Menurut Hukum Positif Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Dari kaidah di atas mengandung pengertian keharusan untuk memenuhi syarat bagi seorang mukallaf agar dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, di antara syarat-syarat tersebut antara lain: 1 Hendaknya orang tersebut harus memahami taklif, harus mampu memahami dalil nash syari’at yang menunjukkan hukum, karena orang yang tidak dapat memahami hukum tidak dapat mentaati apa yang dibebankan kepadanya. 2 Hendaknya orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dikenakan sanksi kepadanya. 8

B. Menurut Hukum Positif

1. Pengertian Tindak Pidana

Mengenai istilah atau pengertian tindak pidana masih belum ditemukan suatu keseragaman di antara para sarjana hukum ada yang menggunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana dan delik. Satu hal yang menyebabkan ketidakseragaman istilah tersebut di atas oleh para ahli hukum semata-mata dikarenakan ketidaksepakatan mereka dalam mengalih bahasakan strafbaar feit yang berasal dari 8 Praja S. Juhaya, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Angkasa, 1987, h. 75 bahasa Belanda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah mempunyai arti yang mendasar, pada hakekatnya yang terjadi hanyalah perbedaan pemakaian kata, sementara maksudnya satu sama lain tidak berbeda. Dalam hukum positif tindak pidana di sebut dengan istilah delict atau strafbaar feit yang diambil dari hukum pidana Belanda yang artinya suatu “perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.” 9 Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan beberapa pendapat diantaranya: a. Simon berpendapat, tindak pidana strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. b. Van Hamal berpendapat, tindak pidana strafbaar feit adalah kelakuan orang meselijke gedraging yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana straaf waarding dan dilakukan dengan kesalahan. 10 c. R. Susilo berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan Undang-undang yang 9 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung : PT. Erisco, 1986, Cet. Ke-6 h. 55 10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987 Cet. Ke 4, h. 56 dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 11 Maka dari pengertian di atas dapat dipahami, bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab serta adanya kesalahan dan bagi pelakunya dapat dikenakan hukuman. Jadi apabila dilihat dari segi unsur tindak pidana antara hukum Islam dan hukum positif mempunyai kesamaan yaitu sebagai perbuatan yang melanggar perintah atau larangan yang sudah ditentukan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Uraian tentang pengertian tindak pidana dari para sarjana hukum bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang dimana pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidaknya dari 2 dua sudut pandang, yaitu; 1 Dari sudut teoritis dan 2 dari sudut Undang-undang. Yang dimaksudkan dari sudut teoritis adalah yang didasarkan pada pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut Undang-undang adalah sebagaimana tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang- undangan yang ada. 11 R. Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum, bogor : Polite, 1984, h. 31 Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis: a. Unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah: 1 Perbuatan manusia. 2 Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum. 3 Larangan itu disertai ancaman. 4 Larangan itu dilanggar oleh manusia. 12 Jadi, menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah unsur perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan apabila larangan tersebut dilanggar baik sengaja maupun tidak sengaja maka pelakunya dapat diancam pidana atau mendapat sanksi menurut perbuatannya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana, dan juga perbuatan itu harus melawan hukum yaitu harus betul-betul dirasakan oleh mayarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. b. Unsur tindak pidana menurut R. Tresna 1 Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia. 2 Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3 Diadakan tindakan penghukuman. 13 12 Moeljatno, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, h. 79 13 Ibid. h. 80 Dari unsur yang ketiga, diadakan tindakan penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman pemidanaan. c. Unsur tindak pidana menurut Simon: 1 Suatu perbuatan manusia menselijk handelingen dengan handelingen dimaksudkan tidak saja “een deen” perbuatansengaja opzet, akan tetapi juga “een nalaten” mengabaikanculpa. 2 Perbuatan itu yaitu perbuatan dan mengabdikan diancam dan dilarang dengan hukuman oleh Undang-undang. 