118.48 19.06 31.86 Identifikasi morfometri karakteristik dan ekstraksi komponen bioaktif daging kelelawar di Sulawesi
Orellana C et al. 2009. Carcass characteristics, fatty acid composition, and meat quality of criollo argentino and braford steers raised on forage in a semi-
tropical region of argentina. Meat Sci 81:57-64. Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and
development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150. Sents AE, Walters, Whiteman JV. 1982. Performans and carcass characteristics of
ram lambs based on slaughtered different weight. J Anim Sci 606:1360- 1368.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press.
Warsono IU, Priyanto R. 2011. Sifat biologis dan karakteristik karkas bandikot Echymipera kalubu. Berk Penel Hayati Ed Khusus 4B:13-19.
KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kualitas Daging Kelelawar Dibandingkan dengan Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh RARAH
RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian eksplorasi ini bertujuan untuk mengkaji kualitas daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Kualitas
daging meliputi sifat fisik dan kimia daging. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak,
sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging
kelelawar Pteropus alecto yang disembelih, daging kelelawar Pteropus alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah
6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92±2.95, 32.63±1.00, 44.78±0.68, 45.78±3.59, dan
43.23 ±1.13, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12, 36.46±1.39, 19.45±1.46, 16.30±1.12, dan 27.32±0.72. Berdasarkan bahan segar
maka kadar protein daging kelelawar Pteropus alecto, kelelawar Nyctimene cephalotes, dan kelelawar Rousettus amplexicaudatus secara berturut-turut adalah
20.48, 21.73, dan 21.08, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84. Berdasarkan bahan kering, kadar protein Pteropus alecto, Rousettus
amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut- turut adalah 48.97 , 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41, kadar Lemak adalah
29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan 3.47, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27 , dan 9.90, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan
1.83, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72. Perbandingan
saturated fatty acid SFA,
monounsaturated fatty acid MUFA,
dan poliunsaturated fatty acid
PUFA untuk Acerodon celebensis adalah 17.21: 13.27:1, untuk Pteropus alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk Rousettus
amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1.
Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial untuk daging Acerodon celebensis adalah 1.16:1, untuk daging Pteropus alecto adalah 0.98:1, untuk
daging Rousettus amplexicaudatus adalah 1.05:1, untuk daging babi adalah 1.1:1, untuk daging ayam adalah 1.17:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar
kolesterol untuk Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg,
287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Kesimpulannya adalah Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus memiliki
kualitas fisik dan kimia daging sama dengan daging babi dan daging ayam, tetapi untuk SFA tinggi.
Kata kunci : kualitas daging, kelelawar, babi, ayam.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Meat Quality of Fruit Bats Compared With Pork, Chicken and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
The purpose of this exploratory study was to assess the quality of bats meat as compared to pork, chicken, and tuna. The physical properties observed
were pH,water holding capacity, and cooking loss. While the chemical properties observed were proximate analysis, amino acids, fatty acids, and cholesterol
concentrations. The results showed that the pH of unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 6.44 ± 0.08, 5.33 ±
0.02, 5.97 ± 0.06, 6.05 ± 0.07, 5.57 ± 0.04, respectively. Water holding capacity for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken,
and tuna were 48.92 ± 2.95, 32.63 ± 1.00, 44.78 ± 0.68, 45.78 ± 3.59, 43.23 ± 1.13, respectively. Cooking loss for unfrozen Pteropus alecto
meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 12.83 ± 1.12, 36.46 ± 1.39, 19.45 ± 1.46, 16:30 ± 1.12, 27.32 ± 0.72,
respectively. Based on the fresh matter, protein percentage of Pteropus alecto, Nyctimene cephalotes, and Rousettus amplexicaudatus were 20.48, 21.73,
21:08, respectively, and water percentage were 67.21, 62.45, 63.84, respectively. Based on dry matter, protein percentage of Pteropus Alecto,
Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, 69.41, respectively, fat percentage were 29.85, 22.63,
8.91 , 11.65, 3:47, respectively, water percentage were 5.76, 7:54, 9.92, 8:27, 9.90, respectively, Ca percentage were 10.62, 2:09, 1.09,
1.36, 1.83, and P percentage were 1.46 , 1.44, 0.69, 0.66, 0.72, respectively. Ratio of saturated fatty acid SFA, monounsaturated fatty acid
MUFA, and poliunsaturated fatty acid PUFA for Acerodon celebensis was 17.21:13.27:1, for Pteropus alecto was 23.36:13.131, for Rousettus
amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, for chicken was 2:1.5:1, and for tuna fish was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non
essential amino acids for Acerodon celebensis was 1.16:1, for Pteropus alecto was 0.98:1, for Rousettus amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for
chicken was 1.17:1, and for Tuna was 1.12: 1. Cholesterol levels for Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20 mg,
234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, 138.21 mg, respectively. The conclusion were Acerodon celebensis, Pteropus alecto, and Rousettus
amplexicaudatus have meat quality similar to pork and chicken.
Keywords : meat quality, fruit bats, pork, chicken.
Pendahuluan
Daging kelelawar hanya dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Brooke Tschapka 2002, Lee et al. 2005, Mohd-Azlan et al. 2001, Jenkins Racey 2008,
Afolabi et al. 2009. Walaupun daging kelelawar tidak merupakan pangan yang umum dikonsumsi semua orang, informasi tentang kualitas dan nilai gizinya perlu
diketahui. Dengan mengetahui nilai gizi, karakteristik fisik, dan kimia daging kelelawar maka kelelawar sebagai pangan asal hewan yang berkualitas dapat
dipercaya. Untuk mengetahui posisi daging kelelawar sebagai bahan pangan yang berkualitas, perlu dibandingkan dengan daging ternak konvensional dan jenis ikan
yang umum dijadikan sebagai bahan pangan dan diakui sebagai sumber protein yang tinggi, dengan komposisi asam amino yang lengkap, dan asam lemak yang
seimbang. Salah satu bahan pangan dari ternak konvensional yang sudah dikenal antara lain daging babi dan daging ayam, sedangkan jenis ikan yang dipilih ialah
ikan cakalang yang dikonsumsi hampir semua masyarakat, dan dapat dijangkau semua kalangan.
Sifat-sifat fisik daging yang berhubungan dengan kualitas daging adalah derajat keasaman, daya mengikat air, susut masak Aberle et al. 2001, Soeparno
2005, dan sifat kimia berhubungan dengan komposisi kimia, komposisi asam amino, komposisi asam lemak jenuh SFA, saturated fatty acid, asam lemak tak
jenuh rangkap satu MUFA, monounsaturated fatty acid, asam lemak tak jenuh rangkap banyak PUFA, polyunsaturated fatty acid , dan kadar kolesterol total
daging Murray et al. 2003, Lawrie 2003 Informasi ilmiah tentang karakteristik fisik dan kimia daging ayam, daging
babi, dan ikan sudah pernah dilakukan Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006, Rehfeldt et al. 2007, Florowski et al. 2006, Garcia et al. 2010, Kumar et al. 2011,
Robb et al. 2000, Wijayanti et al. 2006, Adebiyi et al. 2011, Salakova et al. 2009, namun dilakukan secara terpisah-pisah oleh peneliti yang berbeda dengan
kondisi yang berbeda pula. Informasi tentang kelelawar belum penah ada, oleh karena itu untuk mendapatkan informasi secara menyeluruh pada waktu, kondisi,
dan tempat yang sama telah dilakukan penelitian tentang kualitas fisik dan kimia daging kelelawar, khususnya Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus
amplexicaudatus yang dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat-sifat fisik dan profil kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang
sebagai sumber bahan pangan yang bernilai gizi tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk kajian-kajian
lanjutan tentang kelelawar dalam pengembangannya.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Pengeringan sampel daging dan analisis karakteristik fisik daging dilakukan di laboratorium bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi, Manado. Analisis komposisi kimia daging dilakukan di Laboratorium Pusat Sumberdaya dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor LPPM IPB. Analisis komposisi asam lemak dan asam amino dilaksanakan di Laboratorium Terpadu
Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor IPB. Analisis kadar kolesterol total dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu bulan Juli 2011-Maret 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian pendahuluan untuk mengetahui kadar protein telah dilakukan pada tiga jenis kelelawar, yaitu P. alecto dari Pasar Bersehati Manado, Sulawesi
Utara, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus yang berasal dari Desa Pakuure, Sulawesi Utara.
Penelitian selanjutnya untuk mengkaji sifat kimia daging mengunakkan A. celebensis dan P. alecto dari Kolono, Sulawesi Tengah masing-
masing sebanyak 10 ekor, dan R. amplexicaudatus dari Peonea, Sulawesi Tengah sebanyak 20 ekor, dan daging ayam, daging babi, serta ikan cakalang masing-
masing sebanyak 3 kg yang berasal dari Pasar Bersehati Manado. Daging babi yang digunakan adalah bagian paha tanpa pemisahan bagian lemak, daging ayam
dan kelelawar menggunakan seluruh karkas tanpa pemisahan bagian lemak. Untuk melihat sifat fisik, yaitu perubahan pH, daya mengikat air, dan susut masak,
diambil pada kelelawar P. alecto yang masih hidup kemudian disembelih sendiri dan kelelawar yang sudah dibekukan, sedangkan daging ayam dan daging babi
diambil pada saat pemotongan, dan ikan cakalang diambil dalam keadaan sudah beku. Semua materi berasal dari Pasar Bersehati. Pengambilan sampel diambil
pada pagi hari, yaitu saat pemotongan dilakukan.
Zat-zat yang digunakan adalah aquades, n-heksan, petrolium benzena, dietil eter, etanol, amonia 25, indikator fenolpltalein, NaOH 0.5 N, BF
3
20, NaCL jenuh, isooctana, Na
2
SO
4
anhidrid, standar asam lemak, H
2
SO
4
, NH
4 2
SO
4,
NH
3,
NaOH jenuh, HCL, H
3
BO
3
2, brom cresol green-methyl red, NH
4
OH, indikator pp, dan KMnO
4.
Peralatan yang digunakan adalah kamera digital, food processor, cool box, pH meter, beban besi 35 kg, timbangan kasar dan analitik, kapas bebas
lemak, kertas saring whatman 41, stop wacth, dissecting set, termometer bimetal, oven, cawan perselin, cawan petri, vortex, desikator, seperangkat alat sohklet,
sentrifuge, tabung reaksi, tabung majonnier, pipet mohr, 5 mL dan 10 mL, labu lemak, gelas ukur, gelas piala, vacuum rotary evoporator, lemari asam, high
performance liquid chromatography HPLC, gas chromatography CG, atomic absorbance spektrophotometer AAS , dan spektrofotometer.
Metode Penelitian
Pada penelitian pendahuluan, karkas dari ketiga jenis kelelawar dibekukan dan dimasukkan ke dalam coolbox lalu dibawa ke Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB untuk dianalisis dalam bentuk bahan segar, sedangkan pada penelitian kedua, semua bahan daging
dikeringkan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, untuk mendapatkan bahan
kering, selanjutnya dianalisis di laboratorium sesuai tujuan yang akan dicapai. Peubah yang diamati adalah uji komposisi kimia daging yang meliputi kadar air,
kadar protein kasar, lemak kasar, kadar abu, kadar mineral Ca dan P, uji total kolesterol daging, analisis komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak
jenuh, analisis komposisi asam amino esensial dan nonesensial, uji karakteristik fisik dan kimia daging segar yang meliputi derajat keasaman daging pH,
kemampuan mengikat air oleh protein daging, dan susut masak. Analisisnya
mengikuti prosedur Association of Official Analytical Chemists AOAC 1995 sebagai berikut.
Kadar Air Prinsipnya adalah menguapkan air yang terdapat dalam sampel. Cawan
aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C
selama 8 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Persen air bahan dihitung dengan rumus :
Air
–
Kadar Lemak Kasar Prinsipnya melarutkan lemak yang terdapat dalam bahan dengan pelarut
lemak. Sebanyak 5 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk timbel, lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet, kemudian n-
heksana dituangkan ke dalam alat labu sesuai ukuran yang dibutuhkan. Kondensator dan labu lemak dipasang, air dan listrik dihidupkan. Ekstraksi
dilakukan selama 6 jam sampai larutan pelarut yang turun ke dalam labu jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan
dalam oven suhu 105°C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Persen lemak kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Analisis Asam Lemak Menggunakan Gas Kromatografi Analisis dengan kromatografi gas didasarkan pada partisi komponen-
komponen dari suatu cairan di antara fase gerak berupa gas dan fase diam berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap. Dalam analisis asam lemak,
mula-mula lemak dihidrolis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Transformasi
dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak FAME. Selanjutnya FAME dianalisis dengan kromatografi gas. Identifikasi tiap
komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar
pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampel ke tengah
komponen yang dipertimbangkan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik standar internal. Luas puncak dari masing-masing adalah
berbanding lurus dengan jumlah komponen dalam contoh. Prosedur analisisnya adalah sebanyak 20 g lemak ditimbang dalam tabung tertutup teflon ditambahkan
1 mL NaOH 0.5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF
3
20, dan dipanaskan lagi selama 20 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan
1 mL isooktana dan dikocok dengan baik. Lapisan isooktana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi sekitar 0.1 g Na
2
SO
4
anhidrat, dan dibiarkan selama 15 menit. Fase cairnya dipisahkan kemudian diinjeksikan ke
kromatografi gas. Sebelum diinjeksikan, perangkat alat kromatografi diatur dengan menggunakan kolom Cyanopropil methyl sil capilary column sebagai
fase diam, laju alir N
2
sebagai fase gerak, suhu injektor 220
º
C, dan suhu detektor 240
º
C. Kemudian sebanyak 1 μL campuran standar FAME dinjeksikan ke alat
kromatografi yang sudah diatur. Ditunggu sampai semua puncak sudah keluar, apabila semua puncak sudah keluar, maka contoh yang sudah dipreparasi
diinjeksikan. Waktu retensi dan puncak masing-masing diukur dan dibandingkan dengan standar. Jumlah komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut :
100 Dimanan : Ax = Area sampel, As = Area standar, C standar = Cone standar,
V contoh = volume tera sampel. Analisis Kolesterol Daging
Kolosterol daging ditentukan dengan menggunakan metode Leibermann Buchhard. Hasil pengukurannya adalah kadar kolesterol dalam mgg. Sampel
daging ditimbang sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diekstraksi dengal etanol dan n-heksana dengan perbandingan 3:1 sebanyak 8
mL. Kemudian diaduk sampai daging hancur dan homogen. Tabung dipanaskan dalam penangas air sampai mulai mendidih. Setelah dingin, filtratnya dimasukkan
ke tabung sentrifuge dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke tabung reaksi dan diuapkan dengan dipanaskan dalam air mendidih sampai kering dan terbentuk residu. Residu kering
dilarutkan dan dihomogenkan. Kemudian ditambah pereaksi Liebermann Burchard sehingga larutan berwarna hijau kebiruan, kemudian biarkan selama 15
menit di tempat yang gelap. Dengan cara yang sama dibuat larutan blangko sebanyak 0.4 mg. Hasil analisis ditera dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 420 nm. Perhitungan kadar kolesterol daging dilakukan dengan membandingkan absorbansnya dengan absorbans kolesterol standar. Jumlah
kolesterol dihitung sebagai berikut : ⁷ ⁷
Kadar Protein Kasar Prinsipnya penetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung,
analisis ini didasarkan pada penentuan kandungan nitrogen yang terdapat dalam bahan. Kandungan nilai protein dikalikan 6.25 sebagai angka konversi nilai
nitrogen menjadi nilai protein. Nilai 6.25 sebagai asumsi bahwa protein mengandung 16 nitrogen. Penentuan nitrogen melalui tiga tahapan analisis
kimia. 1 Destruksi, yaitu tahap penghancuran bahan menjadi komponen sederhana sehingga nitrogen dalam bahan terpisah dari ikatan organiknya,
nitrogen tersebut kemudian diikat oleh H
2
SO
4
menjadi NH
4 2
SO
4.
2 Destilasi, yaitu tahap pemisahan. Untuk melepaskan nitrogen dalam larutan hasil destruksi
adalah dengan mengubah nitrogen dalam bentuk NH
4 2
SO
4
menjadi gas NH
3
dengan pemberian NaOH jenuh yang terbentuk selanjutnya dikondensasi dengan kondensor, selanjutnya NH
3
diikat oleh H
3
BO
3
membentuk NH
4 3
BO
3
. 3 Titrasi, yaitu tahap penetapan nilai nitrogen. Nitrogen dalam NH
4 3
BO
3
dititrasi dengan HCl. Sebanyak 0.25 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 100 mL lalu ditambahkan selenium 0.25 dan 3 mL H
2
SO
4
pekat, dan didestruksi selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah itu, didinginkan kemudian
ditambahkan 50 mL aquadest dan 20 mL NaOH 40, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyar yang berisi campuran 10 mL H
3
BO
3
2 dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-methyl red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan destilat menjadi 10 mL dan berwarna hijau
kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap blangko.
Selanjutnya untuk penetapan total nitrogen dihitung dengan rumus :
Dimana: S = volume titran sampel mL, B = volume titran blangko mL, w = bobot sampel kering mg, 14 = bobot atom nitrogen. Kadar protein
diperoleh dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 5.18
– 6.38. Untuk protein daging digunakan 6.25 konversi nitrogen ke protein kasar.
