alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus yang Dimasak Rica-rica dan Kari
senyawa kitotifen yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit, anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan
pelepasan mediator inflamasi PubChem, drug bank. Alkaloid heterosiklik golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata, juga untuk
peningkatan sirkulasi darah Santos Moreno 2004. Adanya kemiripan senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, juga senyawa flavonoid yang terdapat
dalam bumbu-bumbu yang digunakan pada pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar olahan sebagai pangan yang berpotensi sebagai
bahan pangan fungsional, namun adanya steroid golongan estron dan adrostan pada daging kelelawar disarankan untuk dikonsumsi secara bijaksana karena
kelebihan asupan adrogen dapat menyebabkan virilisasi pada wanita dan kelebihan asupan estrogen dapat menyebabkan sifat kewanitaan pada pria,
walaupun belum diketahui kandungannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengolah dan mengkonsumsi daging kelelawar berdasarkan jenis kelamin.
Terdeteksinya senyawa estron diduga berasal dari P. alecto betina, dan senyawa androstan berasal dari P. alecto jantan, karena dalam penelitian ini jantan dan
betina tidak dipisahkan. Selain keberadaan komponen aktif, daging kelelawar mempunyai
komposisi asam-asam lemak, asam amino baik jumlah dan jenisnya yang cukup lengkap, juga kandungan kalsium Ca dan fosfor P yang tinggi. Tingginya
keberadaan Ca dan P pada daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai sumber mineral yang dapat diandalkan bagi tubuh, karena kalsium berperan
penting dalam mengatur fungsi sel, seperti pembentukan dan pemecahan asetilkolin yaitu zat kimia penghantar saraf neotransmiter, relaksi dan kontraksi
otot, dan menjaga permebialitas membran sel. Kalsium mengatur kerja hormon dan faktor pertumbuhan. Kekurangan Ca pada masa pertumbuhan akan
menyebabkan pertumbuhan terganggu, sedangkan pada usia lanjut menyebabkan osteoporosis, dan osteomalasia riketsia pada orang dewasa karena kurang vit D.
Kekurangan fosfor mengakibatkan kerusakan tulang, gejala lelah, dan kurang nafsu makan Almatsier 2003.
Kandungan asam lemak jenuh yang paling dominan adalah asam miristat C14:0, asam palmitat C16:0, dan asam stearat C18:0, dan total kolesterol
daging kelelawar dalam penelitian ini lebih tinggi dari daging babi dan ikan cakalang, namun terdapat juga asam lemak tak jenuh ganda yang terdeteksi
dalam daging kelelawar adalah ekosanpentaenoat EPA dan dokosaheksaenoat DHA yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Oleh karena itu, konsumsi
daging kelelawar tidak perlu ditakuti, karena tubuh mempunyai mekanisme penyeimbang antara kolesterol yang masuk dan kolesterol yang disintesis tubuh.
Selain itu, terdapat juga kandungan asam stearat, linoleat, linolenat, DHA, dan EPA yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL dalam darah Imaizumi et
al. 1993, Yu et al. 1995, Murray et al. 2002. Kandungan asam amino yang menonjol pada daging kelelawar dalam
penelitian ini adalah fenilalanina, leusina, glisina, dan tirosina. Pada keadaan normal, fenilalanina akan diubah menjadi tirosina, yaitu asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis protein, zat kimia otak termasuk L-DOPA, adrenalin, noradrenalin. L-DOPA adalah prekursor untuk neotransmitter dopamin, adrenalin,
dan noradrenalin. Adrenalin merupakan neotransmitter yang dikeluarkan oleh safaf simpatis dan juga sebagai hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal
Djojosoebagio 1996. Aderalin digunakan sebagai zat yang dapat memperlebar bronkodilator bagian saluran pernapasan, dan meningkatkan saluran udara
keparu-paru untuk penderita asma. Tingginya adrenalin menyebabkan otot polos disaluran pernapasan relaksasi http:www.medicinet.comasthmapage3.htm.
Kerja noradrenalin memberikan efek fisiologis guna mengatasi depresi. Noradrenalin dilepaskan ketiga terjadi perubahan fisiologi yang disebabkan
karena stres. Fungsi penting noradrenalin sebagai neotransmitter yang dilepaskan dari saraf simpatik ke jantung sehingga laju kontraksi meningkat Guyton et al.
2006. Sebagai hormon stres, noradrenalin dapat meningkatkan aliran darah ke otot dan meningkatkan oksigen ke otak http:www.hormone.orgendocrine_
system.cfm. Leusina digunakan sel untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Glisina tidak merupakan asam amino ensensial bagi tubuh, namun berfungsi
sebagai prekursor biosintesis profirin, dan mencegah pembesaran prostat pada pria Lehninger 1982.
Keberadaan komponen aktif dan zat gizi dalam kelelawar membuktikan
bahwa pemeo daging kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan
yang dapat berfungsi bagi kesehatan, namun bahan pangan yang disukai konsumen bukan saja dilihat dari kandungan komponen aktif dan nilai gizi yang
baik, namun juga dari penampakan yang menarik, cita rasa yang enak, serta aman dan sehat untuk dikonsumsi
Wijaya 2002 . Hasil
uji hedonik terhadap sifat-sifat organoleptik menunjukkkan bahwa panelis menerima daging kelelawar yang
dimasak kari dan rica-rica sama dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica, sedangkan daging kelelawar yang hanya dikukus
tanpa menggunakan bumbu tidak disukai panelis. Hal ini menggambarkan bahwa jenis daging tidak berpengaruh pada tingkat pemerimaan konsumen terhadap
atribut organoleptik. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan bumbu-bumbu masak menjadikan daging kelelawar olahan aman
dikonsumsi. Rahayu 2000 melaporkankan bahwa bumbu masak yang digunakan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi
pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah pertumbuhan mikrob. Namun, penanganan pengolahan yang kurang higienis dan
penyimpanan yang cukup lama dan tidak benar akan menyebabkan terkontaminasinya dan berkembangnya mikrob patogen Khalafalla et al. 1993,
Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Hasil analisis terhadap daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC, kemudian dimasak kari dan rica-rica
menghasilkan total mikrob, S. aureus, E.coli, Coliform, dan Salmonella sp di atas batas maksimum cemaran mikrob. Hasil analisis terhadap daging kelelawar segar
8-9 jam setelah pemotongan, juga daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC menunjukkan total mikrob dan total S. aureus di atas batas
maksimum cemaran mikrob, namun total mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC berada di
bawah batas cemaran mikrob yang dapat diterima pada daging olahan, walaupun total S. aureus pada daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari,
juga total Coliform pada daging segar meningkat pada penyimpanan ke-14 hari, sehingga berada di atas batas cemaran yang ditetapkan BSN 2009, sedangkan
total E. coli, Salmonella sp, dan Coliform adalah negatif. Berdasarkan pada karakteristik mikrob daging kelelawar segar dan daging kelelawar yang dimasak
rica-rica dan kari hasil penelitian ini, maka disarankan untuk membekukan karkas
kelelawar tanpa isi saluran pencernaan, dan sebaiknya mengolah daging kelelawar segera setelah pemotongan.
Kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional yang aman untuk dikonsumsi harus tersedia secara berkelanjutan. Berdasarkan
pada segi ketersediaan sebagai bahan pangan, P. alecto adalah spesies kelelawar pemakan buah yang paling banyak ditemukan diperjualbelikan di pasar, baik
pasar tradisional maupun swalayan, dan jalur pemasarannya telah terbentuk mulai dari penangkap, pengumpul, sampai ke penjual. Berdasarkan pengamatan, di
daerah Kolono, P. alecto dan A. celebensis yang dijual berada dalam keadaan mati beku. Sebaliknya, di daerah Lamaya, pengumpul mengambil kelelawar dalam
keadaan masih hidup dan langsung diangkut dan dipasarkan. Berdasarkan pengamatan, pada sekitar bulan Mei hingga Juni, jumlah P. alecto di pasar
berkurang, sedangkan sekitar bulan September hingga Maret, penjualan kelelawar melimpah di pasar. Hal itu terjadi karena di sekitar bulan tersebut merupakan
musim buah-buahan sehingga kelelawar kembali ke habitat asalnya sehingga dengan mudah para penangkap mendapatkan tangkapannya. Dilihat dari lokasi,
Gorontalo dan Sulawesi Tengah merupakan habitat yang ideal untuk kelangsungan hidup kelelawar karena kondisi hutan tempat bertengger dan
mencari makan masih baik, yang ditandai dengan tidak ditemukannya perombakan dan pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perumahan.
Demikian juga hutan mangrove di sekitar pantai masih terjaga. Selain itu, ditemukan juga beberapa gua batu yang terdapat dalam hutan yang tidak pernah
diganggu manusia sehingga kelelawar dapat bertengkar membentuk koloni. Berkaitan dengan prospek penyediaan daging kelelawar kedepan, status A.
celebensis, P. alecto, N. cephalotes, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens berdasarkan daftar IUCN Redlist yang dikeluarkan Internasional Union for
Conservation of Nature and Natural Resources IUCN 2012 masuk kategori least concer, Artinya, jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status
aman dan belum terancam punah, dan keberadaan N. cephalotes, T. nigrescens, dan R. amplexicaudatus tidak termasuk dalam daftar konvensi perdagangan
internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam CITES, Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora baik
appendix l dan ll. Artinya, spesies-spesies ini populasinya tidak dalam taraf yang membahayakan dan bisa diperdagangkan secara internasional. Sebaliknya,
Pteropus alecto dan Acerodon celebensis termasuk dalam appendix ll. Artinya, kedua jenis ini tidak segera terancam punah, tetapi mungkin akan terancam punah
bila perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan. Walaupun keberadaan kelelawar hasil penelitian masih masuk kategori aman, ketersedian secara
berlanjut untuk bahan pangan diragukan karena berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan ada indikasi eksploitasi yang berlebihan, dan betina-betina
yang tertangkapterjaring umumnya adalah betina produktif bunting dan sedang menyusui yang menyebabkan produktivitas kelelawar berkurang sehingga
dikhawatirkan apabila eksploitasi terus dilakukan, suatu saat akan mengalami kepunahan.
Hasil penelitian ini sangat menarik, karena disatu sisi ada kekhawatiran bahwa jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi akan mengalami
kepunahan apabila perburuan terus dilakukan tanpa memperhatikan kelangsungan hidup kelelawar. Tidak terdapatnya informasi ilmiah tentang populasi kelelawar
pemakan buah di Sulawesi merupakan kendala dalam hal ketersediaan daging kelelawar secara berkelajutan. Di sisi lain, daging kelelawar mempunyai
kandungan gizi yang hampir sama dengan ternak konvensional lainnya, bahkan daging kelelawar P. alecto yang paling banyak dijual di pasar mengandung
senyawa aktif yang berfungsi sebagai pangan yang dapat menyehatkan. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, maka kelelawar akan terus diburu di habitatnya
yang akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi kelelawar dan kemungkinan akan menuju kepunahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan
untuk menjaga populasi dan habitat kelelawar di alam bekerja sama dengan pemerintah membuat aturan atau larangan seperti penangkapan betina produktif
dengan cara melepaskan betina bunting dan menyusui pada waktu ditangkap, pengaturan waktu penangkapan melalui sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat pemburu dan pengumpul kelelawar, juga edukasi kepada anak-anak sekolah tentang peran kelelawar sebagai bahan pangan dan fungsi ekologis
kelelawar sebagai pengatur keseimbangan di hutan. Adanya pelarangan penangkapan kelelawar menyebabkan mata pencarian pemburu dan penjual
kelelawar akan terganggu sehingga perlu dipikirkan bagaimana mengalihkan pekerjaan mereka. Ditinjau dari sisi peternakan, perlu dikaji cara budi daya
kelelawar dengan melibatkan masyarakat, khususnya pemburu dan penjual kelelawar. Diharapkan masyarakat penggemar daging kelelawar mengkonsumsi
daging kelelawar bukan mengambil dari alam tetapi dari hasil budi daya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada 5 jenis yaitu A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, R. amplexicaudatus, dan T.
nigrescens. Produksi karkas kelelawar berkisar 49.29-64.07, tulang 19.09- 24.29, daging 50.27-51.86, dan lemak 4.09-10.61. Kualitas dan nilai gizi
daging kelelawar hampir sama dengan ternak konvensional. N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens memiliki kandungan steroid dan alkaloid, bumbu masak
memiliki triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n- heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan
alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol. Daging kelelawar masak kari dan rica-rica yang disimpan selama 14 hari dalam lemari pendingan pada
suhu 5ºC layak dikonsumsi manusia, dan dari sisi organoleptik, daging kelelawar olahan disukai konsumen sama dengan daging olahan ternak konvensional.
Dilihat dari nilai gizi dan komponen aktif yang ada pada daging kelelawar dan bumbu masak maka daging kelelawar yang diolah rica-rica dan kari berpotensi
untuk dijadikan pangan fungsional.
Saran
Berdasarkan hasil pengamatan, ada gejala ekploitasi yang berlebihan dan betina yang tertangkap pada umumnya betina produktif sehingga ada
kemungkinan suatu saat keberadaan kelelawar menuju kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk melihat status populasi dan keberadaan habitat
kelelawar di setiap lokasi. Untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar yang ada di tiap lokasi, maka perlu dilakukan penelitian molekuler.
