BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertambangan dan Tailing
Menurut Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara UU Minerba, didefinisikan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjulan, serta kegiatan pasca tambang.
Pertambangan merupakan proses pemindahan timbunan tanah penutup cover burden seperti topsoil, subsoil, batuan dan lainnya yang di dalamnya
terdapat simapanan mineral yang dapat dipindahkan Miller 1979 dalam Maryani 2007. Secara fisik, dampak kegiatan penambangan menimbulkan perubahan rona
dan kondisi lahan bekas lahan penambangan, seperti struktur lapisan tanah rusak, permukaan lahan tidak beraturan, adanya hubungan-hubungan lainnya mengenai
kerusakan lingkungan dan sebagainya. Hilangnya vegetasi di permukaan disertai kerusakan struktur lapisan tanah merupakan faktor pendorong meningkatnya erosi
yang berakibat hilangnya tanah humus, sehingga tanah menjadi tandus. Kegiatan penambangan adalah kegiatan mengekstraksi bahan tambang
terencana dengan menggunakan berbagai metode sesuai dengan karakteristik bahan tambang. Tailing merupakan residu atau limbah dari pertambangan emas
atau tembaga setelah pengolahan bijih dan mendapat target utama yang kemudian dipisahkan dengan mineral utamanya. Biasanya tailing terdiri dari beraneka ragam
butir, yaitu pasir, lanau dan lempung. Ketika tailing dibuang dalam bentuk bubur, fraksi pasir cenderung mengendap disekitar titik pembuangan dan lumpur akan
mengendap jauh dari titik pembuangan dalam waktu lama Herman 2006. Pada pertambangan emas menghasilkan sisa pengolahan bahan tambang
atau sering disebut tailing, yaitu berupa bubuk batuan mineral yang terus digerus sedemikian rupa hasil pemisahan tembaga, emas dan perak di pabrik pengolahan
Boul et al. 1981. Sifat fisik tailing yang merupakan masalah bagi pertumbuhan tanaman adalah tekstur, agregasi dan struktur, densitas dan infiltrasi, kompaksi,
daya pegang dan stabilitasnya. Menurut USDA ukuran partikel tailing relatif kecil dan seragam berupa pasir halus berukuran 0,25−0,10 mm. Selain itu, sifat kimia
tailing seperti status hara yang rendah, kandungan logam berat seperti Cd, Hg, Pb, As yang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan Abadi 2009.
Tailing adalah gabungan dari bahan padat berbutiran halus umumnya berukuran debu,
0,001−0,6 mm yang tersisa setelah logam-logam dan mineral- mineral diekstraksi dari bijih yang ditambang, serta air hasil pengolahan yang
tersisa. Sifat fisik dan kimiawi tailing berbeda-beda tergantung sifat bijih tambangnya.
Tailing memiliki sifat yaitu kompak, bahannya yang padat menyulitkan akar untuk berkembang, selain itu tailing juga memiliki kapasitas pemegang air water
holding capacity yang sangat rendah, yang tidak dapat menahan atau menyimpan air. Apabila tailing diberi air, maka tailing hanya mampu untuk melewatkannya
saja. Tailing juga memiliki kandungan nutrisi yang sangat rendah dan KTK yang sangat rendah yaitu 0,1 yang artinya bahwa tailing merupakan media yang tidak
subur. Pengelolaan tailing adalah satu isu pengelolaan limbah hasil pengolahan
mineral. Pembahasan tailing umumnya dikaitkan dengan limbah beracun berbahaya yang berpotensi mencemari lingkungan. Hal ini tidak sepenuhnya
benar, karena tailing sebagai ampas dari hasil pemurnian, pencucian atau pengolahan bahan galian dapat berpotensi mencemari apabila masih mengandung
unsur toksik,akan tetapi apabila masih mengandung bahan galian yang ekonomis, berpotensi juga untuk dimanfaatkan. Peningkatan kualitas atau kemurnian bahan
galian pada kegiatan usaha pertambangan umumnya dilakukan melalui proses pengolahan. Tailing dari pengolahan bahan tambang, dapat mengandung bahan-
bahan atau mineral-mineral yang berpotensi untuk diusahakan secara ekonomis. Selain mempunyai konotasi sebagai limbah, tailing masih mempunyai prospek
untuk kembali diusahakan.
2.2 Jabon Anthocephalus cadamba Miq.