alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus yang Dimasak Rica-rica dan Kari

senyawa kitotifen yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit, anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi PubChem, drug bank. Alkaloid heterosiklik golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata, juga untuk peningkatan sirkulasi darah Santos Moreno 2004. Adanya kemiripan senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, juga senyawa flavonoid yang terdapat dalam bumbu-bumbu yang digunakan pada pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar olahan sebagai pangan yang berpotensi sebagai bahan pangan fungsional, namun adanya steroid golongan estron dan adrostan pada daging kelelawar disarankan untuk dikonsumsi secara bijaksana karena kelebihan asupan adrogen dapat menyebabkan virilisasi pada wanita dan kelebihan asupan estrogen dapat menyebabkan sifat kewanitaan pada pria, walaupun belum diketahui kandungannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengolah dan mengkonsumsi daging kelelawar berdasarkan jenis kelamin. Terdeteksinya senyawa estron diduga berasal dari P. alecto betina, dan senyawa androstan berasal dari P. alecto jantan, karena dalam penelitian ini jantan dan betina tidak dipisahkan. Selain keberadaan komponen aktif, daging kelelawar mempunyai komposisi asam-asam lemak, asam amino baik jumlah dan jenisnya yang cukup lengkap, juga kandungan kalsium Ca dan fosfor P yang tinggi. Tingginya keberadaan Ca dan P pada daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai sumber mineral yang dapat diandalkan bagi tubuh, karena kalsium berperan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti pembentukan dan pemecahan asetilkolin yaitu zat kimia penghantar saraf neotransmiter, relaksi dan kontraksi otot, dan menjaga permebialitas membran sel. Kalsium mengatur kerja hormon dan faktor pertumbuhan. Kekurangan Ca pada masa pertumbuhan akan menyebabkan pertumbuhan terganggu, sedangkan pada usia lanjut menyebabkan osteoporosis, dan osteomalasia riketsia pada orang dewasa karena kurang vit D. Kekurangan fosfor mengakibatkan kerusakan tulang, gejala lelah, dan kurang nafsu makan Almatsier 2003. Kandungan asam lemak jenuh yang paling dominan adalah asam miristat C14:0, asam palmitat C16:0, dan asam stearat C18:0, dan total kolesterol daging kelelawar dalam penelitian ini lebih tinggi dari daging babi dan ikan cakalang, namun terdapat juga asam lemak tak jenuh ganda yang terdeteksi dalam daging kelelawar adalah ekosanpentaenoat EPA dan dokosaheksaenoat DHA yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Oleh karena itu, konsumsi daging kelelawar tidak perlu ditakuti, karena tubuh mempunyai mekanisme penyeimbang antara kolesterol yang masuk dan kolesterol yang disintesis tubuh. Selain itu, terdapat juga kandungan asam stearat, linoleat, linolenat, DHA, dan EPA yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL dalam darah Imaizumi et al. 1993, Yu et al. 1995, Murray et al. 2002. Kandungan asam amino yang menonjol pada daging kelelawar dalam penelitian ini adalah fenilalanina, leusina, glisina, dan tirosina. Pada keadaan normal, fenilalanina akan diubah menjadi tirosina, yaitu asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis protein, zat kimia otak termasuk L-DOPA, adrenalin, noradrenalin. L-DOPA adalah prekursor untuk neotransmitter dopamin, adrenalin, dan noradrenalin. Adrenalin merupakan neotransmitter yang dikeluarkan oleh safaf simpatis dan juga sebagai hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal Djojosoebagio 1996. Aderalin digunakan sebagai zat yang dapat memperlebar bronkodilator bagian saluran pernapasan, dan meningkatkan saluran udara keparu-paru untuk penderita asma. Tingginya adrenalin menyebabkan otot polos disaluran pernapasan relaksasi http:www.medicinet.comasthmapage3.htm. Kerja noradrenalin memberikan efek fisiologis guna mengatasi depresi. Noradrenalin dilepaskan ketiga terjadi perubahan fisiologi yang disebabkan karena stres. Fungsi penting noradrenalin sebagai neotransmitter yang dilepaskan dari saraf simpatik ke jantung sehingga laju kontraksi meningkat Guyton et al. 2006. Sebagai hormon stres, noradrenalin dapat meningkatkan aliran darah ke otot dan meningkatkan oksigen ke otak http:www.hormone.orgendocrine_ system.cfm. Leusina digunakan sel untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Glisina tidak merupakan asam amino ensensial bagi tubuh, namun berfungsi sebagai prekursor biosintesis profirin, dan mencegah pembesaran prostat pada pria Lehninger 1982. Keberadaan komponen aktif dan zat gizi dalam kelelawar membuktikan bahwa pemeo daging kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan yang dapat berfungsi bagi kesehatan, namun bahan pangan yang disukai konsumen bukan saja dilihat dari kandungan komponen aktif dan nilai gizi yang baik, namun juga dari penampakan yang menarik, cita rasa yang enak, serta aman dan sehat untuk dikonsumsi Wijaya 2002 . Hasil uji hedonik terhadap sifat-sifat organoleptik menunjukkkan bahwa panelis menerima daging kelelawar yang dimasak kari dan rica-rica sama dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica, sedangkan daging kelelawar yang hanya dikukus tanpa menggunakan bumbu tidak disukai panelis. Hal ini menggambarkan bahwa jenis daging tidak berpengaruh pada tingkat pemerimaan konsumen terhadap atribut organoleptik. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan bumbu-bumbu masak menjadikan daging kelelawar olahan aman dikonsumsi. Rahayu 2000 melaporkankan bahwa bumbu masak yang digunakan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah pertumbuhan mikrob. Namun, penanganan pengolahan yang kurang higienis dan penyimpanan yang cukup lama dan tidak benar akan menyebabkan terkontaminasinya dan berkembangnya mikrob patogen Khalafalla et al. 1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Hasil analisis terhadap daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC, kemudian dimasak kari dan rica-rica menghasilkan total mikrob, S. aureus, E.coli, Coliform, dan Salmonella sp di atas batas maksimum cemaran mikrob. Hasil analisis terhadap daging kelelawar segar 8-9 jam setelah pemotongan, juga daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC menunjukkan total mikrob dan total S. aureus di atas batas maksimum cemaran mikrob, namun total mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC berada di bawah batas cemaran mikrob yang dapat diterima pada daging olahan, walaupun total S. aureus pada daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari, juga total Coliform pada daging segar meningkat pada penyimpanan ke-14 hari, sehingga berada di atas batas cemaran yang ditetapkan BSN 2009, sedangkan total E. coli, Salmonella sp, dan Coliform adalah negatif. Berdasarkan pada karakteristik mikrob daging kelelawar segar dan daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari hasil penelitian ini, maka disarankan untuk membekukan karkas kelelawar tanpa isi saluran pencernaan, dan sebaiknya mengolah daging kelelawar segera setelah pemotongan. Kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional yang aman untuk dikonsumsi harus tersedia secara berkelanjutan. Berdasarkan pada segi ketersediaan sebagai bahan pangan, P. alecto adalah spesies kelelawar pemakan buah yang paling banyak ditemukan diperjualbelikan di pasar, baik pasar tradisional maupun swalayan, dan jalur pemasarannya telah terbentuk mulai dari penangkap, pengumpul, sampai ke penjual. Berdasarkan pengamatan, di daerah Kolono, P. alecto dan A. celebensis yang dijual berada dalam keadaan mati beku. Sebaliknya, di daerah Lamaya, pengumpul mengambil kelelawar dalam keadaan masih hidup dan langsung diangkut dan dipasarkan. Berdasarkan pengamatan, pada sekitar bulan Mei hingga Juni, jumlah P. alecto di pasar berkurang, sedangkan sekitar bulan September hingga Maret, penjualan kelelawar melimpah di pasar. Hal itu terjadi karena di sekitar bulan tersebut merupakan musim buah-buahan sehingga kelelawar kembali ke habitat asalnya sehingga dengan mudah para penangkap mendapatkan tangkapannya. Dilihat dari lokasi, Gorontalo dan Sulawesi Tengah merupakan habitat yang ideal untuk kelangsungan hidup kelelawar karena kondisi hutan tempat bertengger dan mencari makan masih baik, yang ditandai dengan tidak ditemukannya perombakan dan pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perumahan. Demikian juga hutan mangrove di sekitar pantai masih terjaga. Selain itu, ditemukan juga beberapa gua batu yang terdapat dalam hutan yang tidak pernah diganggu manusia sehingga kelelawar dapat bertengkar membentuk koloni. Berkaitan dengan prospek penyediaan daging kelelawar kedepan, status A. celebensis, P. alecto, N. cephalotes, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens berdasarkan daftar IUCN Redlist yang dikeluarkan Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources IUCN 2012 masuk kategori least concer, Artinya, jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status aman dan belum terancam punah, dan keberadaan N. cephalotes, T. nigrescens, dan R. amplexicaudatus tidak termasuk dalam daftar konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam CITES, Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora baik appendix l dan ll. Artinya, spesies-spesies ini populasinya tidak dalam taraf yang membahayakan dan bisa diperdagangkan secara internasional. Sebaliknya, Pteropus alecto dan Acerodon celebensis termasuk dalam appendix ll. Artinya, kedua jenis ini tidak segera terancam punah, tetapi mungkin akan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan. Walaupun keberadaan kelelawar hasil penelitian masih masuk kategori aman, ketersedian secara berlanjut untuk bahan pangan diragukan karena berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan ada indikasi eksploitasi yang berlebihan, dan betina-betina yang tertangkapterjaring umumnya adalah betina produktif bunting dan sedang menyusui yang menyebabkan produktivitas kelelawar berkurang sehingga dikhawatirkan apabila eksploitasi terus dilakukan, suatu saat akan mengalami kepunahan. Hasil penelitian ini sangat menarik, karena disatu sisi ada kekhawatiran bahwa jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi akan mengalami kepunahan apabila perburuan terus dilakukan tanpa memperhatikan kelangsungan hidup kelelawar. Tidak terdapatnya informasi ilmiah tentang populasi kelelawar pemakan buah di Sulawesi merupakan kendala dalam hal ketersediaan daging kelelawar secara berkelajutan. Di sisi lain, daging kelelawar mempunyai kandungan gizi yang hampir sama dengan ternak konvensional lainnya, bahkan daging kelelawar P. alecto yang paling banyak dijual di pasar mengandung senyawa aktif yang berfungsi sebagai pangan yang dapat menyehatkan. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, maka kelelawar akan terus diburu di habitatnya yang akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi kelelawar dan kemungkinan akan menuju kepunahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan untuk menjaga populasi dan habitat kelelawar di alam bekerja sama dengan pemerintah membuat aturan atau larangan seperti penangkapan betina produktif dengan cara melepaskan betina bunting dan menyusui pada waktu ditangkap, pengaturan waktu penangkapan melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pemburu dan pengumpul kelelawar, juga edukasi kepada anak-anak sekolah tentang peran kelelawar sebagai bahan pangan dan fungsi ekologis kelelawar sebagai pengatur keseimbangan di hutan. Adanya pelarangan penangkapan kelelawar menyebabkan mata pencarian pemburu dan penjual kelelawar akan terganggu sehingga perlu dipikirkan bagaimana mengalihkan pekerjaan mereka. Ditinjau dari sisi peternakan, perlu dikaji cara budi daya kelelawar dengan melibatkan masyarakat, khususnya pemburu dan penjual kelelawar. Diharapkan masyarakat penggemar daging kelelawar mengkonsumsi daging kelelawar bukan mengambil dari alam tetapi dari hasil budi daya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada 5 jenis yaitu A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens. Produksi karkas kelelawar berkisar 49.29-64.07, tulang 19.09- 24.29, daging 50.27-51.86, dan lemak 4.09-10.61. Kualitas dan nilai gizi daging kelelawar hampir sama dengan ternak konvensional. N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens memiliki kandungan steroid dan alkaloid, bumbu masak memiliki triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n- heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol. Daging kelelawar masak kari dan rica-rica yang disimpan selama 14 hari dalam lemari pendingan pada suhu 5ºC layak dikonsumsi manusia, dan dari sisi organoleptik, daging kelelawar olahan disukai konsumen sama dengan daging olahan ternak konvensional. Dilihat dari nilai gizi dan komponen aktif yang ada pada daging kelelawar dan bumbu masak maka daging kelelawar yang diolah rica-rica dan kari berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Saran Berdasarkan hasil pengamatan, ada gejala ekploitasi yang berlebihan dan betina yang tertangkap pada umumnya betina produktif sehingga ada kemungkinan suatu saat keberadaan kelelawar menuju kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk melihat status populasi dan keberadaan habitat kelelawar di setiap lokasi. Untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar yang ada di tiap lokasi, maka perlu dilakukan penelitian molekuler. Perlu dilakukan penelitan untuk membedakan nilai gizi dan kandungan bioaktif kelelawar hasil budi daya dibandingkan kelelawar di alam, juga dengan karakteristik mikrob daging olahan yang berada di rumah-rumah makan, dan daging kelelawar olahan yang dibekukan kemudian dipanaskan sebelum dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Ed ke-4. USA : KendalHunt Pulishing Co. Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and carcass quality if broiler chicks under high stocking density fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 5:264-268. Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Adejinka AE. et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms isolated from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria. Adv Appl Sci Res 24:391-400. Almatseir. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard method for the examination of Dayry Product. Ed ke-16. Washington DC : Porth Cyti Press. [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. USA : Arlington.Virginia. Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 5 422-425. Baratawidjaya K, Sundaru H. 1981. Asma bronkial : Patofisiologi. Cermin Dunia Kedokteran 21:29-32. Baratawijaya K. 1988. Imunolog Dasar. Indonesia : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island Mamalia, Megachiroptera. Zool Verhandlugen 248:1-14. Blasco A, Estany J, Baselga M. 1984. Prediction rabbit meat and bone weight using carcass measurements and simple cuts. Ann Zootec 332:161-170. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK. 03.1.23.11.11.09909. 2011. Tentang Pengawasan Klaim Dalam label dan Iklan Pangan Olahan. BPOM RI. Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-4. Conecticut : Appleton Lange, Simon Schuster Co. [BSN] Badan Standarisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional Indonesia. 2897:2008 [BSN]. Badan Standarisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009 Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian Durio zibethinus, Bombacae in southern Thailand. J Trop Ecol 25:85-92. Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 344: 407-412. Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69 1 :67-72. Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality of ready to eat food Meat pie in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J Microb Res 36: 390-395. Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers long they become rare. Ecology 872:271-276. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari spektrum infra merah sebagai penenda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 123:154-162. Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. [Ditjenak Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. [Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan] Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Dumont ER, Onell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats Pteropodidae. J Mammal 85 1: 8-14. Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 272: 58-65. Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific Moluccan Islands. Sydney : Australian Museum Reed Book. Florowski T et al. 2006. Teknological parametres in pig of two polish local breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 3: 217-224. Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Brazil J Poul Sci 12:233-237. Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited. Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr. 119:529-533. Guyton, Arthur, Hall, John 2006. Textbook Kedokteran Fisiologi. Ed ke-11. Pennsylvania: Elsevier Inc. Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains Teknol Farm131:1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Harold H, Craine LE, Hart DH. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta: Erlangga. Haryoko I, Warsiti T. 2008. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap karakteristik fisik karkas kelinci peranakan New Zealand White. Anim Product 102: 85-98. Hill JE, Smith JD. 1984. Bats : A Natural History London : Cromwell Road. Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats Chiroptera: pteropodidae as seed dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic 344:491-503. Hutajulu WL, Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci local umur 16 minggu. J Agribis Pet 32:75-79. Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 39: 225-230. Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702. Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rekay Kim Lingk 62:50-54. Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan. Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 32:1-16. Johnson PL, Purchas RW, Mcewan JC, Blair HT. 2005. Carcass composition and meat quality differens between pasture-reared ewe and lambs. Meat Sci 712:383-391. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas Brine Shrimp Lethality test dan antioksidan 1.1-diphenyl-2- pikrilhydrazyl dari ekstrak daun saga Abrus precatorius L.. Makara Sains 131:50-54. Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim Sci 78:253-259. Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427. Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene Chiroptera : Pteropodidae from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417. Klooker et al. 2010. The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral hypersensitivity and internal symptoms in patients with irritable bowel syndrome. Gut 599:1213-1221. Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang ditambahkan jahe Zingiber Officinale Roscoe pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Med Pet 272: 46-54. Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa Cocos nucifera, pinang Areca catechu dan aren Arenga pinnata sebagai tanaman obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. terhubung berkala http:balittro.litbang.deptan.go.idind 7 Mei 2012 Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci :1 –6. Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv 131:584-593. Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan dari : Meat Sci. Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop Biodivers 6:145-162. Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488. Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389. Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Volume ke-2. Menggy Thenawijaya, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principle of Biochemisrty. Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 621:73-97. Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci 71:194-204. Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record. Treubia 321: 63-85. Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus Chiroptera : Pteropodidae from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111- 120. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM. 2006. Evaluation of three pork quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 192:266-272. Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 3 : 26-33. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill. Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. ED ke-3. New York : Worth publishing. Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar swalayan di kota Makasar. J Agris 91:23-40. Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan. 12:20-22. Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4: Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State University. Owens FN, P Dubeski, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150. Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang dilalulintaskan melalui pelalbuhan penyeberangan merak. Hemera Soa. 21: 9-14. Prasetyo A, PrasetyoT, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indust Pangan 112 : 42-48. Raji. 2008. Sistem endokrin dan jenis hormon : An overview. Hormon Health Network. http:www.hormone.orgendocrine_system.cfm 21 Oktober 2012 Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 68:1058-1065. Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78:170-175. Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 332: 95-102. Rustam E, I Atamasari, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol kunyit curcuma domestica val. pada tikus putih jantan galur wistar. J Sains Teknol 122:112-115. Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat depending on their sex. Actavet 78:497-504. Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan cendana Santalum album Linn. Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara. Medan. Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137. Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O 157 :O 7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya. Mak Kes 91:23-28. Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of pilocapus Rustaceae as sources of pilocarine and other imidazole alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 3. Absrtact. http:www.springerlink.comcontent01027wm4011mr53w. 7 mei 2012 Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 285:450- 461. Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang asuh berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. 19 November 2009. Badan Standardisasi Nasional. Hlm 1-11. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor : IPB press. Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44. Shiel MC. 2010. Asma. http:www.medicinenet.comasthmapage3.htm. 12 Oktober 2012 Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum. Med Pet 271:1-11. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press. Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food Sci 585:953-958. Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya Carica papaya L.. J Kim 2 1:15- 18. Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14 1 : 41-48. Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol Has Tern 22: 42:51. Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at two temperature. J Food Safe 12:129-137. Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in slaughtered poultry. MAN 92: 139-146. Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in Calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 91: 89-100. Presiden Republik Indonesia. 1996. Undang undang No. 7. Tentang Pangan. Jakarta. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Wiley DJ, Engbring J, Otobed D. 1997. Abundance, biology, and human exploitation of bats in the Pulau Islands. J Zool London 241:203-227. Wijaya H. 2002. Pangan fungsional dan kontribusinya bagi kesehatan. Seminar online Kharisma ke-2.http:ml.scribd.comdoc28608855pangan- fungsional-dan-kontribusinya-bagi-kesehatan [26 Sept 2012] Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert 24 2: 47-55. Yalden DW, Morris PA. 1975. The live of bats. New York : The New York Times Quadrangle. 247 hlm. Yohnny F, Tridjoko, Roza. 2003. Study pendahuluan pengaruh hormon steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek. J Vet 44: 30- 34. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61 :1129:1139. Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL. 1978. Effect of spece and salt on fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189. Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry. Int J Food Microbiol 23 :125-148. LAMPIRAN Lampiran 1 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 213.29 25.57 7.00 195.00 270.00 213.27 8.12 26.00 200.00 220.00 Panjang lengan bawah 136.86 2.41 7.00 135.00 140.00 140.77 6.43 26.00 130.00 150.00 Panjang betis 59.29 4.50 7.00 55.00 65.00 59.42 2.58 26.00 55.00 65.00 Panjang kaki 50.71 4.50 7.00 45.00 55.00 53.46 2.35 26.00 50.00 55.00 Panjang telinga 31.86 1.86 7.00 30.00 34.00 31.54 1.58 26.00 30.00 35.00 Panjang tengkorak total 59.29 1.38 7.00 57.00 61.00 62.88 2.70 26.00 57.00 68.00 Panjang tengkorak condylobasal 52.00 3.96 7.00 45.00 56.00 55.58 3.78 26.00 45.00 63.00 Panjang tengkorak condylocaninus 47.29 3.09 7.00 42.00 50.00 49.38 2.50 26.00 42.00 55.00 Panjang baris gigi geraham atas 25.00 1.53 7.00 23.00 28.00 24.85 2.29 26.00 15.00 28.00 Lebar tulang pipi 34.86 1.68 7.00 32.00 37.00 36.08 1.67 26.00 32.00 39.00 Lebar geraham baris gigi premolar 12.86 0.38 7.00 12.00 13.00 13.73 0.45 26.00 13.00 14.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.29 0.76 7.00 7.00 9.00 8.65 0.75 26.00 7.00 10.00 Kolono Lamaya Lampiran 2 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di Pakuure Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Panjang sayap 509.80 18.81 10.00 470.00 540.00 Panjang lengan bawah 69.30 1.64 10.00 65.00 70.00 Panjang betis 27.00 1.25 10.00 25.00 30.00 Panjang kaki 19.60 0.84 10.00 18.00 20.00 Panjang telinga 16.80 0.79 10.00 15.00 18.00 Panjang tengkorak total 32.00 1.00 7.00 32.00 33.00 Panjang tengkorak condylobasal 28.00 0.58 7.00 27.00 29.00 Panjang tengkorak condylocaninus 25.57 0.79 7.00 25.00 27.00 Panjang baris gigi geraham atas 10.29 0.49 7.00 10.00 11.00 Lebar tulang pipi 22.57 1.40 7.00 20.00 24.00 Lebar geraham baris gigi premolar 3.29 0.49 7.00 3.00 4.00 Lebar geraham baris gigi molar 6.00 0.00 7.00 6.00 6.00 Pakuure Lampiran 3 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 231.33 8.55 15.00 220.00 245.00 247.14 28.70 7.00 190.00 270.00 262.78 15.63 9.00 225.00 270.00 236.79 14.89 14.00 210.00 250.00 Panjang lengan bawah 154.67 3.39 15.00 150.00 158.00 166.43 9.45 7.00 145.00 170.00 166.11 4.17 9.00 160.00 170.00 159.29 12.07 14.00 140.00 170.00 Panjang betis 73.93 4.23 15.00 70.00 80.00 75.71 3.45 7.00 70.00 80.00 77.22 2.64 9.00 75.00 80.00 74.29 2.67 14.00 70.00 80.00 Panjang kaki 59.33 1.76 15.00 55.00 60.00 57.86 2.67 7.00 55.00 60.00 61.33 2.18 9.00 60.00 65.00 59.29 1.82 14.00 55.00 60.00 Panjang telinga 32.53 0.52 15.00 32.00 33.00 32.14 1.07 7.00 30.00 33.00 32.22 0.97 9.00 30.00 33.00 32.00 1.18 14.00 30.00 33.00 Panjang tengkorak total 69.60 0.83 15.00 68.00 70.00 69.29 1.89 7.00 65.00 70.00 70.56 1.67 9.00 70.00 75.00 70.14 2.11 14.00 68.00 74.00 Panjang tengkorak condylobasal 59.60 0.83 15.00 58.00 60.00 59.86 2.27 7.00 55.00 62.00 61.67 2.50 9.00 60.00 65.00 60.07 2.81 14.00 55.00 64.00 Panjang tengkorak condylocaninus 54.33 1.11 15.00 52.00 55.00 54.86 2.19 7.00 50.00 56.00 56.67 2.50 9.00 55.00 60.00 54.64 3.03 14.00 48.00 58.00 Panjang baris gigi geraham atas 28.20 0.56 15.00 28.00 30.00 27.71 0.76 7.00 26.00 28.00 29.56 0.53 9.00 29.00 30.00 27.43 0.85 14.00 26.00 28.00 Lebar tulang pipi 38.27 0.70 15.00 38.00 40.00 35.29 1.70 7.00 33.00 38.00 39.44 0.88 9.00 38.00 40.00 37.29 2.13 14.00 34.00 40.00 Lebar geraham baris gigi premolar 15.27 0.46 15.00 15.00 16.00 16.14 0.69 7.00 15.00 17.00 16.33 1.00 9.00 15.00 17.00 16.21 0.80 14.00 15.00 17.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.00 0.00 15.00 8.00 8.00 8.43 0.53 7.00 8.00 9.00 8.00 0.00 9.00 8.00 8.00 8.93 0.83 14.00 8.00 10.00 Kolono Lamaya Pasar Bersehati Matialemba Lampiran 4 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 133.56 12.95 16.00 105.00 160.00 Panjang lengan bawah 87.63 9.60 16.00 70.00 100.00 Panjang betis 45.56 6.77 16.00 30.00 50.00 Panjang kaki 30.25 5.34 16.00 20.00 35.00 Panjang telinga 20.44 2.56 16.00 16.00 23.00 Panjang tengkorak total 42.69 3.50 16.00 37.00 48.00 Panjang tengkorak condylobasal 37.94 2.46 16.00 35.00 42.00 Panjang tengkorak condylocaninus 33.75 2.72 16.00 30.00 39.00 Panjang baris gigi geraham atas 14.81 1.64 16.00 12.00 17.00 Lebar tulang pipi 23.13 2.00 16.00 20.00 25.00 Lebar geraham baris gigi premolar 10.06 1.18 16.00 8.00 11.00 Lebar geraham baris gigi molar 5.13 0.81 16.00 4.00 6.00 Peonea Lampiran 5 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di Pakuure Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang sayap 553.15 77.41 13.00 490.00 725.00 467.67 39.50 15.00 400.00 510.00 379.09 52.00 11.00 260.00 420.00 Panjang lengan bawah 75.92 5.39 13.00 70.00 85.00 66.00 7.01 15.00 57.00 75.00 53.82 9.13 11.00 35.00 60.00 Panjang betis 30.15 1.34 13.00 29.00 33.00 27.53 1.36 15.00 26.00 30.00 20.09 3.39 11.00 15.00 24.00 Panjang kaki 25.31 3.84 13.00 23.00 32.00 20.53 1.55 15.00 18.00 23.00 14.64 2.73 11.00 10.00 20.00 Panjang telinga 17.00 0.58 13.00 16.00 18.00 15.47 1.30 15.00 14.00 17.00 15.91 0.94 11.00 15.00 17.00 Panjang tengkorak total 37.88 0.83 8.00 37.00 39.00 33.60 4.19 15.00 28.00 40.00 29.00 1.85 8.00 25.00 31.00 Panjang tengkorak condylobasal 34.00 0.76 8.00 33.00 35.00 29.67 3.75 15.00 25.00 35.00 25.88 1.25 8.00 24.00 27.00 Panjang tengkorak condylocaninus 30.88 0.83 8.00 30.00 32.00 28.27 3.37 15.00 24.00 32.00 24.38 0.74 8.00 23.00 25.00 Panjang baris gigi geraham atas 13.75 0.46 8.00 13.00 14.00 16.73 7.19 15.00 8.00 28.00 10.88 2.17 8.00 8.00 13.00 Lebar tulang pipi 23.25 1.04 8.00 22.00 25.00 16.80 3.88 15.00 13.00 24.00 18.75 2.12 8.00 15.00 21.00 Lebar geraham baris gigi premolar 3.13 0.35 8.00 3.00 4.00 2.47 0.52 15.00 2.00 3.00 2.00 0.00 8.00 2.00 2.