Perlu dilakukan penelitan untuk membedakan nilai gizi dan kandungan bioaktif kelelawar hasil budi daya dibandingkan kelelawar di alam, juga dengan
karakteristik mikrob daging olahan yang berada di rumah-rumah makan, dan daging kelelawar olahan yang dibekukan kemudian dipanaskan sebelum
dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Ed ke-4. USA : KendalHunt Pulishing Co.
Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and
carcass quality if broiler chicks under high stocking density fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 5:264-268.
Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Adejinka AE. et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms
isolated from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria. Adv Appl Sci Res 24:391-400.
Almatseir. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard method for the
examination of Dayry Product. Ed ke-16. Washington DC : Porth Cyti Press.
[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. USA : Arlington.Virginia.
Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 5 422-425.
Baratawidjaya K, Sundaru H. 1981. Asma bronkial : Patofisiologi. Cermin Dunia Kedokteran 21:29-32.
Baratawijaya K. 1988. Imunolog Dasar. Indonesia : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island Mamalia, Megachiroptera. Zool
Verhandlugen 248:1-14. Blasco A, Estany J, Baselga M. 1984. Prediction rabbit meat and bone weight
using carcass measurements and simple cuts. Ann Zootec 332:161-170. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK. 03.1.23.11.11.09909. 2011. Tentang Pengawasan Klaim Dalam label dan
Iklan Pangan Olahan. BPOM RI.
Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208.
Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-4. Conecticut : Appleton Lange, Simon Schuster Co.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional
Indonesia. 2897:2008 [BSN]. Badan Standarisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob
Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009 Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai
sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian Durio zibethinus, Bombacae in southern Thailand. J Trop Ecol
25:85-92. Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of
mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 344: 407-412. Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of
frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69 1 :67-72.
Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality of ready to eat food Meat pie in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J
Microb Res 36: 390-395. Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers
long they become rare. Ecology 872:271-276. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari
spektrum infra merah sebagai penenda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 123:154-162.
Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. [Ditjenak Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011.
Statistik Peternakan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. [Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan] Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Dumont ER, Onell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats Pteropodidae. J Mammal 85 1: 8-14.
Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 272: 58-65. Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific Moluccan Islands.
Sydney : Australian Museum Reed Book. Florowski T et al. 2006. Teknological parametres in pig of two polish local
breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 3: 217-224.
Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Brazil J Poul Sci 12:233-237.
Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited.
Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr. 119:529-533.
Guyton, Arthur, Hall, John 2006. Textbook Kedokteran Fisiologi. Ed ke-11. Pennsylvania: Elsevier Inc.
Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains
Teknol Farm131:1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa
tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Harold H, Craine LE, Hart DH. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta:
Erlangga. Haryoko I, Warsiti T. 2008. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap
karakteristik fisik karkas kelinci peranakan New Zealand White. Anim Product 102: 85-98.
Hill JE, Smith JD. 1984. Bats : A Natural History London : Cromwell Road. Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats Chiroptera: pteropodidae as seed
dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic 344:491-503.
Hutajulu WL, Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci local umur 16
minggu. J Agribis Pet 32:75-79.
Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 39: 225-230.
Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density
lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702.
Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rekay Kim Lingk 62:50-54.
Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu
kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan. Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 32:1-16.
Johnson PL, Purchas RW, Mcewan JC, Blair HT. 2005. Carcass composition and meat quality differens between pasture-reared ewe and lambs. Meat Sci
712:383-391. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
Brine Shrimp Lethality test dan antioksidan 1.1-diphenyl-2- pikrilhydrazyl dari ekstrak daun saga Abrus precatorius L.. Makara
Sains 131:50-54.
Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim
Sci 78:253-259. Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing
technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427. Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene
Chiroptera : Pteropodidae from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417.
Klooker et al. 2010. The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral hypersensitivity and internal symptoms in patients with irritable bowel
syndrome. Gut 599:1213-1221. Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang
ditambahkan jahe Zingiber Officinale Roscoe pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Med Pet 272: 46-54.
Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa Cocos nucifera, pinang Areca catechu dan aren Arenga pinnata sebagai tanaman obat.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. terhubung berkala http:balittro.litbang.deptan.go.idind 7 Mei 2012
Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci
:1 –6.
Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv
131:584-593. Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan
dari : Meat Sci. Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop
Biodivers 6:145-162. Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in
Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488. Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity
in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389. Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Volume ke-2. Menggy Thenawijaya,
penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principle of Biochemisrty.
Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 621:73-97.
Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci
71:194-204. Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species
fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record. Treubia 321: 63-85.
Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus Chiroptera : Pteropodidae from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111-
120. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM. 2006. Evaluation of three pork
quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 192:266-272.
Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging
sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 3 : 26-33. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed
ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill.
Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. ED ke-3. New York : Worth publishing.
Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar swalayan di kota Makasar. J Agris 91:23-40.
Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan.
12:20-22. Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4:
Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State University.
Owens FN, P Dubeski, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150.
Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang dilalulintaskan melalui pelalbuhan penyeberangan merak. Hemera Soa.
21: 9-14. Prasetyo A, PrasetyoT, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan
mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indust Pangan
112 : 42-48. Raji. 2008. Sistem endokrin dan jenis hormon : An overview. Hormon Health
Network. http:www.hormone.orgendocrine_system.cfm 21 Oktober 2012
Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 68:1058-1065.
Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci
78:170-175.
Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 332: 95-102.
Rustam E, I Atamasari, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol kunyit curcuma domestica val. pada tikus putih jantan galur wistar. J
Sains Teknol 122:112-115. Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat
depending on their sex. Actavet 78:497-504. Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan
cendana Santalum album Linn. Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137.
Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O
157
:O
7
pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya. Mak Kes 91:23-28.
Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of pilocapus Rustaceae as sources of pilocarine and other imidazole
alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 3. Absrtact. http:www.springerlink.comcontent01027wm4011mr53w. 7 mei 2012
Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 285:450-
461. Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang
asuh berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. 19 November 2009. Badan Standardisasi Nasional. Hlm 1-11.
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor : IPB press.
Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across
several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44.
Shiel MC. 2010. Asma. http:www.medicinenet.comasthmapage3.htm. 12
Oktober 2012
Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum.
Med Pet 271:1-11. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada
University Press. Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of
cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food Sci 585:953-958.
Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya Carica papaya L.. J Kim 2 1:15-
18. Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta
kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14 1 : 41-48.
Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol Has Tern 22: 42:51.
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.
Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at two temperature. J Food Safe 12:129-137.
Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in slaughtered poultry. MAN 92: 139-146.
Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in Calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 91: 89-100.
