Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

1. Pengertian JarimahJinayat

Sebelum kita membahas pengertian tindak pidana menurut hukum Islam dan hukum positif penulis akan menguraikan terlebih dahulu pengertian tindak pidana menurut bahasa. Tindak pidana menurut bahasa terdiri dari dua kata yaitu; tindak dan pidana. “tindak adalah melakukan perbuatan 1 , sedangkan “Pidana adalah kejahatan.” 2 Jadi pengertian tindak pidana menurut bahasa adalah melakukan perbuatan kejahatan. Setelah kita mengetahui pengertian tindak pidana menurut bahasa, maka penulis sekarang akan membahas atau menguraikan pengertian tindak pidana menurut hukum Islam atau yang disebut juga dengan istilah jarimah atau jinayah. Dalam hukum Islam, mengenal hukum pidana di mana hukum pidana mempunyai arti kumpulan aturan yang mengatur cara 1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987Cet. Ke-4 , h. 1074 2 Ibid ., h. 750 melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat negara dan anggota-anggotanya dari perbuatan yang tidak dibenarkan. Para Fuqaha Islam membicarakan hukum pidana Islam dalam bab jinayah atau jarimah: ا ﺮ ا ﺮ ا ﻰ تارﻮﻈ ﺎﻬ ﺄ ﺔ ﻹا ﺔ ﺮ ز ﺔ ﺮ ﺪ ﺎﻬ ﷲا ﺰ وأ ﺮ 3 Artinya: “Jarimah menurut syari’at Islam adalah Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir” Dalam hukum Islam pengertian tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah”. Mengenai istilah jarimah Abdul – Qadir ‘Audah menerangkan sebagai berikut: لﺎ وأ ﻰ ا و ءاﻮ ﺎ ﺮ مﺮ ا ﻚ ذ ﺮ وأ 4 Artinya: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu terhadap jiwa, harta ataupun yang lainnya”. Larangan-larangan tersebut adakalanya mengerjakan perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh Allah atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Suatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’. 3 Abdul Qodir Audah, At-Tasyri al-Jinai al-ISlami, Kairo : Maktabah darul Urubah, 1960 Juz 1, hl. 66 4 Ibid., h. 66 Sedangkan para fuqaha lebih sering memakai kata jinayah untuk jarimah , dikalangan fuqaha yang dimaksud dengan kata jinayah adalah ‘segala tindakan atau perbuatan yang dilarang oleh hukum syara’. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan harus dihindari, karena perbuatan itu menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal, harga diri dan harta benda. 5 Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan saja seperti, membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapula segolongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata jarimah hudud dan qishash. Terlepas dari perbedaan istilah jarimah dan jinayah, namun keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’. Jadi, suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah atau jinayah apabila telah dilarang oleh syara. Berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah atau jinayah, kecuali diancam dengan hukuman atau sanksi.