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.13 0.35 8.00 8.00 9.00 6.67 1.35 15.00 5.00 8.00 5.50 0.53 8.00 5.00 6.00 Thoopterus sp 2 Thoopterus nigrescens Thoopterus sp 1 Lampiran 6 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 7 354.14 32.47 300.90 395.80 11 385.94 74.20 274.40 533.90 Karkas 7 51.98 3.64 47.59 57.24 11 56.04 2.79 50.03 59.11 Daging 7 56.92 4.89 49.77 63.00 11 54.81 3.42 47.06 59.01 Kulit 7 15.54 1.13 14.08 17.72 11 16.06 1.44 13.44 18.63 Tulang 7 21.43 1.99 19.02 24.87 11 19.86 3.35 15.08 25.16 Lemak 7 2.03 1.26 0.00 3.80 11 8.97 5.18 1.90 17.25 Non karkas 7 18.28 2.25 14.72 21.80 11 17.09 2.92 13.41 22.75 Lamaya Kolono Lampiran 7 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah samplel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 7 535.66 92.89 333.60 600.00 7 546.19 163.17 325.00 795.00 7 739.53 20.30 719.50 779.20 15 508.89 25.22 450.00 545.00 Karkas 7 54.85 7.58 41.64 61.74 7 56.03 8.22 40.54 63.70 7 56.55 2.30 52.84 59.79 15 54.49 1.02 247.30 56.34 Daging 7 54.07 10.99 44.40 72.36 7 47.18 4.56 41.22 55.06 7 45.37 2.78 42.39 50.10 15 54.03 1.59 51.23 56.45 Kulit 7 16.80 2.52 15.28 22.27 7 16.54 1.04 15.27 18.60 7 15.63 2.45 13.73 20.96 15 18.49 1.27 16.59 20.37 Tulang 7 19.15 3.58 14.02 24.32 7 20.86 3.34 18.10 26.48 7 18.97 1.76 16.64 20.90 15 18.12 0.86 17.05 19.41 Lemak 7 11.49 6.64 0.00 17.28 7 11.74 8.90 0.00 20.51 7 19.16 2.81 14.30 21.37 15 7.59 1.75 5.93 12.04 Non karkas 7 13.78 1.87 11.67 16.48 7 12.67 2.49 11.01 17.47 7 12.59 1.62 9.91 15.36 15 12.41 0.89 11.20 13.94 Matialemba Pasar Bersehati Manado Lamaya Kolono Lampiran 8 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas Thoopterus spp. di Pakuure Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 9 90.54 39.81 59.80 156.50 5 30.6 6.06 22.5 39.3 Karkas 9 49.29 6.50 42.61 65.49 5 64.07 2.05 61.75 66.63 Daging 9 51.41 3.10 47.49 57.63 5 51.86 3.93 47.26 55.43 Kulit 9 17.21 2.97 11.55 20.13 5 9.34 0.94 8.53 10.95 Tulang 9 21.59 5.12 15.53 29.19 5 19.85 1.92 17.44 21.92 Lemak 9 4.09 6.19 0.00 13.79 5 0.00 0.00 0.00 0.00 Non karkas 9 18.44 5.85 11.05 28.50 5 17.51 2.71 14.03 21.29 Thoopterus nigrescens Thoopterus sp Lampiran 9 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas N. cephalotes di Pakuure Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot Badan kg 8 52.76 5.15 43.1 60 Karkas 8 61.58 3.16 54.77 64.14 Daging 8 50.27 2.23 46.25 53.31 Kulit 8 11.37 0.95 10.40 13.28 Tulang 8 19.09 2.07 17.42 23.44 Lemak 8 4.89 3.07 0.00 7.61 Non karkas 8 17.81 0.68 16.50 18.83 Lampiran 10 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 8 97.84 35.05 58.50 149.60 Karkas 8 55.65 2.29 50.99 58.65 Daging 8 51.67 1.77 48.65 53.60 Kulit 8 12.57 2.77 8.92 16.13 Tulang 8 24.29 2.50 21.30 29.68 Lemak 8 10.61 3.16 5.48 14.87 Non karkas 8 15.89 1.95 13.16 18.96 Lampiran 11 Intensitas warna senyawa steroid ekstrak n-heksana kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna Kelelawar : Acerodon celebensis Bening menjadi biru ++ Nyctimene chepalotes Bening menjadi biru ++ Pteropus alecto Bening menjadi biru ++ Pteropus sp Bening menjadi hijau ++ Rousettus ampexicaudatus Bening menjadi biru ++ Thoopterus nigrescens Bening menjadi biru pekat ++ Lanjutan lampiran 11 Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna Thoopterus sp 1 Bening menjadi biru ++ Thoopterus sp 2 Bening menjadi biru ++ Daging babi Bening menjadi biru + Daging kelinci Bening menjadi biru + Ikan Bening menjadi hijau ++ Ayam Tidak ada perubahan - ++: intensitas warna kuat;+ + intensitas warna lemah; - tidak terdapat steroid Lampiran 12 Uji Alkaloid N. cephalotes, T. nigrescens, dan P. alecto Jenis daging Perubahan warna Keterangan gambar W M D N. cephalotes Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye +. Terbentuk endapan oranye T. nigrescens Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye+. Terbentuk endapan oranye P. alecto Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye +. Terbentuk sedikit endapan oranye W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; + endapan yang terbentuk sedikit. Lampiran 13 Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan warna Cabe rawit bening menjadi merah jambu ++ Jahe Bening menjadi merah jambu ++ Kunyit Kuning menjadi merah jambu +++ Bawang daun Bening menjadi kuning kemerahan + Daun sereh Bening menjadi kuning kemerahan + Rempah campur Bening menjadi merah jambu pekat +++ +++: intensitas warna kuat;++ intensitas warna sedang; + intensitas warna lemah Lampiran 14 Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan gambar Jahe Bening menjadi kuning +++ Cabe rawit Bening menjadi kuning +++ Sereh Bening bening jingga +++ Rempah campur Bening menjadi kuning +++ +++: intensitas warna kuat Lampiran 15 Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di masak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 3 5 7 7 6 5 5 7 7 3 7 7 2 2 6 5 2 6 6 7 7 7 5 3 7 3 4 5 6 6 7 7 6 5 7 3 6 7 4 2 5 5 4 7 7 6 7 6 4 6 7 5 4 6 7 5 5 6 6 6 7 6 6 7 6 3 7 7 5 7 7 6 7 7 7 7 7 7 4 6 6 2 6 6 2 5 5 2 5 5 8 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 9 1 5 6 3 5 4 1 7 7 1 7 6 10 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5 11 2 6 7 2 6 5 7 6 6 5 6 5 12 2 6 5 3 4 5 5 5 6 4 5 5 13 4 7 7 6 7 7 6 6 5 5 7 7 14 1 7 6 2 7 6 2 7 6 2 7 6 15 4 5 7 3 6 7 4 6 4 6 6 7 16 3 6 6 5 6 6 4 7 7 3 6 5 17 4 5 6 2 7 6 5 7 7 2 6 6 18 1 5 5 2 6 5 2 5 5 5 5 5 19 1 7 7 1 4 7 6 5 6 2 5 7 20 3 7 7 7 4 7 5 6 7 5 6 7 21 2 6 7 5 6 7 4 6 6 2 6 7 22 2 6 6 3 5 5 5 6 5 5 6 6 23 2 5 5 1 4 5 6 7 6 1 4 6 24 2 7 6 2 6 7 2 6 6 2 6 7 25 1 7 7 3 7 7 2 7 7 2 7 7 26 2 6 6 1 6 5 3 6 5 1 6 6 27 1 7 7 1 7 7 2 7 6 2 7 7 28 2 6 5 2 6 6 2 6 7 4 6 6 29 1 6 7 1 6 6 1 6 5 1 6 7 30 3 7 5 4 5 5 5 6 7 2 6 7 31 4 6 6 4 5 5 6 6 6 2 6 6 32 1 6 5 2 7 6 1 6 7 3 5 7 33 1 6 5 4 6 5 6 7 7 4 7 7 34 1 6 5 1 7 5 1 6 6 1 7 5 35 2 6 5 1 7 5 3 6 7 2 7 6 36 2 6 7 2 6 7 4 6 6 2 7 7 37 1 6 7 2 5 4 6 5 5 5 5 5 38 1 7 5 1 4 4 1 6 5 1 5 5 39 2 5 6 2 3 5 2 7 7 2 5 5 40 1 5 6 2 6 6 5 7 7 2 3 7 41 2 5 6 3 5 6 5 6 6 3 6 6 42 3 5 5 3 5 5 2 5 5 2 5 5 43 1 7 6 4 6 6 4 6 7 4 6 6 44 3 5 6 2 3 4 3 6 6 2 6 5 45 2 6 6 1 6 6 1 6 6 2 6 6 46 1 6 6 1 5 6 2 6 6 3 6 6 47 2 7 6 3 7 6 1 7 7 3 7 7 48 4 6 6 5 5 4 5 6 6 4 5 5 49 1 5 5 1 5 5 3 5 5 3 5 5 50 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5 Total 105 296 298 138 283 283 192 307 309 150 291 306 Rataan 2.1 5.92 5.96 2.76 5.66 5.7 3.84 6.14 6.18 3 5.82 6.12 Lampiran 16 Analisis uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.000 75.3 -9.59 2 50 6.000 373.0 3.09 3 50 6.000 385.0 3.60 4 50 2.000 123.7 -7.53 5 50 6.000 357.0 2.41 6 50 6.000 352.6 2.22 7 50 4.000 199.0 -4.32 8 50 6.000 412.2 4.76 9 50 6.000 416.2 4.93 10 50 3.000 133.6 -7.11 11 50 6.000 372.7 3.08 12 50 6.000 405.7 4.48 Overall 600 300.5 H = 322.81 DF =11 P = 0.000 H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 17 Data uji hedonik terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 2 4 5 7 7 7 6 7 7 4 4 3 2 3 5 5 3 5 5 4 5 5 3 5 6 3 5 5 5 3 5 5 5 7 7 5 5 6 4 2 6 6 5 5 6 2 5 7 2 7 5 5 3 5 5 5 5 5 5 7 7 3 6 5 6 4 5 5 3 5 5 5 7 6 5 7 6 7 3 5 4 3 5 4 6 6 5 4 5 5 8 3 5 5 3 6 5 4 1 3 4 6 3 9 5 6 5 3 6 6 4 6 6 3 5 7 10 3 4 4 3 7 7 3 6 6 3 6 5 11 2 6 6 5 6 5 2 4 4 2 4 3 12 3 5 4 3 5 5 5 6 3 5 6 6 13 5 6 6 5 6 6 6 6 6 5 6 7 14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 15 5 7 6 5 6 6 4 6 6 4 5 6 16 5 5 6 6 6 6 5 6 7 4 6 7 17 4 7 7 3 7 7 4 7 5 3 6 6 18 5 6 7 5 5 5 6 7 5 6 3 4 19 5 6 6 6 7 6 5 5 5 3 6 6 20 5 6 6 7 7 6 6 7 7 5 7 7 21 6 5 5 4 6 5 4 6 5 3 5 5 22 6 7 6 7 6 7 2 6 6 4 7 6 23 6 7 7 5 7 6 4 3 5 4 4 5 24 5 7 7 5 6 7 5 6 6 6 6 6 25 5 6 6 5 6 6 7 7 6 7 6 6 26 5 6 7 5 5 7 6 6 6 7 6 5 27 6 5 6 5 4 5 6 6 7 7 7 7 28 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6 5 29 7 7 5 5 6 6 3 7 5 4 6 5 30 5 6 5 7 6 5 6 6 6 6 6 6 31 4 4 5 3 4 5 6 7 6 5 5 6 32 4 6 5 4 6 5 6 5 5 6 5 4 33 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6 6 34 5 5 5 5 5 5 7 6 6 6 7 6 35 5 5 6 5 6 6 6 7 7 7 6 5 36 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 5 37 2 7 5 2 7 4 6 3 5 6 7 5 38 2 6 6 5 6 6 2 6 6 2 5 3 39 2 6 7 5 4 4 6 6 7 6 6 4 40 5 5 5 5 4 4 6 6 6 6 5 6 41 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 42 6 6 5 3 6 5 2 6 3 6 3 1 43 7 5 7 5 7 4 6 4 5 4 5 1 44 2 6 5 2 7 7 2 6 6 2 6 6 45 2 5 5 4 5 7 5 7 6 6 6 5 46 2 5 5 4 5 5 2 6 5 2 6 6 47 3 5 5 3 5 5 3 6 6 3 5 5 48 2 5 5 2 5 5 3 6 6 3 6 6 49 5 5 5 2 5 5 4 6 6 1 4 6 50 3 5 5 4 7 4 2 6 6 4 7 6 Total 210 280 276 221 286 275 233 293 285 226 282 263 Rataan 4.2 5.6 5.52 4.42 5.72 5.5 4.66 5.86 5.7 4.52 5.64 5.26 Lampiran 18 Uji Kruskal-Wallis warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 5.000 179.0 -5.18 2 50 5.500 334.0 1.43 3 50 5.000 322.2 0.93 4 50 5.000 190.8 -4.68 5 50 6.000 359.6 2.52 6 50 5.000 321.8 0.90 7 50 5.000 238.0 -2.66 8 50 6.000 397.0 4.11 9 50 6.000 368.5 2.90 10 50 5.000 226.2 -3.16 11 50 6.000 355.1 2.32 12 50 6.000 313.8 0.57 Overall 600 300.5 H = 97.91 DF =11 P = 0.000 H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 adjuted for ties Lampiran 19 Data uji hedonik terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 1 7 5 1 4 6 1 6 6 2 3 6 2 5 6 7 4 5 7 7 6 7 4 7 7 3 4 5 6 4 5 7 5 5 7 5 6 7 4 4 5 6 4 5 6 4 6 6 4 6 6 5 2 6 5 2 6 5 2 6 7 2 6 5 6 2 5 6 3 5 5 4 5 6 4 5 6 7 2 5 5 3 5 5 3 6 6 3 6 6 8 3 5 6 3 5 5 4 6 6 4 6 7 9 7 6 6 2 7 6 6 7 6 7 4 7 10 2 6 6 3 6 6 5 6 6 1 5 6 11 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 12 3 6 6 4 6 6 2 7 6 2 6 6 13 2 5 6 1 3 4 2 6 6 2 6 5 14 2 6 6 1 6 6 3 6 6 2 2 6 15 2 5 5 2 7 5 2 3 6 3 4 6 16 2 6 6 2 6 6 2 6 6 2 7 6 17 2 5 6 2 5 4 2 6 6 4 6 6 18 3 4 4 4 4 4 4 5 6 5 5 6 19 1 5 5 2 3 6 3 6 6 5 3 6 20 2 7 6 2 4 6 4 5 5 4 6 6 21 2 5 5 2 5 5 4 6 6 3 5 5 22 2 6 6 2 6 5 4 6 7 3 6 5 23 3 7 6 3 7 7 4 7 6 3 7 6 24 2 6 6 2 6 5 2 6 5 2 7 5 25 1 6 5 2 6 5 4 6 6 3 6 6 26 1 6 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5 27 1 7 6 2 7 7 2 7 6 2 7 6 28 4 6 7 5 7 4 2 4 2 5 4 6 29 4 6 6 3 6 6 4 7 7 4 5 4 30 2 6 5 2 6 6 2 6 7 2 6 6 31 2 4 5 3 4 4 2 5 4 2 5 5 32 4 7 5 6 5 6 6 7 6 5 7 6 33 5 6 6 4 4 5 3 5 6 3 7 5 34 1 6 5 4 7 5 2 6 6 5 6 5 35 2 7 6 2 7 6 2 7 7 2 6 7 36 4 5 5 4 4 6 3 7 7 4 7 7 37 2 5 5 2 5 6 2 6 5 4 6 6 38 2 5 5 5 7 7 5 6 6 4 6 7 39 2 6 5 2 5 5 5 5 6 5 5 6 40 2 5 6 2 5 3 2 3 6 2 6 5 41 2 5 6 1 6 5 3 5 7 2 5 5 42 2 6 6 3 5 6 2 5 5 2 5 6 43 4 5 6 4 6 6 1 7 6 2 6 4 44 1 7 5 2 4 5 2 6 6 1 5 5 45 3 6 7 4 7 7 2 6 6 4 6 7 46 4 7 5 4 7 6 4 5 5 4 6 7 47 2 6 7 1 7 6 1 6 6 1 6 5 48 4 5 6 2 5 6 3 7 7 1 7 6 49 2 7 6 3 6 6 3 5 5 2 6 6 50 1 6 5 2 7 6 1 6 6 1 6 6 Total 126 288 283 137 278 278 156 291 297 153 283 292 Rataan 2.520 5.760 5.660 2.740 5.560 5.560 3.120 5.820 5.940 3.060 5.660 5.840 Lampiran 20 Uji Kruskal-Wallis aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.000 100.6 -8.52 2 50 6.000 390.6 3.84 3 50 6.000 376.1 3.22 4 50 2.000 111.6 -8.05 5 50 6.000 368.3 2.89 6 50 6.000 365.0 2.75 7 50 3.000 143.0 -6.71 8 50 6.000 405.0 4.46 9 50 6.000 419.8 5.08 10 50 3.000 134.6 -7.07 11 50 6.000 388.3 3.74 12 50 6.000 403.2 4.37 Overall 600 300.5 H = 322.81 DF =11 P = 0.000 H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 21 Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 2 5 5 2 5 4 6 6 7 2 5 5 2 3 7 4 4 4 7 6 6 6 2 6 6 3 1 4 5 2 4 5 6 5 5 7 4 5 4 5 6 7 5 6 6 4 6 6 5 6 7 5 4 6 7 4 6 5 4 6 7 4 5 5 6 4 7 6 4 7 6 5 5 6 5 7 6 7 6 6 5 5 6 5 5 6 6 5 6 6 8 3 5 6 2 5 3 3 6 7 3 4 4 9 5 7 5 5 7 5 5 7 6 5 7 5 10 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 11 5 5 5 5 6 5 6 6 6 4 5 5 12 7 7 7 5 7 5 4 7 7 7 7 6 13 4 7 5 7 7 3 7 6 7 5 7 6 14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 7 6 6 15 7 6 6 5 6 6 5 3 6 7 5 6 16 4 6 6 4 5 6 3 6 5 5 6 5 17 5 5 6 5 5 5 6 6 6 5 6 5 18 4 5 6 2 4 6 4 5 6 3 6 6 19 4 6 5 4 6 5 5 6 4 4 6 4 20 5 5 5 5 5 6 6 5 6 6 6 6 21 6 6 6 6 7 6 6 6 7 6 7 7 22 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 5 6 23 5 7 6 5 5 6 6 7 6 6 7 6 24 5 6 6 5 6 6 5 6 6 6 5 6 25 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 7 7 26 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6 7 27 6 7 7 6 7 7 7 7 7 7 6 7 28 6 5 5 6 6 6 5 4 6 5 6 6 29 2 7 7 2 6 7 4 7 7 2 6 7 30 5 5 7 5 5 7 5 6 6 5 7 7 31 6 6 6 6 5 5 6 5 7 6 7 6 32 2 7 7 2 7 7 2 7 5 2 5 6 33 2 5 5 2 5 7 3 5 5 3 5 5 34 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 6 6 35 2 5 6 2 5 5 2 5 5 2 5 5 36 4 6 5 4 5 5 6 6 5 4 5 5 37 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 38 6 6 5 6 6 5 6 5 6 6 5 5 39 5 6 7 5 6 7 5 6 6 5 5 7 40 5 5 6 6 6 6 6 5 7 6 6 7 41 6 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6 42 7 5 6 3 6 5 5 7 7 5 5 6 43 5 5 6 5 7 5 5 5 6 5 5 6 44 5 6 7 7 5 5 6 6 5 6 7 7 45 7 6 7 7 6 6 7 7 7 7 7 7 46 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 47 7 5 7 6 7 5 7 7 7 6 7 7 48 5 6 5 5 5 6 6 7 7 6 7 6 49 5 6 7 5 6 5 6 5 5 6 6 7 50 6 6 6 6 7 7 6 5 6 6 6 7 Total 242 289 295 237 287 282 263 292 304 254 294 298 Rataan 4.84 5.78 5.9 4.74 5.74 5.64 5.26 5.84 6.08 5.08 5.88 5.96 Lampiran 22 Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 5.000 179.0 -5.18 2 50 5.500 334.0 1.43 3 50 5.000 322.2 0.93 4 50 5.000 190.8 -4.68 5 50 6.000 359.6 2.52 6 50 5.000 321.8 0.91 7 50 5.000 238.0 -2.66 8 50 6.000 397.0 4.11 9 50 6.000 368.5 2.90 10 50 4.000 226.2 -3.16 11 50 6.000 355.1 2.32 12 50 6.000 313.8 0.57 Overall 600 300.5 H = 97.91 DF =11 P = 0.000 H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 23 Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 3 6 5 3 6 5 3 5 5 3 5 5 2 1 5 6 1 5 6 4 6 7 3 5 6 3 1 4 5 3 4 5 3 4 5 7 4 5 4 3 5 5 5 3 7 6 4 6 5 4 6 5 2 7 5 3 5 5 2 5 6 4 5 7 6 2 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6 7 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 8 2 5 6 1 4 5 2 6 7 2 5 6 9 4 6 6 3 5 5 2 5 7 4 6 6 10 2 6 5 3 5 5 1 5 7 2 6 6 11 2 6 6 3 6 6 5 6 6 3 6 6 12 4 5 6 2 5 5 3 7 7 2 5 5 13 3 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6 14 5 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7 15 6 6 6 6 6 6 5 6 6 5 6 6 16 1 5 6 2 5 6 6 5 6 4 5 6 17 1 6 5 3 5 5 2 6 6 2 6 6 18 5 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6 19 1 5 7 1 6 7 2 5 6 2 6 6 20 2 5 7 4 5 5 5 7 7 4 7 7 21 1 5 6 4 6 5 1 6 6 5 5 6 22 2 7 7 3 7 7 2 6 7 2 6 7 23 6 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7 24 6 6 7 6 6 7 6 7 7 6 7 7 25 7 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 7 26 6 7 6 5 5 6 6 6 6 6 6 5 27 3 6 6 3 5 5 4 5 6 5 5 6 28 2 6 7 2 5 6 1 5 6 1 6 7 29 1 7 6 2 7 7 4 7 6 2 7 5 30 2 7 7 2 5 6 6 7 7 2 5 6 31 2 6 6 3 5 6 5 5 6 5 6 6 32 1 7 7 1 7 7 5 6 6 4 6 7 33 4 7 7 4 7 7 3 6 7 6 7 7 34 1 6 6 2 6 6 4 6 6 4 6 6 35 7 6 7 6 7 7 7 7 5 7 7 7 36 6 6 7 6 6 7 7 6 7 4 6 7 37 6 7 7 6 7 7 6 7 7 7 7 7 38 4 6 5 3 6 6 3 6 6 6 6 5 39 2 6 7 2 6 4 1 5 7 4 6 7 40 2 6 5 2 7 7 4 6 6 5 6 6 41 2 7 7 3 7 6 7 7 7 5 7 6 42 2 5 5 3 5 5 4 6 6 3 6 5 43 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 44 4 7 5 3 7 7 4 7 5 1 7 4 45 2 6 6 2 6 6 7 7 6 5 7 7 46 3 6 5 3 5 5 3 5 6 3 6 6 47 4 6 5 5 6 5 6 7 7 4 6 7 48 4 5 6 5 6 7 4 5 7 3 6 7 49 3 6 7 1 7 6 6 7 7 3 5 7 50 3 5 7 3 4 6 5 7 7 5 7 7 Total 155 298 304 168 287 298 210 297 315 202 298 309 Rataan 3.1 5.96 6.08 3.36 5.74 5.96 4.2 5.94 6.3 4.04 5.96 6.18 Lampiran 24 Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.500 121.6 -7.62 2 50 6.000 358.4 2.47 3 50 6.000 377.0 3.26 4 50 3.000 131.4 -7.20 5 50 6.000 336.5 1.54 6 50 6.000 362.1 2.63 7 50 4.000 196.1 -4.43 8 50 6.000 357.0 2.41 9 50 6.000 413.7 4.82 10 50 4.000 178.9 -5.18 11 50 6.000 370.3 2.97 12 50 6.000 402.4 4.34 Overall 600 300.5 H = 219.18 DF =11 P = 0.000 H = 233.86 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties ABSTRACT TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Morphometric Identification Characteristics and Extraction of Bioactive Components of Fruit Bats Meat in Celebes as Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU This study aims to determine the species of fruitbats, bioactive compounds in meat, carcass and meat product, meat quality and nutritional value, level of consumer acceptance of processed meat, and security of processed meat as food. The results showed five species of bats identified to species level, and 3 types to genus level. Carcass production of Acerodon celebensis were 51.98-56.04, Pteropus alecto 54.49-56.55, Nyctimene cephalotes 61.58, Rousettus amplexicaudatus 55.65 Thoopterus sp 49.29-64.07, and meat production were 54.81-56.92, 45.37-54.03, 50.27, 51.67, 51.41-51.86, respectively. The pH value and water holding capacity for unfrozen P. alecto meat were higher than frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna, while the cooking loss were lower. Protein, water, Ca and P percentage of P. alecto and R. amplexicaudatus were lower than pork, chicken, and tuna, but the fat percentage was higher. Ratio of saturated fatty acid SFA, Monounsaturated fatty acid MUFA, and Polyunsaturated fatty acid PUFA for A. celebensis was 17.21:13.27:1, for P. alecto was 23.36:13.13:1, for R. amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, Chicken was 2:1.5:1, Tuna was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non essential amino acids for A. celebensis was 1.16:1, for P. alecto was 0.98:1, for R. amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken was 1.17:1, and for tuna was 1.12:1. Cholesterol for P. alecto, R. amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20, 234.75, 287.54, 192.88, 263.15, 138.21 mg, respectively. LC-MS results showed that the highest in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 C 26 H 37 4 , 324.2691 C 23 H 34 N, 276.2 C 19 H 34 N, and 319.3 C 21 H 39 N 2 . Consumer preference for processed P. alecto meat was the same with conventional livestock meat and tuna. P. alecto meat was cooked rica-rica that stored up to 14 days in freezing temperatures contained total microbial count of 3.1 x 10 4 cfumL-6.0 x 10 4 cfumL, Staphylococcus aureus, 7.7 x 10 1 cfu mL - 7.6 x 10 3 cfu mL. Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of P. alecto meat that cooked kari was 6.8 x 10 5 cfu mL - 9.7 x 10 5 cfumL, S. aureus was 4.3 x 10 1 cfu mL - 1 x 10 4 cfu mL. E. coli 3 mL, and Salmonella sp was negative. The conclusions of this study was fruit bats were found 5 sp. The body weight could be used to predict the expected growth rate and carcass component of the fruit bats. The quality for fruit bat meats are similar with conventional livestock and tuna. Rica-rica P. alecto meat and curry were preferred by consumers and safe for consumption up to 14 days of storage at 5ºC. Keywords: fruitbats, characteristics, bioactive, food, Celebes. RINGKASAN TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan Pangan. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU. Kelelawar sangat penting keberadaannya karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan dan penyerbuk tumbuhan, juga sebagai bahan pangan yang dipercayai dapat menyembuhkan alergi, asma, dan meningkatkan stamina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan bahan pangan, produksi karkas dan komponen karkas, sifat-sifat fisik dan kimia daging, nilai gizi daging, serta jenis komponen bioaktif pada daging kelelawar yang dibandingkan dengan daging ternak konvensional, dan ikan cakalang. Selain itu untuk mengetahui komponen bioaktif bumbu masak, tingkat penerimaan konsumen, dan total mikrob daging kelelawar olahan pada saat dikonsumsi. Identifikasi dilakukan menggunakan kunci identifikasi kelelawar berdasarkan morfometri dan warna tubuh. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Produksi karkas dan komponen karkas dihitung berdasarkan perhitungan ternak konvensional. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Untuk mengetahui komponen bioaktif dalam daging, sebagai skrining awal dilakukan uji fitokimia, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana P. alecto. Ekstraksi menggunakan metode Sokhlet. Uji fitokimia daging dan bumbu masak meliputi uji steroidtriterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl 2 , dan uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis KLT. Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Penentuan struktur kimia senyawa aktif menggunakan software masslynx. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica dianalisis menggunakan uji Kruskal- Wallis . Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot boxplot. Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Untuk mengkaji total mikrob, Escherichia coli. Staphylococcus aureus, Salmonella sp, dan Koliform dalam daging kelelawar menggunakan metode hitungan cawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat genus ada tiga jenis, yaitu satu jenis dari genus Pteropus sp, dua jenis dari genus Thoopterus sp. Kelelawar yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada lima spesies. Analisis kelompok cluster analysis menunjukkan Pteropus sp memiliki kesamaan morfometri mencapai 99 dengan P. alecto. Thoopterus sp memiliki kesamaan 99 dengan T. nigrescens. Produksi karkas A. celebensis adalah 51.98-56.04 dan produksi daging 54.81-56.92. Produksi karkas P. alecto adalah 54.49-56.55 dan produksi daging 45.37- 54.03. Produksi karkas N. cephalotes adalah 61.58 dan produksi daging 50.27. Produksi karkas R. amplexicaudatus 55.65 dan produksi daging 51.67. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29-64.07 dan produksi daging 51.41-51.86. Nilai pH daging kelelawar P. alecto yang disembelih, daging kelelawar P. alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92±2.95, 32.63±1.00, 44.78±0.68, 45.78±3.59, dan 43.23 ±1.13, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12, 36.46±1.39, 19.45±1.46, 16.30±1.12, dan 27.32±0.72. Berdasarkan basis segar maka kadar protein daging kelelawar P. alecto, kelelawar N. cephalotes, dan kelelawar R. amplexicaudatus secara berturut-turut adalah 20.48, 21.73, dan 21.08, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84. Berdasarkan basis kering, kadar protein P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41, kadar lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan 3.47, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27, dan 9.90, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1. P. alecto adalah 23.36:13.13:1. R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1. Daging babi adalah 2.48:2.83:1. Daging ayam adalah 2:1.5:1. Ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial daging A. celebensis adalah 1.16:1, daging P. alecto adalah 0.98:1, daging R. amplexicaudatus adalah 1.05:1, daging babi adalah 1.1:1, daging ayam adalah 1.17:1, dan ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar kolesterol P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari N. cephalotes, P. alecto, dan R. amplexicaudatus menunjukkan adanya senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan A. celebensis, T. nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan cakalang hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron, yaitu 17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate dengan rumus molekul C26H37O4, dan empat senyawa mirip dengan steroid kelompok androstan, yaitu 5α,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium, 5α,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium dengan rumus molekul C19H34N. Empat senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid kerangka piridin-piperidin dan senyawa kitotifen, yaitu 1-{[5R,7S-3-4- Methyl phenyl- 1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1- {[3-4-Methyl phenyl-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1-7-Isopropyl-1- methyl-4-azulenyl-2-methyl-2-propanyl]- 1-methylpyrrolidinium, dan satu senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid golongan imidazol, yaitu 3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3, 9-dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo [1,2-a:1,2-c] pyrimidin-4-ium. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan bahwa j enis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata P˂0.05 pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis tahap pertama terhadap kandungan mikrob menunjukkan bahwa total mikrob S. aureus, E. coli, coliform, dan Salmonella sp dari tiga jenis kelelawar yang dimasak rica- rica dan dimasak kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan Bandan Standard Nasional untuk pangan asal hewan. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan hingga 14 hari mengandung total mikrob 3.1 x 10 4 cfumL-6.0 x 10 4 cfumL, S. aureus 7.7 x 10 1 cfumL-7.6 x 10 3 cfumL, sedangkan E. coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar kari mengandung total mikrob 6.8 x 10 5 cfumL- 9.7 x 10 5 cfumL, S. aureus 4.3 x 10 1 cfumL-1 x 10 4 cfumL. E. coli 3 mL, dan Salmonella sp adalah negatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelelawar yang ditemukan adalah lima spesies. Daging kelelawar A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging yang hampir sama dengan daging babi dan ayam, walaupun kandungan SFA yang tinggi. Tingkat kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak menggunakan bumbu kari dan rica. Daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 pada suhu 5ºC masih layak dikonsumsi. N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa yang lebih beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol, oleh karena itu dugaan daging kelelawar dapat membantu penyembuhan penyakit asma dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima. Kata kunci : kelelawar, karakteristik, bioaktif, pangan, Sulawesi. PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan daging ternak konvensional ruminansia dan unggas secara nasional dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi. Untuk memenuhi kebutuhan daging maka pemerintah bersama swasta harus mengimpor daging atau ternak dari luar negeri. Berdasarkan data Statistik Peternakan 2009 bahwa pada tahun 2007 konsumsi daging rata-rata per kapita per tahun di Indonesia sebesar 8.37 kg, tahun 2008 sebesar 7.75 kg, tahun 2009 sebesar 6.5 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.97 kg. Sementara ketersediaan daging per kapita per tahun untuk tahun 2007 hanya sebesar 6.3 kg, tahun 2008 sebesar 6.4 kg, tahun 2009 sebesar 6.60 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.95 kg, sehingga harus mengimpor daging tahun 2009 sebesar 771.370.806 kg, tahun 2010 sebesar 874.680.103, dan tahun 2011 sebesar 599.823.558 kg Direktorat Jenderal Peternakan 2011. Salah satu alternatif untuk memenuhi suplai daging adalah mencari potensi hayati yang ada di Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber daging. Indonesia kaya akan keragaman hayati yang merupakan sumber daya genetik, di antaranya terdapat 205 jenis kelelawar atau sekitar 21 dari semua jenis kelelawar yang ada di dunia Suyanto 2001. Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai penyerbuk tumbuhan Bumrungsri et al. 2009, sebagai bahan pangan Jenkins Racey 2008, dan dipercaya sebagai obat tradisional Mohd- Azlan et al. 2001. Berdasarkan informasi lewat media elektronik diketahui bahwa pada beberapa tempat, seperti di Jawa Timur, Medan, Kalimantan, dan Yogyakarta, sebagian masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar karena masyarakat meyakini bahwa selain sebagai bahan pangan, daging kelelawar juga dapat menyembuhkan penyakit tertentu, seperti asma dan alergi serta dapat meningkatkan stamina. Di Sukabumi, daging kelelawar diolah menjadi abon untuk diperdagangkan dengan label dapat menyembuhkan penyakit asma, walaupun belum ada informasi ilmiah yang menguatkan secara pasti tentang jenis kelelawar yang dikonsumsi sebagai bahan pangan yang berfungsi untuk menyembuhkan asma. Diduga daging kelelawar mengandung komponen aktif berupa senyawa steroid dan senyawa kitotifen. Steroid adalah sejenis lipid yang berfungsi sebagai hormon pengatur tubuh. Kitotifen adalah antihistamin yang berfungsi untuk menstabilkan membran sel-sel mastosit dan menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan hipersensitivitas Klooker et al. 2010. Sel-sel mastosit kaya akan histamin dan leukotrin yang bertanggung jawab atas awal mula terjadinya asma akibat alergi. Histamin adalah senyawa turunan dari asam amino yang terlibat dalam tanggapan imun Bratawijaya 1988. Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI 2007 bahwa asma adalah inflamasi saluran napas, dan salah satu pemicu asma adalah alergi Bratawidjaya Sundaru 1981. Seiring dengan permintaan konsumen terhadap daging kelelawar, dan adanya pemeo bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan mulai bergeser, yaitu pangan yang diminati bukan sekadar mempunyai nilai gizi dan cita rasa yang enak, tetapi juga memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh yang dikenal sebagai pangan fungsional Wijaya 2002. Pangan fungsional menurut Undang Undang No. 7 1996 dan Badan Pengawas Obat dan Minuman Republik Indonesia BPOM RI 2011 adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan. Daging kelelewar diduga mempunyai potensi sebagai pangan fungsional, karena diduga selain memiliki nilai gizi yang baik, juga mengandung komponen aktif. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa komponen aktif hasil ekstraksi, seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, terpenoid, dan steroid berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan sebagai hormon pengatur tumbuh yang terdapat pada hewan, tumbuhan, dan rempah-rempah Yohnny et al. 2003, Chaovanalikit Wrolstad 2004, Handayani et al. 2008, Sukadana et al. 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah- rempah, seperti jahe, kunyit, cabe rawit, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan kelelawar olahan disukai dan banyak diminati di Minahasa dan Manado. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konsumen diperoleh informasi bahwa mereka mengkonsumsi daging kelelawar olahan bukan karena mereka menyadari bahwa daging tersebut sebagai sumber gizi, tetapi karena daging kelelawar lezat dan enak. Daging kelelawar sebagai lauk merupakan salah satu pangan tradisional alternatif sumber daging selain daging ternak konvensional lainnya. Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya mikrobiologi Khalafalla et al.1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Adanya bahaya tersebut sering kali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktik sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional Setiowati Mardiastuty 2009. Kelelawar sebagai bahan pangan mempunyai keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan ternak konvensional karena hampir semua komponen tubuh kelelawar, yaitu karkas, sayap, rongga dada, dan rongga perut diolah bersama untuk dikonsumsi. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, diperoleh data bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap penjual per hari adalah 50 kg, dengan bobot masing-masing kelelawar rata- rata 300-600 g. Berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat penjual kelelawar di Pasar Bersehati, Manado, diperoleh informasi bahwa rata- rata kelelawar yang habis terjual sebanyak 100 ekor per hari, atau setiap harinya daging kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 30-50 kg. Mempertimbangkan minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging kelelawar olahan dan sumbangan daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan ketersediaannya. Laporan ilmiah yang mengungkapkan jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi, produksi karkas dan daging, kandungan komponen aktif, komposisi nilai gizi yang baik dan aman dikonsumsi, serta tingkat penerimaan masyarakat terhadap daging kelelawar olahan sampai saat ini belum tersedia. Sampai sejauh ini, bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit tertentu masih merupakan pemeo. Oleh karena itu, manfaat dan khasiat ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan dan diharapkan data hasil penelitian ini merupakan informasi awal untuk menjadikan daging kelelawar sebagai salah satu alternatif ternak penghasil daging yang bersifat fungsional. Tujuan Penelitian a. Melakukan identifikasi berdasarkan morfometri, struktur gigi, dan ciri-ciri fisik tubuh untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan sebagai bahan pangan di Sulawesi. b. Mengkaji distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi. c. Mengkaji kandungan gizi, sifat fisik, dan sifat kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging ternak konvensional. d. Mengkaji tingkat penerimaan daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional e. Mengkaji kandungan komponen bioaktif daging kelelawar pemakan buah, dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional, dan ikan cakalang. f. Mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan yang disimpan selama 14 hari. g. Membuktikan potensi kelelewar sebagai pangan fungsional yang aman berbasis pangan tradisional yang disukai dan aman untuk dikonsumsi. Manfaat Penelitian a. Sebagai informasi ilmiah awal tentang jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi yang dijadikan bahan pangan. b. Sebagai informasi ilmiah awal tentang distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi. c. Sebagai pembuktian ilmiah tentang kandungan senyawa aktif, nilai gizi, dan tingkat penerimaan konsumen terhadap kelelawar pemakan buah di Sulawesi dan beberapa hewan konvensional sebagai pangan yang merupakan keanekaragaman sumber daya hayati lokal. d. Memperkuat klaim kasiat dan potensi kelelawar sebagai bahan pangan yang aman dikonsumsi dan mempunyai fungsi fisiologis yang dapat memberi manfaat bagi kesehatan tubuh. e. Menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang pangan, khususnya pangan berbasis tradisional sebagai pangan fungsional f. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk pengembangan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus acuan untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri atas 6 tahap. Tahap ke-1. Survei lapangan meliputi enam daerah di Sulawesi dengan kegiatan penelitian yaitu identifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah. Tahap ke-2. Produktivitas karkas dan komponen karkas kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi. Tahap ke-3. Kualitas daging yang meliputi sifat-sifat fisik daging dan nilai gizi daging kelelawar yang meliputi komposisi kimia, kandungan kolesterol, kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kandungan asam-asam amino esensial dan nonesensial. Tahap ke-4. Uji fitokimia daging kelelawar dan daging ternak konvensional, serta bumbu masak, yang dilanjutkan dengan karakterisasi komponen aktif, khususnya pada daging kelelawar yang positif mengandung senyawa aktif yang intensitas warnanya sangat kuat dan ketersediaan daging di pasaran. Tahap ke-5. Uji penerimaan konsumen terhadap daging kelelawar olahan dibandingkan dengan daging olahan ternak konvensional serta ikan. Tahap ke-6. Uji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari yang disimpan selama 14 hari. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Kelelawar Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mamalia, ordo Chiroptera. Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163 spesies, dan subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan 814 spesies Corbet Hill 1992, Flannery 1995. Megachiroptera adalah kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari, dan Microchiroptera adalah kelawar yang kebanyakan memakan serangga dan hanya sebagian kecil yang pemakan buah dan nektar Yalden Morris 1975. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera, 133 spesies subordo Microchiroptera. Di Sulawesi, subordo Megachiroptera terdapat 11 genus, 22 spesies, yaitu Acerodon Jourdan, 1837; L.F.I yang terdiri atas 2 spesies, yaitu Acerodon celebensis Peters, 1867 dengan nama daerah kalong sulawesi yang tersebar di Sulawesi, dan Acerodon humilis K Andersen, 1909 dengan nama daerah kalong talaud yang tersebar di Pulau Karakelang dan Salibabu Kepulauan Talaud. Boneia Jentink, 1879 hanya 1 spesies, yaitu Boneia bidens, Jentink 1879 dengan nama daerah cecudu sulawesi yang hanya tersebar di Sulawesi. Chironax Andersen, 1912; L.F.2 hanya 1 spesies, yaitu Chironax melanocephalus Temminck, 1825 dengan nama daerah bakul kepala hitam yang tersebar di Thailand, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Pteropus Erxlebe, 1777 terdiri atas 5 spesies, yaitu Pteropus alecto Temminck, 1837 dengan nama daerah kalong hitam yang tersebar di Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Ambon, Papua Barat, Panua Niugini, dan Australia, Pteropus caniceps Gray, 1844 dengan nama daerah kalong morotai yang tersebar di Sulawesi dan Maluku, Pteropus griseus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah kalong kelabu yang tersebar di Filipina, Sulawesi, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Pteropus pumilus Miller, 1910 dan Pteropus speciosus Andersen, 1908 dengan nama daerah kalong laud yang tersebar di Filipina dan Kepulauan Talaud. Nyctimene Borkhausen, 1797 terdiri atas 2 spesies, yaitu Nyctimene cephalotes Pallas, 1767 dengan nama daerah paniki pallas yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua Niugini, dan Nyctimene minitus K Andersen, 1910 dengan nama daerah paniki sulawesi yang tersebar di Sulawesi, Pulau Buru, dan Maluku. Chynopterus F Cuvier, 1824 terdiri atas 2 spesies, yaitu Chynopterus luzoniensis Peters, 1861 dengan nama daerah codot sulawesi yang tersebar di Filipina dan Sulawesi, dan Chynopterus minutus Miller, 1906 dengan nama daerah codot mini yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Dobsonia Palmer, 1898 terdiri atas 3 spesies, yaitu Dobsonia exoleta K Andersen, 1909 dengan nama daerah kubu sulawesi tersebar hanya di Sulawesi, Dobsonia minor Dobson, 1879 dengan nama daerah kubu kecil tersebar di Sulawesi, dan Papua Barat, Dobsonia viridis Heude, 1896 dengan nama daerah kubu hijau tersebar di Sulawesi, dan Maluku. Neopteryx Hayman, 1946 hanya 1 spesies, yaitu Neopteryx frosti dengan nama daerah cocot gigi kecil tersebar hanya di Sulawesi. Thoopterus Matschie, 1899 hanya 1 spesies, yaitu Thoopterus nigrescens dengan nama daerah codot walet tersebar di Sulawesi dan Maluku. Macroglossus F Cuvier, 1824 hanya 1 spesies, yaitu Macroglossus minimus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah cecudu pisang kecil tersebar luas di Indonesia, kecuali Sumatera, Thailand, Papua Niugini, Indocina, Filipina, dan Australia. Rousettus Gray, 1821 terdiri atas 3 spesies, yaitu Rousettus amplexicaudatus E Geoffroy 1810 dengan nama daerah nyap biasa tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Kepulauan Bismarck, dan Solomon, Rousettus celebensis K Andersen, 1907 dengan nama daerah nyap sulawesi tersebar di Sulawesi dan Maluku Flannery 1995, Suyanto 2001, dan Rousettus linduensis tersebar di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah Maryanto Yani 2003 Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan yaitu, Microchiroptera menggunakan ekolokasi untuk orientasi saat terbang, memiliki mata yang kecil, memiliki tragus dan antitragus, yaitu bagian yang menyerupai tangkai yang terletak di dalam telinga, sedangkan Megachiroptera lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat dengan jelas, serta memiliki cakar pada jari kedua Flannery 1995, Suyanto 2001. Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar, seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata, telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis pakannya. Megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bisa mencapai bobot lebih dari 1500 g, dan moncong seperti anjing. Microchiroptera umumnya berukuran lebih kecil, ukuran paling kecil 2 g dan paling besar 196 g Suyanto 2001. Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan pada malam hari dan beristirahat di siang hari, dan mempunyai tempat tinggal yang sangat bervariasi, ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua, gulungan dedaunan dan celah-celah pada ruas bambu Hill Smith 1984. Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena perannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai penyerbukan bunga dan buah-buahan Bumrungisri et al. 2009, Dumont 2004, oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008, Afolabi et al. 2009, dan diyakini dapat menyembuhkan suatu penyakit Mohd-Azlan et al. 2001. Karakteristik Fisik-Kimia Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ, seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot, termasuk ke dalam definisi ini Lawrie 2003, Soeparno 2005. Karakteristik fisik dan kimia daging segar antara lain ditentukan oleh susut masak, daya mengikat air oleh protein daging, keempukan, dan pH Aberle et al. 2001. Susut masak atau cooking loss didefinisikan sebagai hilangnya cairan daging akibat pemasakan. Susut masak merupakan indikator nilai gizi yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot, dan besarnya nilai susut masak bervariasi antara 1.5-54 Aberle et al. 2001, Soeparno 2005. Daya mengikat air atau Water Holding Capacity WHC didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya selama aplikasi daya eksternal, seperti, pemotongan, pemanasan, dan pengepresan Aberle et al. 2001. pH atau derajat keasaman daging segar berkisar antara 5.5-6.4. pH akhir daging mencapai titik isoelektrik 5.2-5.4 apabila jumlah gugus reaktif dari protein otot yang dimuati secara positif dan negatif sama, sehingga gugus tersebut cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air Aberle et al. 2001. Keempukan merupakan salah satu faktor berhubungan dengan palatabilitas. Kesan keempukan mencakup tekstrur yang melibatkan aspek kemudahan awal menggigit, mudah dikunyah menjadi bagian kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan Lawrie 2003. Keempukan daging dapat diuji berdasar sensory test atau uji organoleptik yang dilakukan oleh uji panel Setyaningsih et al. 2010 Komposisi Kimia Daging Beberapa HewanTernak Kandungan zat gizi daging merupakan salah satu penentu kualitas daging. Secara umum susunan kimia daging terdiri atas air 65-80 , protein 16-22, lemak 1.5-13, dan zat terlarut bukan protein 2.3, dan selebihnya adalah vitamin Aberle et al. 2001. Air merupakan unsur utama daging dilihat secara kualitas, yang dapat mempengaruhi juiciness, keempukan, warna, dan citarasa daging. Kadar air dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, dan kadar lemak dalam daging. Karbohidrat dan substansi non protein dalam daging terdapat dalam bentuk glikogen dan glukosa. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air, kadar protein, dan kadar lemak, sehingga daging tanpa lemak secara relatif lebih banyak mengandung mineral Aberle et al. 2001. Kadar abu daging bervariasi antara 0.5-1.5 Soeparno 2005. Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa kolagen yang terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Di dalam otot, proporsi protein terbesar terdapat pada miofibril, yaitu lebih besar dari 50 dan sisanya dalam jumlah kecil berupa protein regulator Aberle et al. 2001. Protein terdiri atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino terdiri atas asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga perlu tersedia dalam bahan pangan. Asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh digolongkan sebagai asam amino nonesensial Murray et al. 2003. Lemak daging merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding karbohidrat dan protein. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin larut lemak dan memberi rasa enak pada makanan Aberle et al. 2001. Lemak triasil gliserol tersusun oleh gliserol dan asam lemak. Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang mempunyai atom karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak dapat dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh saturated fatty acid dan asam lemak tidak jenuh unsaturated fatty acid.Tingkat kejenuhan asam lemak dapat mempengaruhi penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya titik cair Lawrie 2003. Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan, seperti, kuning telur, daging, hati, dan otak. Kolesterol merupakan senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam keadaan normal untuk membentuk membran sel, sistem saraf pusat, dan vitamin. Kolesterol terdapat dalam darah bersama dengan trigliserida. Kolesterol berada dalam keadaan bebas ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh Wibraham Matta 1992. Keamanan Daging dan Produk Olahannya Di Indonesia, proses pengolahan daging sangat bervariasi, baik diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional pengolahan daging didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, dan pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan pangan yang diolah. Secara alami, rempah-rempah mengandung berbagai macam komponen aktif yang sangat besar perannya dalam penciptaan cita rasa suatu produk. Rempah-rempah telah terbukti memiliki senyawa antioksidan yang diperlukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Komponen bioaktif yang berdapat pada kemangi adalah steroidtritepenoid Hendarwati 2009 , pada sereh adalah sitral dan geraniol, cabai merah kapcaisin, hidrokapsaisin, vitamin A, vitamin C, zat warna kapsantin, serta karoten yang berkhasiat sebagai antirematik, dan peluruh kencing atau diuretik. Daun batang bawang mengandung komponen aktif, seperti flavonoid, saponin, dan steroid. Jahe memiliki komponen aktif, seperti zingiberen, curcumin, filandren, gingerol, dan shogaol yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, rematik, dan kekebalan tubuh. Kunyit memiliki komponen aktif kurkominoid dan komponon fenolik yang berfungsi sebagai antikolesterol dan penghilang rasa nyeri Winarti Nurdjana 2005. Rahayu 2000 melaporkan bahwa penggunaan bumbu masak dapat membantu bahan-bahan lainya dalam bahan makanan untuk menghambat sejumlah mikrob. Pemasakan daging merupakan langkah untuk mendapatkan makanan secara mikrobiologi lebih aman. UU Pangan No.7 tahun 1996 mendefinisikan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Batas cemaran mikrob daging, produk daging, dan daging hewan buruan mentah adalah angka lempeng total ALT 1 x 10 6 cfumL, Koliform 1x10 2 cfumL, Salmonella sp 1x10 1 cfumL, Staphylococcus Aureus 1x10 2 cfumL, Campylobacter sp negatif25 mL. Batas cemaran mikrob produk olahan daging, daging unggas, dan daging hewan buruan adalah ALT 30 ºC, 72 jam 1 x10 5 cfumL, Escherichia coli 3mL, Salmonella sp. negatif25 mL, S. Aureus 1x10 2 cfumL, Bacilus careus 1x10 2 cfumL BSN 2009. Metabolit Sekunder Pada dasarnya senyawa-senyawa pangan bagi berbagai kehidupan mempunyai peranan universal sama, yaitu sebagai bahan energi, sebagai bahan struktural, serta untuk fungsi-fungsi fisiologis. Senyawa-senyawa demikian mempunyai fungsi vital dan pola biosintesis maupun perombakannya dalam berbagai jenis kehidupan mengikuti tapak-tapak yang sama. Lintasan metabolismenya tergolong pada metabolisme primer. Berbagai senyawa bioorganik hewan, mikrob dan tumbuhan yang tidak berperan dalam proses metabolisme primer disebut metabolit sekunder. Metabolisme sekunder mengiringi metabolisme primer karena metabolisme primer menghasilkan metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder sangat berbeda antar spesies. Metabolit sekunder dapat juga dianggap sebagai hasil ekstraksi yang tidak berguna bagi kehidupan yang menghasilkannya. Metabolit sekunder pada hewan tidak selalu hasil sintesis dalam tubuh hewan itu sendiri, sering hal tersebut dihasilkan oleh pola dan kebiasaan makannya. Komponen aktif hasil metabolit sekunder pada hewan umumnya disimpan dalam jaringan khusus seperti alkoloid salamander kodok ditemukan dalam kelenjar kulit Moeljohardjo 1990. Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan antidegranulasi sel-sel mastosit. Handayani et al. 2008 melaporkan bahwa ekstrak metanol spon laut acanthodendrilla sp kosentrasi 25 µgmL sampai dengan 400µgmL dapat menghambat sel-sel mastosit yang diinduksi dengan antigen putih telur ayam ras konsentarsi 50 secara in vivo. Nurjanah et al. 2008 melaporkan bahwa ekstrak steroid dari teripang pasir dapat meningkatkan kadar testoteron pada mencit. Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, isoprene, terpena, dan steroid. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari fungi, tumbuhan dan hewan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan, tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan. Isoprena dihasilkan secara alamiah oleh tumbuhan dan hewan. Isoprena biasa juga dikandung dalam kadar rendah pada banyak bahan pangan. Terpena merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sejumlah hewan. Sebagai contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena. Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh tumbuhan. Kandungan minyak atsiri mempengaruhi penggunaan produk rempah- rempah, baik sebagai bumbu, sebagai wewangian, serta sebagai bahan pengobatan kesehatan Moeljohardjo 1990. Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas, sedangkan pada tanaman dalam keadaan glikosida. Pada sterol-sterol hewani, kebanyakan bertindak sebagai senyawa induk ialah lanosterol yang dalam tubuh hewan diubah menjadi sterol-sterol yang lain. Lanosterol ialah yang pertama diubah menjadi kolesterol melalui zimosterol. Kolesterol adalah intermediat penting dalam sintesis steroid baik pada hewan Murray et al. 2003. Beberapa steroid bersifat anabolik. Secara fisiologi, steroid anabolik dapat membuat seseorang menjadi agresif. Hormon steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu Johny et al. 2003. Saleh 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid clionesterol mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL kg bb mencit jantan. Pangan Fungsional Pangan menurut Badan Pengawasan Obat dan Minuman Republik Indonesia UU No. 7 1996, BPOM 2011 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah dan diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan, sedangkan pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak berbahaya dan bermanfaat bagi kesehatan. Suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah, dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini Gibson Williams 2000. IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan, sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara, kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri- ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah, Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah. Kata kunci : kelelawar pemakan buah, morfometri, identifikasi. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU The presence of bats is very important for human life, because of its role as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats. Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea, Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado, North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi. Keywords : fruit bats, morphometric, identification Pendahuluan Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera. Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili, yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies. Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta ecolocation Corbet Hill 1992. Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di Sulawesi, subordo megachiroptera Pteropodidae terdapat 11 genus dan 22 spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp. satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto Yani 2003. Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009, serta sebagai obat tradisional Mohd-Azlan et al. 2001. Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan Lee 2000b. Lee et al. 2005 melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis kelelawar yang dipasarkan adalah P. alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per hari. Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. 2006 melaporkan bahwa diduga ada 24 kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A. humilis IUCN Redlist 2012. Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi morfomeri kelelawar. Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat. Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan ciri- ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu 1 Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; 2 Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1° 06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; 3 Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso; 4 Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Bawah, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, di titik ordinat 01°59᾿15,6”S, 121°08’48,8” E; 5 Hutan mangrove Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, di titik ordinat 02°40᾿56.0”S, 122°00’26,1” E; 6 Hutan Tapa, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo di titik ordinat 00°41᾿55.0”S, 122°51’00.0”E. Pertimbangan melaksanakan penelitian di enam lokasi ini ialah hasil survei lapangan bahwa tempat-tempat ini merupakan jalur perdagangan dan perburuan kelelawar. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa semua lokasi penelitian terletak di jalur trans-Sulawesi. Penelitian dilaksanakan selama 6 enam bulan, yaitu bulan April hingga Oktober 2011. Bahan dan Alat Penelitian Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS Global Position System, jangka sorong, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan, kamera, alkohol, kloroform, formalin, kapas, tofles, dan beberapa spesies kelelawar pemakan buah. Metode Penelitian Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara langsung pada saat bulan baru di tiap-tiap lokasi. Teknik penangkapan dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan jaring kabut yang dipasangkan di dekat gua dan tempat yang diduga dilalui kelelawar pada waktu malam dan menggunakan kail nomor 12 yang dipasang di sekitar pohon tempat kelelawar tidur pada waktu malam. Cara pertama dilakukan untuk jenis Dobsonia sp, Nyctimene sp, Rousettus sp, Thoopterus sp, sedangkan cara kedua untuk jenis P. alecto dan A. celebensis. Kelelawar yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kandang untuk diidentifikasi. Identifikasi kelelawar dilakukan dengan cara pengambilan gambar pada kelelawar hidup, pengukuran bagian-bagian tubuh, termasuk tengkorak, serta struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar Suyanto 2001. Untuk menindaklanjuti hasil identifikasi dengan pengukuran karakter morfometri, beberapa spesimen kelelawar dibawa ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong untuk dicocokkan dengan spesimen kelelawar yang ada di labaratorium tersebut. Sebelum dibawa ke laboratorium, kelelawar terlebih dahulu difiksasi dengan formalin 4-8 netral selama 12 jam. Identifikasi kelelawar pemakan buah didasarkan pada ciri-ciri fisik, ukuran tubuh, ukuran tengkorak, dan struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar. Karakter yang diamati adalah cici-ciri fisik tubuh, struktur gigi, ukuran tubuh, dan tengkorak. Peubah yang diukur untuk ukuran tubuh dan tengkorak adalah panjang ekor, yang diukur dari panjang pangkal ekor sampai ujung ekor. Panjang kaki belakang diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Panjang telinga diukur dari pangkal telinga sampai ujung telinga terjauh. Panjang betis diukur dari lutut sampai pergelangan kaki. Panjang lengan bawah sayap diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang melengkung. Panjang tengkorak total diukur dari titik paling belakang pada tengkorak belakang sampai ke titik terdepan pada rahang atas. Panjang tengkorak conylobasal diukur pada titik condylus occipytalus yang paling belakang sampai titik terdepan pada rahang atas di antara gigi seri pertama kanan dan kiri. Panjang tengkorak condylocaninus diukur dari titik pada condylus occipitalis yang paling belakang sampai titik terjauh pada taring. Lebar tulang pipi adalah jarak terlebar antara tulang pipih kanan dan kiri Suyanto 2001, Maharadatunkamsi Maryanto 2002. Tingkat ketelitian pengukuran tubuh dan tengkorak adalah 1 milimeter dan untuk bobot badan adalah 1 g. Sebelum dilakukan pengukuran tengkorak dan gigi, bagian kepala dan bagian daging dikeluarkan dengan cara direbus terlebih dahulu. Analisis Data Metode deskriptif dengan tabel dan narasi digunakan untuk menjelaskan data ciri-ciri fisik tubuh, ukuran tubuh, dan tengkorak. Selain itu analisis dilakukan untuk melihat struktur komunitas kelelawar berdasarkan tingkat kelimpahan jenis. Kesamaan suatu spesies ditentukan berdasarkan karakter morfometri dan kelimpahan jenis pada setiap lokasi penelitian, menggunakan analisis kluster berupa dendogram. Hasil dan Pembahasan Jenis-Jenis Kelelawar Jenis-jenis kelelawar pemakan buah beserta jumlah individu yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1. Kesepuluh jenis kelelawar yang ditemukan, tujuh jenis dapat diidentifikasi sampai spesies berdasarkan ciri fisik, ukuran tubuh, tengkorak, dan stuktur gigi, dan tiga jenis hanya sampai pada genus karena mempunyai ciri fisik yang berbeda, yaitu Pteropus sp, Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Tiga spesies merupakan endemik Sulawesi, yaitu A. celebensis, D. exoleta, N. cephalotes, empat spesies, yaitu R. celebensis dan T. nigrescens tersebar di Sulawesi dan Maluku, P. alecto tersebar di Sulawesi, Maluku, Ambon, Nusa Tenggara, Papua Barat, Papua Nuigini, dan Australia, serta R. amplexicaudatus tersebar di Indonesia, Malaysia Timur, Filipina, dan Asia Tenggara Flannery 1995. Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Berdasarkan pada lokasi penangkapan, jenis kelelawar yang paling banyak ditemukan 6 jenis dengan jumlah individu 64 ekor terdapat di Desa Pukuure, di Lumaya dua spesies dengan jumlah individu 50 ekor, di Kolono dua jenis dengan jumlah individu 42 ekor, di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Peonea masing- masing satu jenis dengan jumlah individu masing-masing 32 ekor, 9 ekor, dan 26 ekor. Analisis cluster mengelompokkan keenam lokasi dalam empat kelompok lokasi dengan tingkat kesamaan 78.01 Gambar 1. Keempat kelompok lokasi itu terdiri atas kelompok 1, yaitu Pasar Bersehati dan Matialemba, kelompok 2, Jenis Kelelawar A B C D E F Total A. celebensis 29 28 57 D. exoleta 4 4 N. cephalotes 12 12 P. alecto 32 9 14 55 Pteropus sp. 21 21 R. amplexicaudatus 7 16 23 R. celebensis 2 2 T. nigrescens 15 15 Thoopterus sp.1 11 11 Thoopterus sp.2 13 13 Total 32 64 50 9 16 42 213 IndividuLokasi yaitu Lamaya dan Kolono, kelompok 3, yaitu Pakuure, dan kelompok empat, yaitu Peonea. Hal ini berarti bahwa kehadiran jenis dan kelimpahan kelelawar dari masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh kondisi habitat. Secara umum, kondisi keenam lokasi hampir sama karena memiliki hutan primer dan hutan sekunder dengan struktur vegetasi yang beragam, yang merupakan tempat kelelawar bertengger dan mencari makan. Demikian pula keadaan bentang alam dengan ketersediaan berbagai sumber air menyebabkan kelembapan tanahnya tinggi sehingga sangat baik untuk habitat satwa.Walaupun demikian, lokasi Pakuure dan Peonea berdiri sendiri. A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Gambar 1 Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya, Matialemba, Peonea, dan Kolono. Perbedaan ini karena di Pakuure, selain memiliki hutan primer dan hutan sekunder, juga memiliki perkebunan rakyat yang di dalamnya terdapat jenis buah- buahan, seperti pisang, pepaya, duren, mangga, dan rambutan sebagai sumber pakan. Sebaliknya, di Peonea, walaupun lokasi habitat kelelawar berada di hutan lindung, kehadiran kelelawar di hutan hanya untuk mencari makan, sedangkan tempat bertengger dan tidur berada di gua yang terletak di dalam hutan, dan kehadiran kelelawar di dalam gua membentuk koloni dengan spesies yang sama. Selain itu, juga terdapat perkebunan rakyat berupa perkebunan cokelat, jeruk, dan pepaya yang merupakan sumber pakan. Berdasarkan struktur gigi, ukuran lengan bawah sayap, dan panjang telinga Pteropus sp dapat digolongkan ke dalam P. alecto, namun berdasarkan warna tubuh masih diragukan, karena Pteropus sp memiliki warna kuning kecokelatan di daerah leher, sebagian punggung dan kepala yang berwarna B E F C D A 34.04 56.02 78.01 100.00 Lokasi Ti ng ka t K es am aa n Kelompok Lokasi kontras dengan warna bagian tubuh yang hitam, sedangkan P. alecto berwarna hitam pada seluruh tubuh Gambar 2. Gambar 2 Perbedaan warna Pteropus sp a dan P. alecto b pada bagian leher dan punggung. Analisis cluster yang didasarkan pada ukuran tubuh dan ukuran tengkorak Gambar 3 menunjukkan bahwa Pteropus sp yang berasal dari Lamaya mempunyai tingkat kesamaan yang mencapai 99.54 dan 99.95 dengan P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM: P.alecto Matialemba, PaK: P.alecto Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM: P.alecto Matialemba, PaK:P.alecto Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. Gambar 3 Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. PaL PaK PaM PaB 99.54 99.70 99.85 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran Tubuh PaK PaL PaM PaB 99.95 99.97 99.98 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran tengkorak a b Melihat tingkat kesamaan yang besar berdasarkan ukuran badan dan tengkorak maka Pteropus sp yang berasal dari Lamaya dapat dikelompokkan bersama P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. Dua jenis Thoopterus sp tidak digolongkan bersama dengan T. nigrescens karena T. nigrescens berwarna cokelat kemerahan dan abu yang menyebar pada seluruh tubuh. Thoopterus sp 2 memiliki warna abu-abu, dan Thoopterus sp 1 memiliki warna cokelat pada bagian leher belakang sampai ekor, sedangkan pada kepala, perut, dan lengan berwarna abu-abu Gambar 4. Gambar 4 Perbedaan T. nigrescens a, Thoopterus sp 1 b dan Thoopterus sp 2 c berdasarkan warna tubuh. Analisis cluster dari ketiga jenis kelelawar Thoopterus yang didasarkan pada tengkorak dan ukuran tubuh Gambar 5 menunjukkan tingkat kesamaan a.belakang b. belakang c. belakang a. muka b. muka c. muka yang mencapai 99.91 dan 99.02. Oleh karena itu, Thoopterus sp dapat dikelompokkan dengan T. nigrescens. TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2:Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus. TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2 :Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus. Gambar 5 Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure. Spesies dari jenis Pteropus sp dan Thoopterus sp ini dipastikan dengan membawa contoh ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong Jl. Raya Jakarta- Bogor KM 46 Cibinong untuk dibandingkan dengan spesimen utama yang dipakai sebagai acuan pemberian nama spesies Holotype, namun holotype tidak tersedia. Karekteristik A. celebensis Berdasarkan identifikasi morfometri diketahui bahwa genus Acerodon yang diperoleh dalam penelitian adalah A. celebensis. Flannery 1995, Suyanto 2001 melaporkan bahwa genus Acerodon di Indonesia ada tiga jenis, yaitu A. mackloti di Nusatenggara, serta A. celebensis, dan A. humilis di Sulawesi. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, dan kisaran parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 1. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot badan A. celebensis dari Desa Lamaya Gorontalo lebih kecil 56.11 g dibandingkan dengan yang berasal dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Perbedaan bobot badan maksimum dan minimum dari Gorontalo 94.9 g, sedangkan dari Kolono 286 g. Perbedaan ini menggambarkan bobot badan A. celebensis dari Lamaya Gorontalo tidak banyak bervariasi, dibandingkan dengan A. celebensis dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah polulasi di Lamaya mulai TnP2 TnP1 TnP 99.91 99.94 99.97 100.00 Jenis kelelawar T in g k at k es am aa n Ukuran tubuh TnP1 TnP2 TnP 99.02 99.35 99.67 100.00 Jenis kelelawar T in g k at k es am aa n Ukuran tengkorak mengalami penurunan yang disebabkan oleh perburuan yang tidak terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penangkap dan penjual di lokasi penelitian diketahui bahwa penangkapan kelelawar di Lamaya dilakukan setiap hari, dan hasil penangkapan ada yang langsung dipasarkan, ada juga yang dikumpulkan ke penampung dan setiap minggunya dipasarkan ke lokasi pemasaran, seperti Minahasa dan Manado. Sebaliknya, di Kolono, penangkapan kelelawar dilakukan sesuai dengan pesanan, dan setiap dua minggu diambil oleh pengumpul di lokasi penangkapan. Selain itu, aktivitas masyarakat untuk pemburuan masih kurang. bb : bobot badan, pb : panjang badan, plb: panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb,plb,pbt,pk dan pt =milimeter ptt : panjang tengkorak, cbl : panjang tengkorak condylobasal, ccs : panjang tengkorak condylocaninus, ra : panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm : lebar baris gigi molar Gambar 6 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono. Rataan lengan bawah sayap, betis, telinga, dan tengkorak total A. celebensis dari Gorontalo lebih pendek dibandingkan A. celebensis dari Sulawesi Tengah, namun parameter ini sesuai ukuran yang dilaporkan Flannery 1995, yaitu A. celebensis bobot badan 250-500 g mempunyai panjang lengan bawah sayap 120.5-144.3 mm, telinga 28.8-31.1 mm, dan panjang betis 50.2-54.3 mm, serta tengkorak total 62.5-64.9 mm Suyanto 2001. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya. Karakteristik fisik A. celebensis yang teridentifikasi adalah memiliki cakar pada jari kedua, tidak ada ekor, warna tubuh cokelat kekuningan, sayap cokelat dan pada jari sayap kedua dan tiga berwarna kuning muda Gambar 7. Rumus bb pb plb pbt pk pt Lamaya 354.14 213.29 136.86 59.29