Presiden Republik Indonesia. 1996. Undang undang No. 7. Tentang Pangan. Jakarta.
Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB Bandung.
Wiley DJ, Engbring J, Otobed D. 1997. Abundance, biology, and human exploitation of bats in the Pulau Islands. J Zool London 241:203-227.
Wijaya H. 2002. Pangan fungsional dan kontribusinya bagi kesehatan. Seminar online
Kharisma ke-2.http:ml.scribd.comdoc28608855pangan-
fungsional-dan-kontribusinya-bagi-kesehatan [26 Sept 2012]
Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert 24 2: 47-55.
Yalden DW, Morris PA. 1975. The live of bats. New York : The New York Times Quadrangle. 247 hlm.
Yohnny F, Tridjoko, Roza. 2003. Study pendahuluan pengaruh hormon steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek. J Vet 44: 30-
34. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol
predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61
:1129:1139.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL. 1978. Effect of spece and salt on fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189.
Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry. Int J Food Microbiol 23 :125-148.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan
Kolono
Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan
St.dev N
Min Max
Rataan St.dev
N Min
Max
Panjang badan
213.29 25.57
7.00 195.00
270.00 213.27
8.12 26.00 200.00 220.00
Panjang lengan bawah 136.86
2.41 7.00
135.00 140.00
140.77 6.43
26.00 130.00 150.00 Panjang betis
59.29 4.50
7.00 55.00
65.00 59.42
2.58 26.00
55.00 65.00
Panjang kaki 50.71
4.50 7.00
45.00 55.00
53.46 2.35
26.00 50.00
55.00 Panjang telinga
31.86 1.86
7.00 30.00
34.00 31.54
1.58 26.00
30.00 35.00
Panjang tengkorak total 59.29
1.38 7.00
57.00 61.00
62.88 2.70
26.00 57.00
68.00 Panjang tengkorak condylobasal
52.00 3.96
7.00 45.00
56.00 55.58
3.78 26.00
45.00 63.00
Panjang tengkorak condylocaninus 47.29
3.09 7.00
42.00 50.00
49.38 2.50
26.00 42.00
55.00 Panjang baris gigi geraham atas
25.00 1.53
7.00 23.00
28.00 24.85
2.29 26.00
15.00 28.00
Lebar tulang pipi 34.86
1.68 7.00
32.00 37.00
36.08 1.67
26.00 32.00
39.00 Lebar geraham baris gigi premolar
12.86 0.38
7.00 12.00
13.00 13.73
0.45 26.00
13.00 14.00
Lebar geraham baris gigi molar 8.29
0.76 7.00
7.00 9.00
8.65 0.75
26.00 7.00
10.00 Kolono
Lamaya
Lampiran 2 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di Pakuure
Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan
St.dev N
Min Max
Panjang sayap 509.80
18.81 10.00
470.00 540.00
Panjang lengan bawah 69.30
1.64 10.00
65.00 70.00
Panjang betis 27.00
1.25 10.00
25.00 30.00
Panjang kaki 19.60
0.84 10.00
18.00 20.00
Panjang telinga 16.80
0.79 10.00
15.00 18.00
Panjang tengkorak total 32.00
1.00 7.00
32.00 33.00
Panjang tengkorak condylobasal 28.00
0.58 7.00
27.00 29.00
Panjang tengkorak condylocaninus 25.57
0.79 7.00
25.00 27.00
Panjang baris gigi geraham atas 10.29
0.49 7.00
10.00 11.00
Lebar tulang pipi 22.57
1.40 7.00
20.00 24.00
Lebar geraham baris gigi premolar 3.29
0.49 7.00
3.00 4.00
Lebar geraham baris gigi molar 6.00
0.00 7.00
6.00 6.00
Pakuure
Lampiran 3 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati,
Lamaya, Matialemba, dan Kolono
Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan
St.dev N
Min Max Rataan St.dev
N Min
Max Rataan St.dev N
Min Max Rataan St.dev
N Min
Max
Panjang badan
231.33 8.55 15.00 220.00 245.00 247.14 28.70
7.00 190.00 270.00 262.78 15.63 9.00 225.00 270.00 236.79 14.89 14.00 210.00 250.00
Panjang lengan bawah
154.67 3.39 15.00 150.00 158.00 166.43
9.45 7.00 145.00 170.00 166.11
4.17 9.00 160.00 170.00 159.29 12.07 14.00 140.00 170.00
Panjang betis
73.93 4.23 15.00
70.00 80.00 75.71
3.45 7.00 70.00 80.00 77.22
2.64 9.00 75.00 80.00 74.29
2.67 14.00 70.00 80.00
Panjang kaki
59.33 1.76 15.00
55.00 60.00 57.86
2.67 7.00 55.00 60.00 61.33
2.18 9.00 60.00 65.00 59.29
1.82 14.00 55.00 60.00
Panjang telinga
32.53 0.52 15.00
32.00 33.00 32.14
1.07 7.00 30.00 33.00 32.22
0.97 9.00 30.00 33.00 32.00
1.18 14.00 30.00 33.00
Panjang tengkorak total
69.60 0.83 15.00
68.00 70.00 69.29
1.89 7.00 65.00 70.00 70.56
1.67 9.00 70.00 75.00 70.14
2.11 14.00 68.00 74.00
Panjang tengkorak condylobasal
59.60 0.83 15.00
58.00 60.00 59.86
2.27 7.00 55.00 62.00 61.67
2.50 9.00 60.00 65.00 60.07
2.81 14.00 55.00 64.00
Panjang tengkorak condylocaninus
54.33 1.11 15.00
52.00 55.00 54.86
2.19 7.00 50.00 56.00 56.67
2.50 9.00 55.00 60.00 54.64
3.03 14.00 48.00 58.00
Panjang baris gigi geraham atas
28.20 0.56 15.00
28.00 30.00 27.71
0.76 7.00 26.00 28.00 29.56
0.53 9.00 29.00 30.00 27.43
0.85 14.00 26.00 28.00
Lebar tulang pipi
38.27 0.70 15.00
38.00 40.00 35.29
1.70 7.00 33.00 38.00 39.44
0.88 9.00 38.00 40.00 37.29
2.13 14.00 34.00 40.00
Lebar geraham baris gigi premolar
15.27 0.46 15.00
15.00 16.00 16.14
0.69 7.00 15.00 17.00 16.33
1.00 9.00 15.00 17.00 16.21
0.80 14.00 15.00 17.00
Lebar geraham baris gigi molar
8.00 0.00 15.00
8.00 8.00
8.43 0.53
7.00 8.00
9.00 8.00
0.00 9.00
8.00 8.00
8.93 0.83 14.00
8.00 10.00 Kolono
Lamaya Pasar Bersehati
Matialemba
Lampiran 4 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea
Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan
St.dev N
Min Max
Panjang badan
133.56 12.95
16.00 105.00
160.00 Panjang lengan bawah
87.63 9.60
16.00 70.00
100.00 Panjang betis
45.56 6.77
16.00 30.00
50.00 Panjang kaki
30.25 5.34
16.00 20.00
35.00 Panjang telinga
20.44 2.56
16.00 16.00
23.00 Panjang tengkorak total
42.69 3.50
16.00 37.00
48.00 Panjang tengkorak condylobasal
37.94 2.46
16.00 35.00
42.00 Panjang tengkorak condylocaninus
33.75 2.72
16.00 30.00
39.00 Panjang baris gigi geraham atas
14.81 1.64
16.00 12.00
17.00 Lebar tulang pipi
23.13 2.00
16.00 20.00
25.00 Lebar geraham baris gigi premolar
10.06 1.18
16.00 8.00
11.00 Lebar geraham baris gigi molar
5.13 0.81
16.00 4.00
6.00 Peonea
Lampiran 5 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di Pakuure
Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan
St.dev N
Min Max
Rataan St.dev N
Min Max
Rataan St.dev N
Min Max
Panjang sayap
553.15 77.41
13.00 490.00
725.00 467.67
39.50 15.00 400.00 510.00 379.09
52.00 11.00 260.00 420.00
Panjang lengan bawah
75.92 5.39
13.00 70.00
85.00 66.00
7.01 15.00
57.00 75.00
53.82 9.13
11.00 35.00
60.00
Panjang betis
30.15 1.34
13.00 29.00
33.00 27.53
1.36 15.00
26.00 30.00
20.09 3.39
11.00 15.00
24.00
Panjang kaki
25.31 3.84
13.00 23.00
32.00 20.53
1.55 15.00
18.00 23.00
14.64 2.73
11.00 10.00
20.00
Panjang telinga
17.00 0.58
13.00 16.00
18.00 15.47
1.30 15.00
14.00 17.00
15.91 0.94
11.00 15.00
17.00
Panjang tengkorak total
37.88 0.83
8.00 37.00
39.00 33.60
4.19 15.00
28.00 40.00
29.00 1.85
8.00 25.00
31.00
Panjang tengkorak condylobasal
34.00 0.76
8.00 33.00
35.00 29.67
3.75 15.00
25.00 35.00
25.88 1.25
8.00 24.00
27.00
Panjang tengkorak condylocaninus
30.88 0.83
8.00 30.00
32.00 28.27
3.37 15.00
24.00 32.00
24.38 0.74
8.00 23.00
25.00
Panjang baris gigi geraham atas
13.75 0.46
8.00 13.00
14.00 16.73
7.19 15.00
8.00 28.00
10.88 2.17
8.00 8.00
13.00
Lebar tulang pipi
23.25 1.04
8.00 22.00
25.00 16.80
3.88 15.00
13.00 24.00
18.75 2.12
8.00 15.00
21.00
Lebar geraham baris gigi premolar
3.13 0.35
8.00 3.00
4.00 2.47
0.52 15.00
2.00 3.00
2.00 0.00
8.00 2.00
2.00
Lebar geraham baris gigi molar
8.13 0.35
8.00 8.00
9.00 6.67
1.35 15.00
5.00 8.00
5.50 0.53
8.00 5.00
6.00
Thoopterus sp 2 Thoopterus nigrescens
Thoopterus sp 1
Lampiran 6 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono
Komponen Jumlah sampel
Rataan Stdev
Min Max
Jumlah sampel Rataan Stdev
Min Max
Bobot badan kg 7
354.14 32.47
300.90 395.80
11 385.94
74.20 274.40
533.90 Karkas
7 51.98
3.64 47.59
57.24 11
56.04 2.79
50.03 59.11
Daging 7
56.92 4.89
49.77 63.00
11 54.81
3.42 47.06
59.01 Kulit
7 15.54
1.13 14.08
17.72 11
16.06 1.44
13.44 18.63
Tulang 7
21.43 1.99
19.02 24.87
11 19.86
3.35 15.08
25.16 Lemak
7 2.03
1.26 0.00
3.80 11
8.97 5.18
1.90 17.25
Non karkas 7
18.28 2.25
14.72 21.80
11 17.09
2.92 13.41
22.75 Lamaya
Kolono
Lampiran 7 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono
Komponen Jumlah sampel Rataan
Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah samplel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max
Bobot badan kg 7
535.66 92.89 333.60 600.00
7 546.19 163.17 325.00 795.00
7 739.53 20.30 719.50 779.20
15 508.89 25.22 450.00 545.00
Karkas 7
54.85 7.58 41.64 61.74
7 56.03 8.22 40.54 63.70
7 56.55 2.30 52.84 59.79
15 54.49 1.02 247.30 56.34
Daging 7
54.07 10.99 44.40 72.36
7 47.18 4.56 41.22 55.06
7 45.37 2.78 42.39 50.10
15 54.03 1.59 51.23 56.45
Kulit 7
16.80 2.52 15.28 22.27
7 16.54 1.04 15.27 18.60
7 15.63 2.45 13.73 20.96
15 18.49 1.27 16.59 20.37
Tulang 7
19.15 3.58 14.02 24.32
7 20.86 3.34 18.10 26.48
7 18.97 1.76 16.64 20.90
15 18.12 0.86 17.05 19.41
Lemak 7
11.49 6.64
0.00 17.28 7
11.74 8.90 0.00 20.51 7
19.16 2.81 14.30 21.37 15
7.59 1.75 5.93 12.04 Non karkas
7 13.78
1.87 11.67 16.48 7
12.67 2.49 11.01 17.47 7
12.59 1.62 9.91 15.36 15
12.41 0.89 11.20 13.94 Matialemba
Pasar Bersehati Manado Lamaya
Kolono
Lampiran 8 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas Thoopterus spp. di Pakuure
Komponen Jumlah sampel
Rataan Stdev
Min Max Jumlah sampel Rataan
Stdev Min
Max Bobot badan kg
9 90.54
39.81 59.80 156.50
5 30.6
6.06 22.5
39.3 Karkas
9 49.29
6.50 42.61
65.49 5
64.07 2.05
61.75 66.63
Daging 9
51.41 3.10
47.49 57.63
5 51.86
3.93 47.26
55.43 Kulit
9 17.21
2.97 11.55
20.13 5
9.34 0.94
8.53 10.95
Tulang 9
21.59 5.12
15.53 29.19
5 19.85
1.92 17.44
21.92 Lemak
9 4.09
6.19 0.00
13.79 5
0.00 0.00
0.00 0.00
Non karkas 9
18.44 5.85
11.05 28.50
5 17.51
2.71 14.03
21.29 Thoopterus nigrescens
Thoopterus sp
Lampiran 9 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas N. cephalotes di Pakuure
Komponon Jumlah sampel
Rataan Stdev
Min Max
Bobot Badan kg 8
52.76 5.15
43.1 60
Karkas 8
61.58 3.16
54.77 64.14
Daging 8
50.27 2.23
46.25 53.31
Kulit 8
11.37 0.95
10.40 13.28
Tulang 8
19.09 2.07
17.42 23.44
Lemak 8
4.89 3.07
0.00 7.61
Non karkas 8
17.81 0.68
16.50 18.83
Lampiran 10 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot
nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea
Komponon Jumlah sampel
Rataan Stdev
Min Max
Bobot badan kg 8
97.84 35.05
58.50 149.60
Karkas 8
55.65 2.29
50.99 58.65
Daging 8
51.67 1.77
48.65 53.60
Kulit 8
12.57 2.77
8.92 16.13
Tulang 8
24.29 2.50
21.30 29.68
Lemak 8
10.61 3.16
5.48 14.87
Non karkas 8
15.89 1.95
13.16 18.96
Lampiran 11 Intensitas warna senyawa steroid ekstrak n-heksana kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang
Jenis daging Perubahan warna
Keterangan warna Kelelawar :
Acerodon celebensis Bening menjadi biru
++
Nyctimene chepalotes Bening menjadi biru
++
Pteropus alecto Bening menjadi biru
++
Pteropus sp Bening menjadi hijau
++
Rousettus ampexicaudatus Bening menjadi biru
++
Thoopterus nigrescens Bening menjadi biru
pekat ++
Lanjutan lampiran 11 Jenis daging
Perubahan warna Keterangan warna
Thoopterus sp 1 Bening menjadi biru
++
Thoopterus sp 2 Bening menjadi biru
++
Daging babi Bening menjadi biru
+
Daging kelinci Bening menjadi biru
+
Ikan Bening menjadi hijau
++
Ayam Tidak ada perubahan
-
++: intensitas warna kuat;+ + intensitas warna lemah; - tidak terdapat steroid
Lampiran 12 Uji Alkaloid N. cephalotes, T. nigrescens, dan P. alecto Jenis daging
Perubahan warna Keterangan gambar
W M
D
N. cephalotes Bening- cokelat
kemerahan +.
Terbentuk endapan
cokelat Bening-
keruh +. Terbentuk
endapan putih
