Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Oleh FAIZAH NIM: 0045119421

PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah Dan Hukum

Oleh

FAIZAH 0045119421

Di Bawah Bimbingan Pembimbing I,

H. Zubair Laini, SH.

NIP: 150 009 273

Pembimbing II,

Drs. H. Mas’udi

NIP: 150 018 331

PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Oleh

FAIZAH

NIM: 0045119421

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH

JAKARTA


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juli 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Pidana Islam.

Jakarta, 06 Desember 2007 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM

NIP. 150 210 422

Ketua : Asmawi, M.Ag ( )

NIP. 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag ( )

NIP. 150 282 430

Pembimbing I : H. Zoebir Laini, SH ( )

NIP. 150 009 273

Pembimbing II : Drs. H. Mas’udi (

) NIP. 150 019 331

Penguji I : Drs. H. Odjo Kusnara N. M.Ag (

) NIP. 150 060 388


(5)

Penguji II : Drs. Abu Thamrin, SH. M.Hum ( ) NIP. 150 274 761


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT. yang tak terhingga limpahan rahmat dan karunia-Nya, berhat taufik dan hidayah-Nya alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sempat terbersit putus asa tatkala melihat satu persatu teman seperjuangan meninggalkan bangku kuliah dengan menggunakan toga, tapi dengan semangat dan motibvasi yang diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar, skripsi ini tidak akan rampung tanpa adanya pertolongan dan hidayah dari Allah SWT. karena Dia-lah yang telah memberikan akal untuk berpikir dan ilmu bagi penulis.

Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa manusia kepada kesempurnaan akhlak dari zaman jahilayah ke zaman yang diridhoi Allah SWT, tak lupa juga shalawat serta salam penulis sampaikan kepada keluarganya, para sahabat dan para pengikut beliau dari masa erdahulu hingga masa yang akan datang.

Dalam upaya penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampua, namun berkat adanya bantuan dan saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu, ucapan terima kasih ini penulis ucapkan kepada:


(7)

1. Bapak Prof. Muhammad Amin Suma, MA. MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i DAFTAR ISI……….. ii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Perumusan Masalah……….4

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan……… 5

D. Metode Pembahasan Dan Teknik Penulisan……….. 5

E. Sistematika Penulisan………..7

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam………. 8

1. Pengertian Jarimah/Jinayat……….

8

2. Unsur-Unsur Jarimah……….

10

B. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Positif


(9)

1. Pengertian Tindak Pidana……….. 15

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana………... 17

C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana……… 27

BAB III KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA……… 35

A. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana……….. 35

1. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana………35 2. Tinjauan Hukum Positif Tentang Pertanggungjawaban Pelaku

Tindak Pidana………. 38

B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana……….. 41

1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam…... 41

2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif….. 43


(10)

A. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam………... 45

B. Hak Dan Kewajiaban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum

Positif……….56

C. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam……… 69 1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam……….. 69 2. Tujuan Pemidaan Menurut Hukum Positif……… 72 BAB V PENUTUP………..78

A. Kesimpulan……….78

B. Saran-Saran……….81


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI ………. vi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembahasan Dan Perumusan Masalah……… 4

C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan ……… 5

D. Metode Pembahasan Dan Teknik Penulisan……… 6

E. Sistematika Penulisan……… 7

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA……….8

A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam………… 8

1. Pengertian Jarimah ……… 8

2. Unsur-Unsur Jarimah……… 10

B. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Positif…………15

1. Pengertian Tindak Pidana……… 15

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana………. 17


(12)

BAB III KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA ………. 36

A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana………. 38

1. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana………... 38

2. Tinjauan Hukum Positif Tentang Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana………... 38

B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana……… 41

1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam … 41 2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif ... 43 BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA…. 45 A. Hak Dan Kewajiban Tindak Pidana Menurut Hukum Islam … 45 B. Hak Dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif……… 56

C. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif………. 73

1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam………..73

2. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Positif……….76


(13)

A. Kesimpulan……… 80 B. Saran-Saran……… 83


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT. sehingga dengan kekuasaan-Nya, diberikanlah manusia ruh, nafsu dan akal agar dapat hidup di muka bumi sebagai khalifah. Konsekwensi manusia disebut sebagai khalifah berarti dibebani suatu amanah untuk melaksanakan kewajiban. Dalam definisi hukum bahwa hukum itu selain memberikan kewajiban kepada manusia, juga memberikan beberapa hak dan sekaligus menjadi obyek hukum karena ia mempunyai kewajiban. Hak dan kewajiban itu timbul dari hubungan manusia dengan sesamanya dalam pergaulan hidup sehari-hari dan juga hubungan manusia sebagai makhluk yang memiliki kewajiban kepada Tuhannya sang Pencipta.

Kalau kita cermati akhir-akhir ini, banyak sekali kejahatan yang terjadi dimana-mana dan banyak sekali tersangka atau pelaku kejahatan yang ditangkap karena perbuatannya itu. Tetapi ironisnya bila pelaku kejahatan itu adalah orang miskin atau orang kecil, ia diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat hukum. Bahkan untuk mendapatkan bantuan hukum pun sangat sulit yang dikarenakan mereka tidak sanggup membayar para pengacara itu.


(15)

Banyak sekali seorang pelaku tindak pidana yang diperlakukan secara tidak wajar, seperti main hakim sendiri, pemeriksaan yang lambat dan tidak bebasnya pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan yang disebabkan kebanyakan dari mereka merasa tertekan. Sedangkan dalam KUHAP sendiri memuat hak-hak tersangka antara lain yang termuat

dalam pasal 52 yang berbunyi “Dalam pemeriksaan pada tingkat

penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.”

Melihat pasal 52 tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam KUHAP diatur tentang adanya hak dari tersangka atau terdakwa untuk diberitahukan untuk apa ia diperiksa sejak mulai diadakan pemeriksaan, pemberitahuan penangkapan itu harus dapat dimengerti oleh orang yang diperiksa kenapa dia ditangkap dan atas dasar apa dia ditangkap. Setelah tersangka atau terdakwa memahami tentang penangkapan itu, maka pemberitahuan itu harus dapat dimengerti oleh orang yang diperiksa (tersangka atau terdakwa). Setelah tersangka atau terdakwa memahami pemberitahuan dan pernyataan pemeriksaan, ia masih diberikan hak untuk memberikan keterangan-keterangan secara bebas. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, para pelaku tindak pidana (tersangka atau terdakwa) merasa tertekan dan tidak punya kebebasan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penyidik ataupun hakim. Seperti dalam pemeriksaan seorang tersangka atau terdakwa dipaksa untuk mengakui perbuatan


(16)

kejahatannya dengan cara disiksa secara pisik (dipukul, ditendang dan dengan kekerasan lainnya) dan mental (ancaman atau kata-kata yang membuat takut/tertekan para tersangka atau terdakwa) sehingga dengan siksaan yang bertubi-tubi itu tersangka tidak kuat lagi menahan rasa sakit ataupun merasa takut dengan ancaman-ancaman itu sehingga ia mengakui perbuatannya.

Padahal pelaku tindak pidana berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan, segera diadili atau memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim, juga berhak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.

Hal yang demikian sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja hak-hak pelaku tindak pidana itu mendapat perhatian dan perlindungan yang proporsional. Ada kesan bahwa nasib dan hak-hak pelaku tindak pidana kurang mendapat perhatian, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, kita akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-hak pelaku tindak pidana.

Hal ini dirasa sangat penting di tengah semakin gencarnya persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), persamaan derajat di muka hukum. Maka perhatian dan perlindungan terhadap hak-hak pelaku tindak pidana mutlak perlu, sebab mereka adalah manusia yang memeliki kedudukan yang sama.


(17)

Oleh karena itu, dengan adanya perhatian dan perlindungan kepada pelaku tindak pidana, kiranya apa yang menjadi harapan kriminologi untuk dapat menunjang pelaksanaan hukum pidana dan menyelaraskan undang-undang yang berlaku agar sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal tersebut juga didorong oleh pikiran untuk menumbuhkan masyarakat yang mewujudkan iklim keadilan sosial, yang nantinya dapat mengurangi terjadinya kesenjangan dan ketimpangan sosial.

Sebagai manusia, pelaku tindak pidana perlu mandapatkan perlindungan hukum, kesamaan hak dan kewajiban yang sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku. Adanya pengaturan masalah hak-hak pelaku tindak pidana ini dirasa perlu, melihat besarnya relevansi dengan masa sekarang. Berlatar belakang pemikiran di atas, penulis terdorong untuk menelaah dan mengkaji permasalahan tersebut dalam pembahasan karya ilmiah ini. Adapun judul yang penulis tetapkan adalah: “HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.”