Analisis Asam Amino Menggunakan HPLC Penentuan kadar asam amino dimulai dari tahap hidrolisis protein,
pengeringan dan penetapan asam amino menggunakan HPLC. Sebanyak 50 mg sampel yang kering dan halus dimasukkan ke dalam tabung pyrex 10 mL yang
tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni, kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam oven dengan suhu 105
º
C-110
º
C selama 24 jam. Hasil hidrolisis dikeluarkan dalam oven, dibiarkan sampai suhu
ruang, kemudian disaring dengan kertas saring whatman No. 41. Selanjutnya, dipipet 1 mL larutan ke dalam tabung 10 mL, dibekukan dengan es kering dan
dikeringkan pada pengering vakum. Hasil hidrolisis yang sudah kering dilarutkan kembali dengan HCl 0.1N hingga volume 3 mL, diaduk dengan vortex sampai
homogen, dan disaring dengan alat penyaring ukuran membran 0.22 µm. Sebanyak 100 mL atau mikroliter hasil saringan diinjeksikan pada alat yang
akan digunakan. Larutan hasil saringan dapat dianalisis dengan menggunakan HPLC atau amino acid analyzer. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
rumus
Dimana: l.a spl = luas area sampel masing-masing asam amino l.a sd
= luas area standar masing-masing asam amino kons.sd = konsentrasi larutan standar
vol.spl = volume sampel BM AA = bobot molekul masing-masing asam amino
Kadar Abu Kadar abu adalah total mineral dalam bahan. Prinsipnya adalah membakar
bahan dalam tanur sehingga semua unsur utama pembentuk senyawa organik C, H,O, N habis terbakar dan berubah menjadi gas dan sisanya adalah abu berwarna
putih atau abu-abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral. Sebanyak 1-5 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah
diketahui bobot tetapnya. Sampel diarang di atas bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600°C selama 2 jam
sampai menjadi abu berwarna putih sampai abu-abu. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan sampai memperoleh
bobot tetap. Persen abu dihitung dengan rumus:
Kadar Kalsium Ca Prinsipnya larutan kalsium klorida dalam ekstrak HCL akan mengendap
dalam bentuk kalsium oksalat dalam larutan amonium oksalat dan buffet asam asetat. Sampel abu diencerkan dengan HCl pekat sebanyak 5 mL, kemudian
dipanaskan sampai mengering. Abu yang telah kering ditambahkan 2 mL HCl pekat dan air panas, kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dicuci dengan air
panas dan dimasukkan ke dalam labu ukur, kemudian ditambahkan air suling. Hasil filtratnya disebut ekstrak HCl. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke
dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan pereaksi chapman sampai 100 mL kemudian dipanaskan. Lalu ditambahkan larutan NH
4
OH pekat beberapa tetes sampai larutan berubah menjadi warna hijau. Larutan didiamkan selama satu
malam. Endapan disaring, kemudian dicuci dengan air panas. Kemudian, endapan yang ada pada kertas saring dimasukkan ke dalam gelas piala, lalu ditambahkan
sebanyak 25 mL H
2
SO
4
4 N dan H
2
O sampai volume 150 mL. Larutan ini dipanaskan di atas penangas air hingga suhu larutan 80-90
º
C. Larutan dititer dengan KMnO
4
0.02 N sampai larutan berwarna merah jambu. Kemudian dibuat blangko dengan cara mengencerkan 8.5 mL HCl pekat hingga 100 mL. Lalu
diambil 20 mL HCl encer sebagai blangko. Persen kalsium dihitung dengan rumus
Dimana : C = faktor pengenceran, 28 = bobot setara CaO
N KMnO
4
= Normalitas KMnO
4.
Kadar Fosfor P Prinsipnya, ion fosfor dalam keadaan basa akan membentuk endapan
kuning. Endapan ini akan larut dalam NaOH. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan ammonium nitrat 5 g dan
asam nitrat 5 mL. Kemudian dipanaskan pada suhu 42
º
C, dan ditambahkan larutan ammonium hepta, hingga larutan berwarna kuning. Larutan didiamkan
selama satu malam. Larutan disaring, kemudian dicuci dengan air. Endapan yang ada dimasukkan pada kertas saring dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 mL
H
2
SO
4
0.2 N, air suling sampai volume 100 mL, dan 2 tetes indikator pp hingga larutan berwarna merah jambu. Selanjutnya larutan dititer dengan HCL 0.1 N
hingga larutan tidak berwarna. Persen fosfor dihitung dengan rumus :
Dimana : 0.1347 = Derajat Keasaman Daging pH
Sampel daging yang telah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam beaker glass, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 mL, kemudian
dicampur dengan menggunakan blender selama 1 menit. Setelah itu diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi.
Daya Mengikat Air Water Holding Capacity Daya mengikat air diuji dengan menggunakan analisis daya mengikat air,
yaitu modifikasi metode Hamm menggunakan beban yang terbuat dari besi seberat 35 kg. Sebanyak 0.3 g sampel daging diletakkan pada kertas saring dan
dibebankan di antara dua plat selama 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan luas daerah basa di sekitarnya ditandai dan diukur.
Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luasan total luas daerah basah dan luas daerah yang tertutup sampel
daging. Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Dimana : M
g
H
2
O = persen air bebas, Daya mengikat air = kadar air total
– kadar air bebas Susut Masak Cooking Loss
Susut masak adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak yang dinyatakan dalam . Sampel daging sebanyak 100 g yang telah
ditancapkan termometer bimetal, dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah termometer bimetal mencapai angka 81
º
C, sampel daging diangkat dan didinginkan selama 60 menit dan ditimbang setiap 30 menit sampai bobotnya
konstan.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Fisik Daging Kelelawar, Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Setelah hewan dipotong, fungsi hidup otot tidak langsung berhenti dan otot langsung menjadi daging, tetapi masih terjadi perubahan-perubahan fisik dan
struktur yang dikenal sebagai proses perubahan otot menjadi daging. Beberapa karakteristik daging yang terjadi selama perubahan otot menjadi daging adalah
perubahan pH daging, perubahan daya mengikat air oleh protein daging, perubahan warna daging, dan susut masak. Karakteristik daging merupakan
sebagian parameter penentu kualitas daging yang dihasilkan. Pada penelitian ini, parameter sifat fisik daging yang diamati adalah pH daging, daya mengikat air,
susut masak, dan kadar air. Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi,
daging ayam, dan ikan cakalang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan sifat fisik daging kelelawar babi, ayam, dan ikan cakalang Jenis daging dan
Ikan Sifat Fisik
pH DIA
Susut masak Kadar air
Kelelawar
1
6.44±0.08 48.92±2.95
12.83±1.12 67.10±3.87
Kelelawar
2
5.33±0.02 32.63±1.00
36.46±1.39 72.55±0.84
Babi 5.97±0.06
44.78±0.68 19.45±1.46
75.20±1.24 Ayam
6.05±0.07 45.78±3.59
16.30±1.12 73.72±2.36
Ikan cakalang 5.57±0.04
43.23±1.13 27.32±0.72
74.32±0.89
1
Daging kelelawar yang disembelih sendiri;
2
Daging kelelawar yang diambil di pasar tradisional
Derajat Keasaman Daging pH
Derajat keasaman daging dinyatakan dalam pH. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan glikogen otot pada saat pemotongan. Tabel 7
menunjukkan bahwa rataan nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, serta ikan cakalang masih dalam keadaan pH normal,
sedangkan daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Daging kelelawar yang disembelih sendiri mempunyai nilai pH lebih
tinggi 1.05 dari daging kelelawar yang dibekukan. Perbedaan pH ini disebabkan oleh penanganan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan
pedagang bahwa daging kelelawar yang dibekukan berasal dari daerah Sulawesi Tengah sehingga harus mengalami proses transportasi selama 2-3 hari. Selain
lama transportasi, untuk menjaga agar daging tetap dalam kondisi baik sampai di lokasi penjualan, pengumpul kelelawar harus mengumpulkan kelelawar hasil
buruan dalam kotak-kotak polietilen yang berisi es dan dibekukan, kemudian dikirim seminggu sekali. Akibatnya, lama waktu penjualan lebih dari satu minggu
sehingga pada waktu dianalisis nilai pH daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Foegeding et al. 1996 menyatakan bahwa
jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH 7.2-7.4, dan akan menurun setelah pemotongan. Secara normal, dalam waktu 6-8 jam pH daging
akan turun secara bertahap dari 7.0 sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah pemotongan Aberle et al. 2001. Titik
isoelektrik adalah nilai pH pada saat protein memiliki jumlah muatan negatif yang sama dengan jumlah muatan positif. Pada kondisi ini, terjadi pemendekan
sarkomer sehingga air cenderung akan didorong dan sifat-sifat fungsional protein, seperti kelarutan protein dan kemampuan membentuk gel dan emulsi juga hilang.
Jika daging pada kondisi ini dimasak akan memiliki tekstur yang keras dan kering dengan citarasa yang hambar.
Rataan nilai pH daging babi adalah 5.97±0.06. Nilai pH ini lebih rendah dari nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari
nilai pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih tinggi dari nilai pH daging babi 24 jam setelah pemotongan, yaitu 5.49-5.54 seperti yang
dilaporkan oleh Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006, Rehfeldt et al. 2007. Florowski et al. 2006 melaporkan pH daging dari beberapa jenis babi yang
diisimpan selama 48 jam adalah 5.54-5.52. Rataan nilai pH daging ayam adalah 6.05±0.06. Nilai pH ini lebih rendah
dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH
daging ayam 2 jam setelah dipotong yang dilaporkan Carcia et al.2010, yaitu 6.50, namun lebih tinggi dari nilai pH daging ayam broiler 6 jam setelah
pemotongan, yaitu 5.94 yang dilaporkan Dunn et al. 1993, dan Kumar et al. 2011, yaitu 5.87 untuk daging ayam yang dipotong di pasar tradisional.
Karaoglu et al. 2004 melaporkan bahwa nilai pH daging ayam broiler 1-3 jam
setelah pemotongan ialah 6.40-6.12 dan menurun menjadi 5.95, saat 7 jam setelah pemotongan.
Tingginya nilai pH daging kelelawar yang dipotong sendiri, babi dan ayam karena lama waktu pemotongan sampai dianalisis tidak lebih dari 3 jam. Pada
kondisi ini, secara fisik penampakan daging masih baik dan proses rigor mortis belum selesai. Aberle et al. 2001 menyatakan bahwa rigor mortis pada babi dan
ayam berlangsung selama 30 menit sampai 4.5 jam. Menurut Lawrie 1995 bahwa setelah hewan mati terjadi penurunan pH daging akibat perombakan
glikogen melalui proses glikolisis secara anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Pada metabolisme anaerob, ion hidrogen yang
dibebaskan pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan
untuk mengubah asam piruvat menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan peningkatan keasaman otot. Laju penurunan pH akan
menentukan sifat fisik daging. Perubahan pH menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan perubahan muatan protein.
Rataan nilai pH daging ikan cakalang adalah 5.57±0.04. Nilai pH ini hampir setara dengan nilai pH daging kelelawar yang dibekukan, namun lebih
rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH normal daging ikan segar yang dinyatakan oleh Robb et al
2000 bahwa pH daging ikan biasanya berkisar 7-7.5 dan dapat turun sampai 6.5, namun masuk ke dalam pH normal yang dilaporkan Haard 2000 bahwa ikan
tuna dapat mencapai di bawah pH 5.5, sementara ikan lainnya memiliki pH 6.2- 6.6. Rendahnya nilai pH ikan cakalang yang diambil di pasar diduga karena ikan
cakalang telah diberikan es dan disimpan dalam waktu cukup yang lama. Wijayanti et al. 2006 melaporkan bahwa pH ikan cakalang yang disimpan
selama 7 hari pada suhu 11
º
C adalah 5.8 dan mulai naik 6.15-6.40 setelah hari ke- 8 sampai ke-10.
Daya Mengikat Air oleh Protein Daging
Daya mengikat air oleh protein daging didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan
Soeparno 2005. Daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri, daging babi, daging ayam, dan ikan lebih tinggi dari daya mengikat air daging
kelelawar yang dibekukan. Walaupun daging ayam dan daging babi berasal dari pasar, daya mengikat airnya hampir setara dengan daya mengikat air daging
kelelawar yang dipotong sendiri. Hal ini karena pada waktu pengambilan sampel untuk dianalisis, daging ayam dan daging babi baru disembelih sehingga proses
rigor mortis belum berakhir yang dibuktikan dengan masih normalnya nilai pH daging. Perbedaan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri
dengan daging kelelawar yang dibekukan adalah 14.13. Perbedaan daya ikat air ini terjadi karena perbedaan lama waktu pemotongan, yaitu kelelawar yang
diambil di pasar sudah lama dipotong kemudian dibekukan untuk dipasarkan. Daya mengikat air daging ayam pada penelitian ini adalah 45.78, lebih
tinggi dari daging kelelawar yang dibekukan dan lebih rendah dari daging kelelawar yang disembelih sendiri. Daya mengikat air daging ayam ini juga lebih
rendah dari daya mengikat air daging ayam bagian dada yang diukur dua jam setelah pemotongan, yaitu 64.79 yang dilaporkan oleh Carcia et al. 2010 dan
Adebiyi et al. 2011 yaitu 59.43. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pH, lama waktu pengukuran sampel, dan jenis daging, yaitu pada penelitian ini
menggunakan daging bagian paha dan waktu pengukuran tiga jam setelah pemotongan. Kumar et al. 2011 melaporkan bahwa pada pH 5.75, daya
mengikat air oleh protein daging ayam segar yang dipotong di rumah potong adalah 40.50. Daya mengikat air daging babi adalah 44.78. Daya ikat air ini
lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan, dan lebih rendah dari daya ikat air daging babi yang dilaporkan oleh Budaarsa 1997, yaitu
66.60 pada pH 5.72. Menurunnya daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan
disebabkan oleh hilangnya kemampuan protein daging untuk mengikat air oleh karena terjadinya perubahan ion-ion dalam protein daging setelah pemotongan.
Lawrie 1985 mengatakan bahwa kemampuan protein untuk mengikat air disebabkan oleh karena banyaknya gugus reaktif protein. Dalam keadaan pH
rendah karena banyak terbentuk asam laktat, gugus reaktif akan berkurang sampai mencapai titik terendah pada pH isoelektrik.
Susut Masak Daging
Susut masak adalah kehilangan bobot selama daging mengalami pemasakan. Susut masak daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging ayam,
daging babi, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 12.83, 19.45, 16.30, dan 27.32. Susut masak ini lebih kecil dari daging kelelawar yang
dibekukan, yaitu 36.46, walaupun demikian susut masak daging kelelawar yang dibekukan masih dalam batas standar umum, yaitu 1.5-54.5 Soeparno 2005,
dan masih lebih rendah dari susut masak daging kancil, yaitu 45.17 yang dilaporkan Rosyidi et al. 2010.
Susut masak daging ayam lebih rendah dari susut masak daging ayam broiler bagian dada yang dilaporkan oleh Salakova et al. 2009, yaitu 26,45-
31.40 demikian juga dengan susut masak daging babi yang dilaporkan oleh Lee et al. 2000, yaitu 66. Susut masak daging babi lebih rendah dari susut
masak daging babi yang dilaporkan Morel et al. 2006, yaitu 27.70. Besarnya susut masak yang dihasilkan berbeda-beda. Hal ini selain
disebabkan oleh pH dan daya mengikat air, juga oleh perbedaan jenis daging. Shanks et al. 2002, Soeparno 2005 menyatakan bahwa besarnya susut masak
dipengaruhi oleh banyaknya air yang keluar dari daging, lama simpan daging, kemampuan mengikat air oleh proten daging, dan pH akhir daging.
Kadar Air Daging
Kadar air merupakan komponen dalam daging yang berkaitan dengan kapasitas menahan air oleh protein daging dan susut masak. Semakin kecil
kapasitas menahan air oleh protein daging akan semakin besar kadar air yang keluar dalam daging yang akan menyebabkan susut masak semakin besar. Ada
tiga jenis air yang terikat dalam daging, yaitu pertama adalah air terikat sangat kuat secara kimia oleh gugus reaktif protein, kedua adalah air terikat lemah
terhadap gugus hidrofilik air dalam keadaan tidak bergerak, dan ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein. Air pertama dan kedua bebas dari
perubahan molekul, sedangkan air ketiga akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi Aberle et al. 2001.
Kadar air daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, ikan dan kelelawar yang dibekukan masing-masing adalah 76.10, 75.20,
73.72, 74.32, dan 72.55. Kadar air kelelawar yang dibekukan lebih tinggi dari kadar air kelelawar yang disembelih sendiri. Hal ini menyebabkan susut
masak juga lebih tinggi dan kapasitas menahan air menjadi rendah. Kadar air ikan cakalang masih dalam batas kadar air yang dilaporkan Sumsundari 2007 bahwa
kadar air ikan tongkol adalah 79.52, sedangkan daging babi adalah 76.40- 86.20 Susilo 2006.
Komposisi Kimia Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Komposisi kimia akan menentukan nilai gizi dan kualitas daging. Gambaran komposisi kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi,
daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam,
dan ikan cakalang Jenis Daging
Komposisi Kimia Air
Protein Lemak
Abu Ca
P P. alecto
67.21 20.48
- -
- -
N. cephalotes 62.45
21.73 -
- -
- R. amplexicaudatus
63.84 21.08
- -
- -
Pteropus alecto 5.76
48.97 29.85
10.17 10.62
1.46 R. amplexicaudatus
7.54 51.49
22.63 8.49
2.09 1.44
Babi 9.92
69.08 8.91
4.78 1.09
0.69 Ayam
8.27 67.14
11.65 3.86
1.36 0.66
Ikan cakalang 9.90
69.41 3.47
4.54 1.83
0.72 Dalam basis segar dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB;
Dalam basis kering dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM.IPB, ; - Tidak diukur.
Kadar protein daging segar dari P. alecto, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus adalah 20.4-21.73, sedangkan kadar airnya adalah 62.45-
67.21. Rataan kadar protein ini relatif sama dengan kadar protein daging kancil, dan daging sapi, namun kadar airnya relatif lebih rendah. Rosjidi et al.
2010 melaporkan bahwa kadar air daging kancil adalah 76.33, protein 21.42, lemak 0.51, dan abu 1.20. Prasetyo et al. 2009 melaporkan bahwa kadar
protein daging sapi segar adalah 21.08, kadar air 75.90, lemak 0.87, dan abu 1.37. Adegoke Falede 2005 menyatakan bahwa komposisi kimia otot
mamalia terdiri atas air 65-80, protein 16-22, dan Lemak 1.5-13. Berdasarkan basis kering, kadar air P. alecto dan N. cephalotes lebih rendah,
sedangkan kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar lemak
dengan kadar air. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar lemak dalam otot. Rendahnya kadar air daging dari ketiga jenis kelelawar
dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan dalam penelitian ini selain karena jenis ternak juga aktivitas yang dilakukan. Diduga bahwa lemak yang
tinggi akan digunakan sebagai cadangan energi untuk aktivitas terbang. Aberle et al. 2001 melaporkan bahwa secara umum, kandungan lemak dalam otot
ditentukan oleh pakan, jenis ternak, umur, dan aktivitas yang dilakukan. Kadar protein daging kelelawar tampak paling rendah bila dibandingkan
dengan kadar protein daging babi, ayam, dan ikan. Rendahnya kadar protein ini karena komposisi lemak yang tinggi dan kadar air yang rendah. Diduga bahwa
selain lemak digunakan sebagai cadangan energi untuk terbang, kedua kelelawar ini sudah dewasa sehingga pertumbuhan kadar protein jaringan tubuh sudah
mencapai konstan. Kadar abu, Ca, dan P kedua jenis kelelawar hasil penelitian ini juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar abu, Ca, dan P daging babi, daging ayam, dan ikan. Tingginya kadar abu, Ca, dan P diduga karena pakan yang dikonsumsi di
alam adalah pakan yang mengandung sumber mineral yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kedua jenis kelelawar ini makan buah berupa pisang,
mangga, pepaya, semangka, jambu biji, dan jambu air. Jenis buah-buahan ini kaya akan vitamin dan mineral, terutama Ca, P, K, dan Fe Israhadi 2008.