50.71 31.86

Kolono 410.25 213.27 140.77

59.42 53.46

31.54 50

100 150 200 250 300 350 400 450 S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm Lamaya 59.29 52.00 47.29 25.00 34.86 19.86 15.14 12.86 8.29 Kolono 62.88 55.58 49.38 24.85 36.08 20.19 15.50 13.73 8.65 10 20 30 40 50 60 70 Satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak gigi I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. P 1 umumnya tanggal, di tengah permukaan kunyah geraham bawah P 4 M 1 M 2 mempunyai tonjolan yang memanjang, dan ada tonjolan sebelah depan geraham atas P 4 M 1 . Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, walaupun tidak dapat ditentukan umurnya yang tepat. Beberapa ekor ditemukan bunting 17.64 untuk A. celebensis dari Kolono, dan 25 dari Lamaya. Gambar 7 Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan a, dan warna sayap cokelat tua b. Persentase betina yang tertangkap adalah 65.38 dan jantan 34.64 untuk A. celebensis dari Kolono, sedangkan A. celebensis dari Lamaya adalah betina 57.14 dan jantan 42.86. Ini berarti, sebagian besar yang tertangkap adalah betina produktif yang mengindikasikan bahwa suatu waktu populasi spesies ini akan terancam apabila pemburuan tidak terkendali. Karakteristik N. cephalotes Di Sulawesi, genus Nyctimene terdapat dua jenis, yaitu N. cephalotes dan N. minitus. Ciri yang membedakan kedua spesies ini adalah garis cokelat di tengah punggung, panjang tengkorak total, kaki belakang, lengan bawah sayap, dan betis, serta garis cokelat di tengah punggung Flannery 1995, Suyanto 2001. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Pakuure adalah N. cephalotes. Rataan, simpangan baku, dan jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 2. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot badan N. cephalotes yang terjaring lebih tinggi 9.40 g dan perbedaan a b variasi bobot 16.9 g dari rataan bobot badan N. cephalotes yang berasal dari pulau Sanana. Flannery 1995 melaporkan bahwa rataan bobot badan jantan dan betina adalah 43.2 g dengan variasi bobot antara 40-47 g, dan ukuran lengan bawah sayap, betis dan telinga N. cephalotes jantan asal Sanana, Pulau Maluku secara berurutan adalah 64.7, 25.5, dan 14.6 mm, sedangkan betina adalah 65.3, 6.3, dan 14.6 mm. Lebih besarnya bobot badan N. cephalotes pada penelitian ini mungkin disebabkan karena lokasi dan ketersediaan pakan yang memenuhi kebutuhan disertai aktivitas perburuan yang jarang dilakukan. bb:bobot badan, pb:panjang sayap, plb : panjang lengan bawah, pb:panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 8 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak N. cephalotes di Pakuure. Ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang terjaring sama dengan ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang dilaporkan Suyanto 2001, namun kaki dan telinga lebih panjang masing-masing 1.40 mm dan 0.30 mm. Panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal sama dengan panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Kitchener et al. 1993. Kesamaan ukuran panjang lengan bawah sayap, kaki, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan paremeter untuk identifikasi N. cephalotes karena paremeter ini tidak akan berubah apabila kelelawar sudah dewasa. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.

52.60 509.80

69.30 27.00

19.60 16.80

100 200 300 400 500 600 bb ps plb pbt pk pt S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh

32.00 28.00

25.57 10.14

22.57 10.29

6.00 3.29

6.00 5

10 15 20 25 30 35 40 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak Rumus gigi kelelawar ini adalah I 1 CP 1 P 3 P 4 M 1 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 . . Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, bahkan sudah ada yang aus dan tanggal. Karakteristik fisik lain N. cephalotes yang teridentifikasi adalah memiliki ekor, hidung berbentuk tabung, ada bercak kuning pada sayap, hidung, dan telinga. Warna seluruh tubuh cokelat kehijauan, ada garis cokelat dan sempit di tengah punggung Gambar 9. Gambar 9 Warna tubuh dan bercak kuning pada sayap a, garis cokelat di tengah puggung b, ekor dan bentuk hidung c N. cephalotes. Persentase betina yang tertangkap adalah 40 dan jantan 60. Ini berarti bahwa jantan dan betina pada habitatnya seimbang yang mengindikasikan bahwa spesies ini pada habitatnya dapat bertahan dan dapat memperbanyak diri sehingga tidak diragukan terancam pada suatu waktu tertentu. Karakteristik P. alecto Di Indonesia, genus Pteropus ada 20 spesies dan di Sulawesi ada lima spesies, yaitu P. alecto, P. caniceps, P. griseus, P. pumilis dan P. speciosus Suyanto 2001. Ciri yang membedakan spesies adalah basal ledge posterior, warna tubuh, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga, dan bulu pada betis. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa marga Pteropus yang ditemukan di empat lokasi adalah P. alecto. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 3. Variasi pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 10. Bobot badan P. alecto dari Pasar Bersehati hampir seragam dengan selisih bobot badan maksimum dan minimum 95 g, sedangkan P. alecto asal Lamaya, Matialemba dan Kolono bervariasi dengan selisih bobot maksimum dan minimum masing-masing 277.4 g, 247 g, dan 470 g. Variasi bobot badan paling kecil adalah a b c pada P. alecto asal Pasar Bersehati. Hal ini disebabkan karena P. alecto tidak diambil dari habitat asalnya, tetapi diambil dari pasar yang merupakan pusat penjualan kelelawar di Kota Manado sehingga sudah dipilih dan dikelompokkan berdasarkan bobot badan. Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penjual kelelawar diperoleh informasi bahwa kelelawar yang dipasarkan berasal dari Pulau Sangihe dan Talaud, walaupun ada juga yang berasal dari Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. bb:bobot badan, pb:panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt = milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra:panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm :lebar baris gigi molar Gambar 10 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati PaB, Lamaya PaL, Matialemba PaM, dan Kolono PaK. Variasi bobot badan paling besar adalah pada P. alecto asal Kolono, diikuti Matilemba dan Lamaya. Hal ini karena lokasi habitat hutan primer di ketiga lokasi dan hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono masih baik, selain itu budaya masyakarat yang tidak mengkonsumsi daging dan lokasi pemasaran yang cukup jauh juga ikut menentukan kurangnya aktivitas masyarakat untuk memburu kelelawar. Berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkapan kelelawar di Kolono diperoleh informasi bahwa jumlah penangkap kelelawar di Kolono ada dua orang. Kelelawar yang diburu dikumpulkan dan dipasarkan di daerah sekitar Motibawah Kecamatan Beteleme, Kabupaten Morowali, Makasar dan Manado setiap dua minggu oleh pengumpul. Hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkap dan pengumpul di Lamaya, Gorontalo diperoleh informasi pada musim buah, setiap minggu kelelawar bb pb plb pbt pk pt PaB 508,89 231,33 154,67 73,93 59,33 32,53 PaL 535,66 247,14 166,43 75,71 57,86 32,14 PaM 679,00 262,78 166,11 77,22 61,33 32,22 PaK 545,86 236,79 159,29 74,29 59,29 32,00 100 200 300 400 500 600 700 800 S a t ua n Variabel pengukuran Ukuran Tubuh 20 40 60 80 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm PaB 69.60 59.60 54.33 28.20 38.27 19.13 14.13 15.27 8.00 PaL 69.29 59.86 54.86 27.71 35.29 20.14 16.86 16.14 8.43 PaM 70.56 61.67 56.67 29.56 39.44 22.00 15.00 16.33 8.00 PaK 70.14 60.07 54.64 27.43 37.29 20.07 16.86 16.21 8.93 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak ditangkap dan dikumpulkan untuk dipasarkan di daerah Minahasa dan Manado, sedangkan pada musim buah-buahan tidak berbuah aktivitas penangkapan berkurang karena populasi kelelawar berkurang atau berpindah tempat. Hasil wawancara di Pasar Bersehati diperoleh informasi bahwa kelelawar yang berasal dari Pulau Mantehage hanya di bawa ke Manado pada waktu tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat di Sulawesi Tengah masih lebih baik dibanding habitat asal P. alecto yang diambil di Pasar Bersehati dan Habitat di Lamaya Gorontalo. Rataan ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total dari ke empat lokasi variasinya sama dengan yang dilaporkan oleh Flannery 1995 dan Suyanto 2001. Hal ini berarti bahwa ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total merupakan parameter penentu dalam identifikasi P. alecto. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya. Karakteristik fisik lain P. alecto yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna hitam, sayap berwarna cokelat tua, dan rigi palatum 5+5+3 Gambar 11. Gambar 11 Warna seluruh tubuh, sayap, dan rigi palatum P. alecto. Rumus gigi marga Pteropus adalah I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi permanen sudah tumbuh semuanya, bahkan ada beberapa gigi geraham belakang yang sudah tanggal. Hampir semua P. alecto betina belum pernah beranak. Persentase betina dan jantan yang tertangkap adalah 33.33 dan 66.67 untuk P. alecto asal Pasar Bersehati, Matialemba dan Kolono sama yaitu 21.43 dan 78.57, dan Lamaya 57.15 dan 42.85, Tubuh Sayap Rigi palatum dengan persentase kebuntingan 28.57, dan persentase kebuntingan dari Kolono 21.43. Ini berarti jumlah kelelawar jantan yang tertangkap di keempat lokasi lebih tinggi daripada kelelawar betina. Walaupun jantan lebih banyak yang tertangkap dibanding betina, betina yang tertangkap adalah betina produktif. Lebih banyaknya jantan yang tertangkap mungkin disebabkan karena populasi jantan lebih besar daripada betina. Ini mungkin karena jantan lebih banyak yang dilahirkan daripada betina. Hasil pengamatan langsung pada P. alecto yang dikandangkan, dari tujuh ekor yang bunting semua melahirkan anak jantan. Karakteristik R. amplexicaudatus Di Indonesia genus Rousettus terdiri atas empat jenis, yaitu R. amplexicaudatus, R. celebensis, R. spinalatus dan R. leschenauli, sedangkan di Sulawesi dan Maluku marga ini hanya terdapat satu jenis, yaitu R. celebensis. Ciri yang membedakan spesies ini adalah ada tidaknya perlekatan sayap di tengah punggung, ukuran lengan bawah sayap, dan banyaknya bulu Flannery 1995, Suyanto 2001. Maryanto Yani 2003 melaporkan bahwa di Sulawesi ada satu spesies baru, yaitu R. linduensis. Ciri-ciri Rousettus sp adalah moncong panjang, lidah panjang, gigi seri belah ujungnya kanan kiri, lengan bawah sayap 69-99 mm, mempunyai cakar pada jari kedua serta rumus gigi I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. P 1 mengecil seukuran gigi seri, geraham belakang nomor satu lebih pendek dari pada nomor tiga dan empat. Berdasarkan parameter tersebut di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Peonea adalah R. amplexicaudatus. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 4. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 12. Rataan bobot badan R. amplexicaudatus adalah 104.24 g dengan variasi berkisar dari 58.5-149.6 g. Rataan bobot badan ini lebih tinggi 27-87. 2 g dibandingkan dengan rataan bobot badan dari R. amplexicaudatus yang dilaporkan Flannery 1995 bahwa rataan bobot badan R. amplexicaudatus di New Ireland adalah 101.5 g dengan kisaran 98-105 g. Besarnya bobot badan dan variasi bobot badan R. amplexicaudatus di Peonea mengindikasikan struktur populasi yang seimbang, dan habitat gua batu yang menyusuri sungai sepanjang tiga kilometer di tengah hutan lindung Saluwaidei, yang ditunjang dengan aneka pohon dan buah-buahan yang tumbuh sebagai sumber pakan yang cocok bagi kehidupan kelelawar. bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb :panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 12 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea. Selain itu, aktivitas penangkapan masyarakat di sekitar hutan lindung jarang dilakukan. Flannery 1995 melaporkan bahwa panjang lengan bawah sayap, ekor, dan telinga R. amplexicaudatus jantan asal New Ireland adalah 74.9 73.2-77.2 mm, 18,7 17.6-20.6 mm dan 15.7 14.4-17 mm, dan betina adalah 70.3 66.8-74 mm, 16 14.8-15.2 mm dan 16 14-18.3 mm. Bergman Rozendaal 1988 melaporkan beberapa ukuran tubuh dan tengkorak dari R. amplexicaudatus dari Sulawesi adalah, panjang lengan bawah sayap 81.55 77.3- 85.6 mm, panjang tengkorak total 36.85 35.2-38.5 mm, tengkorak condylobasal 35.4 34.2-37.2 mm dan lebar tulang pipi 22.3 20.7-23.3 mm. Ukuran maksimum dan minimum lengan bawah sayap R. amplexicaudatus di Peonea lebih tinggi 4-33 mm dan panjang telinga lebih tinggi 2-5 mm dari ukuran panjang ekor dan telinga R. amplexicaudatus yang dilaporkan oleh Flannery 1995, sedangkan ukuran maksimun dan minimum panjang ekor sama. Ukuran maksimum dan minimum tengkorak total lebih tinggi 1.8-9.5 mm dan tengkorak condylobasal lebih tinggi 0.8-4.8 mm dari ukuran maksimum dan minimum tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Bergmans Rozendaal 1988. Hal ini mengindikasikan bahwa panjang ekor merupakan 104.24 133.56