Bening- oranye
+. Terbentuk
endapan oranye
T. nigrescens Bening-
cokelat kemerahan
+. Terbentuk
endapan cokelat
Bening- keruh +.
Terbentuk endapan
putih Bening-
oranye+. Terbentuk
endapan oranye
P. alecto Bening-
cokelat kemerahan
+. Terbentuk
endapan cokelat
Bening- keruh +.
Terbentuk endapan
putih Bening-
oranye +.
Terbentuk sedikit
endapan oranye
W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; + endapan yang terbentuk sedikit.
Lampiran 13 Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan
cakalang Jenis bumbu
Perubahan warna Keterangan warna
Cabe rawit bening menjadi merah
jambu ++
Jahe Bening menjadi merah
jambu ++
Kunyit Kuning menjadi merah
jambu +++
Bawang daun Bening menjadi kuning
kemerahan +
Daun sereh Bening menjadi kuning
kemerahan +
Rempah campur
Bening menjadi merah jambu pekat +++
+++: intensitas warna kuat;++ intensitas warna sedang; + intensitas warna lemah
Lampiran 14 Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang
Jenis bumbu Perubahan warna
Keterangan gambar Jahe
Bening menjadi kuning +++
Cabe rawit Bening menjadi kuning
+++
Sereh Bening bening jingga
+++
Rempah campur Bening menjadi kuning
+++
+++: intensitas warna kuat
Lampiran 15 Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di
masak rica-rica
Jenis daging Kelelawar
Sapi Ayam
Ikan Cara Pengolahan
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
PanelisKode sampel KKU
KKA KRI
SKU SKA
SRI AKU
AKA ARI
IKU IKA
IRI 1
3 5
7 7
6 5
5 7
7 3
7 7
2 2
6 5
2 6
6 7
7 7
5 3
7 3
4 5
6 6
7 7
6 5
7 3
6 7
4 2
5 5
4 7
7 6
7 6
4 6
7 5
4 6
7 5
5 6
6 6
7 6
6 7
6 3
7 7
5 7
7 6
7 7
7 7
7 7
4 6
6 2
6 6
2 5
5 2
5 5
8 2
6 6
2 6
6 6
6 6
2 6
6 9
1 5
6 3
5 4
1 7
7 1
7 6
10 1
5 5
1 5
5 4
6 7
3 5
5 11
2 6
7 2
6 5
7 6
6 5
6 5
12 2
6 5
3 4
5 5
5 6
4 5
5 13
4 7
7 6
7 7
6 6
5 5
7 7
14 1
7 6
2 7
6 2
7 6
2 7
6 15
4 5
7 3
6 7
4 6
4 6
6 7
16 3
6 6
5 6
6 4
7 7
3 6
5 17
4 5
6 2
7 6
5 7
7 2
6 6
18 1
5 5
2 6
5 2
5 5
5 5
5 19
1 7
7 1
4 7
6 5
6 2
5 7
20 3
7 7
7 4
7 5
6 7
5 6
7 21
2 6
7 5
6 7
4 6
6 2
6 7
22 2
6 6
3 5
5 5
6 5
5 6
6 23
2 5
5 1
4 5
6 7
6 1
4 6
24 2
7 6
2 6
7 2
6 6
2 6
7 25
1 7
7 3
7 7
2 7
7 2
7 7
26 2
6 6
1 6
5 3
6 5
1 6
6 27
1 7
7 1
7 7
2 7
6 2
7 7
28 2
6 5
2 6
6 2
6 7
4 6
6 29
1 6
7 1
6 6
1 6
5 1
6 7
30 3
7 5
4 5
5 5
6 7
2 6
7 31
4 6
6 4
5 5
6 6
6 2
6 6
32 1
6 5
2 7
6 1
6 7
3 5
7 33
1 6
5 4
6 5
6 7
7 4
7 7
34 1
6 5
1 7
5 1
6 6
1 7
5 35
2 6
5 1
7 5
3 6
7 2
7 6
36 2
6 7
2 6
7 4
6 6
2 7
7 37
1 6
7 2
5 4
6 5
5 5
5 5
38 1
7 5
1 4
4 1
6 5
1 5
5 39
2 5
6 2
3 5
2 7
7 2
5 5
40 1
5 6
2 6
6 5
7 7
2 3
7 41
2 5
6 3
5 6
5 6
6 3
6 6
42 3
5 5
3 5
5 2
5 5
2 5
5 43
1 7
6 4
6 6
4 6
7 4
6 6
44 3
5 6
2 3
4 3
6 6
2 6
5 45
2 6
6 1
6 6
1 6
6 2
6 6
46 1
6 6
1 5
6 2
6 6
3 6
6 47
2 7
6 3
7 6
1 7
7 3
7 7
48 4
6 6
5 5
4 5
6 6
4 5
5 49
1 5
5 1
5 5
3 5
5 3
5 5
50 1
5 5
1 5
5 4
6 7
3 5
5 Total
105 296
298 138
283 283
192 307
309 150
291 306
Rataan 2.1
5.92 5.96
2.76 5.66
5.7 3.84
6.14 6.18
3 5.82
6.12
Lampiran 16 Analisis uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica Perlakuan
N Median
Ave Rank Z
1 50
2.000 75.3
-9.59 2
50 6.000
373.0 3.09
3 50
6.000 385.0
3.60 4
50 2.000
123.7 -7.53
5 50
6.000 357.0
2.41 6
50 6.000
352.6 2.22
7 50
4.000 199.0
-4.32 8
50 6.000
412.2 4.76
9 50
6.000 416.2
4.93 10
50 3.000
133.6 -7.11
11 50
6.000 372.7
3.08 12
50 6.000
405.7 4.48
Overall 600
300.5 H = 322.81 DF =11
P = 0.000 H = 339.27 DF = 11
P = 0.000 adjusted for ties
Lampiran 17 Data uji hedonik terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar
Sapi Ayam
Ikan Cara pengolahan
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
PanelisKode sampel KKU KKA
KRI SKU
SKA SRI
AKU AKA
ARI IKU
IKA IRI
1 2
4 5
7 7
7 6
7 7
4 4
3 2
3 5
5 3
5 5
4 5
5 3
5 6
3 5
5 5
3 5
5 5
7 7
5 5
6 4
2 6
6 5
5 6
2 5
7 2
7 5
5 3
5 5
5 5
5 5
7 7
3 6
5 6
4 5
5 3
5 5
5 7
6 5
7 6
7 3
5 4
3 5
4 6
6 5
4 5
5 8
3 5
5 3
6 5
4 1
3 4
6 3
9 5
6 5
3 6
6 4
6 6
3 5
7 10
3 4
4 3
7 7
3 6
6 3
6 5
11 2
6 6
5 6
5 2
4 4
2 4
3 12
3 5
4 3
5 5
5 6
3 5
6 6
13 5
6 6
5 6
6 6
6 6
5 6
7 14
5 6
6 5
6 6
6 6
6 6
6 6
15 5
7 6
5 6
6 4
6 6
4 5
6 16
5 5
6 6
6 6
5 6
7 4
6 7
17 4
7 7
3 7
7 4
7 5
3 6
6 18
5 6
7 5
5 5
6 7
5 6
3 4
19 5
6 6
6 7
6 5
5 5
3 6
6 20
5 6
6 7
7 6
6 7
7 5
7 7
21 6
5 5
4 6
5 4
6 5
3 5
5 22
6 7
6 7
6 7
2 6
6 4
7 6
23 6
7 7
5 7
6 4
3 5
4 4
5 24
5 7
7 5
6 7
5 6
6 6
6 6
25 5
6 6
5 6
6 7
7 6
7 6
6 26
5 6
7 5
5 7
6 6
6 7
6 5
27 6
5 6
5 4
5 6
6 7
7 7
7 28
5 6
5 5
6 5
6 6
6 6
6 5
29 7
7 5
5 6
6 3
7 5
4 6
5 30
5 6
5 7
6 5
6 6
6 6
6 6
31 4
4 5
3 4
5 6
7 6
5 5
6 32
4 6
5 4
6 5
6 5
5 6
5 4
33 5
6 6
5 6
6 6
7 6
6 6
6 34
5 5
5 5
5 5
7 6
6 6
7 6
35 5
5 6
5 6
6 6
7 7
7 6
5 36
5 5
5 6
5 5
5 5
5 6
6 5
37 2
7 5
2 7
4 6
3 5
6 7
5 38
2 6
6 5
6 6
2 6
6 2
5 3
39 2
6 7
5 4
4 6
6 7
6 6
4 40
5 5
5 5
4 4
6 6
6 6
5 6
41 6
6 6
6 6
6 6
6 6
6 6
6 42
6 6
5 3
6 5
2 6
3 6
3 1
43 7
5 7
5 7
4 6
4 5
4 5
1 44
2 6
5 2
7 7
2 6
6 2
6 6
45 2
5 5
4 5
7 5
7 6
6 6
5 46
2 5
5 4
5 5
2 6
5 2
6 6
47 3
5 5
3 5
5 3
6 6
3 5
5 48
2 5
5 2
5 5
3 6
6 3
6 6
49 5
5 5
2 5
5 4
6 6
1 4
6 50
3 5
5 4
7 4
2 6
6 4
7 6
Total 210
280 276
221 286
275 233
293 285
226 282
263 Rataan
4.2 5.6
5.52 4.42
5.72 5.5
4.66 5.86
5.7 4.52
5.64 5.26
Lampiran 18 Uji Kruskal-Wallis warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica Perlakuan
N Median
Ave Rank Z
1 50
5.000 179.0
-5.18 2
50 5.500
334.0 1.43
3 50
5.000 322.2
0.93 4
50 5.000
190.8 -4.68
5 50
6.000 359.6
2.52 6
50 5.000
321.8 0.90
7 50
5.000 238.0
-2.66 8
50 6.000
397.0 4.11
9 50
6.000 368.5
2.90 10
50 5.000
226.2 -3.16
11 50
6.000 355.1
2.32 12
50 6.000
313.8 0.57
Overall 600
300.5 H = 97.91 DF =11
P = 0.000 H = 105.64 DF = 11
P = 0.000 adjuted for ties
Lampiran 19 Data uji hedonik terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar
Sapi Ayam
Ikan Cara pengolahan
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
PanelisKode sampel KKU
KKA KRI
SKU SKA
SRI AKU
AKA ARI
IKU IKA
IRI 1
1 7
5 1
4 6
1 6
6 2
3 6
2 5
6 7
4 5
7 7
6 7
4 7
7 3
4 5
6 4
5 7
5 5
7 5
6 7
4 4
5 6
4 5
6 4
6 6
4 6
6 5
2 6
5 2
6 5
2 6
7 2
6 5
6 2
5 6
3 5
5 4
5 6
4 5
6 7
2 5
5 3
5 5
3 6
6 3
6 6
8 3
5 6
3 5
5 4
6 6
4 6
7 9
7 6
6 2
7 6
6 7
6 7
4 7
10 2
6 6
3 6
6 5
6 6
1 5
6 11
2 6
6 2
6 6
6 6
6 2
6 6
12 3
6 6
4 6
6 2
7 6
2 6
6 13
2 5
6 1
3 4
2 6
6 2
6 5
14 2
6 6
1 6
6 3
6 6
2 2
6 15
2 5
5 2
7 5
2 3
6 3
4 6
16 2
6 6
2 6
6 2
6 6
2 7
6 17
2 5
6 2
5 4
2 6
6 4
6 6
18 3
4 4
4 4
4 4
5 6
5 5
6 19
1 5
5 2
3 6
3 6
6 5
3 6
20 2
7 6
2 4
6 4
5 5
4 6
6 21
2 5
5 2
5 5
4 6
6 3
5 5
22 2
6 6
2 6
5 4
6 7
3 6
5 23
3 7
6 3
7 7
4 7
6 3
7 6
24 2
6 6
2 6
5 2
6 5
2 7
5 25
1 6
5 2
6 5
4 6
6 3
6 6
26 1
6 5
3 6
5 3
6 5
3 6
5 27
1 7
6 2
7 7
2 7
6 2
7 6
28 4
6 7
5 7
4 2
4 2
5 4
6 29
4 6
6 3
6 6
4 7
7 4
5 4
30 2
6 5
2 6
6 2
6 7
2 6
6 31
2 4
5 3
4 4
2 5
4 2
5 5
32 4
7 5
6 5
6 6
7 6
5 7
6 33
5 6
6 4
4 5
3 5
6 3
7 5
34 1
6 5
4 7
5 2
6 6
5 6
5 35
2 7
6 2
7 6
2 7
7 2
6 7
36 4
5 5
4 4
6 3
7 7
4 7
7 37
2 5
5 2
5 6
2 6
5 4
6 6
38 2
5 5
5 7
7 5
6 6
4 6
7 39
2 6
5 2
5 5
5 5
6 5
5 6
40 2
5 6
2 5
3 2
3 6
2 6
5 41
2 5
6 1
6 5
3 5
7 2
5 5
42 2
6 6
3 5
6 2
5 5
2 5
6 43
4 5
6 4
6 6
1 7
6 2
6 4
44 1
7 5
2 4
5 2
6 6
1 5
5 45
3 6
7 4
7 7
2 6
6 4
6 7
46 4
7 5
4 7
6 4
5 5
4 6
7 47
2 6
7 1
7 6
1 6
6 1
6 5
48 4
5 6
2 5
6 3
7 7
1 7
6 49
2 7
6 3
6 6
3 5
5 2
6 6
50 1
6 5
2 7
6 1
6 6
1 6
6 Total
126 288
283 137
278 278
156 291
297 153
283 292
Rataan 2.520
5.760 5.660
2.740 5.560
5.560 3.120
5.820 5.940
3.060 5.660
5.840
Lampiran 20 Uji Kruskal-Wallis aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak
rica-rica Perlakuan
N Median
Ave Rank Z
1 50
2.000 100.6
-8.52 2
50 6.000
390.6 3.84
3 50
6.000 376.1
3.22 4
50 2.000
111.6 -8.05
5 50
6.000 368.3
2.89 6
50 6.000
365.0 2.75
7 50
3.000 143.0
-6.71 8
50 6.000
405.0 4.46
9 50
6.000 419.8
5.08 10
50 3.000
134.6 -7.07
11 50
6.000 388.3
3.74 12
50 6.000
403.2 4.37
Overall 600
300.5 H = 322.81 DF =11
P = 0.000 H = 339.27 DF = 11
P = 0.000 adjusted for ties
Lampiran 21 Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari,
dan dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar
Sapi Ayam
Ikan Cara pengolahan
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
PanelisKode sampel KKU
KKA KRI
SKU SKA
SRI AKU
AKA ARI
IKU IKA
IRI 1
2 5
5 2
5 4
6 6
7 2
5 5
2 3
7 4
4 4
7 6
6 6
2 6
6 3
1 4
5 2
4 5
6 5
5 7
4 5
4 5
6 7
5 6
6 4
6 6
5 6
7 5
4 6
7 4
6 5
4 6
7 4
5 5
6 4
7 6
4 7
6 5
5 6
5 7
6 7
6 6
5 5
6 5
5 6
6 5
6 6
8 3
5 6
2 5
3 3
6 7
3 4
4 9
5 7
5 5
7 5
5 7
6 5
7 5
10 6
6 6
6 6
6 6
6 6
6 6
6 11
5 5
5 5
6 5
6 6
6 4
5 5
12 7
7 7
5 7
5 4
7 7
7 7
6 13
4 7
5 7
7 3
7 6
7 5
7 6
14 5
6 6
5 6
6 6
6 6
7 6
6 15
7 6
6 5
6 6
5 3
6 7
5 6
16 4
6 6
4 5
6 3
6 5
5 6
5 17
5 5
6 5
5 5
6 6
6 5
6 5
18 4
5 6
2 4
6 4
5 6
3 6
6 19
4 6
5 4
6 5
5 6
4 4
6 4
20 5
5 5
5 5
6 6
5 6
6 6
6 21
6 6
6 6
7 6
6 6
7 6
7 7
22 5
5 6
5 5
6 5
6 6
5 5
6 23
5 7
6 5
5 6
6 7
6 6
7 6
24 5
6 6
5 6
6 5
6 6
6 5
6 25
6 6
6 6
6 6
6 6
5 6
7 7
26 6
6 6
6 6
6 6
6 7
6 6
7 27
6 7
7 6
7 7
7 7
7 7
6 7
28 6
5 5
6 6
6 5
4 6
5 6
6 29
2 7
7 2
6 7
4 7
7 2
6 7
30 5
5 7
5 5
7 5
6 6
5 7
7 31
6 6
6 6
5 5
6 5
7 6
7 6
32 2
7 7
2 7
7 2
7 5
2 5
6 33
2 5
5 2
5 7
3 5
5 3
5 5
34 5
5 6
5 5
6 5
6 6
5 6
6 35
2 5
6 2
5 5
2 5
5 2
5 5
36 4
6 5
4 5
5 6
6 5
4 5
5 37
5 5
5 5
5 5
5 5
5 5
5 5
38 6
6 5
6 6
5 6
5 6
6 5
5 39
5 6
7 5
6 7
5 6
6 5
5 7
40 5
5 6
6 6
6 6
5 7
6 6
7 41
6 5
6 6
5 6
6 6
7 6
6 6
42 7
5 6
3 6
5 5
7 7
5 5
6 43
5 5
6 5
7 5
5 5
6 5
5 6
44 5
6 7
7 5
5 6
6 5
6 7
7 45
7 6
7 7
6 6
7 7
7 7
7 7
46 6
6 5
6 6
6 6
6 6
6 6
6 47
7 5
7 6
7 5
7 7
7 6
7 7
48 5
6 5
5 5
6 6
7 7
6 7
6 49
5 6
7 5
6 5
6 5
5 6
6 7
50 6
6 6
6 7
7 6
5 6
6 6
7 Total
242 289
295 237
287 282
263 292
304 254
294 298
Rataan 4.84
5.78 5.9
4.74 5.74
5.64 5.26
5.84 6.08
5.08 5.88
5.96
Lampiran 22 Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica Perlakuan
N Median
Ave Rank Z
1 50
5.000 179.0
-5.18 2
50 5.500
334.0 1.43
3 50
5.000 322.2
0.93 4
50 5.000
190.8 -4.68
5 50
6.000 359.6
2.52 6
50 5.000
321.8 0.91
7 50
5.000 238.0
-2.66 8
50 6.000
397.0 4.11
9 50
6.000 368.5
2.90 10
50 4.000
226.2 -3.16
11 50
6.000 355.1
2.32 12
50 6.000
313.8 0.57
Overall 600
300.5 H = 97.91 DF =11
P = 0.000 H = 105.64 DF = 11
P = 0.000 adjusted for ties
Lampiran 23 Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica
Jenis daging Kelelawar
Sapi Ayam
Ikan Cara Pengolahan
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
Kukus Kari
Rica-rica Kukus
Kari Rica-rica
PanelisKode sampel KKU
KKA KRI
SKU SKA
SRI AKU
AKA ARI
IKU IKA
IRI 1
3 6
5 3
6 5
3 5
5 3
5 5
2 1
5 6
1 5
6 4
6 7
3 5
6 3
1 4
5 3
4 5
3 4
5 7
4 5
4 3
5 5
5 3
7 6
4 6
5 4
6 5
2 7
5 3
5 5
2 5
6 4
5 7
6 2
6 6
2 6
6 2
6 6
3 6
6 7
5 6
5 5
6 5
5 6
5 5
6 5
8 2
5 6
1 4
5 2
6 7
2 5
6 9
4 6
6 3
5 5
2 5
7 4
6 6
10 2
6 5
3 5
5 1
5 7
2 6
6 11
2 6
6 3
6 6
5 6
6 3
6 6
12 4
5 6
2 5
5 3
7 7
2 5
5 13
3 6
6 2
6 6
2 6
6 3
6 6
14 5
7 7
7 7
7 6
6 7
6 7
7 15
6 6
6 6
6 6
5 6
6 5
6 6
16 1
5 6
2 5
6 6
5 6
4 5
6 17
1 6
5 3
5 5
2 6
6 2
6 6
18 5
5 6
5 5
6 5
6 6
6 6
6 19
1 5
7 1
6 7
2 5
6 2
6 6
20 2
5 7
4 5
5 5
7 7
4 7
7 21
1 5
6 4
6 5
1 6
6 5
5 6
22 2
7 7
3 7
7 2
6 7
2 6
7 23
6 7
7 7
7 7
6 6
7 6
7 7
24 6
6 7
6 6
7 6
7 7
6 7
7 25
7 6
6 5
6 6
6 6
6 6
6 7
26 6
7 6
5 5
6 6
6 6
6 6
5 27
3 6
6 3
5 5
4 5
6 5
5 6
28 2
6 7
2 5
6 1
5 6
1 6
7 29
1 7
6 2
7 7
4 7
6 2
7 5
30 2
7 7
2 5
6 6
7 7
2 5
6 31
2 6
6 3
5 6
5 5
6 5
6 6
32 1
7 7
1 7
7 5
6 6
4 6
7 33
4 7
7 4
7 7
3 6
7 6
7 7
34 1
6 6
2 6
6 4
6 6
4 6
6 35
7 6
7 6
7 7
7 7
5 7
7 7
36 6
6 7
6 6
7 7
6 7
4 6
7 37
6 7
7 6
7 7
6 7
7 7
7 7
38 4
6 5
3 6
6 3
6 6
6 6
5 39
2 6
7 2
6 4
1 5
7 4
6 7
40 2
6 5
2 7
7 4
6 6
5 6
6 41
2 7
7 3
7 6
7 7
7 5
7 6
42 2
5 5
3 5
5 4