Profil Asam Lemak Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Asam lemak dibedakan menjadi
asam lemak jenuh saturated fatty acid, SFA, asam lemak tak jenuh tunggal Monounsaturated fatty acid, MUFA, dan asam lemak tak jenuh ganda
Polyunsaturated fatty acid, PUFA. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh
memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya.
Tabel 4 Profil asam lemak kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang
Asam lemak jenuh SFA yang terdeteksi ada delapan, yaitu asam kaprat Capric acid, asam laurat Lauric acid, asam miristat Myristic acid, asam
palmitat Palmitic acid, asam stearat Stearic acid, asam arakhidat Arachidic acid, asam behenat Behenic acid, dan asam lignoserat Licnoceric acid. Asam
lemak tidak jenuh MUFA adalah asam miristoleinat Myristoleic acid, asam palmitoleinat Palmitoleic acid, asam oleat Oleic acid, asam eikosenat Cis-11-
Eicosenoic acid, asam erukat Erucic acid, dan asam nervonat Nervonic acid, sedangkan asam lemak tak jenuh PUFA adalah: asam linoleat Linoleic acid,
asam linolenat Linolenic acid, asam eikosedienoat cis11-14-Eicosedienoic acid, asam eikosetrienoat Cis-8,11,14-Eikosetrienoic acid, Cis-11,14,17-
Eikosetrienoic acid, asam arakidonat Arachidonic acid, asam eikosapentaenoat
Asam Lemak A. celebensis
P.alecto R.amplexicaudatus Babi
Ayam Ikan Cakalang Asam lemak jenuh SFA
Kaprat, C10:0 0.29
0.02 Laurat, C12:0
0.39 1.80
1.26 0.33
0.05 0.04
Miristat, C14:0 11.19
15.64 9.23
1.32 0.50
1.74 Palmitat, C16;0
27.22 24.82
19.67 16.43
17.39 14.43
Stearat, C18:0 3.48
6.58 7.43
8.81 3.99
7.85 Arakidat, C20:0
0.05 0.14
0.21 0.15
0.06 0.47
Behenat, C22:0 0.02
0.02 0.04
0.05 0.03
0.29 Lignoserat, C24:0
0.03 0.04
0.05 0.05
0.04 0.29
Asam lemak tak jenuh MUFA Miristoleinat, C14:1
1.00 0.23
0.14 0.14
0.02 Palmitoleinat, C16:1
3.18 1.06
0.59 1.34
4.63 2.36
Oleat, C18:1n9c 28.74
26.10 27.16
28.87 29.60
10.25 Eikosenat, C20:1
0.09 0.16
0.32 0.74
0.31 1.05
Erukat, C22:1n9 0.01
0.08 0.03
0.02 0.14
Nervonat, C24:1 0.03
0.04 0.08
0.02 0.02
0.46 Asam lemak tak jenuh PUFA
Linoleat, C18:2n6c 0.98
0.67 1.83
8.66 9.18
0.89 Linolanat, C18:3n3c
0.28 0.27
0.40 0.31
0.44 0.28
Eikosedienoat, C20:2 0.10
0.08 0.12
0.49 0.22
0.27 Eikosetrienoat, C20:3n6
0.05 0.10
0.25 0.11
0.19 0.10
Eikosetrienoat, C20:3n3 0.03
0.03 0.05
0.03 0.10
Arakidonat, C20:4n6 0.48
0.52 1.57
0.67 0.64
2.33 Eikosanpentaenoat EPA, C20:5n3
0.19 0.13
0.44 0.61
0.29 1.88
Dekosaheksaenoat DHA, C22:6n3 0.38
0.30 1.15
0.05 0.05
17.28 Jenis Daging dan Ikan
Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoicacid, dekosaheksaenoat Cis-4,7,10,13,16,19- decosahexaenoic acid.
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam lemak jenuh tertinggi adalah asam palmitat, asam miristat, asam stearat, dan asam laurat. R.
amplexicaudatus, P. alecto dan A. celebensis memiliki konsentrasi asam lemak palmitat dan asam miristat lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam,
dan ikan. Asam stearat tertinggi terdapat pada daging babi diikuti ikan cakalang, R. amplexicaudatus, P. alecto, ayam, dan A. celebensis. Asam laurat tertinggi
terdapat pada P. alecto, R. amplexicaudatus, A. celebensis yang diikuti daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Yu et al. 1995 melaporkan bahwa asupan asam
laurat, asam palmitat, asam miristat secara signifikan meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol, dan HDL-kolesterol plasma manusia, sedangkan asam
stearat tidak meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol dalam plasma. Imaizumi et al. 1993 juga menyatakan bahwa lemak murni yang mengandung
asam stearat menghasilkan kolesterol lebih rendah dalam plasma. Tingginya konsentrasi asam palmitat dan miristat pada ketiga jenis kelelawar diduga karena
kelelawar mengkonsumsi bahan pakan yang kaya akan kedua asam lemak ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi tempat kelelawar ditangkap diketahui
bahwa yang menjadi sumber pakan adalah jambu air, jambu biji, pisang, pepaya, tetapi tidak menutup kemungkinan kelelawar mengkonsumsi buah cokelat dan
buah kelapa muda, karena habitat kelelawar dikelilingi dengan tanaman kelapa sawit dan kakao. Lemak kakao sangat kaya dengan asam lemak palmitat, stearat,
dan oleat. Lipp Enklam 1998 melaporkan bahwa komposisi asam lemak buah kakao adalah asam palmitat 24.9, asam stearat 37.3, dan oleat 33.5,
sedangkan Indarti 2007 melaporkan bahwa lemak biji kakao mengandung asam palmitat sebesar 26.24, asam stearat 43.23, dan asam oleat 26.53.
Konsentrasi asam lemak jenuh tak tunggal MUFA tertinggi adalah asam lemak oleat omega 9, yaitu 10.25-29.60. Asam palmitoleinat omega 7 hanya
berkisar 0.59-3.18, dan asam miristoleinat hanya berkisar 0.02-1.00. Konsentrasi asam oleat terbesar ada pada daging ayam, diikuti daging babi, A.
celebensis, R. amplexicaudatus, P. alecto, dan ikan cakalang. Asam lemak oleat dan asam lemak palmitoleinat bukan merupakan asam lemak esensial dalam
makanan karena jaringan tubuh dapat menyisipkan ikatan rangkap pada posisi Δ
9
ke dalam asam lemak jenuh bersesuian Muray et al. 2002. Asam lemak oleat berperan dalam memperbaiki profil lipida dalam tubuh sehingga memberi
pengaruh positif pada level kolesterol, dan mencegah risiko penyempitan pembulu darah Grundy 1989.
Konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda PUFA tertinggi adalah linoleat omega 6 yang terdapat pada daging ayam, yaitu 9.18 dan daging babi 8.66,
sedangkan daging kelelawar hanya berkisar 0.67-1.83, dan ikan cakalang hanya sebesar 0.89. Konsentrasi asam lemak linolenat omega 3 secara keseluruhan
dalam daging kelelawar berkisar 0.27-0.40, daging babi 0.31, ayam 0.44, dan ikan 0.28. Konsentrasi asam arakidonat untuk semua daging kelelawar,
daging ayam, dan ikan berkisar 0.48-2.33. Murray et al. 2002 menyatakan bahwa kebutuhan
asam lemak arakidonat akan terpenuhi jika terdapat linoleat dalam makanan.
Asam lemak tak jenuh ganda lain yang terdeteksi dari kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan adalah asupan eikosanpentaenoat EPA dan
dokosahexaenoat DHA yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Konsentrasi EPA tertinggi terdapat pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga
jenis kelelawar berkisar 0.13-0.44, daging babi 0.61, dan ayam 0.29. Demikian juga konsentrasi DHA tertinggi ada pada ikan cakalang, sedangkan
pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.30-1.15 dan daging babi dan ayam sebesar 0.05. Namun, kedua jenis asam lemak tak jenuh ganda ini kadarnya
lebih tinggi dari daging kelinci yang dilaporkan Rosyidi et al. 2010. Walaupun proporsi asam lemak PUFA dibanding SAF dalam daging kelelawar, babi, ayam,
dan ikan cakalang sangat kecil dalam daging, jumlah ini sangat berarti karena asam-asam lemak ini merupakan asam lemak esensial bagi nutrisi yang lengkap
pada banyak spesies hewan, termasuk manusia. Murray et al. 2002 menyatakan bahwa pada sebagian tubuh hewan, semua ikatan rangkap dapat disisipkan pada
posisisi Δ
4
, Δ
5
, Δ
6
, dan Δ
9
yang dihitung dari ujung terminal karboksil, tetapi tidak pernah di atas posisi
Δ
9
, sehingga hanya dapat mensintesis kelompok asam lemak
Δ
9
omega 9 secara lengkap melalui penggabungan proses pemanjangan rantai dengan desaturasi, dan dalam keadaan defisiensi asam lemak esensial, asam
lemak dari PUFA dari kelompok Δ
9
akan menggantikan asam lemak esensial dalam fosfolipid. DHA disintesis dari linolenat yang diperlukan bagi
perkembangan otak Murray et al. 2002. Rasio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh dalam makanan
merupakan faktor utama dalam penurunan konsentrasi kolesterol plasma. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA dalam penelitian ini untuk A. celebensis
adalah 17.21: 13.27:1, untuk P. alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk
daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1 Perbandingan kelompok omega 3 dengan kelompok omega 6 untuk A. celebensis,
P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan dan ikan secara berturut-turut adalah 1:1.77, 1:1.76, 1:1.68, 1:63.33, 1:10, 5.96:1. Perbandingan
asam lemak linolenat dan linoleat untuk A. celebensis, P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan masing-masing adalah 1:3.5
1: 2.48, 1:4.75, 1:26.24, 1:20.86, dan 1:3.17.
Profil Kolesterol Total Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Kolesterol merupakan komponen struktural esensial yang membentuk membran sel serta lapisan eksternal lipoprotein plasma, juga merupakan prekursor
semua senyawa steroid dalam tubuh, seperti kortikosteroid, hormon seks, asam empedu, dan vitamin D Hard et al. 2003. Manusia membutuhkan 1.1 g
kolesterolhari untuk memelihara dinding sel dan fungsi fisiologis lainnya. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 300 mg berasal dari makanan dan kurang lebih 700
mg berasal dari sintetis endogen di dalam tubuh Murray et al. 2002, Hard et al. 2003. Total kolesterol daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Konsentrasi kolesterol total dalam daging paling tinggi terdapat pada R.
amplexicaudatus, diikuti A. celebensis, daging ayam, P. alecto, daging babi, dan ikan cakalang. Konsentrasi kolesterol ini lebih tinggi dari konsentrasi kolesterol
daging kancil, yaitu 50 mg100 g Rosyidi et al. 2010. Walaupun demikian, total kolesterol kelelawar lebih rendah jika dibandingkan dengan total kolesterol dari
kuning telur ayam kampung 1881.30 mg100 g, ayam ras 1274.50 mg100 g,
itik 2118.75 mg100 g, puyuh 2139.17 mg100 g yang dilaporkan Dwiloka
2003.
Tabel 5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan basis kering
Jenis daging Konsentrasi mg100 gram
Kelelawar A. celebensis
P. alecto R. amplexicaudattus
Babi Ayam
Ikan cakalang 284.20
234.75 287.54
192.88 263.15
138.21
Tingginya kolesterol ketiga jenis kelelawar dan daging ayam diduga karena produksi kolesterol dalam hati berlebihan, juga pakan yang dikonsumsi
mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi, sedangkan serat kasarnya rendah. Kolesterol dan lemak dalam pakan akan mempengaruhi kadar
kolesterol dan lemak dalam darah, daging, dan lemak tubuh. Adanya serat dalam pakan akan menyebabkan kecernaan dan penyerapan kolesterol dan lemak
menurun, namun asam lemak volatil meningkat. Peningkatan asam lemak volatil akan menghambat kerja enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA HMG-KoA
reduktase. Dengan demikian, biosintesis kolesterol terhambat. Budaarsa 1997 melaporkan kandungan kolesterol pada daging babi yang mendapatkan pakan
berserat dari rumput laut lebih rendah, yaitu 195.30 mg100 g daripada ternak yang tidak mendapatkan pakan berserat tanpa rumput laut, yaitu 246.46 mg100
g. Kolesterol disintesis oleh mamalia di hati dan disebarkan ke plasma darah dan jaringan lain. Jika kolesterol pangan dikurangi maka tubuh meningkatkan sintesis
untuk mengimbangi kekurangannya, sebaliknya jika kolesterol dalam pangan tinggi, maka hati akan menurunkan sintesis kolesterol Wilbraham et al. 1992.
Profil Asam Amino Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang
Asam amino diperlukan tubuh sebagai penyusun protein atau sebagai kerangka molekul-molekul penting zat pembangun. Asam amino esensial adalah
asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari
bahan pangan. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial kelelawar, daging
babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 6.
Tabe l 6 Profil asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan
cakalang
Asam Amino Jenis Daging dan Ikan
A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam I. cakalang Esensial
Arginina 3.77
3.47 4.53
4.58 5.03
4.35 Histidina
1.25 1.09
1.84 2.63
2.27 4.95
Fenilalanina 2.32
2.02 3.08
2.93 3.14
2.98 Isoleusina
2.27 1.98
2.66 2.65
2.92 2.82
Leusina 4.25
3.15 3.64
3.51 3.83
3.73 Lisina
3.81 4.35
5.38 5.27
5.78 5.62
Metionina 1.31
1.12 1.89
2.02 2.18
2.27 Treonina
2.44 2.08
3.28 3.19
3.36 3.35
Tirosina 1.77
1.53 2.52
2.41 2.52
2.45 Valina
2.73 2.27
2.74 2.64
2.92 2.90
Nonesensial Asam Aspartat
5.04 4.38
5.98 5.88
6.46 6.33
Asam Glutamat 8.63
7.53 9.15
9.14 10.04
9.24 Alanina
3.69 3.32
4.14 3.92
4.32 4.35
Glisina 4.22
3.99 2.99
2.72 3.00
3.28 Serina
2.47 2.16
2.98 2.78
2.99 2.77
Asam amino esensial yang harus dipenuhi dari pangan sehari-hari ialah isoleusina, leusina, lisina, metionina, fenilalanina, treonina, triptofan, tirosina,
valina, arginina, dan histidina. Histidina dan arginina disebut sebagai setengah esensial karena tubuh manusia dewasa sehat mampu memenuhi kebutuhannya.
Asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sendiri, yaitu asam aspartat, asam glutamat, alanina, glisina, dan serina.
Komposisi asam amino esensial dan nonesensial untuk daging A. celebensis adalah 24.15 dan 20.81 dengan perbandingan 1.16:1, daging P.
alecto 22.51 dan 22.91 dengan perbandingan 0.98:1, daging R. amplexicaudatus 25.84 dan 24.43 dengan perbandingan 1.05:1, daging babi
33.90 dan 30.51 dengan perbandingan 1.1:1, daging ayam 31.43 dan 29.43 dengan perbandingan 1.17:1, dan ikan cakalang 32.97 dan 29.42
dengan perbandingan 1.12:1. Kandungan asam amino esensial dan nonesensial dari ketiga jenis kelelawar, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang berbeda-
beda. Lawrie 2003 menyatakan bahwa perbedaan urat daging, bangsa, dan umur hewan sangat mempengaruhi komposisi asam amino.
Kandungan asam amino arginina tertinggi ditemukan pada daging ayam 5.03, diikuti daging babi 4.58, R. amplexicaudatus 4.53, ikan cakalang
4.35, A. celebensis 3.77, dan P. alecto 3.47. Asam amino leusina A. celebensis 4.25 lebih tinggi dari R. amplexicaudatus 3.64, P. alecto
3.15, daging babi 3.51, ayam 3.83, dan Ikan cakalang 3.73. Asam amino histidina tertinggi 4.95 ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga
jenis daging kelelawar 1.09-1.84, dan daging babi 2.63 relatif rendah. Kandungan asam amino fenilalanina tertinggi terdapat pada daging ayam 3.14
diikuti R. amplexicaudatus 3.08, A. celebensis 2.32, P. alecto 2.02, daging babi 2.93, dan ikan cakalang 2.98. Kandungan asam amino lisina
paling tinggi pada daging ayam 5.78 diikuti ikan cakalang 5.62, R. amplexicaudatus 5.38, daging babi 5.27, P. alecto 4.35, dan A.
celebensis 3.81. Kandungan asam amino isoleusina tertinggi ada pada daging ayam 2.92 diikuti ikan cakalang 2.82, R. amplexicaudatus 2.66,
daging babi 2.65, A. celebensis 2.27, dan P. alecto 1.98. Kandungan asam amino metionina tertinggi ada pada ikan cakalang 2.27 diikuti daging
ayam 2.18, daging babi 2.02, R. amplexicaudatus 1.89, A.celebensis 1.31, dan P. alecto 1.12. Kandungan asam amino treonina pada daging A.
celebensis 2.44 dan P. alecto 2.08 relatif lebih rendah dibanding R. amplexicaudatus 3.28, daging babi 3.19, daging ayam 3.36, dan ikan
cakalang 3.35. Kandungan asam amino valina P. alecto lebih rendah 2.27 dibandingkan dengan kedua jenis daging kelelawar, daging babi, ayam, dan ikan
cakalang 2.67-2.92. Nelson et al. 2000 menyatakan bahwa arginina berperan penting dalam
pembelahan sel, sekresi testoteron, dan meningkatkan hormon pertumbuhan yang berpengaruh pada perototan, sedangkan histidina merupakan prekursor histamin
yang berperan dalam sistem saraf, dan merupakan asam amino semiesensial karena dapat disintesis oleh tubuh, tetapi tidak mencukupi untuk pertumbuhan
anak. Asam amino histidina dan arginina merupakan asam amino esensial bagi anak-anak. Fenilalanina merupakan kelompok asam amino aromatik yang
memiliki cincin benzena, sebagai penyampai pesan pada sistem saraf otak. Dalam keadaan normal, tubuh akan mengubah fenilalanina menjadi tirosin, yaitu asam
amino untuk proses sintesis protein, adrenalin, noradrenalin, dan hormon tiroid. Leusina berperan penting dalam metabolisme protein dan diperlukan untuk
pertumbuhan optimal bayi serta mendorong pemulihan otot setelah beraktivitas. Valina dan isoleusina adalah asam amino penyusun protein yang dikodekan DNA.
Lisina adalah asam amino yang bersifat antivirus. Treonina adalah salah satu asam amino yang akan menghasilkan senyawa fosfotreonin yang penting pada
biosintesis metabolisme sekunder. Metionina adalah asam amino yang berperan dalam proses transkripsi yang menerjemahkan urutan basa nitrogen di DNA untuk
membentuk RNA. Glisina berperan dalam sistem saraf sebagai neorotransmiter pada sistem saraf pusat.
Simpulan
Nilai pH daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang berada pada kisaran pH normal 5.57-6.44, sedangkan daging
kelelawar yang diambil di pasar mencapai titik isoelektrik daging 5.33. Daya mengikat air daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan
ikan cakalang lebih besar 43.23-48.92 daripada daging kelelawar yang diambil di pasar 32.63. Susut masak daging kelelawar yang diambil di pasar lebih
besar 36.46 daripada daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang 12.83-27.32. Komposisi kimia, kadar asam lemak,
kadar kolesterol, dan kadar asam amino daging kelelawar tidak jauh berbeda dari daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang, namun DHA dan EPA berbeda dari
ikan cakalang.
Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk membedakan nilai gizi kelelawar yang
dibudidayakan dan kelelawar yang diambil di alam.
Daftar Pustaka Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and
carcass quality if broiler chicks under high stocking dencity fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 5:264-268.
Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 5:
422-425. Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai
sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 272: 58-65. Florowski T, et al. 2006. Tecnological parametres in pig of two polish local
breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 3: 217-224
Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Braz J Poult Sci 12:233-237.
Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr 119:529-533
Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density
lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702.
Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rek Kim Lingk 62:50-54.
Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour
charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim Sci 78:253-259.
Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci
:1 –6.
Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389.
Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 621:73-97.
Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci
71:194-204. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM, 2006. Evaluation of three pork
quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 192:266-272.
Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. 3rd ED. New York : Worth publishing.
Prasetyo A, Prasetyo T, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the
influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78:170-175.
Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 332: 95-102.
Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat depending on their sex. Actavet 78:497-504.
Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across
several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan
pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum. Med Pet 271:1-11
Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14
1 : 41-48 Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol
Hasl Ternak 22: 42:51. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol
predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61
:1129:1139.
TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF EKSTRAK n-HEKSANA DAGING KELELAWAR
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Telaah Fitokimia dan Fraksinasi Senyawa Aktif Ekstrak n-Heksana Daging Kelelawar. Dibimbing oleh RARAH RATIH
ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian eksplorasi ini dilakukan berdasarkan adanya dugaan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa makan daging kelelawar dapat
menyembuhkan penyakit asma, alergi, dan meningkatkan stamina. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen senyawa aktif pada daging
kelelawar dibandingkan dengan daging beberapa ternak konvensional dan ikan, serta bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar.
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah uji steroid sebagai skrining awal pada beberapa potongan karkas dan hati
kelelawar, yang dilaksanakan selama dua bulan. Tahap kedua terdiri atas ekstraksi dan uji fitokimia daging kelelawar, daging babi, ayam, kelinci, dan ikan
cakalang, serta bumbu masak, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto yang dilaksanakan selama enam
bulan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode Sokhlet. Telaah fitokimia daging meliputi identifikasi komponen aktif secara kuantitatif, yaitu uji
steroid triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah
total fenolik menggunakan pereaksi AlCl
2
, uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik
kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis KLT. Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid
chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Struktur kimia senyawa aktif ditentukan menggunakan software masslynx, tools element composition. Hasil
skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Thoopterus nigrescens
menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari Nyctimene cephalotes, Pteropus
alecto, dan Rousettus amplexicaudatus mengandung senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp,
dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa
triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto menunjukkan persen kelimpahan yang tertinggi adalah senyawa
dengan bobot molekul masing-masing 413.2692 C
26
H
37 4
, 324.2691 C
23
H
34
N, 276.2 C
19
H
34
N, dan 319.3 C
21
H
39
N
2
. Keempat bobot molekul mempunyai kemiripan dengan senyawa steroid sebanyak lima senyawa, dan lima senyawa
lainnya mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid. Kata kunci : fitokimia, ekstrak n-heksana, senyawa aktif, kelelawar.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Phytochemical Study and Fractionation of
the Active Compound of n-Hexane Extract on Bushmeat of Fruit Bats. Under direction of RARAH RATH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH
SUGITA, and WASMEN MANALU
This exploratory research was conducted to study the claim of some people that eating meat of bat can cure asthma, allergies, and increase stamina.
The objective of this study was to determine the active compounds in meat of bats as compared to those of conventional livestocks and fish, as well as cooking
spices used in the processing of the bat. The research was carried out for 8 months which consisted of two stages. The first stage was a steroid test as an initial
screening on a few pieces of carcass and liver bats, carried out for two months. The second stage consisted of the extraction and phytochemical test from meat of
bats, pork, chicken, rabbit, and tuna, as well as spices, followed by isolation, fractionation, and characterization of n-Hexane extract of Pteropus alecto, held
for six months. Phytochemical study of meat included identification of active compouns, namely quantitative test steroidtriterpenoid using Lieberman Burchard
reagent, the alkaloid test using reagents Dragendrof, Meyer reagents, reagent Bouchardat, the total phenolic using AlCl2 reagent, flavonoids test using Mg and
concentrated HCl. Fractionation of the active compound was done by using column chromatography and thin layer chromatography. Characterization of the
fractionation was done through the determination of molecular weight by the method of liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Chemical
structure of the active compounds was determined by using masslynx software, tools element composition. The results of initial screening indicated that boneless
carcass and liver of Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, and Thoopterus nigrescens showed a steroid compound. The second stage showed that the
boneless carcass of Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, and Rousettus amplexicaudatus showed steroids and alkaloids, while Acerodon celebensis,
Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, Thopterus sp, pork, rabbit, and fish contained only steroid compounds. The results of the initial screening of the
spices showed the existence of triterpenoid compounds, flavonoids, and alkaloids. The results of the characterization of the isolated extract n-Hexane
Pteropus alecto showed that
the highest abundance in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 C
26
H
37 4
, 324.2691 C
23
H
34
N, 276.2 C
19
H
34
N, and 319.3 C
21
H
39
N
2
. The four molecular weights observed that have molecular structure similar to steroid compounds were five
compounds and five compounds others of molecular structures found similar to alkaloid.
Keywords: phytochemicals, extracts n-Hexane, the active compound, bats.
Pendahuluan
Tuntutan sebagian konsumen terhadap bahan pangan dewasa ini semakin bergeser, yaitu pangan yang diminati adalah pangan yang bersifat fungsional.
Artinya, bukan saja memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh
Wijaya 2002. Suatu bahan pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan
makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang
dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, dan memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi Gibson Williams 2000.
Definisi pangan fungsional menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia adalah pangan yang secara alamiah maupun telah
melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu, terbukti tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan UU No 7 1996, BPOM RI 2011. Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan kelelawar sebagai
lauk yang dikenal dengan nama paniki. Berdasarkan informasi di media masa dan wawancara langsung dengan konsumen, dipercayai bahwa daging dan hati
kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, seperti asma, alergi, juga dapat mempertahankan stamina bagi pria atau wanita. Diduga bahwa daging kelelawar
mengandung senyawa aktif ketotifen dan steroid. Berdasarkan bank data, ketotifen merupakan senyawa pemblokir pelepasan mediator inflamasi PubChem, Drug
Bank. Steroid merupakan senyawa aktif yang terdapat pada hewan yang berfungsi sebagai hormon pengatur tumbuh Yohny et al 2003, Handayani et al.
2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan
rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabai, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan daging kelelawar olahan kaya akan komponen aktif.
Darusman et al. 2007 melaporkan bahwa kandungan senyawa aktif pada kunyit adalah flavonoid dan triterpenoid, kandungan cabe rawit adalah flavonoid,
sedangkan kandungan jahe adalah triterpenoid. Rustam et al. 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol kunyit mempunyai efek antiinflamasi pada tikus.
Pada saat ini telah banyak dilakukan studi terkait keberadaan senyawa bioaktif dalam bahan nabati atau tumbuhan, sedangkan eksplorasi satwa, hewan,
dan ternak masih sangat sedikit sekali dipelajari, terlebih yang berkaitan dengan sumber dayakekayaan hayati lokal Indonesia. Laporan ilmiah yang
mengungkapkan penggunaan daging kelelawar sebagai bahan pangan yang bersifat fungsional sampai saat ini belum tersedia. Adanya kepercayaan sebagian
masyarakat akan keistimewaan daging kelelawar untuk menyembuhkan penyakit asma perlu dibuktikan secara ilmiah. Identifikasi dan karakterisasi senyawa-
senyawa aktif yang terdapat di dalam daging kelelawar sangat berkaitan erat dengan pengembangan ilmu pengetahuan karena akan mengaplikasikan berbagai
metode ekstraksi hingga pemurnian untuk mendapatkan jenis senyawa aktif yang bertanggung jawab terhadap pengobatan penyakit asma.
Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan telaah fitokimia dan karakterisasi
senyawa aktif ekstrak n-Heksana dari daging kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi secara kualitatif senyawa-senyawa aktif dan
karakterisasi senyawa-senyawa aktif dalam daging kelelawar melalui penentuan bobot molekul. Teridentifikasinya senyawa-senyawa aktif akan menjawab
berbagai kepercayaanpemeo yang beredar di masyarakat dan kesesuaian klaim daging kelelawar sebagai pangan yang bersifat fungsional. Diharapkan, dengan
diketahuinya beberapa keistimewaan daging kelelawar, pelestarian dan pemanfaatan hewan ini dapat diseimbangkan. Berdasarkan informasi ini
pemerintah dapat menindaklanjuti dengan program pelestarian kelelawar di wilayah Sulawesi sebagai plasma nutfah,
sekaligus membudidayakannya agar terhindar dari kepunahan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Penelitian
ini diharapkan menghasilkan suatu temuan baru untuk dapat menjelaskan secara ilmiah keterkaitan antara konsumsi daging kelelawar dengan pengobatan penyakit
asma. Studi lanjut secara genetik molekuler di antaranya melalui genotyping terhadap spesies kelelawar, khususnya di Sulawesi dan secara umum di Indonesia,
akan terbuka, didasari dengan pembuktian keberadaan senyawa aktif dari hasil
penelitian ini nantinya. Penelitian ini, dengan demikian, akan menyumbangkan satu penemuan baru dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk senyawa-
senyawa aktif yang terdapat pada produk hewani. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
jenis senyawa aktif yang terdapat dalam daging kelelawar dan bumbu-bumbu sebagai bahan pangan. Kepercayaan akan kegunaan konsumsi daging kelelawar
sebagai obat juga mengantarkan penelitian ini untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa aktif golongan alkaloid dan steroid yang terdapat
dalam daging kelelawar.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk proses
pengeringan daging, Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, IPB untuk telaah fitokimia dan fraksinasi senyawa aktif, dan
Laboratorium Biotek, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang, untuk penentuan bobot molekul dan struktur
molekul. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap pertama, yaitu uji pendahuluan pada Oktober-Desember 2010. Tahap kedua pada Oktober 2011
sampai April 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap satu sebagai uji pendahuluan adalah 3 ekor kelelawar P. alecto. Jenis kelelawar tahap kedua
adalah 37 ekor A. celebensis, 20 ekor N. cephalotes, 20 ekor P. alecto, 7 ekor Pteropus sp, 20 ekor R. amplexicaudatus, 10 ekor T. nigrescens, 5 ekor
Thoopterus sp 1, 6 ekor Thoopterus sp 2 yang diperoleh dari beberapa lokasi di Sulawesi, 2 kg daging ayam, 2 kg daging babi, dan 2 kg ikan cakalang yang
diperoleh di Pasar Bersehati Manado, 2 kg daging kelinci yang diperoleh dari peternakan rakyat di Bogor, serta bumbu masak yang digunakan dalam
pengolahan daging kelelawar. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas berbagai jenis pelarut organik teknis dan proanalisis, yaitu n-heksana, dietil eter, etil asetat,
metanol, etanol, kloroform, Pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Dragendrof, Pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, HCl, FeCl
3
, Mg, amyl alkohol, amonia, dan silica gel 60, 70-230 mesh, E. Merck untuk kromatografi kolom, silica gel 60 F
254
untuk kromatografi lapis tipis. Peralatan yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan analitik,
dissecting set, camera digital, food processor, cool box, lempeng tetes, seperangkat alat sokhlet, oven, seperangkat alat kromatografi kolom dengan
panjang kolom 40 cm, dan diameter1.8 cm, vacuum rotary evoporator bunchi R 114 yang dilengkapi dengan sistem vakum bunchi B 169, oven, lemari asam,
sinar UV 254 original hanau floutest, pipa kapiler, dan seperangkat alat LC-MS, seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof, jenis kolom acquatif BEH
1.7 μm C18 diameter 2.1 mm x 50 mm.
Metode Penelitian Penelitan Tahap l
Penelitian tahap pertama adalah uji pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui bagian mana dari komponen karkas dan non karkas kelelawar yang
mempunyai zat aktif, dan jenis ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian. Jenis kelelawar yang digunakan adalah P. alecto. Uji pendahuluan yang dilakukan
adalah uji steroid. Metode ekstraksi dilakukan secara dingin dengan maserasi dan secara
panas dengan sokhlet. Sebelumnya, kelelawar dipelihara dalam kandang di tempat asalnya kurang lebih dua minggu dan diberi makan buah-buahan, seperti
pisang dan pepaya setiap hari. Satu hari sebelum dibawa ke laboratorium kelelawar sudah dibakar kemudian karkasnya disimpan di lemari es suhu 5°C.
Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB, dan disimpan pada suhu dingin.
Seminggu kemudian, karkas diblender sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setiap sampel diuji sebanyak tiga kali. Analisis sampel terdiri atas: Sampel A
adalah bagian daging beserta lemak dan kulit, Sampel B adalah karkas keseluruhan, Sampel C adalah daging tanpa lemak dan kulit, Sampel D adalah
bagian hati. Prosedur kerja uji pendahuluan adalah sebagai berikut.
Ekstraksi Dingin dengan Maserasi.
Sebanyak 0.3 g sampel dalam keadaan segar yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan dietil eter sebanyak 5 mL kemudian dikocok
menggunakan vorteks sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas dipipet dan diteteskan pada lempeng dan diidentifikasi menggunakan pereaksi Lieberman
Buchard.
Ekstraksi Panas Menggunakan Metode Sokhlet AOAC, 1995
Sejumlah sampel daging yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 80
º
C selama 12 jam, dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk menyerupai timbel, kemudian ditutup dengan kapas wol bebas lemak. Timbel
tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet, kemudian alat ekstraksi dipasangkan dengan labu lemak di bawahnya. Pelarut n-heksana dituangkan ke
dalam alat ekstraksi sokhlet sesuai dengan ukuran yang digunakan, alat ekstraksi sokhlet dipasang pada alat kondensator di atasnya.
Selanjutnya, dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun ke dalam labu lemak berwarna jernih. Timbel dikeluarkan dan pelarut yang ada
dalam labu lemak didestilasi selama satu jam. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C selama satu jam dan didinginkan
dalam desikator. Untuk pengujian steroid, ekstrak sebanyak 0.1 g ditambahkan kloroform
dan air dengan perbandingan 1:1 kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok dan didiamkan sampai berbentuk dua lapisan. Lapisan bawah
disaring dan filtratnya dipipet kemudian diteteskan ke plat tetes. Setelah kering ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard.
Penelitian Tahap ll
Hasil pengujian tahap pertama merupakan rekomendasi untuk uji fitokimia tahap kedua. Kelelawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar
yang ditangkap langsung di habitatnya yang langsung dipotong kemudian diambil bagian karkasnya dan dikeringkan, sedangkan daging ternak konvensional dan
ikan serta bumbu masak diambil di pasar tradisional. Prosedur kerja penelitian tahap kedua adalah sebagai berikut.
Pengeringan Sampel
Sampel daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang yang digunakan dipotong-potong tipis dengan ukuran 1-3 cm, sedangkan bumbu
masak dihaluskan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80
º
C salama 6-12 jam sampai daging dan bumbu masak mudah dihancurkan, kemudian dihaluskan, lalu
dikemas dalam plastik untuk dianalisis. Sampel daging diekstraksi dengan pelarut n-heksana menggunakan sokhlet, kemudian ekstrak n-heksana hasil akstraksi
diuji dengan metode fitokimia. Bumbu masak langsung diuji fitokimianya.
Uji Fitokimia Daging dan Bumbu Masak
Uji fitokimia merupakan skrining awal. Hasil uji fitokimia untuk ekstrak n-heksana yang positif mengandung senyawa aktif dilanjutkan dengan isolasi dan
fraksinasi untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Uji fitokimia daging secara kuantitatif meliputi, pemeriksaan alkaloid, flavonoid, fenolik, dan
triterpenoid, dengan prosedur kerja sebagai berikut.
Persiapan Bahan Uji.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.1 g ditambahkan pelarut campuran kloroform dan aquades dengan perbandingan 1:1. Campuran dikocok dalam
tabung reaksi dan dibiarkan sejenak sehingga berbentuk dua lapisan. Lapisan yang berada di atas digunakan untuk pemeriksaan fenolik dan flavonoid.
Pemeriksaan Alkaloid.
Ekstrak n-heksana sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan ammonia 10 dan CHCl
3
10 mL kemudian dikocok. Lapisan CHCl
3
diambil dan ditambahkan H
2
SO
4
, kemudian dikocok lagi, fase cairnya diambil dan dibagi menjadi tiga bagian.
Ke dalam masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wegner. Warna merah yang terbentuk pada sampel
yang diberikan pereaksi Dragendrof, endapan warna putih pada sampel yang ditambahkan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat kemerahan pada sampel yang
ditambahkan pereaksi Wegner menunjukkan bahwa sampel positif mengandung alkanoid.
Pemeriksaan Fenolik.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes,
kemudian ditambahkan pereaksi AlCl
3
. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna hijau, biru, atau ungu.
Pemeriksaan Senyawa Flavonoid.
Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan
sedikit bubuk logam Mg serta beberapa tetes asam klorida pekat. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna merah kuning atau jingga
Pemeriksaan Senyawa Saponin
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian residunya dimasukkan ke dalam
gelas piala, ditambahkan aquades sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan selama 5 menit sampai mendidih. Kemudian, didinginkan dan dikocok vertikal sampai
membentuk busa. Kemudian ditambahkan HCl 2N dan didiamkan selama 10 menit. Positif mengandung saponin, jika busa dalam tabung reaksi tidak berubah.
Pemeriksaan Senyawa Triterpenoid Steroid.
Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian filtratnya dipipet dan dipindahkan
ke dalam plat tetes kemudian diangin-anginkan. Identifikasi keberadaan senyawa steroid dilakukan dengan reaksi warna dengan pereaksi Lieberman Burchard.
Triterpenoid positif apabila terbentuk warna merah atau violet, steroid positif apabila terbentuk warna hijau atau biru.