B. Perumusan Masalah

Dari gambaran latar belakang pemikiran di atas, setidaknya ada empat pokok permasalahan yang akan dicari dan ditemukan jawabannya


(18)

dalam skripsi ini. Empat pokok permasalahan tersebut, dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan pelaku tindak pidana dan apa kriteria pelaku tindak pidana yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana?

2. Apakah ada perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana?

3. Apa tangapan para aparat hukum mengenai perlindungan hukum

terhadap pelaku tindak pidana?

4. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui kedudukan pelaku tindak pidana dan kriterianya yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana.

2. Untuk mengatahui perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana.

3. Megetahui tanggapan para aparat hukum mengenai perlindungan

hukum terhadap pelaku tindak pidana.

4. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana..


(19)

Kegunaan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan satu kajian tentang tinjauan terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

D. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan

Jenis penelitian yang digunakan penyusunan skripsi ini adalah

Library Research dengan mengacu kepada: 1. Sumber Data

Yaitu yang bersumber dari studi kepustakaan, memilih literatur dan referensi kepustakaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Penggunaan bahan dilapangan seperti buku, dokumen dan sebagainya dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat dalam skripsi ini.

3. Pengolahan dan Analisa data

Setelah data tersebut diolah dengan cara dikumpulkan, dibaca, dikaji dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode sebagai berikut:


(20)

a. Metode induktif, yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat umum.

b. Dalam penulisan arti ayat al-Qur’an, hadits dan qaidah fiqih ditulis miring dan spasinya satu.

Sedangkan tehnik yang digunakan dalam menyusun skripsi ini, penulis memakai acuan dari “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN SARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2002.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metode pembahasan dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan.


(21)

BAB II : Gambaran umum tentang tindak pidana yang terdiri dari unsur-unsur tindak pidana serta beberapa sebab terjadinya tindak pidana.

BAB III : Berisi tentang kedudukan pelaku tindak pidana, hukum yang terdiri dari unsur-unsur pelaku tindak pidana, pertanggungjawaban tindak pidana serta kedudukan pelaku tindak pidana.

BAB IV : Tujuan terhadap hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum Islam dan hukum positif yang meliputi hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum Islam, hak dan kewajiban pelaku tindak pidana menurut hukum positif serta tujuan pemidanaan menurut hukum Islam dan hukum positif.


(22)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Jarimah/Jinayat

Sebelum kita membahas pengertian tindak pidana menurut hukum Islam dan hukum positif penulis akan menguraikan terlebih dahulu pengertian tindak pidana menurut bahasa. Tindak pidana menurut bahasa terdiri dari dua kata yaitu; tindak dan pidana. “tindak adalah melakukan perbuatan"1, sedangkan “Pidana adalah kejahatan.”2 Jadi pengertian tindak pidana menurut bahasa adalah melakukan perbuatan kejahatan.

Setelah kita mengetahui pengertian tindak pidana menurut bahasa, maka penulis sekarang akan membahas atau menguraikan pengertian tindak pidana menurut hukum Islam atau yang disebut juga dengan istilah jarimah atau jinayah.

Dalam hukum Islam, mengenal hukum pidana di mana hukum pidana mempunyai arti kumpulan aturan yang mengatur cara

1

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987)Cet. Ke-4 , h. 1074

2


(23)

melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat (negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan yang tidak dibenarkan.

Para Fuqaha Islam membicarakan hukum pidana Islam dalam bab jinayah atau jarimah:

ا

ا

ﺮ ا

تارﻮﻈ

ﺎﻬ ﺄ

ﻹا

ﺮ ز

ﺔ ﺮ

ﺎﻬ

ﷲا

ﺰ وأ

3

Artinya: “Jarimah menurut syari’at Islam adalah Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”

Dalam hukum Islam pengertian tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah”. Mengenai istilah jarimah Abdul – Qadir ‘Audah menerangkan sebagai berikut:

لﺎ

وأ

ا

و

ءاﻮ

ﺎ ﺮ

مﺮ

ا

ﻚ ذ

وأ

4

Artinya: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu terhadap jiwa, harta ataupun yang lainnya”.

Larangan-larangan tersebut adakalanya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah atau meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan. Suatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’.

3

Abdul Qodir Audah, At-Tasyri al-Jinai al-ISlami, (Kairo : Maktabah darul Urubah, 1960) Juz 1, hl. 66

4


(24)

Sedangkan para fuqaha lebih sering memakai kata jinayah untuk

jarimah, dikalangan fuqaha yang dimaksud dengan kata jinayah adalah ‘segala tindakan atau perbuatan yang dilarang oleh hukum syara’. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh

syara’ dan harus dihindari, karena perbuatan itu menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal, harga diri dan harta benda.5

Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah

hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan saja seperti, membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapula segolongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata jarimah hudud dan qishash.

Terlepas dari perbedaan istilah jarimah dan jinayah, namun keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’. Jadi, suatu perbuatan baru dianggap sebagai

jarimah atau jinayah apabila telah dilarang oleh syara. Berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah atau jinayah, kecuali diancam dengan hukuman atau sanksi.

2. Unsur-unsur Jarimah

Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah adalah larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau hukuman

5


(25)

ta’zir, larangan syara’ adakalanya berupa perbuatan yang dilanggar atau meninggalkan yang diperintahkan.

Berbuat jarimah atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ dimana larangan-larangan tersebut berasal dari nash al-Qur’an dan sunnah yang hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat, karena memahami maksud ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya. Hal ini pada hakekatnya perintah atau larangan merupakan suatu beban sehingga penerima beban harus memahami dan menyanggupinya. Orang yang tidak mengerti isi perintah (tidak paham) dan orang-orang yang tidak kuasa memikul beban (tidak sanggup) karena suatu sebab, tidak mungkin menerima beban tadi, misalnya orang-orang yang hilang ingatan dan anak-anak yang tidak terpanggil oleh larangan-larangan syara’.

Dalam hal ini Abdul – Qadir ‘Audah berkata:

“Bahwasanya syari’at Islam tidak membebani, kecuali terhadap orang-orang yang mampu memahami dalil (paham isi perintah dan dianggap mengetahui aturan) serta dapat menerima atau memikul beban, tidak pula syari’at membebani seseorang kecuali bila diasumsikan beban itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap mengetahui dan dapat mentaatinya.”6

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana dalam syariat Islam suatu perbuatan harus memiliki beberapa persyaratan atau terdapat

6


(26)

unsur-unsur tindak pidana (jarimah) yaitu unsur-unsur umum yang terdiri dari :

a. Unsur Syar’i (unsur formil)

Yang dimaksud dengan unsur syar’i adalah adanya ketentuan

syara’ atau nash yang mengatakan bahwa perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya

nash yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang

dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dan dalam hal ini berlakulah kaidah:

ﻷا

ﻷا

ءﺎ

ﻹا

ﺔ ﺎ

“Pada dasarnya sesuatu itu boleh”.

b. Unsur Maddi (unsur materiil)

Yang dimaksud dengan unsur maddi adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat, atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam hukum positif, perilaku tersebut di sebut sebagai unsur obyektif yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.

c. Unsur Adabi (unsur moril)

Unsur adabi disebut juga dengan al-Mas’uliya al-Jina’i atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah


(27)

atau pembuat tindak pidana haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat

jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang

mukallaf, sebab hanya merekalah yang terkena khitab atau taklif. Ketiga unsur yang disebutkan di atas adalah merupakan unsur-unsur umum atau dasar, yang harus terdapat pada setiap perbuatan untuk dapat digolongkan kepada perbuatan jarimah. Artinya unsur-unsur tersebut adalah yang sama dan berlaku bagi setiap macam

jarimah. Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus dipenuhi.

Di samping ada unsur yang bersifat umum ada pula unsur-unsur yang bersifat khusus. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah

berbeda-beda sesuai dengan berbedanya sifat jarimah, untuk dapat dikenakan hukuman suatu jarimah dapat memiliki unsur khusus yang tidak ada pada jarimah lainnya. Sebagai contoh; unsur “pengambilan dengan diam-diam” harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian, dan unsur “menghilangkan nyawa orang lain” hanya ada pada jarimah pembunuhan.

