis terdapat tiga pokok penelitian Weber dalam sosio-kultural, yaitu ekonomi, politik, dan agama. Pertama, ekonomi bahwa kata kunci memahami sosio-kultural Weber dalam bidang ekonomi, antara lain kelas dan kapitalisme. Kelas menurut Weber sebagai status sosial, dan berfungsi sebagai petunjuk posisi seseorang dalam sebuah kelompok. Situasi dalam kelas sosial terdapat kompetisi dan monopoli. “mode of distribution

monopolizes the opportunities for profitable deals for all those who provided with goods”.41

Kapitalisme dalam perspektif Weber adalah kompleks dan variabel. Faktor kelahiran kapitalisme dipengaruhi teknologi modern, rasionalisasi, uang, dan pekerjaan. Kata kunci memahami kapitalisme Weber adalah afinitas elektif antara ekonomi dan kepercayaan religius. Agama sebagai faktor kapitalisme dalam penelitian Weber seperti di Inggris. Berikut pernyataan Weber: “capitalism with religious factors may have come about in the days of the early development of capitalism. Methodist workmen in the eighteenth century met at the hands of their comrades were not solely nor even principally the result of their religious

eccentricities, England had seen many of those and more striking ones”.42

41

Max Weber, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills (transl.) (New York: Rouletge, 2009), 181.

42

Max Weber, The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism: Talcott Parsons (transl.) (New York: Dover Publications, 2003), 63.


(3)

C. 2. Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)

Konsep “brotherhood” sebagai fondasi cinta dalam komunitas, dan persaudaraan sebagai hukum natural (Brotherhood as a law of nature). Konsep etika persaudaraan Weber sesuai dengan realita fraternitas melalui konferensi sosiologi di Frankurt terdapat fenomena meminum darah tercampur sebagai kontrak primitif. Fraternitas tidak hanya berdasar atas relasi darah, dan makanan bersama. Pada abad ke-13 di Eropa, salah satu ciri kebudayaan fraternitas pelajar adalah menyanyi dan minum bersama. Pengalaman sosial Weber adalah tipe manusia berdasar budaya, agama, dan ekonomi.43

Konsep etika persaudaraan membudaya di kalangan pelajar di Jerman masa Weber. Konsep kemanusiaan Weber berada dalam pemahaman tindakan manusia dan tindakan sosial.

C.2.1. Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi

Homo politik sebagai personalitas, dan terdiri atas karisma, puritan.44 Pemahaman perihal charisma adalah dasar konsep homo politik Weber. Tipe karisma terbagi dalam tiga bagian, yaitu legitimasi dominasi, tradisional, dan birokratis legal. Pertama, legitimasi dominasi karisma adalah kebenaran atas kuasa (truth of power) dan tipe karisma adalah tipe kuasa dominasi atas devosi. Kedua, tradisional berarti politik sebagai vokasi, dan politik sebagai kepemimpinan. Ketiga, birokratis legal berarti politik sebagai distribusi kuasa, dan karakter manusia politis. Tipe kepemimpinan karismatis dalam penelitian Weber di Asia melalui ciri keagamaan di Asia seperti di Cina dan India adalah ortodoks dan heterodoks. Sifat agama di Asia adalah representasi irasional dalam sistem etika agama, dan tidak

43

Joachim Radkau, Max Weber: A Biography (Cambridge: Polity Press, 2009), 50. 44

orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosaanggota mazhab Protestan yang pernah berkembang pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris yang berpendirian bahwa kemewahan dan kesenangan adalah dosa.