Isolasi Ekstrak n-Heksana
Ekstrak n-heksana yang positif mengandung steroid dan alkoloid selanjutnya diisolasi. Isolasi senyawa steroid dilakukan pada tiga jenis kelelawar,
yaitu A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus, serta daging babi. Dasar pertimbangan memilih ketiga jenis kelelawar ini adalah A. celebensis merupakan
endemik Sulawesi, R. amplexicaudatus penyebaranya luas, P. alecto sudah
dikomersialkan dan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern di daerah Sulawesi. Selain itu jumlah sampelnya tersedia. Bagan kerja tahap
ekstraksi dan isolasi senyawa steroid dapat dilihat pada Gambar 20
- dipotong-potong halus - dikeringkan 80
º
C, 12 jam - diekstrak dengan n-heksana
- diuji fitokimia
- disabunkan dengan KOH
- direfluks 70
C, 1jam -difraksinasi
dgn dietil eter -
dievaporasi
-uji L-B -uji L-B
-dipekatkan
Gambar 20 Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana. Ekstrak n-heksana pekat sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu ukur,
disabunkan dengan menambahkan KOH kristal pa sebanyak 9.5 g dan 50 mL etanol 95, dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan
dan ditambahkan aquades sebanyak 50 mL, dan dimasukkan ke dalam labu kocok. Kemudian ditambahkan dietil eter sebanyak 50 mL dan dikocok-kocok.
Didiamkan sampai terjadi pemisahan. Lapisan atas ditampung dalam gelas kimia, dan ditambahkan dietil eter 20 mL kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu
kocok. Pemisahan ini diulangi sampai benar-benar lapisan atas bebas dari lemak dan air. Hasil tampungan dicuci dengan air sampai alkali dengan menggunakan
indikator pp. Warna pink berarti belum bebas sabun, dan warna netral berarti Daging segar
Bahan kering
Ekstrak n-heksana
Ekstrak n-heksana Ekstrak n-heksana
Steroid Alkaloid
Flavonoid Fenolik Saponin
Fase tak tersabunkan Fase tersabunkan
Steroid - Steroid +
bebas dari sabun. Fase yang tidak tersabunkan dipekatkan menggunakan evaporator sampai bebas pelarut. Kedua fase ini kemudian diuji dengan pereaksi
Lieberman Buchart yang terdiri atas kloroform, asam asetat anhidrid dan asam sulfat pekat.
Pemisahan Fase Tak Tersabunkan
Untuk melihat larutan pengembang yang baik, maka fase yang tak tersabunkan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis KLT. Fase tak
tersabunkan ditotolkan sebanyak 3 ulangan dengan jarak ulangan 1 cm pada masing-masing plat kromatografi lapis tipis yang sudah diaktifkan pada suhu
80
º
C selama 15 menit, dan dipotong-potong ukuran 5 cm x 6.5 cm dengan jarak eluen dari titik penotolan dan batas atas 5 cm. Masing-masing Plat KLT yang
sudah ditotolkan ekstrak tak tersabunkan dimasukkan ke dalam masing-masing vial yang berisikan larutan pengembang tunggal yang sudah dijenuhkan, yaitu n-
hexana, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan etil asetat sampai pergerakan eluen mencapai batas atas KLT. Setelah itu, plat KLT diangkat dan diangin-
anginkan. Untuk melihat noda-noda pada plat KLT digunakan sinar UV. Melihat jarak noda dan jumlah noda yang terbentuk pada plat KLT maka dilakukan
penggabungan dua jenis pelarut. Hasil penggabungan dua jenis eluen diperoleh gabungan pelarut, yaitu n-heksana-dietil eter 80:20 dengan jumlah noda empat
titik dengan jarak noda yang sama. Setelah diperoleh eluen yang terbaik, sebanyak 1 g fase tak tersabunkan dipisahkan dengan cara kromatografi kolom
menggunakan fase diam silika gel 60 70-230 mesh sebanyak 80 g dengan panjang kolom 40 cm, dan diameter 1.8 cm menggunakan fase gerak n-heksana-
etil asetat dan difraksinasi secara gradient. Fraksi-fraksi ditampung dalam tabung reaksi yang sudah diberi label T1-T125 setiap 5 menit. Masing-masing fraksi
dianalisis secara kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola Rf yang sama digabungkan menjadi satu kemudian diuapkan.
Semua fraksi-fraksi diuji steroid dan alkaloid.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Identifikasi dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectroscopy LC-
MS. Penentuan struktur molekul ditentukan dengan bantuan software masslynx, tools element composition. Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak
tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan ditunjukkan dalam Gambar 21.
Analisis Data
Hasil analisis fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif diuraikan secara deskriptif.
- di KK dengan silika gel 60 70-230
mesh -
dielusi secara gradient dengan eluen n- heksana-EtOAc
- ditampung setiap 5 menit
- hasilnya di KLT dengan larutan
pengembang n-heksana-EtOAc 80 : 20 -
disinar UV -
fraksinasi dengan pola Rf sama digabung
-LC-MS -LC-MS
-Software masslynx,
-Software masslynx, tools element composition tools element composition
Gambar 21 Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan.
Fase tak tersabunkan 1 g
Fraksi A Fraksi B
Fraksi C Fraksi D
Fraksi E Fraksi F
Bobot molekul Bobot molekul
Struktur molekul Struktur molekul
Hasil dan Pembahasan Penelitian Tahap l
Penelitian tahap pertama merupakan uji pendahuluan. Berdasarkan uji pendahuluan maka diketahui bahwa pada hati, daging bersama kulit, dan daging
campuran semua bagian tubuh yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan yang dimaserasi, memiliki komponen senyawa steroid. Identifikasi senyawa steroid
diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sebelum dan sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard. Perubahan warna sampel disajikan pada
Tabel 7. Tabel 7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P alecto yang
diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi Komponen
tubuh Maserasi
Sokhlet Warna awal Warna akhir
Warna awal Warna akhir A
Bening biru kehijauan
Bening biru kehijaun
B Bening
biru kehijauan Bening
biru kehijaun C
Bening putih gading
- -
D Bening
biru kehijauan -
- Tanda - tidak dianalisis, A: daging dan kulit, B: karkas keseluruhan, C: daging
tanpa kulit, D: hati Uji Lieberman Buchard pada penelitian pendahuluan ini memperlihatkan
bahwa sampel A, B, dan D menunjukkan perubahan warna dari warna bening menjadi biru kehijauan, sedangkan sampel C tidak memperlihatkan perubahan
warna. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B, dan D teridentifikasi positif memiliki senyawa steroid.
Harborne 2006 menyatakan bahwa senyawa aktif dapat diidentifikasikan dari warna yang dihasilkan dengan menggunakan
pereaksi Lierbemann Buchard, warna hijau menunjukkan steroid, warna merah, merah muda, dan ungu menunjukkan triterpenoid. Senyawa steroid pada hewan
kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas. Secara fisiologis, steroid anabolik dapat membuat seseorang menjadi agresif. Johnny et al. 2003 melaporkan
bahwa steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu. Saleh 2007 melaporkan bahwa ekstrak
metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid clionesterol mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL kg bb mencit
jantan.
Penelitian Tahap II Uji fitokimia Daging Kelelawar, Ternak Konvensional, dan Ikan Cakalang
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, maka penelitian tahapan kedua ditetapkan untuk mengambil sampel karkas tanpa tulang dengan menggunakan
metode ekstraksi secara panas, yaitu sokhlet. Pada penelitian ini pengujian fitokimia meliputi beberapa spesies daging kelelawar yang ditangkap di beberapa
daerah, dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti ayam, babi, kelinci, dan ikan cakalang. Tabel 8 menunjukkan bahwa semua jenis kelelawar, daging
kelinci, dan ikan cakalang positif mengandung senyawa steroid kecuali daging ayam, dan ada 3 spesies kelelawar yang mengandung senyawa alkaloid.
Tabel 8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging ternak konvensional serta ikan cakalang
Jenis daging Komponen aktif
Steroid Fenolik
Alkaloid Flavonoid
Saponin D M W 1
2 3
Daging kelelawar A. celebensis
N. cephalotes P. alecto
Pteropus sp R. amplexicaudatus
T.nigrescens Thoopterus sp 1
Thoopterus sp 2 ++
++ ++
++ ++
+++ ++
++ -
- -
- -
- -
- -
+ +
- -
+ -
- -
+ +
- -
+ -
- -
+ +
- -
+ -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
-
Daging kelinci +
- -
- -
- -
- -
Daging ayam -
- -
- -
- -
- +
Daging babi +
- -
- -
- -
- -
Ikan cakalang ++
- -
- -
- -
- -
W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah;
- tidak terdapat senyawa aktif
Intensitas warna senyawa steroid sangat kuat pada T. nigrescens +++ daripada A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, Pteropus sp, Thoopterus sp 1,
Thoopterus sp 2, R. amplexicaudatus, serta ikan cakalang ++, sedangkan daging babi dan kelinci intensitas warnanya lemah + seperti pada Lampiran 1. Kuatnya
intensitas warna pada semua jenis daging kelelawar diduga karena jenis makanan yang dikonsumsi kelelawar di alam dan kemampuan tubuh kelelawar untuk
memetabolisme nutrisi dalam tubuh terutama karbohidrat yang akan menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor untuk pembentukan asam
mevalonat yang akan menghasilkan steroid. Uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner
menunjukkan bahwa P. alecto, N. cephalotes, dan T. nigrescens mengandung senyawa alkaloid, walaupun intensitas warna lemah dan endapan yang terbentuk
kurang +, seperti pada Lampiran 12. Identifikasi senyawa alkaloid diketahui dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi oranye dengan endapan
oranye pada pereaksi Dragendrof, warna bening menjadi putih keruh dan endapan putih keruh pada pereaksi Meyer, dan perubahan warna bening menjadi cokelat
dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. Terdapatnya kandungan alkaloid pada N. cephalotes, P. alecto, dan T.nigrescens diduga karena pakan yang dikonsumsi
kelelawar jenis ini mengandung nutrisi yang dapat dijadikan sebagai prekursor pembentukan alkaloid dan adanya kemampuan tubuh untuk membentuk asam-
asam amino, seperti lisina, histidina, dan tirosina yang merupakan cikal bakal terbentuknya alkaloid
Uji fitokimia Bumbu Masak
Pengujian fitokimia menunjukkan bahwa bumbu masak mengandung senyawa triterpenoid dan alkaloid. Tabel 9 menunjukkan bahwa cabe rawit, jahe
merah, kunyit, daun sereh, dan gabungan dari semua jenis bumbu masak positif mengandung senyawa triterpenoid dan senyawa flavonoid, sedangkan kunyit dan
daun bawang hanya menggandung triterpenoid. Identifikasi senyawa triterpenoid diketahui dengan adanya perubahan
warna sampel sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard menjadi merah muda dengan intensitas warna setiap bumbu yang berbeda. Intensitas warna
senyawa triterpenoid sangat kuat pada kunyit, daun sereh, dan bumbu campur +++ daripada cabe rawit ++, sedangkan jahe merah dan daun bawang
intensitas warnanya lemah +, seperti pada Lampiran 13. Uji flavonoid menunjukkan bahwa jahe, sereh, cabe rawit, dan campuran
semua bumbu masak menggandung flavonoid. Identifikasi flavonoid diketahui dengan adanya perubahan warna menjadi kuning untuk ekstrak jahe, cabe rawit,
dan campuran bumbu masak serta warna jingga untuk ekstrak sereh, dengan intensitas perubahan warna yang sangat kuat, seperti pada Lampiran 14.
Tabel 9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar Jenis bumbu
Komponen aktif Triterpenoid Fenolik Alkaloid
Flavonoid Saponin
D M W Cabe rawit
++ -
- -
- +++
- Jahe merah
+ -
- -
- +++
- Kunyit
+++ -
- -
- -
- Bawang daun
+ -
- -
- -
- Bawang merah
- -
- -
- -
- Daun sereh
+++ -
- -
- +++
- Daun jeruk purut
- -
- -
- -
Bumbu campur +++
- -
- -
+++ -
W:pereaksi Wagner; M:pereaksi Meyer; D:pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak
terdapat senyawa aktif
Isolasi Senyawa Steroid dengan Penyabunan
Prinsip penyabunan ialah memisahkan senyawa-senyawa lemak selain senyawa-senyawa yang mengandung steroid, yaitu fase yang tersabunkan adalah
lemak, dan fase tidak tersabunkan mengandung senyawa steroid. Tabel 10 menunjukkan hasil uji Lieberman Buchart dan perolehan bobot ekstrak tak
tersabunkan dari masing-masing ekstrak n- heksana. Tabel 10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari
ketiga jenis kelelawar dan daging babi Jenis ekstrak
n-heksana Bobot ekstrak
n-heksana g Bobot fase tidak
tersabunkan g Uji steroid
A. celebensis 70
1.225 Warna biru
P. alecto 130
3.887 Warna biru
R. amplexicaudatus 55
0.991 Warna biru
Daging babi 10
0.204 Warna biru
Hasil penyabunan ekstrak n-heksana A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus serta daging babi yang difraksinasi dengan menggunakan dietil
eter menunjukkan bahwa fase tidak tersabunkan mengandung steroid, dan fase yang tidak tersabunkan tidak mengandung steroid.
Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tak Tersabunkan
Berdasarkan banyaknya fase tak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar dan daging babi, maka untuk pemisahan dengan menggunakan kromatografi
kolom diambil satu spesies yang jumlah fase tidak tersabunkan lebih banyak, yaitu P. alecto. Untuk menguji pelarut terbaik yang digunakan dalam
kromatografi kolom digunakan enam pelarut tunggal sebagai analisis awal menggunakan kromatografi lapis tipis. Gambar 22 memperlihatkan pola noda
yang terbentuk pada KLT dari fase tak tersabunkkan ekstrak n-heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal.
Kloroform Etanol
Etil asetat n-Heksana
Dietil eter Metanol
Gambar 22 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n- heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal.
Berdasarkan pada pola noda yang terbentuk dari keenam pelarut tunggal dilakukan kombinasi pelarut, yaitu Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat.
Gambar 23 memperlihatkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis kombinasi pelarut Etanol
–etil asetat 50:50 dan n-heksana-etil asetat 50:50
Etanol –etil asetat 50:50
n-Heksana-etil asetat50:50 Gambar 23 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n-
heksana pada pelarut Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat. Berdasarkan pola noda dari kedua kombinasi pelarut maka dipilih
kombinasi n-heksana-etil asetat. Hasil analisis kombinasi n-heksana-etil asetat yang terbaik untuk proses kromatografi kolom dari fraksi yang tidak tersabunkan
adalah n-heksana-etil asetat 80 :20, dengan empat noda dan nilai Rf
1
= 0.17, Rf
2
= 0.37, Rf
3
= 0.73 dan Rf
4
=1. Gambar 24 menunjukkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto dengan
perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda.
n-Heksana - etil asetat 50 :50
n-Heksana - etil asetat 70 :30
n-Heksana - etil asetat 80 :20
Gambar 24 Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang
berbeda.
Hasil analisis dengan kromatografi kolom terhadap satu gram fase tidak tersabunkan ekstak n-Hexana P. alecto diperoleh sebanyak 126 fraksi. Setelah
dianalisis dengan KLT diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi-fraksi yang menampakkan pola yang sama pada kromatogram lapis tipis adalah fraksi A T1-
T12 seberat 0.0436 g, fraksi B T13-T36 seberat 0.0378 g, fraksi C T37-T58 seberat 0.237 g , fraksi D T59-T67 seberat 0.127 g, fraksi E T68-T76 seberat
0.0144 g, dan fraksi F T77-T126 seberat 0.358 g. Kromatografi lapis tipis dari keenam fraksi gabungan dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto.
Hasil analisis KLT terhadap enam fraksi gabungan menunjukkan bahwa fraksi A memiliki satu noda tebal dengan nilai Rf
= 0.92, fraksi B memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.30 dan 0.63, fraksi C memiliki dua noda dengan nilai Rf
= 0.41 dan 0.58, fraksi D memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.40 dan 0.6, fraksi E memiliki 3 noda dengan nilai Rf masing masing 0.16, 0.25, dan 0.46, dan fraksi
F memiliki dua noda dengan nilai Rf 0.73 dan 0.86.
Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul
Analisis selanjutnya adalah menentukan bobot molekul senyawa hasil fraksinasi kolom menggunakan LC-MS seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof ,
kolom acquatif BEH 1.7 μm C18, 2.1 mm x 50 mm, dan pendugaan rumus molekul serta struktur molekul menggunakan bantuan software masslynx, tools
element composition serta database melalui database ChemSpider. Hasil LC-MS dari fraksi A menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi
secara berurutan adalah 2.3, 2.75, 3.06, 3.19, 3.27, 3.75, 3,97, 4.32, 4.73, 5.00 dan 5.26. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.75 dan 4.73. Spektrum
massa dari fraksi A ditunjukkan dalam Gambar 26.
Gambar 26 Spektrum MS dari fraksi A. Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.75
mempunyai rumus molekul C
26
H
37
O
4
dan bobot molekul 413.2692, dan senyawa dengan waktu retensi 4.73 mempunyai rumus molekul C
23
H
34
N dan bobot
molekul 324.2691. Berdasarkan database senyawa dengan bobot molekul 413.26 mempunyai lima kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 27.
17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3- oxoestr-4-en-4-olate
Massa: 413.269989013672 Da
11-6-Hydroxy-2,5,7,8- tetramethyl-3,4-dihydro-2H-
chromen-2-yl-4,8-dimethyl-4,8- undecadienoate
Massa: 413.269989013672 Da
O
15
-3-Carboxylato-3- methyl-2-
butanylretinoic acid
Massa: 413.269745 Da
4-Octyloxy-4-[2- pentyloxyphenyl]-2,5-
cyclohexadiene-1-carboxylate
Massa: 413.269745 Da 2-4-isobutylphenylpropanoate;
2-4-isobutylphenylpropanoic acid; molecular hydrogen
Massa: 413.269745 Da Gambar 27 Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26.
Dari kelima struktur tersebut satu senyawa mempunyai kemiripan dengan struktur
molekul senyawa
steroid golongan
estron, yaitu
17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate. Estron adalah kelompok
steroid jenis estrogen yang merupakan hormon seks wanita yang diproduksi di kelenjar adrenal dan ovari dan berkaitan dengan pengembangan sel telur dan
perkembangan seks sekunder pada wanita Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003.
Senyawa dengan bobot molekul 324.27 mempunyai enam kemungkinan senyawa seperti pada Gambar 28. Berdasarkan strukrur molekulnya, senyawa
N,N-Diethyl-N-[4-3-phenyl-2butanylbenzyl]ethanaminium dan [4-1-ethyl-3-
phenyl-pentyl phenyl]methyl-trimethyl-ammonium tidak memiliki kemiripan dengan senyawa steroid. Kedua senyawa ini memiliki kemiripan dengan turunan
benzena, dan cincin benzena sebagai subtituen pada alkana. Empat senyawa, yaitu 1-{[5R,7S-3-4-Methylphenyl-1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3-
phenylpyridinium, 1-{[3-4-Methylphenyl-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1- 7-Isopropyl-1-me thyl-4-azulenyl-2-methyl-2-propanyl]-1-methylpyrrolidinium
mempunyai kemi ripan dengan struktur molekul alkaloid golongan piridin- piperidin karena mengandung cincin karbon dan satu atom nitrogen dalam satu
cincin karbon sebagai struktur inti. Senyawa alkaloid golongan ini terdapat pada tumbuhan Piperis nigri lada hitam, dan tumbuhan areca catechu pohon pinang
yang berguna sebagai obat cacing dan penenang Kristina Syahid 2008.