Perbedaan pada unsur umum dan unsur khusus ialah kalau unsur


(28)

khusus dapat berbeda-beda macamnya menurut perbedaan jarimah. Dikalangan fuqaha biasanya membicarakan tentang kedua unsur tersebut dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu

jarimah.7

Dalam hal ini hukum pidana Islam mempunyai kaidah-kaidah pokok yang menyatakan bahwa, tidaklah dapat dianggap suatu tindak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan selama tidak ada nash yang jelas, oleh sebab itu tidak dikenakan hukuman kecuali ada dasar hukuman yang menyatakannya, sesuai dengan kaidah:

ا

ﺔ ﻮ

و

ﺔ ﺮ

“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali adanya nash.”

Selain itu ada juga kaidah yang lain:

ﺪ ا

اردﺎ

نﺎآ

ا

ﺎ ﺮ

ا

ﺎ ﺮ

ﻜ و

هأ

ﻰ ﻜ ا

و

مﻮ

ﻜ ار

ﺎ ا

Artinya: “Agama tidak membebani kecuali pada orang yang mampu atau kuasa untuk memahami dalil, dapat menerima apa yang ditaklifkan kepadanya, dan tidak pula agama itu menjadi beban bagi seseorang kecualai dengan beban yang mungkin dilakukan dan mungkin diketahui, sehingga orang tersebut dapat mentaatinya.”

7


(29)

Dari kaidah di atas mengandung pengertian keharusan untuk

memenuhi syarat bagi seorang mukallaf agar dapat

dipertanggungjawabkan perbuatannya, di antara syarat-syarat tersebut antara lain:

1) Hendaknya orang tersebut harus memahami taklif, harus mampu memahami dalil nash syari’at yang menunjukkan hukum, karena orang yang tidak dapat memahami hukum tidak dapat mentaati apa yang dibebankan kepadanya.

2) Hendaknya orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya dan dapat dikenakan sanksi kepadanya.8

B. Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Tindak Pidana

Mengenai istilah atau pengertian tindak pidana masih belum ditemukan suatu keseragaman di antara para sarjana hukum ada yang menggunakan istilah tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana dan delik.

Satu hal yang menyebabkan ketidakseragaman istilah tersebut di atas oleh para ahli hukum semata-mata dikarenakan ketidaksepakatan mereka dalam mengalih bahasakan strafbaar feit yang berasal dari

8

Praja S. Juhaya, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Angkasa, 1987), h. 75


(30)

bahasa Belanda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah mempunyai arti yang mendasar, pada hakekatnya yang terjadi hanyalah perbedaan pemakaian kata, sementara maksudnya satu sama lain tidak berbeda.

Dalam hukum positif tindak pidana di sebut dengan istilah

delict atau strafbaar feit yang diambil dari hukum pidana Belanda yang artinya suatu “perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.”9

Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan beberapa pendapat diantaranya:

a. Simon berpendapat, tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.

b. Van Hamal berpendapat, tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan orang (meselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (straaf waarding) dan dilakukan dengan kesalahan.10

c. R. Susilo berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan Undang-undang yang

9

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : PT. Erisco, 1986), Cet. Ke-6 h. 55

10


(31)

dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.11

Maka dari pengertian di atas dapat dipahami, bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab serta adanya kesalahan dan bagi pelakunya dapat dikenakan hukuman. Jadi apabila dilihat dari segi unsur tindak pidana antara hukum Islam dan hukum positif mempunyai kesamaan yaitu sebagai perbuatan yang melanggar perintah atau larangan yang sudah ditentukan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Uraian tentang pengertian tindak pidana dari para sarjana hukum bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang dimana pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu; (1) Dari sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-undang. Yang dimaksudkan dari sudut teoritis adalah yang didasarkan pada pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut Undang-undang adalah sebagaimana tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

11


(32)

Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis: a. Unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah:

1) Perbuatan (manusia).

2) Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum. 3) Larangan itu disertai ancaman.

4) Larangan itu dilanggar oleh manusia.12

Jadi, menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah unsur perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan apabila larangan tersebut dilanggar baik sengaja maupun tidak sengaja maka pelakunya dapat diancam pidana atau mendapat sanksi menurut perbuatannya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana, dan juga perbuatan itu harus melawan hukum yaitu harus betul-betul dirasakan oleh mayarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan.

b. Unsur tindak pidana menurut R. Tresna

1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia).

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3) Diadakan tindakan penghukuman.13

12

Moeljatno, Pelajaran Hukum Pidana Bagian1, h. 79 13


(33)

Dari unsur yang ketiga, diadakan tindakan penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan).

c. Unsur tindak pidana menurut Simon:

1) Suatu perbuatan manusia (menselijk handelingen) dengan

handelingen dimaksudkan tidak saja “een deen” (perbuatan/sengaja opzet), akan tetapi juga “een nalaten” (mengabaikan/culpa).

2) Perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabdikan) diancam dan dilarang dengan hukuman oleh Undang-undang.

3) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.14

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana.

Jadi, meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan perundang-undangan tetapi apabila perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum atau tidak bertentangan dengan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Misalnya seorang Ayah memukul anaknya

14


(34)

yang bandel dalam rangka pendidikan , yaitu agar anak itu menjadi baik, kalau kita lihat memang perbuatan Ayah itu sesuai dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Tetapi perbuatan seorang Ayah itu dibenarkan oleh masyarakat, sehingga perbuatan tersebut tidak dikatakan sebagai perbuatan yang melawan atau bertentangan dengan hukum. Jadi, perbuatan seorang Ayah itu bukan merupakan tindak pidana.15

Maka dari itu untuk menentukan perbuatan seseorang, apakah termasuk tindak pidana atau tidak, dalam hal ini maka perlu mengetahui rumusannya, untuk itu Undang-undang merumuskan bahwa tiap-tiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif.16

Yang di maksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana yang terdiri dari hal yang dapat dipertanggungjawabkan (toerkeneing suatbarheid) dan kesalahan apakah seseorang dapat dipersalahkan sehingga akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.17

Disamping itu juga banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus

15

Sufyan Sastawidjaja, Hukum Pidana 1,(Bandung : Amrico, 1990), h. 116 16

Syahruddin Husain dan Ratna Asih, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Medan : Fakultas Hukum USU, 1977), h. 114-115

17


(35)

untuk rumusan tertentu. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUPH itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana yaitu :

1) Unsur tingkah laku 2) Unsur melawan hukum 3) Unsur kesalahan

4) Unsur akibat konstitutif

5) Unsur keadaan yang menyertai

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di pidana.18

Dari delapan unsur tersebut, maka unsur kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif.

Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundang-undangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur obyektif, karena apapun yang tejadi yang tampak adalah unsur lahir seperti apa yang ditulis oleh Prof. Moeljatno, SH. bahwa perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.

1) Unsur Tingkah Laku

18


(36)

Unsur tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif/positif (handelen), juga dapat di sebut perbuatan materil (matereel feit) dan tingkah laku pasif/negatif (nalaten).

Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud perbuatan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil atau mencuri yang terdapat dalam pasal 362. sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten) suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, tidak memberikan pertolongan (pasal 531).

2) Unsur Melawan Hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formale wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil) karena bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti; perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (pasal 339).


(37)

Pasal 339 ini mempunyai bentuk paralel dengan pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan menggunakan kekerasan, bedanya disamping maksud delict, terletak pada akibat dari perbuatan tersebut. Pada pasal 339 KUHP matinya seseorang adalah dimaksud dalam perbuatan, tetapi tidak direncanakan dan dalam pasal 365 ayat (3) KUHP matinya seseorang adalah merupakan akibat dari perbuatan.

Perbuatan menghilangkan nyawa atau membunuh adalah suatu perbuatan yang tercela sekaligus merugikan orang lain dan juga perbuatan pembunuhan dilarang baik oleh Undang-undang, masyarakat maupun dalam hukum Islam. Perbuatan tindak pidana adalah perumusan dari hukum pidana yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum yang ada di bidang hukum lain. Jadi dalam setiap tindak pidana harus ada sifat melawan hukum.