(4)

koheren. Penelitian Weber perihal homo politik adalah konteks Eropa dan Asia. Eropa bersifat rasional, dan Asia bersifat irasional. Penelitian Weber terhadap konfusius bahwa individu adalah habitat kohesif. Komparasi Konfusianisme di Asia dan Puritanisme di Eropa dalam perspektif Weber: “Weber defined personality as “a concept which entails a constant and intrinsic relation to certain ultimate „value‟ and „meaning‟ of life”. the interests of Asiatic intellectuality, so far as it was concerned with every day life, lay primarily in directions other than political”.45

Penelitian Weber dalam masyarakat Yunani Kuno mengasumsikan bahwa persaudaraan pra-kekristenan adalah rumah bersama “housing together” dalam bahasa Yunani adalah synoikismos. Berikut pendapat Weber: “Die Stadt”: the political situation of medieval townsman determined his path of a homo oeconomicus, whereas in antiquity the polis preserved during its heyday its character as the technically most advanced military organization. The ancient townsman was a homo politicus”.46

Analisis Weber bahwa negara dan dominasi sebagai kontribusi sosiologi politik. Tipologi dominasi yaitu hak tradisional, hak karismatik, hak legal definisi Negara. Pandangan Weber: “the term „charisma‟ will be applied to a certain quality of an individual personality by virtue of which he is considered extraordinary and treated as endowed with supernatural, superhuman, or at least specifically

exceptional power or qualities”.47

Masyarakat tradisional dalam pengaruh karisma terhadap perubahan sosial bersifat revolusi. Masyarakat modern dalam pengaruh karisma berada dalam relasi vokasi. Figur

45

Sara R. Farris, Max Weber‟s Theory of Personality: Individuation, Politics, and Orientalism in The

Sociology of Religion (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 209. 46

Wilfried Nippel, “Homo Politicus and Homo Oeconomicus: The European Citizen According to Max Weber” dalam Anthony Pagden (ed.), The Idea of Europe:from Antiquity to The European Union

(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 135.

47

Richard Swedberg & Ola Agevall,

The Max Weber Dictionary: Key

Words and Central Concepts, Second Edition

(California:

Stanford University


(5)

karismatik dalam masyarakat tradisional adalah harapan rakyat akan putus asa. Tipikal karismatik dalam masyarakat tradisional adalah pahlawan, nabi, dan penyelamat. Pergerakan karismatik dalam masyarakat tradisional adalah tipikal organisasi patrimonial. Di satu sisi, karisma tidak hanya sebagai kualitas individu, karena pemimpin karismatik adalah bagian komunitas, dan karismatik terdapat pengikut dan murid. Sifat laten perjuangan berada antara manusia sebagai individu majemuk atau tipe sosial. Tipe sosial Weber yaitu tradisional, afektual, nilai rasional, dan rasional instrumental. Rasional sebagai nilai adalah ide, rasional sebagai instrumen adalah material. Sosial berada dalam ide dan emosi aktor-aktor sosial.

Persaudaraan agama dan dunia dalam lingkaran ekonomi berangkat dari cara hidup masyarakat purba dalam kepercayaan magis seperti asketik. Persaudaraan kelompok militer dalam perang berbeda dengan persaudaraan dalam kelompok agama. Nilai ekonomi, politik, agama tidak dapat terdamaikan. Fenomena aturan ekonomi menggantikan cinta melalui kompetisi pasar, dan menggantikan saudara dengan uang.

C.2.2. Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)

Persaudaraan dalam etika agama menurut Weber bersifat irasional dan erotisme, khusus perihal rasionalisasi keselamatan dalam agama. Prinsip persaudaraan dalam etika agama cenderung radikal dan antagonis terhadap realita empiris, berikut pendapat Weber: “a principled ethic of religious brotherthood is radically and antagonistically opposed to all the value of eroticism. Weber notes that prophetic and priestly religion have stood in “intimate relation with rational intellectualism” because the “more „doctrine‟ a religion contains, the


(6)

religion is based on the fact that there is basic contradiction between the fundamental postulate of religion and the observed empirical reality”.48

Penelitian Weber di Asia bahwa doktrin keagamaan bersifat non-kompetisi etika dan reflektif, sedangkan di Eropa bersifat kompetisi etika dan produktif. Pertanyaan Weber terhadap etika adalah apakah etika sebagai tanggung jawab atau etika sebagai keyakinan, atau etika sebagai aturan ?.

48

Basit Bilal Koshul, The Postmodern Significance of Max Weber‟s Legacy (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 27-28.