1-[1-7-Isopropyl-1-methyl-4- azulenyl-2-methyl-2propanyl]-
1-methylpyrrolidinium
Massa: 324.268585 Da
N,N-Diethyl-N-[4-3-phenyl-2- butanylbenzyl]ethanaminium
Massa: 324.268585 Da
1-{[3-4- Methylphenyladamantan-1-
yl]methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-{[5R,7S-3-4- Methylphenyladamantan-1-yl]
methyl}piperidinium
Massa: 324.268585 Da
1-Dodecyl-3-phenylpyridinium
Massa: 324.269012451172 Da
[4-1-ethyl-3-phenyl- pentylphenyl]methyl-
trimethyl-ammonium
Massa: 324.269 Da
Gambar 28 Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27. Keempat senyawa juga mempunyai kemiripan struktur molekul dengan
senyawa Kitotifen Gambar 29 yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit,
anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi.
4-1-Methyl-4-piperidinylidene-4,9-dihydro-10H- benzo[4,5]cyclohepta[1,2-b]thiophen-10-one
Molecular Formula: C
19
H
19
NOS
Monoisotopic mass: 309.118744 Da Gambar 29 Struktur molekul senyawa kitotifen.
Hasil LC-MS dari fraksi C menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi secara berurutan adalah 2.16, 2.23, 2.82, 3.11, 3.21, 3.39, 4.05, 4.58, 4.62,
4.95 dan 5.18. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.21 dan 4.62 dengan bobot molekul 276.2 dan 319.3. Spektrum massa dari fraksi C ditunjukkan
dalam Gambar 30.
Gambar 30 Spektrum MS dari fraksi C. Hasil analisis spektrum massa menunjukkan bahwa senyawa dengan
waktu retensi 3.21 mempunyai molekul 276.26, dan senyawa dengan waktu retensi 4.62 mempunyai bobot molekul 319.31. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan bantuan software senyawa dengan bobot molekul 276.26 mempunyai rumus molekul C
19
H
34
N dengan 17 kemungkinan senyawa. Empat
senyawa di antaranya mempunyai kemiripan dengan steroid golongan androstan. Salah satu jenis hidrokarbon induk steroid dari keempat senyawa ini adalah
androstan dengan gugus fungsi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan rantai samping NH
3
yang melekat pada atom C nomor 17, seperti pada Gambar 31.
5α,14β,17β- Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585 Da
5β,14β,17β- Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585 Da
5α,8α,14β,17β- Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585Da
5β,8α,14β,17β- Androstan-17-
aminium
Massa: 276.268585 Da
Gambar 31 Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26858. Harold et al. 2003 menyatakan bahwa ciri umum struktur steroid adalah
sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggotakan enam, dan cincin D beranggota lima, biasanya ada substitusi metil yang melekat pada C-10
dan C-13 dan semacam rantai samping yang melekat pada C-17. Adrostan merupakan hormon seks pada pria yang masuk ke dalam kelompok androgen
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang berkaitan dengan perkembangan seks sekunder pada pria Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003.
Senyawa dengan bobot molekul 319.31 mempunyai rumus molekul C
21
H
39
N
2
dengan dua kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 32. Berdasarkan pada struktur molekul, kedua senyawa tersebut mempunyai
kemiripan dengan senyawa alkaloid, karena adanya atom nitrogen dalam struktur lingkar heterosklik.
Berdasarkan pada atom nitrogen, senyawa 3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3,9- dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo[1,2-a:1,2-c] pyrimi din-4-ium
masuk ke dalam alkaloid heterosiklik golongan imidazol yang atom nitrogen terdapat pada cincin karbon dan cincin karbonnya mengandung dua atom
nitrogen. Alkaloid golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata
dan untuk meningkatkan sirkulasi darah. Santos Moreno 2004 melaporkan bahwa alkaloid pilocarpine dari tamanam Pilocarpus digunakan sebagai obat
tetes mata untuk pengobatan glaukoma, serta untuk stimulasi keringat dan kelenjar air mata Sawaya et al. 2011.
4-Amino-1-hexadecylpyridinium
Massa: 319.310791 Da
3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3,9-dipropyl- 2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-
dipyrrolo[1,2-a:1,2-c]pyrimidin-4-ium
Massa: 319.310791 Da Gambar 32 Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.31.
Harbone 2006 mengatakan bahwa tidak satu pun definisi alkaloid yang memuaskan, tetapi umumnya alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang
bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, dan biasanya dalam cincin heterosiklik, sekurang-kurangnya satu atom di antara cincin harus
merupakan heteroatom, yaitu atom yang bukan karbon. Adanya senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, serta senyawa triterpenoid dan flavoinoid
pada bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai pangan yang dapat berfungsi sebagai
pangan fungsional. Adanya kemiripan senyawa steroid golongan estron dan androstan serta senyawa alkaloid golongan piridin-piperidin dan imidazol pada
daging kelelawar P. alecto maka dugaan daging kelelawar dapat membantu proses penyembuhan asma, alergi dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima
Simpulan
Hasil skrining tahap awal pada bagian hati, daging bersama kulit, dan karkas kelelawar P. alecto menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil uji
fitokimia tahap kedua menunjukkan N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa aktif yang beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-
heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol.
Daftar Pustaka
[AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. Arlington. Virginia. USA.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK.
00.05.52.0685. 2005. Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. BPOM RI.
Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69
1 :67-72. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari
spektrum infra merah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 123:154-162.
Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited
Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains
Teknol Farm131:1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa
tumbuhan. ITB Bandung Harold H, LE Craine, DH Hart. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta:
Erlangga. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
Brine Shrimp Lethality test dan antioksidan 1.1-diphenyl-2- pikrilhydrazyl dari ekstrak daun saga Abrus precatorius L.. Makara
Sains 131:50-54.
Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa Cocos nucifera, pinang Areca catechu dan aren Arenga pinnata sebagai tanaman obat.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. terhubung berkala http:balittro.litbang.deptan.go.idind 7 Mei 2012
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill. Rustam E, Atamasari I, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol
kunyit curcuma domestica val. pada tikus putih jantan galur wistar. J Sains Teknol 122:112-115.
Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan cendana Santalum album Linn. Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana.
Universitas Sumatera Utara. Medan. Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts
and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137. Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of
pilocapus Rustaceae as sources of pilocarine and other imidazole alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 3. Absrtact.
http:www.springerlink.comcontent01027wm4011mr53w. 7 mei 2012
Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya Carica papaya L.. J Kim 21:15-
18. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung
: Penerbit ITB Bandung. Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai
pangan fungsional. J Litbang Pert 24 2: 47-55.
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING KELELAWAR, SAPI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Karakteristik Organoleptik Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh
RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Data hasil uji hedonik
diolah dengan metode Kruskal-Wallis. Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot.
Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa jenis daging dengan cara pengolahan yang berbeda
berpengaruh nyata P˂0.05 pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Kesimpulan adalah tingkat kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang. Daging yang disukai adalah daging yang dimasak menggunakan bumbu kari dan rica-rica.
Kata kunci : daging kelelawar, tingkat kesukaan, bumbu, kari, rica-rica.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Organoleptic Characteristics of Fruit Bats Meat, Beef, Chicken, and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
The experiment was designed to study the hedonic scaling of the bat meat as compared to beef, chicken, and tuna cooked by steaming, kari, and rica-rica.
The organoleptic testing used was hedonic test. The hedonic scale used was 1 to 7. Hedonic test data was processed by the Kruskal-Wallis method. To know the
distribution of renponse, data were analyzed using boxplot chart. The analysis showed that various kinds of meat with different ways of processing had
significan effect P˂0.05 on flavor, color, aroma, tenderness, and general acceptance of bat meat, beef, chicken, and tuna. The conclusion is the panelist
liked the meat of the bat same as beef, chiken, and tuna that were cooked rica-rica and kari.
Keywords : fruit bats, hedonic scaling, meat, seasoning, kari, rica-rica
Pendahuluan
Nilai gizi sangat menentukan kualitas bahan pangan, namun bahan pangan yang diminati konsumen bukan saja dilihat dari nilai gizi yang baik, namun dari
penampakan yang menarik, cita rasa yang enak juga aman untuk dikonsumsi. Warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan umum adalah atribut penampakan
dan cita rasa suatu pangan yang dikenal sebagai sifat organoleptik Soewarno S. 1981, Setyaningsih et al. 2010.
Penilaian setiap orang untuk atribut organoleptik terhadap bahan pangan berbeda-beda sesuai dengan budaya, kebiasaan, bentuk, dan jenis produk. Dengan
demikian, bahan pangan yang menurut seseorang disukai belum tentu disukai oleh orang lain. Untuk mengetahui suatu produk disukai atau tidak disukai maka
dilakukan analisis organoleptik terhadap bahan pangan, menggunakan indera manusia sebagai instrumen, seperti penglihatan, penciuman, pencicipan, dan
perabaan. Metode analisis sensori pada prinsipnya ada tiga jenis, yaitu uji pembedaan, uji deskripsi, dan uji afeksi. Uji afeksi adalah metode yang digunakan
untuk mengukur subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Tujuan uji afeksi untuk mengetahui tingkat penerimaan atau
kesukaan terhadap produk yang sudah ada atau produk baru. Uji hedonik adalah salah satu uji kesukaan. Dalam uji ini panelis diminta untuk mengemukakan
tingkat kesukaannya terhadap suatu produk secara langsung. Uji ini dapat diaplikasi pada pengembangan suatu produk atau pembandingan suatu produk
Setyaningsih et al. 2010. Di Indonesia, proses pengolahan bahan pangan sangat bervariasi, baik
diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional, pengolahan daging didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun
temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah
dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan pangan yang diolah supaya diterima konsumen Soewarno 1981.
Paniki adalah salah satu produk pangan dengan bahan dasar daging kelelawar yang merupakan pangan eksotik masyarakat di Sulawesi Utara, yang
diolah rica-rica dan santan kari, dan bisa diperoleh di rumah-rumah makan
tradisional, restoran atau pada upacara keagamaan, dan ucapan syukur di setiap keluarga. Bahkan paniki sudah dikirim ke luar daerah sampai mancanegara karena
permintaan secara personal. Walaupun belum ada data ilmiah yang menyatakan seberapa besar tingkat kesukaan masyarakat di Manado dan Minahasa terhadap
daging paniki olahan, jika dibandingkan dengan daging olahan yang lainnya, maka daging paniki merupakan salah satu daging favorit yang disukai. Untuk
membuktikan tingkat kesukaan masyarakat pada daging paniki olahan, maka telah dilakukan penelitian terhadap daging paniki yang dimasak dengan cara dikukus,
dimasak kari, dan masak rica-rica, dan dibandingkan dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang. Dipilihnya daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
sebagai pembanding karena daging sapi dan ayam bisa dikonsumsi untuk semua kalangan, sedangkan ikan cakalang merupakan menu yang hampir tiap hari
tersedia dan sudah dikenal masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap daging kelelawar dibandingkan
dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Uji organoleptik dilakukan pada Agustus 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah kelelawar jenis Pteropus alecto sebanyak 5 ekor, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
masing-masing sebanyak 2 kg, cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit dan daun jeruk, mentimun, dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah timbangan
digital, dissecting set, food processor, cawan petri, kompor, format uji, alat tulis menulis, wadah sampel, kapas, dan tisu makan.
Metode Penelitian Uji Organoleptik Daging
Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, ayam, dan ikan
cakalang, untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap daging olahan hasil dari tiga cara pengolahan, yaitu direbus, dimasak kari, dan dimasak rica.
Kelelawar jenis P. alecto dimatikan dengan cara memotong bagian kepalanya, darahnya ditiriskan, bulunya dibakar menggunakan kompor gas, lalu kepala,
sayap, rongga pencernaan, dan pernapasan dikeluarkan. Lalu dipotong-potong berbentuk dadu dan siap untuk dimasak. Daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dari pasar dicuci bersih, lalu dipotong-potong dadu seperti daging kelelawar. Setiap jenis daging dimasak dengan tiga cara, yaitu dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica, menggunakan bumbu masak cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit, dan daun jeruk dengan perbandingan 100 g : 50 g : 25 g : 10 g
: 20 g : 3 g untuk setiap 500 g daging. Bumbu yang digunakan untuk masak rica- rica sama dengan masak kari hanya pada masak kari ditambahkan kunyit dan
santan kelapa kental sebanyak 100 mL, sedangkan yang dikukus tidak diberi bumbu. Waktu pemasakan masing-masing selama 20 menit.
Sebelum diuji, masing-masing masakan diberi kode sebanyak tiga huruf sebagai berikut : kelelawar kukus KKU, kelelawar masak kari KKA, dan
kelelawar masak rica KRI, sapi kukus SKU, sapi masak kari SKA, dan sapi masak rica SRI, ayam kukus AKU, ayam masak kari AKA, dan ayam masak
rica ARI, serta ikan cakalang kukus IKU, ikan cakalang masak kari IKA, dan ikan cakalang masak rica IRI. Pengujian organoleptik menggunakan uji hedonik
Setyaningsih et al 2010. Jumlah panelis yang digunakan adalah 50 orang panelis tidak terlatih, yaitu mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi
yang terdiri atas pria dan wanita pada kelompok umur yang sama. Daging diolah dengan cara masak dan pemberian bumbu yang sama, setelah dimasak bahan uji
disajikan secara acak dan dilakukan secara spontan. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1 sampai 7. Pengujian dilakukan pada pukul 08.00
sampai 12.00. Sebelum penelis memberikan tanggapan tentang contoh uji pada format uji, panelis diberikan arahan atau petunjuk tentang apa yang akan mereka
lakukan. Untuk menghindari komunikasi antara panelis, antara panelis satu dengan lainnya dipisahkan dengan sekat yang dibuat dari karton ukuran 100 cm x
50 cm x 50 cm. Komunikasi hanya terjadi antara panelis dan penyaji. Penyajian contoh dilegkapi dengan air minum. Setiap kali panelis pindah contoh uji
diwajibkan untuk minum agar supaya tidak terjadi bias terhadap atribut penilaian. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan menggunakan
format uji seperti di bawah ini. Form Penilaian Organoleptik Uji Hedonik
Nama panelis :
Tanggal Pengujian :
Bahan uji :
Petunjuk 1. Dihadapan Anda terdapat 12 sampel.
2. Anda dimohon untuk memberi penilaian terhadap masing-masing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan
keseluruhan, dengan angka yang sesuai dengan penilaian sebagaimana ditunjukkan pada keterangan notasi.
3. Setiap kali anda mencicipi satu sampel, mohon saudara minum air putih, untuk menetralkan sampel berikutnya.
Kode Sampel
Tingkat kesukaan yang diuji Rasa
Warna Aroma
Keempukan Penerimaan
Keseluruhan KKU
KKA KRI
SKU SKA
SRI AKU
AKA ARI
IKU IKA
IRI Keterangan notasi : 7 = sangat suka
6 = suka 5 = agak suka
4 = biasa saja 3 = agak tidak suka
2 = tidak suka 1 = sangat tidak suka
Diagram alir proses pengolahan sampai pengujian disajikan pada Gambar 33. Untuk analisis keragaman maka data hedonik diubah menjadi skala numerik.
Untuk membaca skala hedonik maka angka numerik di belakang koma yang lebih
besar dari lima harus dibulatkan ke atas, dan angka numerik di belakang koma di bawah lima harus dibulatkan ke bawah.
-darah ditiriskan, -sayap, kepala,
rongga pernapasan dan pencernaan dikeluarkan
-daging dipisahkan
-dibersihkan dengan air -dibagi tiga bagian
-dipotong dadu -tanpa bumbu - bumbu kari -bumbu rica
- dimasak 20’ - dimasak 20’ -dimasak 20’
- diberi kode - diberi kode - diberi kode
-dianalisis -dianalisis
-dianalisis - rasa
-rasa -rasa
-warna -warna
-warna -aroma
-aroma -aroma
-keempukan -keempukan
-keempukan -penerimaan umum
-penerimaan umum -penerimaan umum Gambar 33 Diagram alir pengolahan daging sampai pengujian organoleptik.
Analisis Data
Pengujia organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik Setyangsih et al. 2010. Data hasil uji hedonik diolah dengan metode Kruskal-Wallis Gibbons
1975 menggunakan Minitab versi 16. Untuk mengetahui perlakuan mana yang Kelelawar
Mati
daging
daging kukus
daging masak kari
daging masak rica
contoh uji contoh uji
contoh uji Daging sapi, ayam
dan ikan cakalang
Data hedonik Data hedonik
Data hedonik
berbeda dianalisis menggunakan grafik kotak plot boxplot. Tujuan menggunakan grafik boxplot adalah melihat median dan sebaran data respons
panelis terhadap contoh uji. Prinsip dari boxplot adalah 50 dari data pengamatan menyebar dalam kotak box, dan median adalah 50 respons penilaian panelis
seperti pada nilai median kotak plot. Garis atas dan bawah yang merupakan perpanjangan dari kotak whiskers merupakan nilai yang lebih tinggi atau rendah
dari data dalam kotak. Nilai di luar badan boxplot merupakan nilai outlier, yaitu data yang letaknya 1.5 kali panjang kotak diukur dari garis atas dan bawah kotak,
dan nilai extrim adalah nilai-nilai yang letaknya lebih dari 3 kali panjang kotak diukur dari garis atas dan bawah kotak.
Susunan perlakuan uji hedonik adalah sebagai berikut. Perlakuan 1 adalah daging kelelawar kukus KKU, perlakuan 2 adalah daging kelelawar masak kari
KKA, perlakuan 3 adalah daging kelelawar masak rica KRI, perlakuan 4 adalah daging sapi kukus SKU, perlakuan 5 adalah daging sapi masak kari
SKA, perlakuan 6 adalah daging sapi masak rica SRI, perlakuan 7 adalah daging ayam kukus AKU, perlakuan 8 adalah daging ayam masak kari AKA,
perlakuan 9 adalah daging ayam masak rica ARI, perlakuan 10 adalah ikan cakalang kukus IKU, Perlakuan 11 adalah ikan cakalang masak kari IKA, dan
perlakuan 12 adalah ikan cakalang masak rica IRI.