3) Unsur Kesalahan

Unsur kesalahan itu berhubungan langsung dengan kebatinan si pelaku yaitu hal yang berhubungan dengan kesalahan si pelaku tindak pidana, karena hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada diri si pelaku tindak pidana, dan dalam hal itu harus ditegaskan bahwa si pelaku tindak pidana tahu betul bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Satochid Kartanegara menurutnya, kesalahan (schuld)


(38)

yang dalam arti sosial ethis adalah suatu hubungan jiwa seseorang yaitu yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya dan hubungan jiwa itu sedemikian rupa, sehingga perbuatannya atau akibatnya berdasarkan pada jiwa si pelaku dan dapat dipersalahkan kepadanya.19 Maksudnya adalah keadaan si pelaku tersebut dalam keadaan sehat dan tidak terganggu jiwanya, karena jika si pelaku itu gila maka perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, kesadaran orang sebelum ia melakukan suatu perbuatan tersebut harus menjadi pertimbangan terhadap kesalahan seseorang. Hakim telah menuntut setiap orang untuk menyadari akibat-akibat yang mungkin terjadi pada perbuatan yang akan dilakukannya. Jadi, tidak cukup suatu ketentuan bahwa seseorang tidak menyadari perbuatannya, sehingga dengan demikian dia tidak mampu bertanggung jawab.

Misalnya: “Ada seorang yang mabuk lalu dia mencuri HP. seseorang pada waktu dia mencuri orang itu dalam keadaan mabuk, maka sering orang berpendapat adanya pengaruh alkohol dalam darah orang itu yang menyebabkan orang itu tidak sadar dalam melakukan perbuatannya. Maka orang mabuk dianggap tidak mampu bertanggung jawab.”

19


(39)

Dalam hal ini, yang terpenting dari diri orang itu (yang mabuk) adalah dengan melihat niat untuk melakukan tindak pidana untuk sampai kepada perbuatan tersebut ia meminum minuman keras, maka jelaslah bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Orang tersebut harus menyadari apa akibat yang mungkin terjadi apabila ia meminum-minuman keras. Maka harus ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana, kesalahan ini berupa dua macam, yaitu; kesatu, kesengajaan (opzet), dan kedua, kurang berhati-hati (culpa).

4) Unsur Akibat Konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada:

(a) Tindak pidana materiil (matereel delicten) atau dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

(b)Tindak pidan yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pembuat pidana, dan

(c) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.

Unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah unsur pokok tindak pidana, artinya kalau unsur ini tidak timbul maka tindak pidana tidak terjadi yang terjadi hanyalah percobaannya. Sedangkan unsur akibat sebagai pemberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya


(40)

jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.

Misalnya, pada pasal 288 ayat (2) yang berbunyi “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana paling lama 8 (delapan) tahun penjara.20

5) Unsur Keadaan yang Menyertai

Unsur keadaan yang menyertai adalah tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan seperti:

(a) Mengenai cara melakukan perbuatan, seperti dalam pasal 285, 289 dan 365 (kekerasan dan ancaman kekerasan)

(b)Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan, seperti dalam pasal 363 ayat (1) sub 5 (penggelapan)

(c) Mengenai obyek tindak pidana, seperti dalam pasal 362 (pencurian)

(d)Mengenai subyek tindak pidana, seperti dalam pasal 342 (seorang ibu)

(e) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana, seperti dalam pasal 363 ayat (1) sub ke 3

20

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara) Cet. Ke 20, h. 15


(41)

(f) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, seperti dalam pasal 363 (1).

6) Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu dan dalam hal ini yang berhak mengadu adalah korban kejahatan atau wakilnya yang sah, seperti yang tercantum dalam pasal 72 ayat (1) yang berbunyi :

“Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur/orang yang dibawah pengampunan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.”

Dan untuk dapatnya dituntut pada tindak pidana aduan diperlukan syarat adanya pengaduan dari yang berhak atau korban kejahatan itu sendiri, jadi kalau aduan itu berasal bukan dari yang berhak artinya orang lain selain korban kajahatan atau walinya yang sah, maka aduannya tidak dapat dituntut.

7) Unsur Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana

Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana


(42)

tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayan berat (354), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana. 8) Unsur Syarat Tambahan untuk dapatnya Dipidana

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya tapi berbeda secara prinsip, pada unsur akibat konstitutif

harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan akibatanya, sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang demikian.

Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul setelah dilakukannya perbuatan, maka tindak pidana tidak terjadi yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah membacok batang leher korban, tetapi tidak menimbulkan akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (pasal 338 job 53). Contoh lain unsur ini dalam rumusan tindak pidana, ialah; bila


(43)

orang yang tidak ditolong itu meninggal (531), kalau orang itu jadi bunuh diri (334).

C. Beberapa Sebab Terjadinya Tindak Pidana

Setelah kita membahas mengenai unsur-unsur tindak pidana, penulis akan menguraikan sebab-sebab atau faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana/kejahatan, seperti yang telah penulis jabarkan di atas tentang tindak pidana yang diambil dari bahasa Belanda “strafbaar feit” yang artinya melakukan perbuatan kejahatan atau suatu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab serta adanya kesalahan dan bagi pelakunya dapat dilakukan penghukuman. Dengan demikian perbuatan manusia yang dianggap sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana tentunya berdasarkan sifat dari perbuatan tersebut yang mengandung unsur-unsur yang merugikan dan menjengkelkan atau membuat resah masyarakat .

Akan tetapi sebagai norma hukum berlakunya dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya suatu tindakan kadang-kadang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kadang-kadang juga bertentangan dengan masyarakat lainnya. begitu juga pada suatu waktu masyarakat menerimanya dan terkadang sebaliknya, ketidakcocokan ini disebabkan oleh faktor waktu dan tempat. Ini berarti tindak pidana dapat berubah dengan waktu dan tempat, sehingga pada suatu saat tertentu perbuatan tersebut dianggap


(44)

sebagai suatu tindak pidana dan pada saat yang lain tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana.

Kemudian timbulnya suatu tindak pidana dipengaruhi oleh beberapa faktor tergantung situasi dan kondisi masyarakat di mana tindak pidana itu dilakukan dan setiap ahli hukum mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam membahas faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindak pidana.

Disini penulis akan menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana, faktor-faktor itu adalah sebagai berikut:

1. Faktor lingkungan sosial 2. Faktor keluarga

3. Faktor ekonomi

4. Faktor penyakit jiwa.21

Berikut ini uraian mengenai faktor-faktor yang ditulis di atas: 1. Faktor Lingkungan Sosial

Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan latar belakang secara umum dari kejahatan dewasa ini, ditinjau dari segi perkembangan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan perkembangan di bidang

21

Andi Hamzah, Bunga RampaiHukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) cet. Ke 1, h. 54


(45)

tindak pidana atau yang sering kita sebut kejahatan, berlangsung tindak pidana, kekerasan merupakan prilaku sosial yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan struktur sosial, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor sosial lainnya yang terdapat dalam masyarakat.

Sehubungan dengan itu Edwin H. Sutherland dan Dohaid R. Cressey dalam bukunya “Principlies of Criminology” yang disadur oleh Maman Marta Sapatra, SH., mengemukakan bahwa proses seorang bertingkah laku tertentu berdasarkan pada22 :

a. Tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam suatu proses berhubungan. b. Bagian yang terpenting dari tingkah laku kriminal itu dipelajari

dalam keluarga pergaulan intim.

c. Bila tingkah laku kriminal itu dipelajari, maka pelajaran tersebut meliputi: cara melakukan kejahatan, baik yang sukar maupun yang sederhana, serta motif fikiran-fikiran dan sikap-sikap untuk melakukan kejahatan yang spesifik.

d. Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dapat bervariasi (berubah-ubah) dan perubahan tersebut tergantung pula pada frekwensi (keseringan) duration (jangka waktu) dan

intensity (intensitas).

22

Edwin H. Sutherland dan Donaid Cressey, Asas-asas Kriminologi (Principlies of Criminology) di sadur oleh Maman Saputra, SH., (Bandung : Alumni, 1973), h. 118


(46)

e. Proses mempelajari tingkah laku kriminal secara bervariasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal meliputi didalamnya sebagaimana kita mempelajari segala sesuatu.

2. Faktor Keluarga

Keluarga adalah awal dari kehidupan manusia, di mana manusia dalam lingkungan keluarga dibentuk dan dididik. Keluarga adalah masyarakat terkecil dalam suatu masyarakat. Di mana tingkah laku anak sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dalam suatu keluarga.

Hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak serta semua yang ada didalamnya sangat memainkan peranan dalam pembentukan jiwa anak. Bekaitan dengan hal tersebut R.S. Cavan dalam bukunya “Criminology” yang disadur oleh G.W. Bawengan mengemukakan bahwa kondisi keluarga dijadikan salah satu penyebab terjadinya tindak pidana karena :

a. Lingkungan keluarga merupakan suatu keluarga masyarakat yang pertama dihadapi oleh setiap anak-anak, oleh karena itu lingkungan tersebut sangat memegang peranan utama sebagai pengalaman untuk menghadapi masyarakat yang lebih luas lagi.

b. Bahwa keluarga merupakan suatu lembaga yang bertugas

menyiapkan kepentingan sehari-hari dan sebagai tempat kontrol terhadap tingkah laku anak-anak.