3 Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut. 14 Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat subyektif pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana. Jadi, meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan perundang- undangan tetapi apabila perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum atau tidak bertentangan dengan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Misalnya seorang Ayah memukul anaknya 14 Satochid Kartanegera, Hukum Pidana Bagian, Balai Lektur Mahasiswa, h. 65 yang bandel dalam rangka pendidikan , yaitu agar anak itu menjadi baik, kalau kita lihat memang perbuatan Ayah itu sesuai dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Tetapi perbuatan seorang Ayah itu dibenarkan oleh masyarakat, sehingga perbuatan tersebut tidak dikatakan sebagai perbuatan yang melawan atau bertentangan dengan hukum. Jadi, perbuatan seorang Ayah itu bukan merupakan tindak pidana. 15 Maka dari itu untuk menentukan perbuatan seseorang, apakah termasuk tindak pidana atau tidak, dalam hal ini maka perlu mengetahui rumusannya, untuk itu Undang-undang merumuskan bahwa tiap-tiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. 16 Yang di maksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana yang terdiri dari hal yang dapat dipertanggungjawabkan toerkeneing suatbarheid dan kesalahan apakah seseorang dapat dipersalahkan sehingga akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 17 Disamping itu juga banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus 15 Sufyan Sastawidjaja, Hukum Pidana 1, Bandung : Amrico, 1990, h. 116 16 Syahruddin Husain dan Ratna Asih, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Medan : Fakultas Hukum USU, 1977, h. 114-115 17 Syahruddin Husain dan Ratna Asih, Ibid. h. 115 untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUPH itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana yaitu : 1 Unsur tingkah laku 2 Unsur melawan hukum 3 Unsur kesalahan 4 Unsur akibat konstitutif 5 Unsur keadaan yang menyertai 6 Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7 Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8 Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di pidana. 18 Dari delapan unsur tersebut, maka unsur kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif. Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundang- undangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur obyektif, karena apapun yang tejadi yang tampak adalah unsur lahir seperti apa yang ditulis oleh Prof. Moeljatno, SH. bahwa perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. 1 Unsur Tingkah Laku 18 Moeljatno, op. Cit., h. 80 Unsur tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktifpositif handelen, juga dapat di sebut perbuatan materil matereel feit dan tingkah laku pasifnegatif nalaten. Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud perbuatan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil atau mencuri yang terdapat dalam pasal 362. sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan nalaten suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, tidak memberikan pertolongan pasal 531. 2 Unsur Melawan Hukum Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang melawan hukum formilformale wederrechtelijk dan dapat bersumber pada masyarakat melawan hukum materil karena bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti; perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan pasal 339. Pasal 339 ini mempunyai bentuk paralel dengan pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan menggunakan kekerasan, bedanya disamping maksud delict, terletak pada akibat dari perbuatan tersebut. Pada pasal 339 KUHP matinya seseorang adalah dimaksud dalam perbuatan, tetapi tidak direncanakan dan dalam pasal 365 ayat 3 KUHP matinya seseorang adalah merupakan akibat dari perbuatan. Perbuatan menghilangkan nyawa atau membunuh adalah suatu perbuatan yang tercela sekaligus merugikan orang lain dan juga perbuatan pembunuhan dilarang baik oleh Undang-undang, masyarakat maupun dalam hukum Islam. Perbuatan tindak pidana adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum yang ada di bidang hukum lain. Jadi dalam setiap tindak pidana harus ada sifat melawan hukum. 3 Unsur Kesalahan Unsur kesalahan itu berhubungan langsung dengan kebatinan si pelaku yaitu hal yang berhubungan dengan kesalahan si pelaku tindak pidana, karena hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada diri si pelaku tindak pidana, dan dalam hal itu harus ditegaskan bahwa si pelaku tindak pidana tahu betul bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Satochid Kartanegara menurutnya, kesalahan schuld yang dalam arti sosial ethis adalah suatu hubungan jiwa seseorang yaitu yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya dan hubungan jiwa itu sedemikian rupa, sehingga perbuatannya atau akibatnya berdasarkan pada jiwa si pelaku dan dapat dipersalahkan kepadanya. 