6 6
3 6
5 43
2 6
6 2
6 6
6 6
6 2
6 6
44 4
7 5
3 7
7 4
7 5
1 7
4 45
2 6
6 2
6 6
7 7
6 5
7 7
46 3
6 5
3 5
5 3
5 6
3 6
6 47
4 6
5 5
6 5
6 7
7 4
6 7
48 4
5 6
5 6
7 4
5 7
3 6
7 49
3 6
7 1
7 6
6 7
7 3
5 7
50 3
5 7
3 4
6 5
7 7
5 7
7 Total
155 298
304 168
287 298
210 297
315 202
298 309
Rataan 3.1
5.96 6.08
3.36 5.74
5.96 4.2
5.94 6.3
4.04 5.96
6.18
Lampiran 24 Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari,
dan dimasak rica-rica Perlakuan
N Median
Ave Rank Z
1 50
2.500 121.6
-7.62 2
50 6.000
358.4 2.47
3 50
6.000 377.0
3.26 4
50 3.000
131.4 -7.20
5 50
6.000 336.5
1.54 6
50 6.000
362.1 2.63
7 50
4.000 196.1
-4.43 8
50 6.000
357.0 2.41
9 50
6.000 413.7
4.82 10
50 4.000
178.9 -5.18
11 50
6.000 370.3
2.97 12
50 6.000
402.4 4.34
Overall 600
300.5 H = 219.18 DF =11
P = 0.000 H = 233.86 DF = 11
P = 0.000 adjusted for ties
ABSTRACT
TILTJE ANDRETHA
RANSALELEH. Morphometric
Identification Characteristics and Extraction of Bioactive Components of Fruit Bats Meat in
Celebes as Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
This study aims to determine the species of fruitbats, bioactive compounds in meat, carcass and meat product, meat quality and nutritional value, level of
consumer acceptance of processed meat, and security of processed meat as food. The results showed five species of bats identified to species level, and 3 types to
genus level. Carcass production of Acerodon celebensis were 51.98-56.04, Pteropus alecto 54.49-56.55, Nyctimene cephalotes 61.58, Rousettus
amplexicaudatus 55.65 Thoopterus sp 49.29-64.07, and meat production were 54.81-56.92, 45.37-54.03, 50.27, 51.67, 51.41-51.86, respectively. The pH
value and water holding capacity for unfrozen P. alecto meat were higher than frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna, while the cooking loss were
lower. Protein, water, Ca and P percentage of P. alecto and R. amplexicaudatus were lower than pork, chicken, and tuna, but the fat percentage was higher. Ratio
of saturated fatty acid SFA, Monounsaturated fatty acid MUFA, and Polyunsaturated fatty acid PUFA for A. celebensis was 17.21:13.27:1, for P.
alecto was 23.36:13.13:1, for R. amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, Chicken was 2:1.5:1, Tuna was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino
acids and non essential amino acids for A. celebensis was 1.16:1, for P. alecto was 0.98:1, for R. amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken
was 1.17:1, and for tuna was 1.12:1. Cholesterol for P. alecto, R. amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20, 234.75, 287.54, 192.88,
263.15, 138.21 mg, respectively.
LC-MS results showed that the highest in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 C
26
H
37 4
, 324.2691 C
23
H
34
N, 276.2 C
19
H
34
N, and 319.3 C
21
H
39
N
2
. Consumer preference for processed P. alecto meat was the same with conventional livestock
meat and tuna. P. alecto meat was cooked rica-rica that stored up to 14 days in freezing temperatures contained total microbial count of 3.1 x 10
4
cfumL-6.0 x 10
4
cfumL, Staphylococcus aureus, 7.7 x 10
1
cfu mL - 7.6 x 10
3
cfu mL. Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of P.
alecto meat that cooked kari was 6.8 x 10
5
cfu mL - 9.7 x 10
5
cfumL, S. aureus was 4.3 x 10
1
cfu mL - 1 x 10
4
cfu mL. E. coli 3 mL, and Salmonella sp was negative. The conclusions of this study was fruit bats were found 5 sp. The body
weight could be used to predict the expected growth rate and carcass component of the fruit bats. The quality for fruit bat meats are similar with conventional
livestock and tuna. Rica-rica P. alecto meat and curry were preferred by consumers and safe for consumption up to 14 days of storage at 5ºC.
Keywords: fruitbats, characteristics, bioactive, food, Celebes.
RINGKASAN
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan
Pangan. Dibimbing
oleh RARAH
RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU.
Kelelawar sangat penting keberadaannya karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan dan penyerbuk tumbuhan, juga sebagai bahan pangan
yang dipercayai dapat menyembuhkan alergi, asma, dan meningkatkan stamina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah
yang dijadikan bahan pangan, produksi karkas dan komponen karkas, sifat-sifat fisik dan kimia daging, nilai gizi daging, serta jenis komponen bioaktif pada
daging kelelawar yang dibandingkan dengan daging ternak konvensional, dan ikan cakalang. Selain itu untuk mengetahui komponen bioaktif bumbu masak,
tingkat penerimaan konsumen, dan total mikrob daging kelelawar olahan pada saat dikonsumsi.
Identifikasi dilakukan menggunakan kunci identifikasi kelelawar berdasarkan morfometri dan warna tubuh. Metode yang digunakan adalah survei
lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Produksi karkas dan komponen karkas dihitung berdasarkan perhitungan ternak
konvensional. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging
adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Untuk mengetahui komponen bioaktif dalam daging, sebagai skrining awal
dilakukan uji fitokimia, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana P. alecto. Ekstraksi menggunakan metode Sokhlet. Uji
fitokimia daging dan bumbu masak meliputi uji steroidtriterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof,
pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl
2
, dan uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi
lapis tipis KLT. Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot
molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Penentuan struktur kimia senyawa aktif menggunakan software masslynx. Untuk
mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara
dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica dianalisis menggunakan uji Kruskal- Wallis
.
Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot boxplot. Skala hedonik yang
digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Untuk mengkaji total mikrob, Escherichia
coli. Staphylococcus aureus, Salmonella sp, dan Koliform dalam daging kelelawar menggunakan metode hitungan cawan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat genus ada tiga jenis, yaitu satu jenis dari genus
Pteropus sp, dua jenis dari genus Thoopterus sp. Kelelawar yang teridentifikasi
sampai tingkat spesies ada lima spesies. Analisis kelompok cluster analysis menunjukkan Pteropus sp memiliki kesamaan morfometri mencapai 99 dengan
P. alecto. Thoopterus sp memiliki kesamaan 99 dengan T. nigrescens. Produksi karkas A. celebensis adalah 51.98-56.04 dan produksi daging 54.81-56.92.
Produksi karkas P. alecto adalah 54.49-56.55 dan produksi daging 45.37- 54.03. Produksi karkas N. cephalotes adalah 61.58 dan produksi daging
50.27. Produksi karkas R. amplexicaudatus 55.65 dan produksi daging 51.67. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29-64.07
dan produksi daging 51.41-51.86. Nilai pH daging kelelawar P. alecto yang disembelih, daging kelelawar P. alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92±2.95, 32.63±1.00,
44.78±0.68, 45.78±3.59, dan 43.23 ±1.13, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12, 36.46±1.39, 19.45±1.46, 16.30±1.12, dan 27.32±0.72.
Berdasarkan basis segar maka kadar protein daging kelelawar P. alecto, kelelawar N. cephalotes, dan kelelawar R. amplexicaudatus secara berturut-turut adalah
20.48, 21.73, dan 21.08, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84. Berdasarkan basis kering, kadar protein P. alecto, R. amplexicaudatus, daging
babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41, kadar lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan
3.47, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27, dan 9.90, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72.
Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1. P. alecto adalah 23.36:13.13:1. R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1. Daging babi
adalah 2.48:2.83:1. Daging ayam adalah 2:1.5:1. Ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial daging A. celebensis adalah
1.16:1, daging P. alecto adalah 0.98:1, daging R. amplexicaudatus adalah 1.05:1, daging babi adalah 1.1:1, daging ayam adalah 1.17:1, dan ikan cakalang adalah
1.12:1. Kadar kolesterol P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg,
192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging N. cephalotes,
P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari N. cephalotes, P.
alecto, dan R. amplexicaudatus menunjukkan adanya senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan A. celebensis, T. nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp,
daging babi, kelinci, dan ikan cakalang hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa
triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron, yaitu 17-[3
Cyclopentylpropanoyloxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate
dengan rumus
molekul C26H37O4, dan empat senyawa mirip dengan steroid kelompok androstan, yaitu
5α,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium, 5α,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium
dengan rumus molekul C19H34N. Empat senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid kerangka piridin-piperidin dan senyawa kitotifen, yaitu 1-{[5R,7S-3-4-
Methyl phenyl- 1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1- {[3-4-Methyl
phenyl-1-yl]methyl}piperidinium, dan
1-[1-7-Isopropyl-1-
methyl-4-azulenyl-2-methyl-2-propanyl]- 1-methylpyrrolidinium,
dan satu
senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid golongan imidazol, yaitu 3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3,
9-dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo [1,2-a:1,2-c] pyrimidin-4-ium. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan bahwa
j enis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata P˂0.05
pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis tahap pertama terhadap kandungan mikrob menunjukkan bahwa total mikrob S. aureus,
E. coli, coliform, dan Salmonella sp dari tiga jenis kelelawar yang dimasak rica- rica dan dimasak kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang
ditetapkan Bandan Standard Nasional untuk pangan asal hewan. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan
hingga 14 hari mengandung total mikrob 3.1 x 10
4
cfumL-6.0 x 10
4
cfumL, S. aureus 7.7 x 10
1
cfumL-7.6 x 10
3
cfumL, sedangkan E. coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar kari mengandung total mikrob 6.8 x 10
5
cfumL- 9.7 x 10
5
cfumL, S. aureus 4.3 x 10
1
cfumL-1 x 10
4
cfumL. E. coli 3 mL, dan Salmonella sp adalah negatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelelawar yang ditemukan adalah lima spesies. Daging kelelawar A. celebensis, P. alecto, dan R.
amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging yang hampir sama dengan daging babi dan ayam, walaupun kandungan SFA yang tinggi. Tingkat
kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak menggunakan bumbu kari
dan rica. Daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 pada suhu 5ºC masih
layak dikonsumsi. N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa yang lebih
beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka
piridin-piperidin dan imidazol, oleh karena itu dugaan daging kelelawar dapat membantu penyembuhan penyakit asma dan dapat meningkatkan stamina dapat
diterima.