(47)

c. Bahwa lingkungan keluarga merupakan keluarga pertama yang dihadapi oleh anak-anak itu, ia menerima pengaruh-pengaruh emosional dari lingkungan tersebut. Kepuasan, kekecewaan, rasa cinta, rasa benci akan mempengaruhi watak anak mulai dibina dalam lingkungan itu dan akan bersifat menentukan untuk masa depan.23

Maman Marta Saputra mengemukakan dalam bukunya “Asas-asas Kriminologi” bahwa rumah tangga yang sering menghasilkan anak-anak nakal disebabkan oleh kondisi keluarga sebagai berikut :

a. Anggota keluarga yang lainnya juga penjahat, pemabuk , immoral. b. Tidak adanya salah satu orang tua atau kedua-keduanya karena

kematian, perceraian.

c. Kurangnya pengawasan orang tua, karena masa bodoh, cacat inderanya atau sakit.

d. Ketidakserasian karena adanya yang masih kuasa sendiri, iri hati, cemburu, terlalu pada anggota keluarga, pihak lain yang turut campur.

e. Perbedaan rasial dan agama ataupun perbedaan adat istiadat.

f. Tekanan ekonomi, seperti pengangguran, kurangnya penghasilan, ibu yang bekerja di luar.

23

G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan dengan Sebab dan Akibatnya, (Jakarta : Pradya Paramita, 1977), h. 90


(48)

Dalam keluarga anak-anak mudah sekali terpengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang dapat membentuk kepribadiannya, jika pengalaman yang didapat buruk, maka berdampak buruk pula bagi anak-anak.

Dengan demikian jelaslah, bahwa situasi dan kondisi rumah tangga sangat berperan di dalam pembentukan dan perkembangan jiwa anak. Dan orang tualah yang sangat berperan di dalam menciptakan anak yang terbebas dari kejahatan.

3. Faktor Ekonomi

Perekonomian sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari merupakan suatu kesatuan yang erat sekali kaitannya dengan kejahatan dan tidak dapat dipisahkan. Seperti pada saat sekarang ini, di mana harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi dan juga harga kebutuhan-kebutahan lainnya yang semakin lama rasanya semakin mencekik saja, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja bahkan ada yang tidak malu melakukan perbuatan yang menjurus kepada tindak pidana (kejahatan).

Mulyana W. Kusuma mengutip pendapat seorang ahli kriminologi yang mengatakan bahwa “kejahatan adalah respon-respon


(49)

rasional terhadap bekerjanya sistem ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta berbagai bentuk ketidakmerataan”.24

4. Penyakit Jiwa

Banyak dokter ahli jiwa mengatakan bahwa tindak pidana itu selalu disebabkan oleh beberapa ciri atau sifat-sifat dari seseorang yang merupakan suatu pembawaan dari penyakit jiwa. Bahkan beberapa dokter mengatakan bahwa hampir semua penjahat menderita penyakit jiwa dan sebagian lagi mengatakan bahwa 10% atau kurang dari penjahat adalah penjahat yang berpenyakit jiwa.25

Seseorang yang menderita neorosis, juga cenderung untuk melakukan kejahatan. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan mengalami hambatan perkembangan jiwa, yang mengakibatkan terjadinya kebingungan, keragu-raguan dan kesedihan.26

Dalam kenyataan, sebagaimana kita perhatikan sehari-hari, selamanya bahwa setiap tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang menderita penyakit jiwa atau tidak berarti bahwa penyakit jiwa itu penyebab umum dari setiap tindak pidana, karena tidak semua orang yang melakukan tindak pidana/kejahatan dan tidak setiap tindak pidana dilakukan oleh orang yang berpenyakit jiwa. Jelaslah bahwa

24

Maman Marta Saputra, op. cit., h.55 25

Edwin H. Sutherland dan Donald R. Creesey, h. 177 26

Soerjono Soekanto, Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, (Bandung, Alummni, 1979), h. 42


(50)

penyebab seseorang melakukan tindak pidana/kejahatan, disamping karena faktor kejiwaan, juga terdapat pula faktor lainnya yang saling berkaitan yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan.


(51)

BAB III

KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana

1. Tinjauan Hukum Islam tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

Menurut hukum Islam, pengertian pertanggungjawaban sering disebut juga dengan istilah al-Mas’uliya al-Jinaiyyah ialah pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri, dimana ia mengetahui maksud dan akibat dari perbuatan itu.27

Pengertian pertanggungjawaban pidana yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah:

ﺎ ا

ﺆ ا

نﺎ ﻹا

نأ

ﺔ ﺮ ا

ﻰ ا

ﺔ ﺮ ا

لﺎ ﻷا

ﻮهوارﺎ

ﺎﻬ

ﺎ وﺎﻬ ﺎ

كرﺪ

ﺎﻬ

Artinya: “Pertanggungjawaban dalam hukum Islam, adalah seseroang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang terlarang yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri padahal dia

27

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke 1, h. 154


(52)

sadar akan maksud serta akibat-akibat dari perbuatannya itu.”28

Dari dua definisi di atas dapatlah dipahami, bahwa pertanggungjawaban pidana ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu:

a. Melakukan perbuatan yang dilarang

Yaitu melakukan perbuatan yang benar-benar dilarang oleh nash, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tidak ada kejahatan dan pertanggungjawaban jika tidak adanya larangan nash baik al-Qur’an maupun hadist. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:

ﺎ ا

ﺆ ا

نأ

ﺔ ﺮ ا

نﺎ ﻹا

ﻰ ا

ﺔ ﺮ ا

لﺎ ﻷا

ﺎﻬ

ارﺎ

ﺎ وﺎﻬ ﺎ

كرﺪ

ﻮهو

ﺎﻬ

“Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum turunnya nash.”

b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

Yaitu perbuatan itu benar-benar dilakukan atas kehendak sendiri bukan suruhan ataupun paksaan.

c. Pelakunya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Bahwa pelaku benar-benar mengetahui akibat dari perbuatan yang telah dilakukan dan siap menanggung akibatnya.29

Maka yang menjadi faktor adanya pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam ialah perbuatan maksiat (perbuatan melawan

28

Abdu- Qodir ‘Audah, op.cit., h. 392 29


(53)

hukum). Meskipun perbuatan melawan hukum itu menjadi sebab adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan syarat-syarat

idrak (mengetahui) dan ikhtiar (pilihan).

Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana adalah manusia yang berakal sehat, dewasa dan berkemauan sendiri. Kalau tidak demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban atas pelaku tindak pidana, karena orang yang tidak memiliki akal sehat atau sempurna bukanlah orang yang mengetahui (idrak) dan bukan pula orang yang mempunyai pilihan (ikhtiar). Termasuk kategori ini adalah anak-anak, orang gila, orang yang sedang tidur. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda sebagai berikut:

ا

نأ

ﷲا

ر

ﷲا

لﺎ

و

:

ا

ر

ﺎ ا

ا

و

نﻮ

ا

و

وأ

) .

او

دواد

ﻮ أ

اور

(

30

Artinya: “Tiga golongan orang yang dibebaskan dari tanggung jawab yaitu anak-anak sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia bangun, orang gila sampai ia sadar.”

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa syarat-syarat orang yang melakukan suatu perbuatan pidana (tindak pidana) yang dapat

30

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mesir : Mustofa Albabi al Halabi, 1952) Cet. Ke 1, Juz.11, h. 453


(54)

dipertanggungjawaban apabila jiwanya sehat, dewasa dan kemauan sendiri.

2. Tinjauan Hukum Positif tentang Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana

Dalam hukum positif yang menjadi faktor adanya pertanggunjawaban pidana adalah unsur perbuatan salah. Hal ini sesuai dengan azas pertanggungjawaban pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.31 Mengenai asas ini tidak terdapat dalam hukum tertulis, tetapi termasuk kepada hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan tidak kurang mutlak berlakunya dari asas yang tertulis dalam perundang-undangan di Indonesia.

Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, Ruslan Saleh mengemukakan sebagai berikut:

“Orang yang mampu bertanggung jawab dalam tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat yaitu menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat, dapat menginsyafi senyatanya dari perbuatan dan mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.”32

Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ada dua faktor yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu

31

Moeljatno, op. cit., h. 153 32

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggunjawaban Pidana, (Jakarta : Aksara Bani, 1983) Cet. Ke 3, h. 80


(55)

pula dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, ini adalah dasar penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun keadaan jiwa pelaku tindak pidana harus dikatakan sehat atau normal, karena kalau keadaan jiwanya tidak normal maka pelaku tindak pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 44 KUHP sebagai berikut:

“(1) Barang Siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”33

Begitu juga seseorang baru dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya, apabila pelaku tersebut dapat memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai dari pada perbuatannya dan dengan demikian ia juga dapat mengerti akan nilai akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.

33

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Harapan 1983), h. 30.


(56)

b. Keadaan jiwa orang itu haruslah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. c. Orang itu harus sadar, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu

adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari segi sudut kemasyarakatan atau dari segi tata susila.34

Sesuai dengan yang diuraikan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa orang yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya itu adalah orang yang bisa mengetahui bahwa perbuatannya salah atau dilarang oleh Undang-undang, sehingga anak kecil yang belum mengerti akan perbuatannya sudah tentu tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Seorang pelaku itu harus ada dalam keadaan sadar, kalau dia sedang mabuk atau gila, maka tidak pula bisa dituntut.

Kembali kepada soal kemampuan bertanggung jawab, dalam merumuskannya pada perundang-undangan orang dapat menempuh beberapa jalan/cara. Perumusan tersebut mempunyai akibat bahwa dalam pelaksanaannya selalu ada beberapa cara pula dalam menentukan apakah seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana akan dipandang mampu atau tidak mampu bertanggu jawab.

Dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ada dua faktor, yaitu faktor akal dan faktor

34


(57)

kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu pula dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana

1. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Seperti penulis bahas dalam bab sebelumnya yaitu bab I Pembahasan, dimana Islam menghapuskan diskriminasi di kalangan umatnya sendiri, untuk itu Islam tidak membedakan antara orang yang mulia dengan orang yang hina, orang kaya dengan orang miskin, orang kuat dengan orang lemah, orang besar dengan anak kecil dan laki-laki dengan perempuan, semuanya menurut Islam sama. Hanya dalam bab ini yang menjadi perbedaan kedudukan adalah dari segi kafir atau Islamnya seseorang, kemerdekaan atau kehambaan seseorang dalam melakukan tindak pidana. Di sini penulis akan mengambil contoh kedudukan pelaku tindak pidana pembunuhan.

Menurut hukum Islam ketika terjadi pembunuhan antara yang melakukan pembunuhan dengan yang dibunuh sederajat, kesamaan


(58)

derajat ini terletak pada bidang agama dan kemerdekaan.35 Maka apabila orang Islam membunuh orang kafir atau orang merdeka membunuh hamba sahaya tidak dikenakan qishash, karena dalam hal ini tidak ada kesamaan derajat antara yang membunuh dengan yang dibunuh. Lain halnya apabila orang kafir membunuh orang Islam atau hamba sahaya membunuh orang merdeka, keduanya di qishahs karena melakukan pembunuhan tersebut.

Seandainya orang Islam membunuh orang kafir atau orang merdeka membunuh hamba sahaya, pembunuhan terhadap salah satu dari keduanya tidak menuntut hukum qishash. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW. sebagai berikut:

نأ

أ

وﺮ

و

ا

نأ

و

ﷲا

ﺮ ﺎﻜ

.

)

ىﺬ ﺮ او

او

ﺪ أ

اور

(

Artinya: “Dari Amir bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa sesungguhnya Nabi SAW. pernah memutuskan “Hendaknya seorang muslim tidak dibunuh sebab (membunuh orang kafir).” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi)

Dari hadist di atas menunjukkan, bahwa seorang muslim tidak di qishash sebab membunuh orang kafir. Kalau kafirnya itu kafir harbi, maka ulama telah sepakat atas tidak wajib di qishash. Adapun kaitannya dengan kafir zimmi dan kafir mu’ahad di kalangan ahli fiqh

35


(59)

terdapat perbedaan pendapat, menurut Ibnu Taimiyah, bahwa tidak dihukum bunuh, seorang muslim membunuh orang zimmi, kecuali dibunuh secara rahasia dengan tujuan untuk mengambil hartanya. Sedangkan menurut kalangan jumhur, bahwa seorang muslim andaikata membunuh orang kafir zimmi atau kafir mu’ahad tanpa hak, maka muslim dihukum mati oleh karenanya. Mengenai hal ini Imam Malik dan al-Lais mengatakan: “Orang Islam tidak di qishash, karena membunuh kafir zimmi, kecuali ia membunuhnya secara licik.” Yang dimaksud secara licik yaitu pembunuhan yang dilakukannya terlebih dahulu kemudian membunuhnya dengan tujuan mengambil hartanya.

Sedangkan dalam tindak pidana atau jarimah lainnya Islam tidak memandang atau membedakan warna kulit (ras), kaya atau miskin, pejabat maupun rakyat biasa semua sama, apabila dia melanggar hukum maka dia harus di hukum.

2. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif

Di dalam Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menjelaskan, bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal ini berarti bahwa negara R.I adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. menjunjung tinggi hak asasi


(60)

manusia dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia tercermin dalam hukum acara pidana KUHAP ialah asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan.

Oleh karena KUHAP tidak mengenal adanya forum privilegiantum, yang berarti terdakwa atau pelaku tindak pidana berdasarkan kedudukan atau pangkatnya harus menghadap hakim yang lebih tinggi dari pada menurut ketentuan-ketentuan biasa dari peraturan susunan kehakiman.

Dalam KUHAP dijelaskan juga bahwa pengadilan tidak membedakan warna kulit (ras), agama atau keyakinan, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa dan sebagainya semuanya orang adalah sama dimuka hukum.

Dalam hal ini baik hukum Islam maupun hukum positif mempunyai kesamaan di depan hukum. Kecuali bagi pelaku tindak pidana pembunuhan hukum Islam membedakan anatar orang Islam


(61)

dengan orang kafir, sedangkan dalam hukum positif kedudukan keduanya sama dimuka hukum tidak ada perbedaan.


(62)

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU TINDAK PIDANA

A. Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Pengertian hak menurut bahasa yaitu: “1) Kebenaran; 2) Kekuasaan yang benar atas sesuatu untuk menuntut sesuatu; 3) kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh aturan, undang-undang dan sebagainya.36

Sedangkan dalam bahasa Inggris hak disebut juga Right dan dalam bahasa Belanda recht human right, jadi hak adalah kebebasan untuk melakukan sesuatu berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kekuasaan yang benar atas sesuatu atau berdasar sesuatu.37 Jadi sudah jelas bahwa hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu, sedangkan kata kewajiban berasal dari kata wajib yang mendapat awalan ke dan akhiran an, artinya sesuatu yang wajib dilakukan atau perintah yang harus dilakukan.38 Adapun pengertian wajib menurut ketentuan hukum Islam adalah ketentuan syar’i yang menuntut para mukallaf untuk melakukannya

36

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), cet. Ke-2, h. 339

37

Zainul Bahry, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. Ke-1, h. 85

38


(63)

dengan tuntutan yang mengikat serta diberi imbalan pahala bagi yang melakukannya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkannya39.

Pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan dalam hukum Islam memberi jaminan bagi terdakwa sebagai berikut:40

1. Hak untuk membela diri

Hak ini merupakan hak yang sangat penting, dengan hak ini terdakwa dapat menyangkal tuduhan terhadap dirinya baik melalui bantahan terhadap bukti yang memberatkan atau mengajukan bukti untuk pembebasan (seperti suatu alibi). Hak-hak yang berkaitan dengan hak ini adalah:

a. Tersangka harus diberi informasi tentang tuduhan terhadapnya dan bukti-bukti yang ada dalam kasus itu, baik yang membuktikan atau yang membebaskan.

b. Terdakwa harus mampu untuk membela dirinya sendiri. Hanafi berpendapat bahwa pelaku kejahatan yang bisu tidak boleh dijatuhi hukuman hudud bahkan apabila bukti secara kesimpulan lengkap membuktikan kesalahannya.

c. Terdakwa memiliki hak untuk menyewa seorang pengacara untuk membantunya dalam pembelaan.