19 Maksudnya adalah keadaan si pelaku tersebut dalam keadaan sehat dan tidak terganggu jiwanya, karena jika si pelaku itu gila maka perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, kesadaran orang sebelum ia melakukan suatu perbuatan tersebut harus menjadi pertimbangan terhadap kesalahan seseorang. Hakim telah menuntut setiap orang untuk menyadari akibat-akibat yang mungkin terjadi pada perbuatan yang akan dilakukannya. Jadi, tidak cukup suatu ketentuan bahwa seseorang tidak menyadari perbuatannya, sehingga dengan demikian dia tidak mampu bertanggung jawab. Misalnya: “Ada seorang yang mabuk lalu dia mencuri HP. seseorang pada waktu dia mencuri orang itu dalam keadaan mabuk, maka sering orang berpendapat adanya pengaruh alkohol dalam darah orang itu yang menyebabkan orang itu tidak sadar dalam melakukan perbuatannya. Maka orang mabuk dianggap tidak mampu bertanggung jawab.” 19 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, h. 289 Dalam hal ini, yang terpenting dari diri orang itu yang mabuk adalah dengan melihat niat untuk melakukan tindak pidana untuk sampai kepada perbuatan tersebut ia meminum minuman keras, maka jelaslah bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Orang tersebut harus menyadari apa akibat yang mungkin terjadi apabila ia meminum-minuman keras. Maka harus ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana, kesalahan ini berupa dua macam, yaitu; kesatu, kesengajaan opzet, dan kedua, kurang berhati-hati culpa. 4 Unsur Akibat Konstitutif Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: a Tindak pidana materiil matereel delicten atau dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana. b Tindak pidan yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pembuat pidana, dan c Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. Unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah unsur pokok tindak pidana, artinya kalau unsur ini tidak timbul maka tindak pidana tidak terjadi yang terjadi hanyalah percobaannya. Sedangkan unsur akibat sebagai pemberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya, pada pasal 288 ayat 2 yang berbunyi “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana paling lama 8 delapan tahun penjara. 20 5 Unsur Keadaan yang Menyertai Unsur keadaan yang menyertai adalah tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan seperti: a Mengenai cara melakukan perbuatan, seperti dalam pasal 285, 289 dan 365 kekerasan dan ancaman kekerasan b Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan, seperti dalam pasal 363 ayat 1 sub 5 penggelapan c Mengenai obyek tindak pidana, seperti dalam pasal 362 pencurian d Mengenai subyek tindak pidana, seperti dalam pasal 342 seorang ibu e Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana, seperti dalam pasal 363 ayat 1 sub ke 3 20 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara Cet. Ke 20, h. 15 f Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, seperti dalam pasal 363 1. 6 Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya dituntut pidana Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu dan dalam hal ini yang berhak mengadu adalah korban kejahatan atau wakilnya yang sah, seperti yang tercantum dalam pasal 72 ayat 1 yang berbunyi : “Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umurorang yang dibawah pengampunan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.” Dan untuk dapatnya dituntut pada tindak pidana aduan diperlukan syarat adanya pengaduan dari yang berhak atau korban kejahatan itu sendiri, jadi kalau aduan itu berasal bukan dari yang berhak artinya orang lain selain korban kajahatan atau walinya yang sah, maka aduannya tidak dapat dituntut. 7 Unsur Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayan berat 354, kejahatan ini dapat terjadi ayat 1, walaupun akibat luka berat tidak terjadi ayat 2. Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana. 8 Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya Dipidana Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya tapi berbeda secara prinsip, pada unsur akibat konstitutif harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan akibatanya, sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang demikian. Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul setelah dilakukannya perbuatan, maka tindak pidana tidak terjadi yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah membacok batang leher korban, tetapi tidak menimbulkan akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi yang terjadi adalah percobaan pembunuhan pasal 338 job 53. Contoh lain unsur ini dalam rumusan tindak pidana, ialah; bila orang yang tidak ditolong itu meninggal 531, kalau orang itu jadi bunuh diri 334.

C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana