BAB III KEDUDUKAN PELAKU TINDAK PIDANA
A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana
1. Tinjauan Hukum Islam tentang pertanggungjawaban pelaku
tindak pidana
Menurut hukum Islam, pengertian pertanggungjawaban sering disebut juga dengan istilah al-Mas’uliya al-Jinaiyyah ialah
pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauannya sendiri, dimana ia
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatan itu.
27
Pengertian pertanggungjawaban pidana yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah:
ﺎ ا ﺆ ا نﺎ ﻹا
نأ ﺔ ﺮ ا ﻰ ﺎ
ﺄ ﻰ ا ﺔ ﺮ ا لﺎ ﻷا ﻮهوارﺎ ﺎﻬ
ﺎ وﺎﻬ ﺎ كرﺪ ﺎﻬ
Artinya: “Pertanggungjawaban dalam hukum Islam, adalah seseroang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang terlarang yang
dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri padahal dia
27
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke 1, h. 154
sadar akan maksud serta akibat-akibat dari perbuatannya itu.”
28
Dari dua definisi di atas dapatlah dipahami, bahwa pertanggungjawaban pidana ditegakkan atas 3 tiga hal, yaitu:
a. Melakukan perbuatan yang dilarang
Yaitu melakukan perbuatan yang benar-benar dilarang oleh nash, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tidak ada kejahatan dan
pertanggungjawaban jika tidak adanya larangan nash baik al- Qur’an maupun hadist. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
ﺎ ا ﺆ ا
نأ ﺔ ﺮ ا ﻰ ﺎ نﺎ ﻹا
ﺄ ﻰ ا ﺔ ﺮ ا لﺎ ﻷا ﺎﻬ
ارﺎ ﺎ وﺎﻬ ﺎ كرﺪ ﻮهو
ﺎﻬ
“Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum turunnya nash.”
b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
Yaitu perbuatan itu benar-benar dilakukan atas kehendak sendiri bukan suruhan ataupun paksaan.
c. Pelakunya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Bahwa pelaku benar-benar mengetahui akibat dari perbuatan yang telah dilakukan dan siap menanggung akibatnya.
29
Maka yang menjadi faktor adanya pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam ialah perbuatan maksiat perbuatan melawan
28
Abdu- Qodir ‘Audah, op.cit., h. 392
29
Abdul Qodir Audah, op. cit., Cet. Ke 11 h. 467, Juz. 1
hukum. Meskipun perbuatan melawan hukum itu menjadi sebab adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan syarat-syarat
idrak mengetahui dan ikhtiar pilihan.
Berdasarkan syarat-syarat tersebut di atas, maka yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana adalah manusia yang berakal
sehat, dewasa dan berkemauan sendiri. Kalau tidak demikian, maka tidak ada pertanggungjawaban atas pelaku tindak pidana, karena orang
yang tidak memiliki akal sehat atau sempurna bukanlah orang yang mengetahui idrak dan bukan pula orang yang mempunyai pilihan
ikhtiar. Termasuk kategori ini adalah anak-anak, orang gila, orang yang sedang tidur. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda
sebagai berikut:
ا نأ ﷲا
ر ﷲا ﻰ
لﺎ و
: ا ر
ﻰ ﺎ ا ﺔ
ﻰ ا و ﻆ
ﻰ نﻮ ا و
وأ .
ﺎ او دواد ﻮ أ اور
30
Artinya: “Tiga golongan orang yang dibebaskan dari tanggung jawab yaitu anak-anak sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia
bangun, orang gila sampai ia sadar.”
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa syarat-syarat orang yang melakukan suatu perbuatan pidana tindak pidana yang dapat
30
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Mesir : Mustofa Albabi al Halabi, 1952 Cet. Ke 1, Juz.11,
h. 453
dipertanggungjawaban apabila jiwanya sehat, dewasa dan kemauan sendiri.
2. Tinjauan Hukum Positif tentang Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana
Dalam hukum positif yang menjadi faktor adanya pertanggunjawaban pidana adalah unsur perbuatan salah. Hal ini sesuai
dengan azas pertanggungjawaban pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
31
Mengenai asas ini tidak terdapat dalam hukum tertulis, tetapi termasuk kepada hukum yang tidak tertulis yang hidup
dalam masyarakat dan tidak kurang mutlak berlakunya dari asas yang tertulis dalam perundang-undangan di Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, Ruslan Saleh mengemukakan sebagai berikut:
“Orang yang mampu bertanggung jawab dalam tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat yaitu menginsyafi bahwa perbuatannya itu
tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat, dapat menginsyafi senyatanya dari perbuatan dan mampu menentukan niat
atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.”
32
Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ada dua faktor yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu
31
Moeljatno, op. cit., h. 153
32
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggunjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Bani, 1983 Cet. Ke 3, h. 80
pula dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan. Mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan
pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, ini adalah dasar penting untuk adanya kesalahan, sebab bagaimanapun keadaan
jiwa pelaku tindak pidana harus dikatakan sehat atau normal, karena kalau keadaan jiwanya tidak normal maka pelaku tindak pidana itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 44 KUHP sebagai berikut:
“1 Barang Siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
33
Begitu juga seseorang baru dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya, apabila pelaku tersebut dapat memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut: a.
Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai dari pada perbuatannya dan dengan demikian ia
juga dapat mengerti akan nilai akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
33
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta : Sinar
Harapan 1983, h. 30.
b. Keadaan jiwa orang itu haruslah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. c.
Orang itu harus sadar, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari
segi sudut kemasyarakatan atau dari segi tata susila.
34
Sesuai dengan yang diuraikan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa orang yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya itu
adalah orang yang bisa mengetahui bahwa perbuatannya salah atau dilarang oleh Undang-undang, sehingga anak kecil yang belum
mengerti akan perbuatannya sudah tentu tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Seorang pelaku itu harus ada dalam
keadaan sadar, kalau dia sedang mabuk atau gila, maka tidak pula bisa dituntut.
Kembali kepada soal kemampuan bertanggung jawab, dalam merumuskannya pada perundang-undangan orang dapat menempuh
beberapa jalancara. Perumusan tersebut mempunyai akibat bahwa dalam pelaksanaannya selalu ada beberapa cara pula dalam
menentukan apakah seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana akan dipandang mampu atau tidak mampu bertanggu jawab.
Dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ada dua faktor, yaitu faktor akal dan faktor
34
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, Bandung : Tarsino, 1979, h. 30
kehendak. Dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Begitu pula dengan
kehendak seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan.
B. Kedudukan Pelaku Tindak Pidana