39

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cetakan kedua h. 11

40

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil & Grafika, 2000), Cet. Ke-1, h. 127


(64)

2. Hak pemeriksaan pengadilan

Dengan tujuan untuk mengamankan dan melindungi hak-hak individu terhadap penyalahgunaan dari bagian kekuasaan eksekutif, Islam telah meletakkan hak di mana terdakwa diadili di muka pengadilan dan diadili secara terbuka.

3. Hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak

Islam menaruh tekanan yang besar dalam mewujudkan keadilan dan kesamaan di antara manusia dalam semua segi kehidupan, khususnya dihadapan mereka yang memutuskan perkara.

4. Hak untuk penggantian kerugian karena putusan yang salah

Jika seorang hakim menjatuhkan suatu putusan yang salah secara tidak

sengaja, terhukum berhak atas kompensasi dari baitul maal

(perbendaharaan negara).

5. Keyakinan sebagai dasar dari terbuktinya kejahatan

Hukum Islam meletakkan asas praduga tak bersalah sebagai landasan dari aturan-aturan pidana substantive prosedural.

Dalam Islam hak-hak yang paling utama yang dijamin oleh Islam itu sendiri adalah hak hidup, hak kepemilikan, hak pemeliharaan kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dimuka hukum, dan hak menuntut ilmu pengetahuan41.

41


(65)

Hak-hak tersebut merupakan hak milik manusia secara mutlak berdasarkan peninjauan dari sisi manusiawi tanpa mempertimbangkan warna kulit, agama, bangsa, negara dan posisinya dalam masyarakat.

Dalam pembahasan pada bab ini penulis akan mengambil contoh hak dan kewajiban pelaku tindak pembunuhan. Dalam hukum Islam seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan dihadapkan pada tiga hak, yaitu:

1. Hak Allah

2. Hak ahli waris korban 3. Hak korban itu sendiri42

Ketentuan untuk hak Allah berdasarkan surat An-Nisa ayat 93 yaitu

و

ْ

ْ

ْ

ْﺆ

ﺪا

ؤا

و

ﺎﻬْ اﺪ ﺎ

أو

و

ْ

ﷲا

ﺬا

ْ

) .

ءﺎ ا

:

(

Artinya:”Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang pedih baginya.” (an-Nisa ayat 93)

Ayat ini menegaskan bahwa balasan terhadap orang yang melakukan pembunuhan adalah siksaan yang teramat pedih nanti di akhirat, di mana ia berada kekal di dalam neraka jahanam, dan dimurkai serta dikutuk oleh Allah dan siksa yang pedih dan besar menimpanya.

42

Noorwahidah Hafez Anshari, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h. 41


(66)

Karena pembunuhan merupakan tindak pidana yang sangat dicela al-Quran dan merupakan dosa besar, maka untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat, Allah memberikan balasan yang setimpal kepada pelakunya. Balasan itu akan menimpa di akhirat kelak berupa siksa neraka jahanam yang sangat pedih dan ketentuan ini berlaku untuk tindak pembunuhan sengaja yang belum bertaubat.

Sedangkan untuk ketentuan hak ahli waris korban pembunuhan dapat memilih di antara tiga kemungkinan hukuman. Hukuman itu yaitu:

1. Melakukan qishash terhadap pembunuhnya. 2. Memaafkan dengan menerima pembayaran diyat.

3. Memaafkan tanpa menerima diyat (disedekahkan)43

Untuk ketentuan hak korban itu sendiri, Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 45 sebagai berikut :

ا

ناﺎﻬ

ﻬ ﺎ آو

). ...

ﺪ ﺎ ا

:

(

Artinya: ”Dan Kami telah menetapkan kepada mereka didalamnya

(Taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa …” (al-Maidah ayat 45)

Apabila pembunuh bertaubat (dengan membayar kafarat dan tidak melakukan lagi pembunuhan) serta menyerahkan diri kepada ahli waris korban, kemudian menerima dengan ikhlas keputusan ahli waris maka hapuslah hak Allah dan ahli waris tersebut.

43


(67)

Jika kita amati, tidaklah setiap tindak pidana pembunuhan itu membawa konsekuensi hukum qishash. Hukuman ini hanya berlaku untuk pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja saja, dengan demikian apabila ahli waris korban memaafkan pembunuh tersebut, maka pembunuh tersebut tidak lagi wajib di qishash, tetapi wajib membayar diyat kepada ahli waris korban dengan hartanya sendiri. Dalam pembunuhan sengaja, maka pembunuhan dikenakan hukuman qishash, berarti pembunuh itu wajib dibunuh pula, kecuali ahli waris memberi maaf kepada pelaku pembunuhan, kewajiban qishash berdasarkan surat al-Baqarah ayat 178, yaitu:

ﺬ اﺎ

ْ

ء

ا

ْﻮ

آ

ا

ْﻜ

ْا

صﺎ

ْا

ْ

...

).

ةﺮ ا

:

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishashh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh …. (Q.S. Al-Baqarah ayat 178)

Sanksi (qishash) semacam ini ditetapkan pula dalam syari’at-syari’at Allah di masa lalu. Dalam syari’at injil Nabi Musa misalnya dijelaskan dalam kitab keluaran pasal 21:

“Barang siapa membunuh manusia dengan memukulnya maka ia dihukum mati. Dan bilamana seorang lelaki berlaku aniaya terhadap lelaki lain hingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil orang itu dari mezbah-Ku pastilah ia dihukum mati. Bilamana terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, luka dengan luka dan rela dibalas dengan kerelaan.”


(68)

Hukuman qishash tidak diwajibkan kecuali apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Orang yang terbunuh terlindungi darahnya 2. Pelaku pembunuhan sudah baligh dan berakal

3. Pembunuh dalam kekadaan bebas memilih, sebab seandainya ia

dipaksa maka hak memilihnya tercabut, tanggung jawab tidak dibebankan terhadap orang yang hilang hak memilihnya.

4. Pembunuh bukan orang tua dari si terbunuh, orang tua tidak di qishash

sebab membunuh anaknya atau cucunya dan seterusnya sekalipun disengaja.

5. Ketika terjadi pembunuhan yang terbunuh dan yang membunuhan

sederajat.

6. Tidak ada orang lain yang ikut membantu membunuh diantara orang-orang yang tidak wajib di qishash.44

Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja yang telah dimaafkan oleh ahli waris korban, maka pelakunya diwajibkan membayar diyat

secara tunai, jumlah diyat tersebut adalah 100 ekor unta betina, sedangkan perinciannya sebagai berikut:

a. 30 ekor hiqqah (unta yang telah berumur 3 tahun) b. 30 ekor unta jaza’ah (unta yang berumur 4 tahun) c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang bunting)45

44


(69)

Ketentuan membayar diyat untuk pelaku pembunuhan sengaja berdasarkan hadist Nabi SAW. sebagai berikut:

ﷲا

ا

أ

و

لﺎ

و

:

ﺎ ﺆ

و

ﺮ ﺎﻜ

لﻮ ا

ءﺎ وأ

ﻰ ا

د

اﺪ

نإو

اﻮ

اﻮ ﺎ

نﺎ

ﺔ ﺪ ا

اوﺬ ااﻮ ﺎ

) .

دواد

ﻮ ا

ور

(

46

Artinya : ”Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya dari nabi SAW., telah bersabda : orang mukmin tidak di bunuh dengan sebab ia membunuh orang kafir, dan barang siapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga terbunuh, mereka boleh membunuh/menarik diyat”. (HR. Abu Daud)

Jika diyat tidak dapat dibayar dengan unta, menurut sebagian ulama boleh dibayar dengan uang seharga unta tersebut.

Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan serupa sengaja tidak diancam dengan hukuman qishash, tapi hanya diwajibkan membayar diyat berat yang dibebankan kepada keluarganya dan dapat diangsur selama tiga tahun. Ketentuan membayar diyat ini sama dengan diyat bagi pembunuhan sengaja yang telah dimaafkan oleh ahli waris korban. Sedangkan perbedaannya dengan pembunuhan sengaja hanyalah pada waktu pembayaran dan yang wajib atau yang dibebani mambayar, untuk pembunuhan sengaja dibayar tunai oleh pembunuh, sedangkan untuk

45

Moh. Anwar, Fiqih Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), Cet. Ke- 1, h. 154 46

Abu Daud Syu’aib bin As-As bin Ishak, Sunan Abi Daud, (Semarang : CV. As-Syifa), juz 2, h. 839


(70)

pembunuhan serupa sengaja ini dapat diangsur serta kewajiban membayar

diyat dibebankan kepada keluarga pembunuh.