Hasil dan Pembahasan Uji Hedonik Terhadap Rasa Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam,
dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Indera manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensori,
yang terdiri atas indera pencicipan, penglihatan, penciuman, dan perabaan. Proses penginderaan dimulai dari rangsangan suatu benda pada indera manusia, dan akan
diteruskan oleh sel-sel saraf ke otak, dan otak akan menginterpretasikan rangsangan yang masuk menjadi persepsi, kemudian respons akan diformulasikan
berdasarkan persepsi manusia. Data uji hedonik respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging
sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis
terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 16.
Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa daging Kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan
Rataan Standar Deviasi
Median Kelelawar kukus
Kelelawar kari Kelelawar rica-rica
Sapi kukus Sapi kari
Sapi rica-rica Ayam kukus
Ayam kari Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica 2.10
5.90 5.94
2.75 5.67
5.69 3.82
6.14 6.18
2.98 5.82
6.12 1.06
0.76 0.79
1.67 1.07
0.95 1.88
0.66 0.82
1.49 0.95
0.84 2
6 6
2 6
6 4
6 6
3 6
6
Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
P˂0.05 pada rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini
menggambarkan respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica- rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 34. Respons penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kukus tidak disukai 2.10, dan daging sapi kukus
hampir sama dengan ikan cakalang kukus, yaitu agak tidak disukai 2.75 dan 2.98, sedangkan daging ayam kukus, panelis menyatakan biasa saja 4. Namun,
nilai median untuk daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus adalah 2, daging ayam kukus 4, dan ikan cakalang kukus 3. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis cenderung lebih menyukai daging ayam kukus diikuti ikan cakalang kukus, walaupun masih dalam taraf agak menyukai dan biasa saja,
dibandingkan dengan daging kelelawar dan daging sapi kukus.
Gambar 34 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica. Respons pemerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari hampir
sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu disukai 5.82-6.14, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Demikian juga
respons penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar rica-rica 5.94 hampir sama dengan daging sapi rica-rica 5.69, ayam rica-rica 6.18, dan ikan
cakalang rica-rica 6.12, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai daging kelelawar kari
dan daging kelelawar rica-rica sama dengan daging sapi kari dan daging sapi rica-
IRI IKA
IKU ARI
AKA AKU
SRI SKA
SKU KRI
KKA KKU
7 6
5 4
3 2
1
Jenis Daging Olahan
Sk al
a H
ed on
ik
2 6
6 6
6
2 6
6 4
6 6
3 Nilai Median Rasa
rica, daging ayam kari dan daging ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari dan ikan cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 4, sedangkan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan
cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 3 ke 4 yang menggambarkan tingkat
penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kukus hanya sampai ke arah biasa saja, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari daging sapi kukus ke
arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap rasa daging sapi kukus sampai ke arah sangat
menyukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas mulai dari
skala 6 ke 7 untuk daging ayam kukus, dari skala 4 hingga 7 untuk ikan cakalang kukus, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap rasa daging ayam
kukus dan ikan cakalang kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak menyukai sampai sangat menyukai.
Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari dan daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging
kelelawar kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari ke arah sangat menyukai,
sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam kari ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap
daging ayam kari mengarah ke biasa saja sampai sangat disukai. Rentang
penyebaran skala hedonik daging sapi kari dan ikan cakalang kari dimulai dari 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala
hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa
daging sapi kari dan ikan cakalang kari sama, yaitu ke arah biasa saja sampai sangat menyukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica
sama dengan ikan cakalang rica-rica dimulai dari skala 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot, yang menggambarkan 50 respons panelis
mengarah ke sangat menyukai kelelawar rica-rica dan ikan cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik daging sapi rica dimulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala
hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa
daging sapi rica-rica ke arah biasa saja sampai sangat menyukai, dan rentang penyebaran skala daging ayam rica-rica dimulai dari 5 hingga 7, sedangkan garis
perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam rica-rica k earah bawah mulai dari 6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis terhadap daging ayam rica-rica dari
agak suka ke sangat menyukai. Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 11 serta pola
penyebaran data hedonik pada Gambar 34 dapat dinyatakan bahwa penelis menyukai rasa daging kelelawar, baik yang dimasak kari dan rica-rica sama
dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica- rica, sedangkan daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus cenderung disukai,
dan daging kelelawar kukus serta daging sapi kukus dinyatakan tidak disukai. Rasa daging yang disukai adalah rasa daging yang diberi bumbu masak. Hal ini
disebabkan cara masak daging di Manado yang menggunakan bumbu-bumbu masak, terutama bumbu kari dan rica-rica sehingga penelis terbiasa
mengkonsumsi daging yang diolah menggunakan bumbu masak rica-rica dan kari yang pedas. Akibatnya, indera pencicipan peka terhadap sensasi rasa pedas.
Setyaningsih et al. 2010 menyatakan bahwa kepekaan terhadap rasa bervariasi bergantung pada substansi yang diuji, yaitu pada permukaan lidah terdapat sel-sel
yang peka terhadap lima rasa dasar dengan urutan kepekaan, yaitu lidah ujung depan peka terhadap manis, tengah depan terhadap rasa asin, tengah belakang
asam, pangkal lidah pahit, dan selain rasa dasar terdapat sensasi rasa yang dihasilkan oleh saraf trigeminal yang terletak di rongga mulut dan hidung, seperti
rasa pedas, rasa dingin, dan rasa terbakar. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam proses pengolahan daging memberikan sensasi rasa pedas, gurih, dan enak.
Uji Hedonik Terhadap Warna Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Bagi konsumen, salah satu hal yang penting dalam penilaian produk makanan adalah warna produk, dan konsumen akan memilih makanan sesuai
dengan selera yang dilihatnya secara visual. Data uji hedonik respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang
yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap warna daging kelelawar,
daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 18. Rataan, standar deviasi, dan
median respons penelis terhadap rasa disajikan pada Tabel 12. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 18 menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh nyata P˂0.05 terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging
ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi,
daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica- rica memberikan pengaruh yang berbeda.
Tabel 12 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap warna daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak
kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan
Rataan Standar deviasi
Median Kelelawar kukus
Kelelawar kari Kelelawar rica-rica
Sapi kukus Sapi kari
Sapi rica-rica Ayam kukus
Ayam kari Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica 4.14
5.58 5.52
4.38 5.72
5.50 4.58
5.84 5.72
4.50 5.64
5.26 1.51
0.81 0.81
1.32 0.88
0.91 1.58
1.18 1.01
1.59 0.98
1.35 5
6 5
5 6
5 5
6 6
5 6
6
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 35. Respons penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus,
dan ikan cakalang kukus hampir sama, yaitu biasa saja, dengan rataan masing masing adalah 4.14, 4.38, 4.58,4.50, dan nilai median masing-masing adalah 5.
Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai warna daging
kelelawar kukus sama dengan warna sapi kukus, ayam kukus, dan ikan cakalang kukus
Respons pemerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar kari hampir sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu
disukai, dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, 5.64, dan nilai median masing-masing adalah 6.
Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai warna daging kelelawar kukus sama dengan warna daging sapi kukus,
daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus Respons penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica
hampir sama dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, dan 5.64,
namun nilai median daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica adalah 5, sedangkan daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis lebih menyukai daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica daripada daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-
rica.
Gambar 35 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus, daging
sapi kukus, dan daging ayam kukus dimulai dari 2 hingga 7, dan ikan cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar
kukus dan daging sapi kukus ke arah atas mulai dari skala 5 ke 7, namun untuk
IRI IKA
IKU ARI
AKA AKU
SRI SKA
SKU KRI
KKA KKU
7 6
5 4
3 2
1
Jenis Daging Olahan
Sk al
a H
ed on
ik
5 6
6 6
5 5
6 5
5 6
6 5
Nilai Median Warna
daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus mulai dari 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan
daging ayam kukus ke arah bawah dari 3 ke 2, namun untuk ikan cakalang kukus dari 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap warna daging
kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak disukai sampai sangat disukai.
Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari dimulai dari 4 hingga 7, dan daging ayam kari dimulai dari
5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis
perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4, namun untuk ikan cakalang kari terdapat data respons yang terletak di luar badan boxplot, yang
menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari mengarah dari biasa saja sampai sangat disukai.
Namun, ada sebagian panelis secara ekstrim agak tidak suka. Rentang penyebaran skala hedonik daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 6 ke 5, namun terdapat data respons yang terletak di luar badan boxplot yang merupakan nilai ekstrim. Hal ini
mengambarkan bahwa pada umumnya panelis mempunyai persepsi yang sama dalam menyatakan respons terhadap kesukaan warna daging ayam kari, dan
sebagian panelis menyatakan tidak menyukai daging ayam kari. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica sama
dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dimulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas
mulai dari skala hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4. Namun, untuk daging kelelawar rica-
rica dan daging sapi rica-rica mempunyai nilai median 5, sedangkan daging ayam rica-rica mempunyai nilai median 6. Hal ini menggambarkan bahwa respons
panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dimulai dari arah biasa saja sampai
sangat disukai, namun sebagian besar panelis menyatakan menyukai warna daging
kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica, sedangkan untuk daging ayam rica- rica, dan ikan cakalang rica-rica dinyatakan sangat disukai.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 12 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 35 dapat dinyatakan bahwa penelis lebih
menyukai warna daging kelelawar kari, daging sapi kari, daging ayam kari, ikan cakalang kari, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica daripada daging
kelelawar kukus, daging kelelawar rica-rica, daging sapi kukus, daging sapi rica- rica, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Warna daging yang lebih
disukai adalah warna yang kelihatan cerah, sedangkan yang tidak disukai adalah warnanya kelihatan agak gelap. Hal ini disebabkan karena pengaruh jenis daging,
yaitu daging kelelawar, daging sapi, dan ikan cakalang, warnanya agak gelap dibanding daging ayam yang berwarna putih. Aberlle et al. 2001, Lawrie 2003
menyatakan bahwa warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi faktor penentunya adalah kandungan mioglobin daging, yaitu kandungan mioglobin
bergantung pada spesies, umur, jenis daging dan aktivitas fisik. Selain jenis daging, pemberian bumbu masak juga mempengaruhi penampilan warna daging,
yaitu daging yang dimasak kari warnanya lebih cerah, sedangkan yang diberi bumbu rica-rica warnanya gelap. Lebih cerahnya warna daging yang dimasak kari
karena daging yang dimasak rica-rica tidak diberikan kunyit, sedangkan daging yang dimasak kari diberikan kunyit, sehingga warna kunyit menyebarkan ke
seluruh permukaan daging yang dimasak kari. Desroiser 1988 menyatakan bahwa atribut warna pada umumnya dianggap suatu sifat dari benda, dan benda
akan berwarna jika memantulkan dan menyebarkan energi yang dapat dilihat.
Uji Hedonik Terhadap Aroma Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Aroma adalah suatu atribut sensori yang dapat dideteksi dengan indera penciuman, yaitu hidung, dan merupakan sifat mutu yang penting dalam penilaian
bahan pangan. Data uji hedonik respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 19. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan
ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat
pada Lampiran 20. Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan penelis terhadap aroma disajikan pada Tabel 13.
Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 20 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata
P˂0.05 terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di masak
rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda. Tabel 13 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap aroma
daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica
Jenis Daging Olahan Rataan
Standar Deviasi Median
Kelelawar kukus Kelelawar kari
Kelelawar rica-rica Sapi kukus
Sapi kari Sapi rica-rica
Ayam kukus Ayam kari
Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus
Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica
2.54 5.78
5.65 2.72
5.50 5.61
3.09 5.87
6.04 3.09
5.70 5.87
1.28 0.85
0.64 1.15
1.15 0.91
1.49 0.93
0.67 1.36
1.11 0.81
2 6
6 2
6 6
3 6
6 3
6 6
Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus,
masak kari, dan rica-rica, disajikan pada Gambar 36. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus berkisar antara
2.54 hingga 2.72, yaitu tidak suka hingga agak tidak suka, dengan nilai median 2, dan daging ayam kukus serta ikan cakalang kukus 3.09, yaitu agak tidak disukai,
dengan nilai median 3. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung tidak menyukai aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam
kukus, dan ikan cakalang kukus. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kari, daging
sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara antara 5.54 hingga 5.87, yaitu agak suka dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari,
sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-
rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.61 hingga 6.04, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari sama dengan sapi kari, dan sapi rica-rica, ayam kari dan ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari.
Gambar 36 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk aroma daging kelelawar kukus
dimulai dari 1 hingga 4, daging sapi kukus 1 hingga 6, ayam kukus, dan ikan cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar
kukus ke arah atas mulai dari skala 3 hingga 4, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap aroma daging kelelawar kukus mulai dari sangat tidak suka sampai ke arah biasa saja, walaupun ada data respons panelis di luar badan
boxplot yang menyatakan agak suka dengan aroma daging kelelawar kukus, kecenderungan itu sangat kecil. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus
ke arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap aroma daging sapi kukus mulai dari sangat tidak menyukai ke arah sangat menyukai, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam
kukus dan ikan kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap
IRI IKA
IKU ARI
AKA AKU
SRI SKA
SKU KRI
KKA KKU
7 6
5 4
3 2
1
Jenis Daging Olahan
Sk al
a H
ed on
ik
2 6
6 6
6
2 6
6
3 6
6
3 Nilai Median Aroma
aroma daging ayam kukus dan ikan kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak menyukai hingga sangat menyukai. Berdasakan pada distribusi data pada
Gambar 36, dapat dikatakan bahwa aroma daging kelelawar kukus cenderung kurang disukai dibanding dengan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan
cakalang kukus. Adanya kecenderungan daging kelelawar kukus kurang disukai karena kelelawar memiliki kelenjar pada bagian leher yang mengeluarkan aroma
khas yang tidak disukai, dan aroma tersebut terakumulasi dengan daging. Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar kari sama
dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6
ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar kari sama
dengan aroma daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di
luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, gambaran tersebut hanya sebagian kecil
dari jumlah panelis. Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar rica-rica sama
dengan aroma daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang kari berkisar dari 4 hingga 7, sedangkan daging ayam rica-rica tidak membentuk boxplot karena data respons
panelis tidak menyebar, namun berkumpul pada median 6, walaupun ada data yang di luar median yang menyebar dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak
boxplot untuk aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica sama dengan aroma
daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai dari arah biasa saja sampai sangat disukai, walaupun ada data panelis di luar badan boxplot yang
menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi rica-rica. Aroma daging ayam rica-rica cenderung sangat disukai, walaupun terdapat data panelis yang jauh dari
respons panelis umumnya yang menyatakan kurang menyukai aroma daging ayam rica-rica.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 13 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 36 dapat dinyatakan bahwa aroma daging
kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus kurang disukai, sedangkan aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam
dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai. Kurang disukainya aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan
daging ikan cakalang kukus karena panelis tidak terbiasa mengkonsumsi daging dan ikan cakalang yang hanya di kukus. Dengan demikian, pada waktu disajikan,
sensasi tidak menyukai yang diterima oleh sel-sel saraf dari indera penciuman diteruskan ke otak, dan otak akan menginterpretasikan respons yang masuk
menjadi persepsi tidak menyukai. Winarno 2005 menyatakan bahwa aroma makan banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Zaika et al 1978
menyatakan bahwa aroma dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan, makin banyak bumbu maka aroma makin tajam.
Uji Hedonik Terhadap Keempukan Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica
Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan penelis terhadap keempukan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap keempukan daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang
dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan
Rataan Standar deviasi
Median Kelelawar kukus
Kelelawar kari Kelelawar rica-rica
Sapi kukus Sapi kari
Sapi rica-rica Ayam kukus
Ayam kari Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica 4.88
5.80 5.86
4.72 5.76
5.62 5.28
5.84 6.08
5.08 5.86
5.94 1.51
0.76 0.78
1.46 0.85
0.90 1.20
0.84 0.78
1.44 0.83
0.82 5
6 6
5 6
6 6
6 6
5 6
6
Data uji hedonik respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan
dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil uji Kruskal-Wallis
respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat
pada Lampiran 22. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 22 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
P˂0.05 pada keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-
rica memberikan pengaruh yang berbeda. Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap
keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 37. Respons
penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus berkisar antara 4.72 sampai 5.28, yaitu biasa saja hingga agak suka, dengan
nilai median 5 untuk daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan ikan cakalang kukus, sedangkan nilai median ayam kukus adalah 6. Hal ini
memberikan gambaran bahwa keempukan daging kelelawar kukus cenderung disukai penelis sama dengan keempukan daging sapi kukus, dan ikan cakalang
kukus, namun panelis lebih menyukai keempukan daging ayam kukus.
Gambar 37 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan
cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica.
IRI IKA
IKU ARI
AKA AKU
SRI SKA
SKU KRI
KKA KKU
7 6
5 4
3 2
1
Jenis daging Olahan
Sk al
a H
ed on
ik
5 6
6 6
6 5
6 6
6 6
6 5
Nilai Median Keempukan
Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara 5.76 hingga
5.86, yaitu agak suka, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai keempukan daging kelelawar
kari, sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica-rica,
daging sapi rica-rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.94 hingga 6.08, yaitu agak suka hingga suka, dengan nilai median masing-
masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai keempukan daging kelelawar kari sama dengan keempukan daging sapi rica-rica,
ayam rica-rica, juga ikan cakalang rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk keempukan daging kelelawar
kukus dimulai dari 1 hingga 7, daging sapi kukus 2 hingga 7, ayam kukus dan ikan cakalang kukus dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari
kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 4 hingga 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan
panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dari sangat tidak suka hingga sangat disukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas
mulai dari skala hedonik 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 4 ke 2 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap
aroma daging sapi kukus mulai dari tidak menyukai ke arah sangat disukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus dan ikan kukus ke arah bawah
adalah sama mulai dari skala 5 ke 4, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, serta terdapat data respons panelis di luar badan boxplot, namun nilai median dari
daging ayam kukus 6, sedangkan ikan cakalang kukus hanya 5, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap keempukan daging ayam kukus
lebih disukai dibandingkan dengan keempukan ikan cakalang kukus. Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar kari sama
dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6
ke 7 untuk daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan daging ayam kari, namun untuk ikan cakalang kari tidak terdapat perpanjang garis ke arah atas, dan garis
perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari sama
dengan keempukan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data
panelis di luar badan bloxplot yang merupakan gambaran sebagian kecil panelis yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging ayam kari.
Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar rica-rica sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica
berkisar dari 4 hingga 7, sedangkan daging ayam rica-rica berkisar dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas untuk keempukan daging
kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah
bawah mulai dari skala 5 ke 4 untuk daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica- rica, dan ikan rica-rica, sedangkan daging ayam rica-rica dari 6 ke 5, yang
menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai
dari arah biasa saja sampai sangat disukai, sedangkan daging ayam rica-rica dimulai dari agak suka hingga sangat menyukai, walaupun ada data panelis di luar
badan boxplot yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging sapi rica- rica dan ayam rica-rica.
Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 14 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 37 dapat dinyatakan bahwa keempukan
daging kelelawar dikukus sama dengan keempukan daging sapi kukus dan ikan cakalang kukus, yaitu cenderung disukai, sedangkan keempukan daging kelelawar
kari dan rica-rica sama dengan daging keempukan daging sapi kari, daging sapi rica-rica, daging ayam kukus, daging ayam kari, daging ayam rica-rica, dan ikan
cakalang kari, serta ikan cakalang rica-rica. Uji Hedonik Terhadap Penerimaan Umum Daging Kelelawar, Daging Sapi,
Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Data uji hedonik respons panelis terhadap penerimaan umum daging
kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil uji Kruskal-
Wallis respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-
rica dapat dilihat pada Lampiran 24. Rataan, standar deviasi, dan median respons penerimaan panelis terhadap penerimaan umum disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang
yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan
Rataan Standar Deviasi
Median Kelelawar kukus
Kelelawar kari Kelelawar rica-rica
Sapi kukus Sapi kari
Sapi rica-rica Ayam kukus
Ayam kari Ayam rica-rica
Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari
Ikan cakalang rica-rica 3.10
5.94 6.06
3.39 5.76
5.96 4.18
5.92 6.28
4.10 6.00
6.20 1.79
0.74 0.77
1.65 0.96
0.83 1.81
0.80 0.64
1.62 0.78
0.78 2
6 6
3 6
6 4
6 6
4 6
6
Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 24 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
P˂0.05 pada penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal
ini menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari,
dan rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda. Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap
penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 38.
Respons pemerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus adalah 3.10, dengan nilai median 2, yaitu tidak suka, daging sapi kukus
berkisar 3.39 dengan nilai median 3, yaitu agak tidak suka, dan daging ayam kukus 4.18, dengan nilai median 4, yaitu biasa saja. Hal ini memberikan gambaran
bahwa panelis cenderung tidak menyukai penampakan keseluruhan dari daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang
kukus.
Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar 5.76
hingga 6, dengan nilai median masing-masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai penampakan keseluruhan daging
kelelawar kari, sama dengan penampakan keseluruhan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari.
Gambar 38 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan
ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging
kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.92 hingga 6.20, dengan nilai median masing-
masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica sama dengan
penampakan keseluruhan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, juga ikan cakalang rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik untuk penerimaan umum daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 7 sama dengan daging sapi kukus, daging
ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan
kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan umum daging kelelawar kukus mulai dari sangat
IRI IKA
IKU ARI
AKA AKU
SRI SKA
SKU KRI
KKA KKU
7 6
5 4
3 2
1
Jenis Daging Olahan
Sk al
a H
ed on
ik
2 6
6 6
6
3 6
6
4 6
6
4 Nilai Median Penerimaan Umum
tidak suka hingga sangat suka. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas mulai dari skala hedonik 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan umum daging sapi kukus sama dengan daging
kelelawar kukus, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot dari ke
arah bawah mulai dari skala 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap penampakan keseluruhan daging ayam kukus sama dengan penampakan
keseluruhan daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus. Demikian juga dengan ikan cakalang kukus, yaitu garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas
mulai dari skala 5 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 3 ke 1.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar kari sama dengan daging sapi kari dan daging ayam kari yang berkisar dari 4
hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5
ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar kari sama dengan penerimaan umum daging sapi kari dan daging ayam
kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai
penerimaan umum daging sapi kari. Gambaran tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah panelis. Penyebaran skala hedonik penerimaan umum ikan cakalang kari
berkisar 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang
menggambarkan panelis cenderung sangat menyukai penampakan keseluruhan ikan cakalang kari, walaupun sama dengan daging sapi kari, terdapat data panelis
di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan keseluruhan daging sapi kari.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar rica-rica, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan ke arah atas
dan ke arah bawah yang menggambarkan kecenderungan panelis sangat menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica. Rentang penyebaran skala
hedonik penerimaan umum daging sapi rica-rica berkisar dari 4 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak
boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan panelis menyukai biasa saja hingga sangat menyukai penampakan keseluruhan sapi rica-rica.
Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica adalah sama, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis
perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis
terhadap penampakan keseluruhan daging ayam rica dan cakalang rica-rica mulai dari arah agak suka sampai sangat sukai, walaupun ada data panelis di luar badan
boxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan keseluruhan daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica.
Berdasarkan nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 15 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 38 dapat dinyatakan bahwa panelis tidak
menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus, sapi kukus agak tidak disukai, ayam kukus dan ikan cakalang kukus biasa saja, sedangkan
penampakan keseluruhan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai.
Simpulan
Berdasarkan uji hedonik terhadap atribut rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum maka disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap
daging kelelawar sama dengan kesukaan panelis terhadap daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang. Dilihat dari cara pengolahan maka penelis menyukai
daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan masak rica-rica, sedangkan yang dikukus tidak disukai.
Daftar Pustaka
Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Ed Ke-4. USA: KendalHunt Pulishing Co.
Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor : IPB press. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada
University Press. Soewarno S. 1981. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil
pertanian. Pusat teknologi pangan Pusbangtepa. IPB. Bogor. Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan
dari : Meat Science. Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL, 1978. Effect of spice and salt on
fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189.
KAJIAN MIKROB DAGING KELELAWAR SEBAGAI BAHAN PANGAN TRADISIONAL
Abstrak
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kajian Mikrob Daging Kelelawar sebagai Bahan Pangan Tradisional. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE
MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak secara tradisional berupa kari dan rica-rica, yang
disimpan dalam lemari es selama 14 hari. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan daging dari tiga jenis kelelawar, yaitu kalong
sulawesi Acerodon celebensis, kalong hitam Pteropus alecto, dan nyap biasa Rousettus aplexicaudatus yang dimasak rica-rica dan kari, setelah 14 hari
disimpan dalam lemari es. Tahap kedua menggunakan satu jenis daging kelelawar yaitu, Pteropus alecto yang dimasak rica-rica dan kari beberapa jam setelah
disembelih. Hasil analisis dari daging olahan penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa total mikrob, Staphylococcus aureus, Eschericia coli,
coliform, dan Salmonella sp dari daging tiga jenis kelelawar yang dimasak rica- rica dan kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan
Badan Standardisasi Nasional BSN untuk pangan asal hewan. Hasil analisis pada tahap kedua menunjukkan bahwa daging kelelawar yang dimasak rica-rica
dan disimpan selama 14 hari dalam lemari es mengandung total mikrob 3.1 x 10
4
- 6.0 x 10
4
cfumL, Staphylococcus aureus 7.7 x 10
1
– 7.6 x 10
3
cfumL, sedangkan Eschericia coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar yang dimasak
kari mengandung total mikrob 6.8 x 10
5
-9.7 x 10
5
cfumL, Staphylococcus aureus 4.3 x 10
1
-1 x 10
4
cfumL, Eschericia 3 mL, dan Salmonella sp adalah negatif. Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa daging kelelawar rica-rica dan
kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 layak dikonsumsi. Sementara rica-rica dan kari yang berasal
dari daging tiga jenis kelelawar yang sudah dibekukan 14 hari sebelum dimasak mengandung mikrob yang melebihi batas maksimum, sehingga proses pengolahan
ini sesuai BSN tidak direkomendasikan.
Kata kunci : daging kelelawar, kari, rica-rica, mikrob.
Abstract
TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Microbial Study on Meat of Fruit Bats as a Traditional Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI,
PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU
This study was designed to assess the microbial characteristics of bats meats which were cooked as kari and rica-rica, and were stored up to 14 days.
The study was divided into two stages. The first stage used three types of bat meat that were cooked as rica-rica and kari 14 days after being stored in the
refrigerator. The second stage used meat of a species of bat that was cooked as rica-rica and kari a few hours after slaughtering. The result of the meat analysis at
the 1
st
experiment showd that the total count of microbials i.e ; Staphylococcus aureus, Escherichia coli, coliform, and Salmonella sp from three species of bats
that were cooked rica-rica and kari were above the maximum limit of microbial contaminant occording to BSN 2009. The analyses showed that bat meat cooked
as rica-rica and stored up to 14 days contained total microbial count of 3.1 x 10
4
– 6.0 x 10
4
cfumL, Staphylococcus aureus 7.7 x 10
1
-7.6 x 10
3
cfu mL, Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of bat
meat cooked as kari was 6.8 x 10
5
-9.7 x 10
5
cfumL, Staphylococcus aureus was 4.3 x 10
1
-1 x 10
4
cfu mL, Escherichia coli3mL, and Salmonella sp was negative. Based on the result obtained, it was concluded that the bat meat cooked
as rica-rica and kari which were cooked in a few hours after cutting and stored until 14 days were suitable for human consumption.
Keywords: bat meat, kari, rica-rica, microbial count.
Pendahuluan
Daging sebagai bahan pangan rentan terhadap mikroorganisme karena tinggi kandungan gizinya, dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme sehingga mudah rusak Rao et al. 2009, Ukut et al. 2010. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kelelawar
yang disebut paniki adalah salah satu satwa yang diolah sebagai bahan pangan sumber daging oleh masyarakat di Sulawesi Utara, bahkan dikirim ke luar daerah
sesuai permintaan untuk acara-acara tertentu. Kelelawar yang dikonsumsi adalah kelelawar pemakan buah, yaitu jenis P. alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus,
dan Toopterus sp. Secara umum, daging kelelawar yang dijual di pasar-pasar tradisional dan swalayan di Minahasa dan Manado adalah jenis P. alecto yang
berasal dari daerah Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Jenis ini mempunyai bobot badan sekitar 250-1000 g, dan sebagian besar dipasarkan dalam
keadaan sudah dibakar atau dalam keadaan beku. Berdasarkan daftar Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources, jenis-
jenis ini masuk kategori least concern, artinya jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status aman dan belum terancam punah.
Trasportasi daging kelelawar beku dari tempat penangkapan ke tempat penjualan membuat jalur pemasaran cukup panjang sehingga mengalami
penyimpanan cukup lama, dan mempunyai risiko terhadap keamanan daging, karena kemungkinan untuk tercemar mikroorganisme cukup tinggi. Tercemarnya
daging oleh mikroorganisme memungkinkan daging tidak aman untuk dikonsumsi karena menyebabkan penyakit saluran pencernaan, seperti muntah-muntah, diare,
nyeri perut, dan sakit kepala Clarence et al. 2009, Ukut et al. 2010. Walaupun sampai saat ini tidak ada kasus penyakit yang dilaporkan akibat mengkonsumsi
daging kelelawar olahan, perlu diamati, mengingat daging kelelawar olahan merupakan pangan khas di Minahasa dan Manado. Beberapa parameter uji
cemaran mikrob dalam daging segar dan olahan meliputi Total Plate Count TPC, Eschericia coli, Coliform, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp
BSN 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-rempah menjadikan daging kelelawar aman dikonsumsi, karena rempah-
rempah dapat berkhasiat sebagai antibakteri Shelef 1983, Zaika 1988, Jenie et al.
1992, Fardiaz et al. 1998, Rahayu 2000. Namun, adanya permintaan daging kelelawar olahan dari luar daerah menyebabkan timbul upaya untuk meningkatkan
daya simpan daging olahan melalui proses pendinginan dan penyimpanan. Pendinginan dan penyimpanan yang tidak benar dapat menyebabkan bahaya
secara mikrobiologis Khalafalla et al. 1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Adanya bahaya tersebut perlu dikaji lebih lanjut secara ilmiah.
Berdasarkan cara pengolahan, dikenal dua jenis pangan yang berasal dari daging kelelawar, yaitu kelelawar rica-rica dan kelelawar kari. Kelelawar rica-rica
terbuat dari daging kelelawar yang dimasak bersama bumbu-bumbu masak tertentu, yakni cabe rawit, daun bawang, sereh, jahe merah, kunyit, dan daun
jeruk. Kelelawar kari adalah hampir sama dengan kelelawar rica-rica, perbedaannya adalah dimasak pakai santan kelapa. Berdasarkan pemikiran
tersebut maka dilakukan penelitian yang mengkaji kandungan mikrob dalam daging kelelawar segar yang dimasak rica-rica dan kari yang disimpan selama 14
hari pada suhu di bawah 5ºC. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dalam pengembangan produk hewani berbasis pangan lokal.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian
Uji mikrobiologis dilakukan pada Februari-Maret 2012 di Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Kegiatan penelitian ini dilakukan
selama 3 bulan.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan untuk uji adalah kelelawar jenis Pteropus alecto yang masih hidup dan beku masing-masing sebanyak 5 ekor, cabe rawit, bawang
merah, jahe, sereh, kunyit dan daun jeruk, mentimun, dan telur bebek. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, alkohol, kloroform, larutan NaCl fisiologis
85, potasium telullurit, Buffer Pepton Water BPW, Plate Count Agar PCA, Xylose Lysine Deoxycholate Agar XLDA, Eosyn Methylen Blue Agar EMBA,
dan Baird Parker Agar BPA. Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, dissecting set, food
processor, cool box, vortex, waterbath, oven, autoclave, refrigerator, hockey
stick, colony caunter, laminari, inkubator, kamera, cawan petri, tabung reaksi, botol scott, erlenmeyer, pembakar bunsen, vortex, magnetic stirer, kompor, format
uji, alat tulis menulis, wadah sampel, kapas, dan tissue makan.
Metode Penelitian
Pengujian tahap pertama untuk melihat Total Plate Count TPC, E. coli, Coliform, S. aureus, dan Salmonella sp pada tiga jenis daging kelelawar, yaitu P.
alecto, A. celebensis, dan R. amplexicaudatus yang dimasak rica-rica, kari, dan tanpa pemasakan. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujian mikrob adalah
sebagai berikut. Ketiga jenis kelelawar dari Manado yang sudah dipelihara dalam kandang selama 1 minggu masing-masing sebayak 5 ekor dibius dengan kapas
berkloroform dan disembelih pada bagian kepala, lalu kedua sayapnya dikeluarkan dan rambutnya dibakar menggunakan kompor gas. Kemudian
dikemas menggunakan steroform dan dibawa ke Laboratorium Bagian
Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB, lalu disimpan selama14 hari dalam
lemari es pada suhu di bawah 5ºC. Sebelum diolah, daging pada bagian dada dari
masing-masing kelelawar dikeluarkan dan dipisahkan menjadi tiga bagian masing-masing sebanyak 250 g, dan dipotong-potong berbentuk dadu. Satu
bagian tidak dimasak, satu bagian dimasak kari, dan satu bagian lainnya dimasak rica-rica.
Kelelawar yang dimasak rica-rica dibuat dengan formulasi bumbu yang terdiri atas 50 g cabe rawit, bawang merah 25 g, daun bawang 25 g, jahe merah 10
g, bawang putih 5 g, serai 5 g, dan daun jeruk 3 g. Cara pengolahannya adalah semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging kelelawar yang sudah
dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan dan ditutup sampai matang. Pemasakan dilakukan selama 30 menit menggunakan kompor. Bumbu yang
digunakan untuk masak kari sama dengan bumbu rica-rica hanya ditambahkan kunyit 10 g dan santan kelapa kental sebanyak 100 g. Cara pengolahan kelelawar
masak kari adalah semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging kelelawar yang sudah dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan bersama
dengan santan kelapa dan dibiarkan sampai kering. Pemasakan dilakukan selama kurang lebih 40 menit menggunakan kompor. Daging yang tidak dimasak dan
yang diolah kemudian diuji kandungan mikrobnya.
Pengujian tahap kedua dilakukan pada daging kelelawar jenis Pteropus alecto yang tidak disimpan beku. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujiannya
adalah sebagai berikut. Kelelawar yang masih hidup sebanyak 5 ekor dari kandang yang berasal dari Manado, disembelih pada pukul 4.00 pagi, lalu
dikuliti, dan seluruh isi saluran pencernaan dan organ pernapasan dikeluarkan, lalu dikemas dalam kemasan steroform yang berisi icepack untuk diuji di
Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Setibanya di laboratorium, daging pada semua bagian karkas dikeluarkan dan dipisah menjadi
tiga bagian masing-masing sebanyak 300 gram, satu bagian dimasak kari, satu bagian dimasak rica, dan satu bagian tidak dimasak. Lalu, masing-masing bagian
dibagi lagi menjadi dua bagian, dan satu bagian langsung diuji kandungan mikrobnya, sedangkan satu bagian disimpan dalam lemari es pada suhu di bawah
5 ºC selama 14 hari kemudian diuji kandungan mikrobnya. Metode pengujian dengan hitungan cawan menggunakan larutan
pengencer Buffered Pepto Water BPW dan medium Plate Count Agar PCA untuk menghitung total mikrob, Baird Parker Agar BPA untuk total
Staphylococcus aureus, Xylose Lysine Desoxycholate Agar XLDA untuk Salmonella sp, Violet Red Bile Agar VRBA untuk total Coliform, dan Eosyn
Methylen Blue Agar EMBA untuk Escherichia coli. Cara pengujian yang digunakan untuk masing-masing mikrob disajikan sebagai berikut.
Analisis Kuantitatif Total Mikrob Metode Hitungan Cawan SNI 2008
Sampel dihancurkan dengan chopper, lalu ditimbang sebanyak 5 g dan ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 45 mL larutan BPW steril,
dihomogenkan menggunakan vortex, dan larutan ini merupakan pengenceran pertama 10
-1
. Untuk mendapatkan pengenceran 10
-2
dibuat dengan mengambil 1 mL dari larutan pengenceran 10
-1
dan ditambahkan ke dalam larutan BPW 9 mL, selanjutnya dibuat pengenceran 10
-3
10
-4
10
-5
10
-6
10
-7
. Sebanyak 1 mL suspensi dari setiap pengenceran 10
-4
10
-5
10
-6
10
-7
dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu
ditambahkan 15-20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga temperatur 45
º
C pada masing-masing cawan yang berisi suspensi. Supaya larutan contoh dan
media PCA tercampur merata, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan dan didiamkan sampai padat, kemudian
diinkubasikan pada temperatur 34
º
C-36
º
C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik. Perhitungan jumlah koloni adalah Jumlah koloni x1
faktor pengenceran
Analisis kuantitatif E. Coli Metode Hitungan Cawan APHA 1992
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer berisikan 45 mL larutan BPW steril, dihomogenkan, dan didapatkan pengenceran 10
-1
, selanjutnya dibuat sampai pengenceran 10
-4
. Masing-masing hasil pengenceran diambil dengan pipet sebanyak 1 mL sampel dan dituangkan ke dalam cawan petri
steril, kemudian dituangi media EMBA sebanyak 15 mL. Segera setelah penuangan medium agar, cawan digerakkan dengan gerakan melingkar atau
gerakan seperti angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan diinkubasi pada suhu 37°C dengan posisi terbalik selama 24-48 jam. Koloni Escherichia coli
berwarna kehijauan jika diletakkan di bawah sinar matahari atau lampu Analisis Kwantitatif