Kata kunci : kelelawar, karakteristik, bioaktif, pangan, Sulawesi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan daging ternak konvensional ruminansia dan unggas secara nasional dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, serta
peningkatan kesadaran
masyarakat akan
pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi. Untuk memenuhi kebutuhan daging maka
pemerintah bersama swasta harus mengimpor daging atau ternak dari luar negeri. Berdasarkan data Statistik Peternakan 2009 bahwa pada tahun 2007 konsumsi
daging rata-rata per kapita per tahun di Indonesia sebesar 8.37 kg, tahun 2008 sebesar 7.75 kg, tahun 2009 sebesar 6.5 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.97 kg.
Sementara ketersediaan daging per kapita per tahun untuk tahun 2007 hanya sebesar 6.3 kg, tahun 2008 sebesar 6.4 kg, tahun 2009 sebesar 6.60 kg, dan tahun
2010 sebesar 6.95 kg, sehingga harus mengimpor daging tahun 2009 sebesar 771.370.806 kg, tahun 2010 sebesar 874.680.103, dan tahun 2011 sebesar
599.823.558 kg Direktorat Jenderal Peternakan 2011. Salah satu alternatif untuk memenuhi suplai daging adalah mencari potensi
hayati yang ada di Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber daging. Indonesia kaya akan keragaman hayati yang merupakan sumber daya genetik, di antaranya
terdapat 205 jenis kelelawar atau sekitar 21 dari semua jenis kelelawar yang ada di dunia Suyanto 2001. Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan
manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai penyerbuk tumbuhan Bumrungsri et al. 2009, sebagai bahan
pangan Jenkins Racey 2008, dan dipercaya sebagai obat tradisional Mohd- Azlan et al. 2001.
Berdasarkan informasi lewat media elektronik diketahui bahwa pada beberapa tempat, seperti di Jawa Timur, Medan, Kalimantan, dan Yogyakarta,
sebagian masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar karena masyarakat meyakini bahwa selain sebagai bahan pangan, daging kelelawar juga dapat
menyembuhkan penyakit tertentu, seperti asma dan alergi serta dapat meningkatkan stamina. Di Sukabumi, daging kelelawar diolah menjadi abon
untuk diperdagangkan dengan label dapat menyembuhkan penyakit asma, walaupun belum ada informasi ilmiah yang menguatkan secara pasti tentang jenis
kelelawar yang dikonsumsi sebagai bahan pangan yang berfungsi untuk menyembuhkan asma. Diduga daging kelelawar mengandung komponen aktif
berupa senyawa steroid dan senyawa kitotifen. Steroid adalah sejenis lipid yang berfungsi sebagai hormon pengatur tubuh. Kitotifen adalah antihistamin yang
berfungsi untuk menstabilkan membran sel-sel mastosit dan menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan hipersensitivitas Klooker
et al. 2010. Sel-sel mastosit kaya akan histamin dan leukotrin yang bertanggung jawab atas awal mula terjadinya asma akibat alergi. Histamin adalah senyawa
turunan dari asam amino yang terlibat dalam tanggapan imun Bratawijaya 1988. Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI 2007 bahwa asma
adalah inflamasi saluran napas, dan salah satu pemicu asma adalah alergi Bratawidjaya Sundaru 1981.
Seiring dengan permintaan konsumen terhadap daging kelelawar, dan adanya pemeo bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, maka
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan mulai bergeser, yaitu pangan yang diminati bukan sekadar mempunyai nilai gizi dan cita rasa yang enak, tetapi juga
memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh yang dikenal sebagai pangan fungsional Wijaya 2002. Pangan fungsional menurut Undang Undang No. 7 1996 dan
Badan Pengawas Obat dan Minuman Republik Indonesia BPOM RI 2011 adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau
lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan.
Daging kelelewar diduga mempunyai potensi sebagai pangan fungsional, karena diduga selain memiliki nilai gizi yang baik, juga mengandung komponen
aktif. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa komponen aktif hasil ekstraksi, seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, terpenoid, dan steroid berfungsi
sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan sebagai hormon pengatur tumbuh yang terdapat pada hewan, tumbuhan, dan rempah-rempah Yohnny et al. 2003,
Chaovanalikit Wrolstad 2004, Handayani et al. 2008, Sukadana et al. 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-
rempah, seperti jahe, kunyit, cabe rawit, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan kelelawar olahan disukai dan banyak diminati di
Minahasa dan Manado. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konsumen diperoleh informasi bahwa mereka mengkonsumsi daging kelelawar olahan bukan
karena mereka menyadari bahwa daging tersebut sebagai sumber gizi, tetapi karena daging kelelawar lezat dan enak. Daging kelelawar sebagai lauk
merupakan salah satu pangan tradisional alternatif sumber daging selain daging ternak konvensional lainnya. Pangan tradisional pada umumnya memiliki
kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya mikrobiologi Khalafalla et al.1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Adanya bahaya tersebut sering kali
ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktik sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya
kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional Setiowati Mardiastuty 2009.
Kelelawar sebagai bahan pangan mempunyai keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan ternak konvensional karena hampir semua komponen tubuh
kelelawar, yaitu karkas, sayap, rongga dada, dan rongga perut diolah bersama untuk dikonsumsi. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan,
Minahasa, Sulawesi Utara, diperoleh data bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap penjual per hari adalah 50 kg, dengan bobot masing-masing kelelawar rata-
rata 300-600 g. Berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat penjual kelelawar di Pasar Bersehati, Manado, diperoleh informasi bahwa rata-
rata kelelawar yang habis terjual sebanyak 100 ekor per hari, atau setiap harinya daging kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 30-50 kg.
Mempertimbangkan minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging kelelawar olahan dan sumbangan daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi
daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan ketersediaannya. Laporan ilmiah yang mengungkapkan jenis-jenis kelelawar pemakan buah
yang dikonsumsi, produksi karkas dan daging, kandungan komponen aktif, komposisi nilai gizi yang baik dan aman dikonsumsi, serta tingkat penerimaan
masyarakat terhadap daging kelelawar olahan sampai saat ini belum tersedia. Sampai sejauh ini, bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit
tertentu masih merupakan pemeo. Oleh karena itu, manfaat dan khasiat ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik
untuk dilakukan dan diharapkan data hasil penelitian ini merupakan informasi awal untuk menjadikan daging kelelawar sebagai salah satu alternatif ternak
penghasil daging yang bersifat fungsional.
Tujuan Penelitian
a. Melakukan identifikasi berdasarkan morfometri, struktur gigi, dan
ciri-ciri fisik tubuh untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan sebagai bahan pangan di Sulawesi.
b. Mengkaji distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan
buah di Sulawesi. c.
Mengkaji kandungan gizi, sifat fisik, dan sifat kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging ternak konvensional.
d. Mengkaji tingkat penerimaan daging kelelawar yang dimasak rica-rica
dan kari dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional e.
Mengkaji kandungan komponen bioaktif daging kelelawar pemakan buah, dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional, dan
ikan cakalang. f.
Mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan yang disimpan selama 14 hari.
g. Membuktikan potensi kelelewar sebagai pangan fungsional yang aman
berbasis pangan tradisional yang disukai dan aman untuk dikonsumsi.
Manfaat Penelitian
a. Sebagai informasi ilmiah awal tentang jenis-jenis kelelawar pemakan
buah di Sulawesi yang dijadikan bahan pangan. b.
Sebagai informasi ilmiah awal tentang distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi.
c. Sebagai pembuktian ilmiah tentang kandungan senyawa aktif, nilai
gizi, dan tingkat penerimaan konsumen terhadap kelelawar pemakan buah di Sulawesi dan beberapa hewan konvensional sebagai pangan
yang merupakan keanekaragaman sumber daya hayati lokal.
d. Memperkuat klaim kasiat dan potensi kelelawar sebagai bahan pangan
yang aman dikonsumsi dan mempunyai fungsi fisiologis yang dapat memberi manfaat bagi kesehatan tubuh.
e. Menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang pangan, khususnya
pangan berbasis tradisional sebagai pangan fungsional f.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk pengembangan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai
komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus acuan untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber
plasma nutfah Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri atas 6 tahap. Tahap ke-1. Survei lapangan meliputi enam daerah di Sulawesi dengan kegiatan
penelitian yaitu identifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah. Tahap ke-2. Produktivitas karkas dan komponen karkas kelelawar pemakan buah
yang teridentifikasi. Tahap ke-3. Kualitas daging yang meliputi sifat-sifat fisik daging dan nilai gizi
daging kelelawar yang meliputi komposisi kimia, kandungan kolesterol, kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kandungan asam-asam amino
esensial dan nonesensial. Tahap ke-4. Uji fitokimia daging kelelawar dan daging ternak konvensional, serta
bumbu masak, yang dilanjutkan dengan karakterisasi komponen aktif, khususnya pada daging kelelawar yang positif mengandung senyawa aktif yang intensitas
warnanya sangat kuat dan ketersediaan daging di pasaran. Tahap ke-5. Uji penerimaan konsumen terhadap daging kelelawar olahan
dibandingkan dengan daging olahan ternak konvensional serta ikan. Tahap ke-6. Uji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan
kari yang disimpan selama 14 hari.
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Kelelawar
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mamalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163
spesies, dan subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan 814 spesies Corbet Hill 1992, Flannery 1995. Megachiroptera adalah
kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari, dan Microchiroptera adalah kelawar yang kebanyakan memakan serangga dan hanya sebagian kecil
yang pemakan buah dan nektar Yalden Morris 1975. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera, 133 spesies subordo
Microchiroptera. Di Sulawesi, subordo Megachiroptera terdapat 11 genus, 22 spesies, yaitu
Acerodon Jourdan, 1837; L.F.I yang terdiri atas 2 spesies, yaitu Acerodon celebensis Peters, 1867 dengan nama daerah kalong sulawesi yang tersebar di
Sulawesi, dan Acerodon humilis K Andersen, 1909 dengan nama daerah kalong talaud yang tersebar di Pulau Karakelang dan Salibabu Kepulauan Talaud. Boneia
Jentink, 1879 hanya 1 spesies, yaitu Boneia bidens, Jentink 1879 dengan nama daerah cecudu sulawesi yang hanya tersebar di Sulawesi. Chironax Andersen,
1912; L.F.2 hanya 1 spesies, yaitu Chironax melanocephalus Temminck, 1825 dengan nama daerah bakul kepala hitam yang tersebar di Thailand, Malaysia,
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Pteropus Erxlebe, 1777 terdiri atas 5 spesies, yaitu Pteropus alecto Temminck, 1837 dengan nama
daerah kalong hitam yang tersebar di Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Ambon, Papua Barat, Panua Niugini, dan Australia, Pteropus caniceps
Gray, 1844 dengan nama daerah kalong morotai yang tersebar di Sulawesi dan Maluku, Pteropus griseus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah kalong kelabu
yang tersebar di Filipina, Sulawesi, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Pteropus pumilus Miller, 1910 dan Pteropus speciosus Andersen, 1908 dengan nama
daerah kalong laud yang tersebar di Filipina dan Kepulauan Talaud. Nyctimene Borkhausen, 1797 terdiri atas 2 spesies, yaitu Nyctimene cephalotes Pallas, 1767
dengan nama daerah paniki pallas yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua Niugini, dan Nyctimene minitus K
Andersen, 1910 dengan nama daerah paniki sulawesi yang tersebar di Sulawesi, Pulau Buru, dan Maluku. Chynopterus F Cuvier, 1824 terdiri atas 2 spesies, yaitu
Chynopterus luzoniensis Peters, 1861 dengan nama daerah codot sulawesi yang tersebar di Filipina dan Sulawesi, dan Chynopterus minutus Miller, 1906 dengan
nama daerah codot mini yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Dobsonia Palmer, 1898 terdiri atas 3 spesies, yaitu Dobsonia exoleta K
Andersen, 1909 dengan nama daerah kubu sulawesi tersebar hanya di Sulawesi, Dobsonia minor Dobson, 1879 dengan nama daerah kubu kecil tersebar di
Sulawesi, dan Papua Barat, Dobsonia viridis Heude, 1896 dengan nama daerah kubu hijau tersebar di Sulawesi, dan Maluku. Neopteryx Hayman, 1946 hanya 1
spesies, yaitu Neopteryx frosti dengan nama daerah cocot gigi kecil tersebar hanya di Sulawesi. Thoopterus Matschie, 1899 hanya 1 spesies, yaitu Thoopterus
nigrescens dengan nama daerah codot walet tersebar di Sulawesi dan Maluku. Macroglossus F Cuvier, 1824 hanya 1 spesies, yaitu Macroglossus minimus E
Geoffroy, 1810 dengan nama daerah cecudu pisang kecil tersebar luas di Indonesia, kecuali Sumatera, Thailand, Papua Niugini, Indocina, Filipina, dan
Australia. Rousettus Gray, 1821 terdiri atas 3 spesies, yaitu Rousettus amplexicaudatus E Geoffroy 1810 dengan nama daerah nyap biasa tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Kepulauan Bismarck, dan Solomon, Rousettus celebensis K Andersen, 1907 dengan nama
daerah nyap sulawesi tersebar di Sulawesi dan Maluku Flannery 1995, Suyanto 2001, dan Rousettus linduensis tersebar di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah Maryanto Yani 2003 Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan yaitu,
Microchiroptera menggunakan ekolokasi untuk orientasi saat terbang, memiliki mata yang kecil, memiliki tragus dan antitragus, yaitu bagian yang menyerupai
tangkai yang terletak di dalam telinga, sedangkan Megachiroptera lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat
dengan jelas, serta memiliki cakar pada jari kedua Flannery 1995, Suyanto 2001.
Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar, seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata,
telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis pakannya. Megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bisa
mencapai bobot lebih dari 1500 g, dan moncong seperti anjing. Microchiroptera umumnya berukuran lebih kecil, ukuran paling kecil 2 g dan paling besar 196 g
Suyanto 2001. Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan pada malam hari dan beristirahat di siang hari, dan mempunyai tempat tinggal
yang sangat bervariasi, ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua, gulungan dedaunan dan celah-celah pada ruas bambu Hill Smith 1984.
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena perannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai
penyerbukan bunga dan buah-buahan Bumrungisri et al. 2009, Dumont 2004, oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee
2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008, Afolabi et al. 2009, dan diyakini dapat menyembuhkan suatu penyakit Mohd-Azlan et al. 2001.
Karakteristik Fisik-Kimia Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ, seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot, termasuk
ke dalam definisi ini Lawrie 2003, Soeparno 2005. Karakteristik fisik dan kimia daging segar antara lain ditentukan oleh susut masak, daya mengikat air oleh
protein daging, keempukan, dan pH Aberle et al. 2001. Susut masak atau cooking loss didefinisikan sebagai hilangnya cairan daging akibat pemasakan.
Susut masak merupakan indikator nilai gizi yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot, dan
besarnya nilai susut masak bervariasi antara 1.5-54 Aberle et al. 2001, Soeparno 2005. Daya mengikat air atau Water Holding Capacity WHC
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya selama aplikasi daya eksternal, seperti, pemotongan, pemanasan, dan pengepresan Aberle et al.
2001. pH atau derajat keasaman daging segar berkisar antara 5.5-6.4. pH akhir
daging mencapai titik isoelektrik 5.2-5.4 apabila jumlah gugus reaktif dari protein otot yang dimuati secara positif dan negatif sama, sehingga gugus tersebut
cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air Aberle et al. 2001. Keempukan merupakan salah satu faktor
berhubungan dengan palatabilitas. Kesan keempukan mencakup tekstrur yang melibatkan aspek kemudahan awal menggigit, mudah dikunyah menjadi bagian
kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan Lawrie 2003. Keempukan daging dapat diuji berdasar sensory test atau uji organoleptik yang
dilakukan oleh uji panel Setyaningsih et al. 2010
Komposisi Kimia Daging Beberapa HewanTernak
Kandungan zat gizi daging merupakan salah satu penentu kualitas daging. Secara umum susunan kimia daging terdiri atas air 65-80 , protein 16-22,
lemak 1.5-13, dan zat terlarut bukan protein 2.3, dan selebihnya adalah vitamin Aberle et al. 2001. Air merupakan unsur utama daging dilihat secara
kualitas, yang dapat mempengaruhi juiciness, keempukan, warna, dan citarasa daging. Kadar air dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, dan kadar lemak
dalam daging. Karbohidrat dan substansi non protein dalam daging terdapat dalam bentuk glikogen dan glukosa. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar
air, kadar protein, dan kadar lemak, sehingga daging tanpa lemak secara relatif lebih banyak mengandung mineral Aberle et al. 2001. Kadar abu daging
bervariasi antara 0.5-1.5 Soeparno 2005. Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa
kolagen yang terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Di dalam otot, proporsi protein terbesar terdapat pada miofibril, yaitu lebih besar dari 50 dan sisanya
dalam jumlah kecil berupa protein regulator Aberle et al. 2001. Protein terdiri atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino
terdiri atas asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga perlu tersedia dalam bahan pangan. Asam amino
yang dapat disintesis oleh tubuh digolongkan sebagai asam amino nonesensial Murray et al. 2003.
Lemak daging merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding karbohidrat dan protein. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin larut lemak dan
memberi rasa enak pada makanan Aberle et al. 2001. Lemak triasil gliserol tersusun oleh gliserol dan asam lemak. Asam lemak adalah asam organik berantai
panjang yang mempunyai atom karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak dapat dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh saturated fatty acid dan asam lemak
tidak jenuh unsaturated fatty acid.Tingkat kejenuhan asam lemak dapat mempengaruhi penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya titik cair Lawrie 2003.
Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan, seperti, kuning telur, daging,
hati, dan otak. Kolesterol merupakan senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam keadaan normal untuk membentuk membran sel, sistem saraf pusat, dan vitamin.
Kolesterol terdapat dalam darah bersama dengan trigliserida. Kolesterol berada dalam keadaan bebas ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh Wibraham
Matta 1992.
Keamanan Daging dan Produk Olahannya
Di Indonesia, proses pengolahan daging sangat bervariasi, baik diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional pengolahan daging
didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, dan
pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan
pangan yang diolah. Secara alami, rempah-rempah mengandung berbagai macam komponen aktif yang sangat besar perannya dalam penciptaan cita rasa suatu
produk. Rempah-rempah telah terbukti memiliki senyawa antioksidan yang diperlukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Komponen bioaktif yang
berdapat pada kemangi adalah steroidtritepenoid Hendarwati 2009 , pada sereh adalah sitral dan geraniol, cabai merah kapcaisin, hidrokapsaisin, vitamin A,
vitamin C, zat warna kapsantin, serta karoten yang berkhasiat sebagai antirematik, dan peluruh kencing atau diuretik. Daun batang bawang mengandung komponen
aktif, seperti flavonoid, saponin, dan steroid. Jahe memiliki komponen aktif, seperti zingiberen, curcumin, filandren, gingerol, dan shogaol yang berfungsi
sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, rematik, dan kekebalan tubuh. Kunyit memiliki komponen aktif kurkominoid dan komponon fenolik yang
berfungsi sebagai antikolesterol dan penghilang rasa nyeri Winarti Nurdjana 2005. Rahayu 2000 melaporkan bahwa penggunaan bumbu masak dapat
membantu bahan-bahan lainya dalam bahan makanan untuk menghambat sejumlah mikrob.
Pemasakan daging merupakan langkah untuk mendapatkan makanan secara mikrobiologi lebih aman. UU Pangan No.7 tahun 1996 mendefinisikan
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Batas cemaran mikrob daging, produk daging, dan daging hewan buruan mentah adalah angka
lempeng total ALT 1 x 10
6
cfumL, Koliform 1x10
2
cfumL, Salmonella sp 1x10
1
cfumL, Staphylococcus Aureus 1x10
2
cfumL, Campylobacter sp negatif25 mL. Batas cemaran mikrob produk olahan daging, daging unggas, dan daging
hewan buruan adalah ALT 30 ºC, 72 jam 1 x10
5
cfumL, Escherichia coli 3mL, Salmonella sp. negatif25 mL, S. Aureus 1x10
2
cfumL, Bacilus careus 1x10
2
cfumL BSN 2009.
Metabolit Sekunder
Pada dasarnya senyawa-senyawa pangan bagi berbagai kehidupan mempunyai peranan universal sama, yaitu sebagai bahan energi, sebagai bahan
struktural, serta untuk fungsi-fungsi fisiologis. Senyawa-senyawa demikian mempunyai fungsi vital dan pola biosintesis maupun perombakannya dalam
berbagai jenis kehidupan mengikuti tapak-tapak yang sama. Lintasan metabolismenya tergolong pada metabolisme primer. Berbagai senyawa
bioorganik hewan, mikrob dan tumbuhan yang tidak berperan dalam proses metabolisme primer disebut metabolit sekunder. Metabolisme sekunder
mengiringi metabolisme primer karena metabolisme primer menghasilkan metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder sangat berbeda antar
spesies. Metabolit sekunder dapat juga dianggap sebagai hasil ekstraksi yang tidak berguna bagi kehidupan yang menghasilkannya. Metabolit sekunder pada hewan
tidak selalu hasil sintesis dalam tubuh hewan itu sendiri, sering hal tersebut
dihasilkan oleh pola dan kebiasaan makannya. Komponen aktif hasil metabolit sekunder pada hewan umumnya disimpan dalam jaringan khusus seperti alkoloid
salamander kodok ditemukan dalam kelenjar kulit Moeljohardjo 1990. Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan
antidegranulasi sel-sel mastosit. Handayani et al. 2008 melaporkan bahwa ekstrak metanol spon laut acanthodendrilla sp kosentrasi 25 µgmL sampai
dengan 400µgmL dapat menghambat sel-sel mastosit yang diinduksi dengan antigen putih telur ayam ras konsentarsi 50 secara in vivo. Nurjanah et al.
2008 melaporkan bahwa ekstrak steroid dari teripang pasir dapat meningkatkan kadar testoteron pada mencit.
Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, isoprene, terpena, dan steroid. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari fungi,
tumbuhan dan hewan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan, tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan. Isoprena dihasilkan secara alamiah oleh tumbuhan dan hewan. Isoprena biasa juga dikandung dalam kadar
rendah pada banyak bahan pangan. Terpena merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sejumlah hewan. Sebagai
contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena. Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh
tumbuhan. Kandungan minyak atsiri mempengaruhi penggunaan produk rempah- rempah, baik sebagai bumbu, sebagai wewangian, serta sebagai bahan pengobatan
kesehatan Moeljohardjo 1990. Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan
bebas, sedangkan pada tanaman dalam keadaan glikosida. Pada sterol-sterol hewani, kebanyakan bertindak sebagai senyawa induk ialah lanosterol yang dalam
tubuh hewan diubah menjadi sterol-sterol yang lain. Lanosterol ialah yang pertama diubah menjadi kolesterol melalui zimosterol. Kolesterol adalah
intermediat penting dalam sintesis steroid baik pada hewan Murray et al. 2003. Beberapa steroid bersifat anabolik. Secara fisiologi, steroid anabolik dapat
membuat seseorang menjadi agresif. Hormon steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu
Johny et al. 2003. Saleh 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid clionesterol mempunyai
aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL kg bb mencit jantan.
Pangan Fungsional
Pangan menurut Badan Pengawasan Obat dan Minuman Republik Indonesia UU No. 7 1996, BPOM 2011 adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah dan diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan, sedangkan pangan
fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak berbahaya dan bermanfaat bagi kesehatan. Suatu pangan dapat dikategorikan
menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang
mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi
tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah, dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan
mental, serta memperlambat proses penuaan dini Gibson Williams 2000.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan,
sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara, kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar
dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu
dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri- ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar
pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang
terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang
ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene
cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah,
Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah.
Kata kunci : kelelawar pemakan buah, morfometri, identifikasi.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The presence of bats is very important for human life, because of its role as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In
Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of
the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats. Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to
determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in
Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the
site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in
Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea, Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado,
North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi. Keywords : fruit bats, morphometric, identification
Pendahuluan
Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera.
Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili,
yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies.
Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta ecolocation Corbet Hill 1992. Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran
besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di Sulawesi, subordo megachiroptera Pteropodidae terdapat 11 genus dan 22
spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp. satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus
spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies
Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto Yani 2003. Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan
Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008,
Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009, serta sebagai obat tradisional Mohd-Azlan et al. 2001. Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging
kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering
dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan Lee 2000b. Lee et al. 2005 melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di
Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun
hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar
Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis kelelawar yang dipasarkan adalah P.
alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per hari.
Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. 2006 melaporkan bahwa
diduga ada 24 kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon
masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A.
humilis IUCN Redlist 2012. Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan
bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu
dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi morfomeri kelelawar.
Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan ciri-
ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas
alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu 1 Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; 2
Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1°
06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; 3 Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso; 4 Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea,
Kecamatan Mori Bawah, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, di titik
ordinat 01°59᾿15,6”S, 121°08’48,8” E; 5 Hutan mangrove Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, di titik
ordinat 02°40᾿56.0”S, 122°00’26,1” E; 6 Hutan Tapa, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo di titik ordinat
00°41᾿55.0”S, 122°51’00.0”E. Pertimbangan melaksanakan penelitian di enam lokasi ini ialah hasil survei lapangan bahwa tempat-tempat ini merupakan jalur
perdagangan dan perburuan kelelawar. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa semua lokasi penelitian terletak di jalur trans-Sulawesi. Penelitian dilaksanakan
selama 6 enam bulan, yaitu bulan April hingga Oktober 2011.
Bahan dan Alat Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS Global Position System, jangka sorong, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan,
kamera, alkohol, kloroform, formalin, kapas, tofles, dan beberapa spesies kelelawar pemakan buah.