87.63 45.56

30.25 20.44

20 40 60 80 100 120 140 160 bb pb plb pbt pk pt S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh

42.69 37.94

33.75 14.81

23.13 12.88 11.25

10.06 5.13

5 10 15 20 25 30 35 40 45 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak parameter yang tidak mengikuti bobot badan, sedangkan ukuran lengan bawah sayap, telinga, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal mengikuti bobot badan sehingga panjang lengan dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan parameter dalam mengidentifikasi spesies ini. Karakteristik fisik lain yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna cokelat abu-abu dan bulu yang tidak lebat dan pendek Gambar 13. Persentase jantan dan betina yang tertangkap adalah 75 dan 25. Gambar 13 R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea. Karakteristik T. nigrescens Marga ini hanya satu jenis, yaitu codot walet T. nigrencens yang penyebarannya terbatas di Sangihe, Sulawesi Utara, Morotai, dan Mangole . Ciri- cirinya moncong perdek, warna keabuan dan cokelat pada daerah punggung dan bahu Flannery 1995. Rumus giginya adalah I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4. M 1 M 2. P 4 dan M 1 sangat lebar dibandingkan gigi lainnya. M 2 kecil hampir sama dengan P 1 , I 2 lebih pendek daripada I Suyanto 2001. Berdasarkan rumus gigi, bentuk kepala, dan bentuk moncong maka jenis yang ditemukan adalah T. nigrescens. Namun, berdasarkan bobot badan, ukuran lengan bawah sayap, betis, dan warna bulu, ditemukan kemungkinan dua jenis berbeda yang dapat digolongkan sebagai marga Thoopterus sp, yaitu Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Data rataan, simpangan baku, jumlah sampel, parameter ukuran tubuh, dan tengkorak hasil pengukuran ketiga jenis ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 14. Rataan bobot badan T. nigrescens hasil penelitian ini lebih rendah 8,81 g dan ukuran betis lebih tinggi 1,43 mm dari kisaran T. nigrescens asal Morotai yang dilaporkan Flannery 1995. Rataan bobot badan, lengan bawah sayap, betis, panjang tengkorak total, dan tengkorak condylobasal Thoopterus sp 1 dan Thoopterus sp 2 lebih rendah dari T. nigrescens yang ditemukan di lokasi penelitian dan T. nigrescens asal Mangole yang dilaporkan Flannery 1995, yaitu T. nigrescens mempunyai panjang tubuh 107-109 mm, lengan bawah sayap 71.2- 72.3 mm, panjang betis 28.7 mm, telinga 16.6-16.8 mm, dan bobot badan 62-88 g untuk jantan dan panjang tubuh 94.1-106.7 mm, lengan bawah sayap 70.4-73.9 mm, panjang betis 27.4-31 mm, telinga 14.1-16.7 mm, dan bobot badan 52-60 g untuk betina. Bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs: panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g: lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 14 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens TnP Thoopterus sp 1 TnP 1, dan Thoopterus sp 2 TnP 2 di Pakuure. Dari rumus gigi diketahui bahwa T. nigrescens yang tertangkap sebanyak 13 ekor 84.62 sudah dewasa, dan dua ekor 15.38 masih muda. Dengan jumlah jantan yang terjaring lebih rendah dari betina dengan persentase 46.15: 53.85, demikian juga Thoopterus sp 1 dengan persentase jantan 27:73. Sebaliknya, untuk jenis Thoopterus sp 2 jumlah jantan yang terjaring lebih tinggi daripada betina dengan persentase 90.90:0.90. Dilihat dari perbandingan jantan dan betina yang terjaring, maka pada kondisi habitat yang tidak menunjang kehidupan kelelawar ada kemungkinan suatu waktu akan terjadi penurunan populasi dan perubahan struktur populasi apabila perburuan terus dilakukan. bb ps plb pbt pk pt TnP 83.65 553.15 75.92

30.15 25.31

17.00 TnP1 51.59

467.67 66.00

27.53 20.53

15.47 TnP2 24.42

379.09 53.82

20.09 14.64

15.91 100

200 300 400 500 600 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm TnP 37.88 34.00 30.88 13.75 23.25 13.25 8.13 0.00 8.13 TnP1 33.60 29.67 28.27 16.73 16.80 10.87 7.13 2.47 6.67 TnP2 29.00 25.88 24.38 10.88 18.75 10.25 6.38 2.00 5.50 5 10 15 20 25 30 35 40 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak Simpulan Berdasarkan susunan gigi, ukuran tengkorak dan ukuran tubuh maka jenis kelelawar pemakan buah yang ditemukan ada lima spesies yang terdiri atas 1. A. celebensis dapat ditemukan di Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Lumaya Gorontalo dan Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 2. N. cephalotes, dan 3. T. nigrescens dapat ditemukan di Perkebunan Rakyat Toori sekitar hutan Gunung Lolombulan Kecamatan Tenga, Kabupaten Manahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, 4. R. amplexicaudatus dapat ditemukan di gua batu hutan lindung Saluwadei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 5. P. alecto dapat ditemukan di Pasar Bersehati, Kota Manado, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo dan Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, dan Hutan mongrove di pesisir pantai Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Saran Perlu dilakukan penelitian molekuler untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar di setiap lokasi. Penelitian tentang populasi dan habitat kelelawar perlu dilakukan untuk mengetahui status populasi dan habitat kelelawar pemakan buah yang tersebar di Sulawesi. Daftar Pustaka Afolabi OO et al. 2009. Determination of major mineral in bats Chiropterans disambiguation. Continent J Food Sci Technol 3:14-18. Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island Mamalia, Megachiroptera. Zool Verhandlugen 248:1-14. Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian Durio zibethinus, Bombacae in southern Thailand. J Trop Ecol 25:85-92. Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers long they become rare. Ecologi 872:271-276. Corbet GB, Hill JE. 1992.The Mammals of the Indomalayan Region: A Systematic Review. Oxford : Oxford University Press. Dumont ER, Onell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats Pteropodidae. J mammal 85 1: 8-14. Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific Moluccan Islands. Sydney : Australian Museum Reed Book. Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats Chiroptera: pteropodidae as seed dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic 344:491-503 Jenkins RKB, Racey PA. 2008. Bats as bustmeat in Madagascar. Madagascar Conserv Develop 3 1:22-30. Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene Chiroptera : Pteropodidae from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417. Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv 131:584-593. Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop Biodivers 6:145-162. Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488. Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record. Treubia 321:63-85. Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus Chiroptera : Pteropodidae from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111- 120. Mickleburgh S, Waylen K, Racey P. 2008. Bat as bushmeat: a global review. Oryx 433:217-234. Mohd-Azlan J, Zubaid A, Kunz TH. 2001. The distribution, relative abundance, and conservation status of the large flying fox, Pteropus vampyrus, in Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropt 3:149-162. Riley J. 2002. Mammal survey on the Sangihe and Talaud Island, Indonesia and the impact of hunting and habitat loss. Oryx 36:288-296 Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Wiles GJ, Engbring J, Otobed D, 1997. Abudance, biology, and human exploitation of bat in the Pulau Islands. J Zool 241 :203-227 PRODUKSI KARKAS DAN DAGING KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Produksi Karkas dan Daging Kelelawar Pemakan Buah. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah pada bulan Maret sampai Oktober 2011. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui potensi kelelawar pemakan buah sebagai sumber daging. Materi yang digunakan adalah enam jenis kelelawar, yaitu Acerodon celebensis, Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, dan Thoopterus sp.Variabel yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot daging, bobot lemak, dan kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi karkas Acerodon celebensis di dua lokasi adalah 51.9-56.04 dan produksi daging 54,81-56.92. Produksi karkas Pteropus alecto tertinggi dan terendah di empat lokasi adalah 54.49-56.55 dan produksi daging 45.37- 54.03. Produksi karkas Nyctimene cephalotes adalah 61.58 dan produksi daging 50.27. Produksi karkas Rousettus amplexicaudatus 55.65 dan produksi daging 51.67. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29- 64.07 dan produksi daging 51.41-51.86. Kata kunci : produksi karkas, daging, kelelawar pemakan buah. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Carcass and Meat Production of Fruit Bats in Celebes. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU The research was conducted in North Sulawesi, Gorontalo, and Central Sulawesi in March until October 2011. The purpose of this study was to determine the potential of fruit bats as a source of meat. The materials used were six species of bats, namely Acerodon celebensis, Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, Rousettus amplexicaudatus, and Thoopterus sp. Variables measured were body weight, carcass weight, non carcass weight, the bone weight, meat weight, fat weight, and skin weight. The results showed that the production of Acerodon celebensis carcasses at two sites was 51.9-56.04, meat production was 54,81- 56.92. The lowest and the highest Pteropus Alecto carcass production in four locations were 54.49-56.55, meat production were 45.37-54.03. Carcass production of Nyctimene cephalotes was 61.58, meat production was 50.27. Production of Rousettus amplexicaudatus carcass was 55.65, meat production was 51.61. Carcass production of both genera Thoopterus sp ranged from 49.29 to 64.07, meat production ranged from 51.41 to51.86. Keywords : carcasses production, meat, fruit bats. Pendahuluan Hasil identifikasi berdasarkan morfometri, diperoleh 5 spesies kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi di Sulawesi Utara, yaitu P. alecto, A. celebensis, N. cephalotes, R. amplexicaudattus, dan T. nigrescens. Walaupun belum ada data jumlah konsumsi daging kelelawar per tahun, sumbangsih daging kelelawar dalam pemenuhan konsumsi daging dan asupan zat gizi cukup berarti. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap hari kelelawar dalam bentuk hidup dan mati serta kelelawar olahan yang dikenal dengan paniki bisa ditemukan di pasar tradisional, swalayan, dan tempat penjual makanan tradisional sebagai pangan eksotik. Bahkan pada hari-hari tertentu, seperti natal, tahun baru, hari ulang tahun perkawinan, dan pengucapan syukur karena berhasil dalam pertanian, kelelawar olahan dijadikan menu spesial bagi keluarga. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, pada Maret 2011, menunjukkan bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap hari adalah 50 kg, sedangkan berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat penjual kelelawar di Pasar Bersehati Manado pada Oktober 2011 diperoleh informasi bahwa setiap harinya daging kelelawar yang terjual adalah 30-50 kg. Dengan demikian, setiap harinya kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 80-100 kg. Kelelawar pemakan buah, sebagai alternatif penghasil daging, kaya akan mineral yang esensial bagi tubuh Lee 2000b, Riley 2002, Lee et al. 2005, Jenkins Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009. Melihat minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging kelelawar dan sumbangsih daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan produktivitas karkas dan ketersediaannya. Produktivitas berhubungan dengan komposisi karkas yang meliputi tulang, daging, dan lemak yang dihasilkan, sedangkan komposisi karkas berhubungan dengan bobot badan Aberle et al. 2001. Sampai saat ini, informasi tentang produksi karkas dan daging kelelawar belum tersedia secara ilmiah karena kelelawar merupakan satwa liar yang belum ada penanganannya sehingga pengukuran produktivitasnya belum diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi pertumbuhan dan produksi daging kelelawar berdasarkan bobot hidup dan bobot karkas. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi tentang pendugaan bobot karkas dan nonkarkas berdasarkan bobot hidup, serta pendugaan bobot komponen karkas berdasarkan bobot karkas yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan pegembangan potensi kelelawar sebagai satwa harapan sumber daging yang ketersediaannya kontinu melalui budi daya. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Manado dan Pakuure Sulawesi Utara, Lamaya Gorontalo, serta Matialemba, Peonea, dan Kolono Sulawesi Tengah Pengambilan data potongan karkas dan nonkarkas kelelawar pemakan buah dilakukan di Labaratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk kelelawar yang berasal dari Pasar Manado, sedangkan yang lainnya dilakukan di lokasi masing-masing. Lama penelitian enam bulan dimulai dari Maret sampai Oktober 2011. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan enam jenis kelelawar dari enam lokasi, yaitu A. celebensis dari Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 300.90- 395.80 g, dan dari Kolono sebanyak 11 ekor dengan kisaran bobot badan 274.40- 533.90 g. N. cephalotes dari Pakuure sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan 43.14-60 g. P. alecto dari pasar Bersehati sebanyak 15 ekor dengan kisaran bobot badan 450-545 g, Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 333.60 - 600 g, Matialemba sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 719-779 g, dan Kolono sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 325 –795 g. R. amplexicaudatus dari Peonea sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan 58.50- 149.60 g. Thoopterus sp dari Pakuure yang terdiri atas T. nigrescens sebanyak 9 ekor dengan kisaran bobot badan 59 –156.50 g, Thoopterus sp 2 sebanyak 5 ekor dengan kisaran bobot badan 22.50 –39.30 g. Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS Global Position System, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan, kamera, alkohol, kapas, kandang penampungan dalam bentuk ram kawat, gunting, silet, pisau, timbangan digital kapasitas 1000 g, juga seperangkat alat untuk keamanan diri.