2. Unsur-unsur Jarimah

Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah adalah larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau hukuman 5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1990, h. 7 ta’zir , larangan syara’ adakalanya berupa perbuatan yang dilanggar atau meninggalkan yang diperintahkan. Berbuat jarimah atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ dimana larangan-larangan tersebut berasal dari nash al-Qur’an dan sunnah yang hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat, karena memahami maksud ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya. Hal ini pada hakekatnya perintah atau larangan merupakan suatu beban sehingga penerima beban harus memahami dan menyanggupinya. Orang yang tidak mengerti isi perintah tidak paham dan orang-orang yang tidak kuasa memikul beban tidak sanggup karena suatu sebab, tidak mungkin menerima beban tadi, misalnya orang-orang yang hilang ingatan dan anak-anak yang tidak terpanggil oleh larangan-larangan syara’. Dalam hal ini Abdul – Qadir ‘Audah berkata: “Bahwasanya syari’at Islam tidak membebani, kecuali terhadap orang-orang yang mampu memahami dalil paham isi perintah dan dianggap mengetahui aturan serta dapat menerima atau memikul beban, tidak pula syari’at membebani seseorang kecuali bila diasumsikan beban itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap mengetahui dan dapat mentaatinya .” 6 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana dalam syariat Islam suatu perbuatan harus memiliki beberapa persyaratan atau terdapat 6 Abdul – Qadir ‘Audah, op. cit. h. 66 unsur-unsur tindak pidana jarimah yaitu unsur-unsur umum yang terdiri dari : a. Unsur Syar’i unsur formil Yang dimaksud dengan unsur syar’i adalah adanya ketentuan syara ’ atau nash yang mengatakan bahwa perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang sudah ada sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dan dalam hal ini berlakulah kaidah: ﻷا ﻰ ﻷا ءﺎ ﻹا ﺔ ﺎ “Pada dasarnya sesuatu itu boleh”. b. Unsur Maddi unsur materiil Yang dimaksud dengan unsur maddi adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat, atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam hukum positif, perilaku tersebut di sebut sebagai unsur obyektif yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum. c. Unsur Adabi unsur moril Unsur adabi disebut juga dengan al-Mas’uliya al-Jina’i atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang mukallaf , sebab hanya merekalah yang terkena khitab atau taklif. Ketiga unsur yang disebutkan di atas adalah merupakan unsur- unsur umum atau dasar, yang harus terdapat pada setiap perbuatan untuk dapat digolongkan kepada perbuatan jarimah. Artinya unsur- unsur tersebut adalah yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah . Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus dipenuhi. Di samping ada unsur yang bersifat umum ada pula unsur-unsur yang bersifat khusus. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah berbeda-beda sesuai dengan berbedanya sifat jarimah, untuk dapat dikenakan hukuman suatu jarimah dapat memiliki unsur khusus yang tidak ada pada jarimah lainnya. Sebagai contoh; unsur “pengambilan dengan diam-diam” harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian, dan unsur “menghilangkan nyawa orang lain” hanya ada pada jarimah pembunuhan. Perbedaan pada unsur umum dan unsur khusus ialah kalau unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka pada unsur khusus dapat berbeda-beda macamnya menurut perbedaan jarimah. Dikalangan fuqaha biasanya membicarakan tentang kedua unsur tersebut dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu jarimah . 7 Dalam hal ini hukum pidana Islam mempunyai kaidah-kaidah pokok yang menyatakan bahwa, tidaklah dapat dianggap suatu tindak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan selama tidak ada nash yang jelas, oleh sebab itu tidak dikenakan hukuman kecuali ada dasar hukuman yang menyatakannya, sesuai dengan kaidah: ا ﺔ ﻮ و ﺔ ﺮ “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali adanya nash.” Selain itu ada juga kaidah yang lain: ﺪ ا ﻬ ﻰ اردﺎ نﺎآ ا ﺎ ﺮ ﻜ ا ﺎ ﺮ ﻜ و ﻜ ﺎ هأ ﻰ ﻜ ا ﺪ ﻜ و ﺎ مﻮ ﻜ ار ﺎ ا ﻰ Artinya: “Agama tidak membebani kecuali pada orang yang mampu atau kuasa untuk memahami dalil, dapat menerima apa yang ditaklifkan kepadanya, dan tidak pula agama itu menjadi beban bagi seseorang kecualai dengan beban yang mungkin dilakukan dan mungkin diketahui, sehingga orang tersebut dapat mentaatinya.” 7 Ibid ., h. 13 Dari kaidah di atas mengandung pengertian keharusan untuk memenuhi syarat bagi seorang mukallaf agar dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, di antara syarat-syarat tersebut antara lain: 1 Hendaknya orang tersebut harus memahami taklif, harus mampu memahami dalil nash syari’at yang menunjukkan hukum, karena orang yang tidak dapat memahami hukum tidak dapat mentaati apa yang dibebankan kepadanya. 2 Hendaknya orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dikenakan sanksi kepadanya. 8

B. Menurut Hukum Positif