Metode Penelitian
Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara langsung pada saat bulan baru di tiap-tiap lokasi. Teknik penangkapan dilakukan dengan dua cara,
yaitu menggunakan jaring kabut yang dipasangkan di dekat gua dan tempat yang diduga dilalui kelelawar pada waktu malam dan menggunakan kail nomor 12
yang dipasang di sekitar pohon tempat kelelawar tidur pada waktu malam. Cara pertama dilakukan untuk jenis Dobsonia sp, Nyctimene sp, Rousettus sp,
Thoopterus sp, sedangkan cara kedua untuk jenis P. alecto dan A. celebensis. Kelelawar yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kandang untuk
diidentifikasi. Identifikasi kelelawar dilakukan dengan cara pengambilan gambar pada kelelawar hidup, pengukuran bagian-bagian tubuh, termasuk tengkorak, serta
struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar Suyanto 2001. Untuk menindaklanjuti hasil identifikasi dengan pengukuran karakter morfometri,
beberapa spesimen kelelawar dibawa ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong untuk dicocokkan dengan spesimen kelelawar yang ada di labaratorium tersebut.
Sebelum dibawa ke laboratorium, kelelawar terlebih dahulu difiksasi dengan formalin 4-8 netral selama 12 jam.
Identifikasi kelelawar pemakan buah didasarkan pada ciri-ciri fisik, ukuran tubuh, ukuran tengkorak, dan struktur gigi menggunakan kunci identifikasi
kelelawar. Karakter yang diamati adalah cici-ciri fisik tubuh, struktur gigi, ukuran tubuh, dan tengkorak. Peubah yang diukur untuk ukuran tubuh dan tengkorak
adalah panjang ekor, yang diukur dari panjang pangkal ekor sampai ujung ekor.
Panjang kaki belakang diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Panjang telinga diukur dari pangkal telinga sampai ujung telinga terjauh. Panjang betis
diukur dari lutut sampai pergelangan kaki. Panjang lengan bawah sayap diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang
melengkung. Panjang tengkorak total diukur dari titik paling belakang pada tengkorak belakang sampai ke titik terdepan pada rahang atas. Panjang tengkorak
conylobasal diukur pada titik condylus occipytalus yang paling belakang sampai titik terdepan pada rahang atas di antara gigi seri pertama kanan dan kiri. Panjang
tengkorak condylocaninus diukur dari titik pada condylus occipitalis yang paling belakang sampai titik terjauh pada taring. Lebar tulang pipi adalah jarak terlebar
antara tulang pipih kanan dan kiri Suyanto 2001, Maharadatunkamsi Maryanto 2002. Tingkat ketelitian pengukuran tubuh dan tengkorak adalah 1 milimeter dan
untuk bobot badan adalah 1 g. Sebelum dilakukan pengukuran tengkorak dan gigi, bagian kepala dan bagian daging dikeluarkan dengan cara direbus terlebih dahulu.
Analisis Data
Metode deskriptif dengan tabel dan narasi digunakan untuk menjelaskan data ciri-ciri fisik tubuh, ukuran tubuh, dan tengkorak. Selain itu analisis
dilakukan untuk melihat struktur komunitas kelelawar berdasarkan tingkat kelimpahan jenis. Kesamaan suatu spesies ditentukan berdasarkan karakter
morfometri dan kelimpahan jenis pada setiap lokasi penelitian, menggunakan analisis kluster berupa dendogram.
Hasil dan Pembahasan Jenis-Jenis Kelelawar
Jenis-jenis kelelawar pemakan buah beserta jumlah individu yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1. Kesepuluh jenis
kelelawar yang ditemukan, tujuh jenis dapat diidentifikasi sampai spesies berdasarkan ciri fisik, ukuran tubuh, tengkorak, dan stuktur gigi, dan tiga jenis
hanya sampai pada genus karena mempunyai ciri fisik yang berbeda, yaitu Pteropus sp, Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Tiga spesies merupakan
endemik Sulawesi, yaitu A. celebensis, D. exoleta, N. cephalotes, empat spesies, yaitu R. celebensis dan T. nigrescens tersebar di Sulawesi dan Maluku, P. alecto
tersebar di Sulawesi, Maluku, Ambon, Nusa Tenggara, Papua Barat, Papua Nuigini, dan Australia, serta R. amplexicaudatus tersebar di Indonesia, Malaysia
Timur, Filipina, dan Asia Tenggara Flannery 1995. Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi
pengambilan sampel
A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Berdasarkan pada lokasi penangkapan, jenis kelelawar yang paling banyak
ditemukan 6 jenis dengan jumlah individu 64 ekor terdapat di Desa Pukuure, di Lumaya dua spesies dengan jumlah individu 50 ekor, di Kolono dua jenis dengan
jumlah individu 42 ekor, di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Peonea masing- masing satu jenis dengan jumlah individu masing-masing 32 ekor, 9 ekor, dan 26
ekor. Analisis cluster mengelompokkan keenam lokasi dalam empat kelompok lokasi dengan tingkat kesamaan 78.01 Gambar 1. Keempat kelompok lokasi
itu terdiri atas kelompok 1, yaitu Pasar Bersehati dan Matialemba, kelompok 2,
Jenis Kelelawar
A
B C
D E
F Total
A. celebensis 29
28 57
D. exoleta 4
4 N. cephalotes
12 12
P. alecto 32
9 14
55 Pteropus sp.
21 21
R. amplexicaudatus 7
16 23
R. celebensis 2
2 T. nigrescens
15 15
Thoopterus sp.1 11
11 Thoopterus sp.2
13 13
Total 32
64 50
9 16
42 213
IndividuLokasi
yaitu Lamaya dan Kolono, kelompok 3, yaitu Pakuure, dan kelompok empat, yaitu Peonea. Hal ini berarti bahwa kehadiran jenis dan kelimpahan kelelawar dari
masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh kondisi habitat. Secara umum, kondisi keenam lokasi hampir sama karena
memiliki hutan primer dan hutan sekunder dengan struktur vegetasi yang beragam, yang merupakan tempat kelelawar bertengger dan mencari makan.
Demikian pula keadaan bentang alam dengan ketersediaan berbagai sumber air menyebabkan kelembapan tanahnya tinggi sehingga sangat baik untuk habitat
satwa.Walaupun demikian, lokasi Pakuure dan Peonea berdiri sendiri.
A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Gambar 1 Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya,
Matialemba, Peonea, dan Kolono. Perbedaan ini karena di Pakuure, selain memiliki hutan primer dan hutan
sekunder, juga memiliki perkebunan rakyat yang di dalamnya terdapat jenis buah- buahan, seperti pisang, pepaya, duren, mangga, dan rambutan sebagai sumber
pakan. Sebaliknya, di Peonea, walaupun lokasi habitat kelelawar berada di hutan lindung, kehadiran kelelawar di hutan hanya untuk mencari makan, sedangkan
tempat bertengger dan tidur berada di gua yang terletak di dalam hutan, dan kehadiran kelelawar di dalam gua membentuk koloni dengan spesies yang sama.
Selain itu, juga terdapat perkebunan rakyat berupa perkebunan cokelat, jeruk, dan pepaya yang merupakan sumber pakan.
Berdasarkan struktur gigi, ukuran lengan bawah sayap, dan panjang telinga Pteropus sp dapat digolongkan ke dalam P. alecto, namun berdasarkan
warna tubuh masih diragukan, karena Pteropus sp memiliki warna kuning kecokelatan di daerah leher, sebagian punggung dan kepala yang berwarna
B E
F C
D A
34.04 56.02
78.01 100.00
Lokasi
Ti ng
ka t K
es am
aa n
Kelompok Lokasi
kontras dengan warna bagian tubuh yang hitam, sedangkan P. alecto berwarna hitam pada seluruh tubuh Gambar 2.
Gambar 2 Perbedaan warna Pteropus sp a dan P. alecto b pada bagian leher dan punggung.
Analisis cluster yang didasarkan pada ukuran tubuh dan ukuran tengkorak Gambar 3 menunjukkan bahwa Pteropus sp yang berasal dari Lamaya
mempunyai tingkat kesamaan yang mencapai 99.54 dan 99.95 dengan P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.
PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM: P.alecto Matialemba, PaK: P.alecto
Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM:
P.alecto Matialemba,
PaK:P.alecto Kolono, PaL: P. alecto Lamaya.
Gambar 3 Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.
PaL PaK
PaM PaB
99.54 99.70
99.85 100.00
Lokasi
T in
gk at
k es
am aa
n
Ukuran Tubuh
PaK PaL
PaM PaB
99.95 99.97
99.98 100.00
Lokasi
T in
gk at
k es
am aa
n
Ukuran tengkorak
a
b
Melihat tingkat kesamaan yang besar berdasarkan ukuran badan dan tengkorak maka Pteropus sp yang berasal dari Lamaya dapat dikelompokkan
bersama P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. Dua jenis Thoopterus sp tidak digolongkan bersama dengan T. nigrescens karena
T. nigrescens berwarna cokelat kemerahan dan abu yang menyebar pada seluruh tubuh. Thoopterus sp 2 memiliki warna abu-abu, dan Thoopterus sp 1 memiliki
warna cokelat pada bagian leher belakang sampai ekor, sedangkan pada kepala, perut, dan lengan berwarna abu-abu Gambar 4.
Gambar 4 Perbedaan T. nigrescens a, Thoopterus sp 1 b dan Thoopterus sp 2 c berdasarkan warna tubuh.
Analisis cluster dari ketiga jenis kelelawar Thoopterus yang didasarkan pada tengkorak dan ukuran tubuh Gambar 5 menunjukkan tingkat kesamaan
a.belakang
b. belakang
c. belakang a. muka
b. muka
c. muka
yang mencapai 99.91 dan 99.02. Oleh karena itu, Thoopterus sp dapat dikelompokkan dengan T. nigrescens.
TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai
genus, TnP2:Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus.
TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai
genus, TnP2 :Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus.
Gambar 5 Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure.
Spesies dari jenis Pteropus sp dan Thoopterus sp ini dipastikan dengan membawa contoh ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong Jl. Raya Jakarta-
Bogor KM 46 Cibinong untuk dibandingkan dengan spesimen utama yang dipakai sebagai acuan pemberian nama spesies Holotype, namun holotype tidak tersedia.
Karekteristik A. celebensis
Berdasarkan identifikasi morfometri diketahui bahwa genus Acerodon yang diperoleh dalam penelitian adalah A. celebensis. Flannery 1995, Suyanto 2001
melaporkan bahwa genus Acerodon di Indonesia ada tiga jenis, yaitu A. mackloti di Nusatenggara, serta A. celebensis, dan A. humilis di Sulawesi. Rataan,
simpangan baku, jumlah sampel, dan kisaran parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 1. Rataan variabel pengukuran ukuran
tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot badan A. celebensis dari Desa Lamaya Gorontalo lebih kecil 56.11 g dibandingkan dengan yang berasal
dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Perbedaan bobot badan maksimum dan minimum dari Gorontalo 94.9 g, sedangkan dari Kolono 286 g. Perbedaan ini
menggambarkan bobot badan A. celebensis dari Lamaya Gorontalo tidak banyak bervariasi, dibandingkan dengan A. celebensis dari Desa Kolono Sulawesi
Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah polulasi di Lamaya mulai
TnP2 TnP1
TnP 99.91
99.94 99.97
100.00 Jenis kelelawar
T in
g k
at k
es am
aa n
Ukuran tubuh
TnP1 TnP2
TnP 99.02
99.35 99.67
100.00 Jenis kelelawar
T in
g k
at k
es am
aa n
Ukuran tengkorak
mengalami penurunan yang disebabkan oleh perburuan yang tidak terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penangkap dan
penjual di lokasi penelitian diketahui bahwa penangkapan kelelawar di Lamaya dilakukan setiap hari, dan hasil penangkapan ada yang langsung dipasarkan, ada
juga yang dikumpulkan ke penampung dan setiap minggunya dipasarkan ke lokasi pemasaran, seperti Minahasa dan Manado. Sebaliknya, di Kolono, penangkapan
kelelawar dilakukan sesuai dengan pesanan, dan setiap dua minggu diambil oleh pengumpul di lokasi penangkapan. Selain itu, aktivitas masyarakat untuk
pemburuan masih kurang.
bb : bobot badan, pb : panjang badan, plb: panjang lengan bawah, pb: panjang
betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran,
pb,plb,pbt,pk dan pt =milimeter ptt : panjang tengkorak, cbl : panjang
tengkorak condylobasal, ccs : panjang tengkorak condylocaninus, ra : panjang
baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm
: lebar baris gigi molar
Gambar 6 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono.
Rataan lengan bawah sayap, betis, telinga, dan tengkorak total A. celebensis dari Gorontalo lebih pendek dibandingkan A. celebensis dari Sulawesi
Tengah, namun parameter ini sesuai ukuran yang dilaporkan Flannery 1995, yaitu A. celebensis bobot badan 250-500 g mempunyai panjang lengan bawah
sayap 120.5-144.3 mm, telinga 28.8-31.1 mm, dan panjang betis 50.2-54.3 mm, serta tengkorak total 62.5-64.9 mm Suyanto 2001. Parameter lain dari
komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.
Karakteristik fisik A. celebensis yang teridentifikasi adalah memiliki cakar pada jari kedua, tidak ada ekor, warna tubuh cokelat kekuningan, sayap cokelat
dan pada jari sayap kedua dan tiga berwarna kuning muda Gambar 7. Rumus
bb pb
plb pbt
pk pt
Lamaya 354.14 213.29
136.86 59.29