Adanya suatu ketentuan membayar diyat bagi pembunuhan serupa sengaja berdasarkan hadist NAbi SAW :

لﺎ

أ

وﺮ

:

ﷲا

لﻮ ر

ل

و

ﷲا

ا

ﻂ ﺪ

ذو

وﺪ ا

ءﺎ د

نﻮﻜ

نﺎﻄ ا

رﺰ

نأ

سﺎ ا

ح

و

) .

اور

ﻰ ﻄ راﺪ ا

(

47

Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Diyat membunuh serupa sengaja diberatkan sama dengan diyatnya membunuh sengaja, akan tetapi pelakunya tidak di hukum mati”. Demikian itu supaya syetan menyingkir dari kalangan manusia, sehingga peristiwa pembunuhan tersebut dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa dendam/mengangkat sengaja”. (HR. Daruqutni)

Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan tersalah tidak berlaku hukuman qishash, namun pembunuhan semacam ini dapat mengakibatkan dua konsekwensi, yaitu:

1. Dikenakan diyat ringan yang dibebankan kepada keluarga pembunuh dan diyatnya boleh diangsur selama tiga tahun.

2. Berkewajiban membayar kafarat yaitu memerdekakan hamba sahaya atau diwajibkan puasa selama 2 bulan berturut-turut.

47

Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulus Salam, (Bandung : Dahlan, 1988), juz III, h. 252


(71)

Mengenai jumlah diyat ringan harus dibayarkan kepada ahli waris korban (keluarga terbunuh) adalah 100 ekor unta. Perincian diyat ringan ini berdasarkan hadit Nabi SAW. sebagai berikut:

ﷲا

ر

دﻮ

ا

و

ﷲا

ا

لﺎ

:

نوﺮ

ﺎ ﺎ أ

ﺄﻄ ا

ﺔ د

نوﺮ و

نوﺮ و

و

ضﺎ

تﺎ

نوﺮ و

نﻮ

تﺎ

نوﺮ

نﻮ ا

إ

.

)

ﻰ ﻄ

راﺪ ا

اور

(

48

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud RA., Rasulullah SAW bersabda : “Diyat pembunuhan tersalah dibagi 5 macam : 20 ekor unta hiqqah, 20 ekor unta jaza’ah, 20 ekor unta bintu makhad, 20 ekor unta bintu labun, 20 ekor unta ibnu labun”. (HR. Ad-Daruqutni) Dinamakan unta hiqqah (yaitu unta yang berumur 3 tahun), unta zaja’ah (unta yang berumur 4 tahun), unta bintu makhod (unta yang berumur 1 tahun lebih), unta bintu labun (unta betina berumur lebih daru 2 tahun), unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun).

Selain adanya konsekwensi untuk membayar diyat, pelaku tersalah juga dibebani kewajiban membayar kafarat. Dengan dibayar diyat berarti gugurlah hak ahli waris dan hak terbunuh, tapi hak Allah belum gugur. Oleh karena itu pelaku tindak pidana pembunuhan tersalah berkewajiban mambayar kifarat kepada ahli waris korban.

Kifarat merupakan denda untuk menebus dosa kepada Tuhan dalam semua bentuk pembunuhan, kecuali pembunuhan yang menjalani hukuman

48


(1)

karena adanya kesesuaian antara pointer-pointer tujuan hukuman yang hendak dicapai oleh hukum positif dengan tujuan pensyari’atan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT melalui firman-firman-Nya. 4. Meski demikian, terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu di mana

Syari’at Islam selain mengedepankan tujuan hukuman yang bersifat duniawi juga mengutamakan yang ukhrawi, hal ini disebabkan karena hukum-hukum syari’at ditegakkan atas dasar agama.

5. Islam sebagai suatu ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya serta mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Jelas memperinci tujuan hukuman yang hendak dicapai yakni memelihara kemaslahatan umat yang berarti pula memelihara agama.

6. Persoalan ukhrawi ini tidak mendapat perhatian utama pada hukum – pidana– positif, karena hukum ini tidak didasarkan atas agama melainkan ditegakkan atas kehidupan nyata dan adapt-adat serta tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat.

7. Walaupun telah dipertegas lagi dengan lahirnya pasal 51 yang terdapat dalam nasran KUHP, tujuan hukuman belum mencapai bentuk yang diinginkan sepenuhnya oleh Syari’at Islam. Terlebih point “pembalasan” (jaza) –meskipun bukan yang utama– ditiadakan,hal itu makin memposisikan hukum positif dalam ketertinggalan dalam pandangan Syari’at Islam.


(2)

B. Saran-saran

1. Negara Indonesia yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hendaknya melalui peran eksekutif dan legislatif –memiliki kehendak untuk berusaha mencari dan menggali sumber-sumber hukum khususnya pidana– yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama yang ada, dalam hal ini adalah ajaran agama Islam, mengingat Islam selaku agama mayoritas.

2. Guna meminimalisir angka kejahatan, tentunya sosialisasi tentang konsekuensi dari perbuatan pidana tersebut –dalam hal ini adalah hukuman– hendaknya makin ditingkatkan, baik melalui aparat pemerintahan atau para akdemisi atau bahkan oleh para ulama/agamawan. Yang terakhir ini telah terbukti efektif, karena ternyata ajaran moral lebih mudah dicerna umat dibanding pamflet-pamflet atau pengadaan seminar semata.

3. Bagi para pengambil keputusan hendaknya memahami betul lahir batin/kondisi obyektif pelaku dan korban kejahatan, dengan demikian hukuman yang diambil tepat sasaran. Tidak mengabaikan dan menguntungkan salah satu pihak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahan, Surabaya: Mekar Surabaya, 2002

Anwar, Muhammad, Fiqh Islam, Bandung: PT. Al-Maa’rif, 1979, Cet ke-1 ‘Audah, Abdul-Qodir, At-Tasyri Jina’i Islamy, Kairo: MAktabah

al-Urubah, 1960, Juz 1

Anshari, Noorwahidah Hafez, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ih-khlas, 1982

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Sinar Harapan, 1983

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Hak-hak Tersangka/Terdakwa Dalam KUHAP, Jakarta, 2002

Bawengan, G.W, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya, Jakarta: Pradya Paramitha, 1977

Bonger, W.A, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia Bahry, Zainul, S.H, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik,

Bandung: Angkasa, 1996, Cet ke-1

Chazami, Adami, Drs., SH., Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002

Hamzah, Andi, DR., Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Bandung: Alumni, 1992

___________, Bunga Rampai Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Pradya Paramitha, 1993, Cet ke-2


(4)

___________, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1986, Cet ke-1 Husain, Syahruddin, dan Ratna Asih, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,

Medan: Fakultas Hukum USU,1977

Hanafi, Ahmad, M.A, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet ke-1

Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, Cet ke- 1

Juhana, Praja, S., Delik Agama Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1987

Kartanegara, Satochid, Prof, SH., Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah Bagian I), Balai Lektur Mahasiswa

Kahlani Al-, Mohammad bin Ismail, Subulus Salam, Bandung: Dahlan, 1988, Juz 111

Lamintang, P.A.F., Delik-Delik Khusus, Bandung: Tarsito, 1979

Moeljatno, Prof., SH., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineke Cipta, 2002 Cet ke-7

____________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-20

Pradjodikuro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Erisco, 1986, Cet ke-6

Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta: Djembatan, 1989

Prakoso, Djoko, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, Jakarta: Ghalia indonesia, 1986, Cet. Ke-1


(5)

___________, Peradilan In Absensia Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet. Ke-1

Proyek Penerangan, Hukum Bagian ‘POSKUMDU’ Apa Yang Harus Dilakukan Jika Terjadi Kejahatan (Pelanggaran Hukum), Jakarta: 1994/1995

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987, Cet. Ke-4

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, Cet. Ke-11

Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Jakarta: Aksara Bani, 1983, Cet. Ke-3

Saputra, Maman Marta, Asas Kriminologi(Principlies of Criminolog, Bandung Alumni, 1973

Susilo, R., Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum, Bogor: Polite, 1984

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990, Cet. Ke-10 Sutherland, Edwin H., dan Donal Cressy, Asas-Asas Kriminologi

(Principleis Of Criminologi), Disadur Oleh Maman Saputra, SH., Bandung: Alumni, 1973

Soekanto Soejono Dr. SH. MA., Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, Bandung: Alumni, 1979

Syah, Muhammad Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar

Baru, 1983, Cet. Ke-1

__________, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, Cet. Ke-1

Santoso, Topo, SH., MH., Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil & Grafika, 2000, Cet. Ke-1


(6)