118.48 19.06 31.86 Identifikasi morfometri karakteristik dan ekstraksi komponen bioaktif daging kelelawar di Sulawesi

Orellana C et al. 2009. Carcass characteristics, fatty acid composition, and meat quality of criollo argentino and braford steers raised on forage in a semi- tropical region of argentina. Meat Sci 81:57-64. Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150. Sents AE, Walters, Whiteman JV. 1982. Performans and carcass characteristics of ram lambs based on slaughtered different weight. J Anim Sci 606:1360- 1368. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press. Warsono IU, Priyanto R. 2011. Sifat biologis dan karakteristik karkas bandikot Echymipera kalubu. Berk Penel Hayati Ed Khusus 4B:13-19. KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kualitas Daging Kelelawar Dibandingkan dengan Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian eksplorasi ini bertujuan untuk mengkaji kualitas daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Kualitas daging meliputi sifat fisik dan kimia daging. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging kelelawar Pteropus alecto yang disembelih, daging kelelawar Pteropus alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92±2.95, 32.63±1.00, 44.78±0.68, 45.78±3.59, dan 43.23 ±1.13, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12, 36.46±1.39, 19.45±1.46, 16.30±1.12, dan 27.32±0.72. Berdasarkan bahan segar maka kadar protein daging kelelawar Pteropus alecto, kelelawar Nyctimene cephalotes, dan kelelawar Rousettus amplexicaudatus secara berturut-turut adalah 20.48, 21.73, dan 21.08, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84. Berdasarkan bahan kering, kadar protein Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut- turut adalah 48.97 , 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41, kadar Lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan 3.47, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27 , dan 9.90, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72. Perbandingan saturated fatty acid SFA, monounsaturated fatty acid MUFA, dan poliunsaturated fatty acid PUFA untuk Acerodon celebensis adalah 17.21: 13.27:1, untuk Pteropus alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk Rousettus amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial untuk daging Acerodon celebensis adalah 1.16:1, untuk daging Pteropus alecto adalah 0.98:1, untuk daging Rousettus amplexicaudatus adalah 1.05:1, untuk daging babi adalah 1.1:1, untuk daging ayam adalah 1.17:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar kolesterol untuk Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Kesimpulannya adalah Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging sama dengan daging babi dan daging ayam, tetapi untuk SFA tinggi. Kata kunci : kualitas daging, kelelawar, babi, ayam. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Meat Quality of Fruit Bats Compared With Pork, Chicken and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU The purpose of this exploratory study was to assess the quality of bats meat as compared to pork, chicken, and tuna. The physical properties observed were pH,water holding capacity, and cooking loss. While the chemical properties observed were proximate analysis, amino acids, fatty acids, and cholesterol concentrations. The results showed that the pH of unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 6.44 ± 0.08, 5.33 ± 0.02, 5.97 ± 0.06, 6.05 ± 0.07, 5.57 ± 0.04, respectively. Water holding capacity for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 48.92 ± 2.95, 32.63 ± 1.00, 44.78 ± 0.68, 45.78 ± 3.59, 43.23 ± 1.13, respectively. Cooking loss for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 12.83 ± 1.12, 36.46 ± 1.39, 19.45 ± 1.46, 16:30 ± 1.12, 27.32 ± 0.72, respectively. Based on the fresh matter, protein percentage of Pteropus alecto, Nyctimene cephalotes, and Rousettus amplexicaudatus were 20.48, 21.73, 21:08, respectively, and water percentage were 67.21, 62.45, 63.84, respectively. Based on dry matter, protein percentage of Pteropus Alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, 69.41, respectively, fat percentage were 29.85, 22.63, 8.91 , 11.65, 3:47, respectively, water percentage were 5.76, 7:54, 9.92, 8:27, 9.90, respectively, Ca percentage were 10.62, 2:09, 1.09, 1.36, 1.83, and P percentage were 1.46 , 1.44, 0.69, 0.66, 0.72, respectively. Ratio of saturated fatty acid SFA, monounsaturated fatty acid MUFA, and poliunsaturated fatty acid PUFA for Acerodon celebensis was 17.21:13.27:1, for Pteropus alecto was 23.36:13.131, for Rousettus amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, for chicken was 2:1.5:1, and for tuna fish was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non essential amino acids for Acerodon celebensis was 1.16:1, for Pteropus alecto was 0.98:1, for Rousettus amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken was 1.17:1, and for Tuna was 1.12: 1. Cholesterol levels for Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, 138.21 mg, respectively. The conclusion were Acerodon celebensis, Pteropus alecto, and Rousettus amplexicaudatus have meat quality similar to pork and chicken. Keywords : meat quality, fruit bats, pork, chicken. Pendahuluan Daging kelelawar hanya dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Brooke Tschapka 2002, Lee et al. 2005, Mohd-Azlan et al. 2001, Jenkins Racey 2008, Afolabi et al. 2009. Walaupun daging kelelawar tidak merupakan pangan yang umum dikonsumsi semua orang, informasi tentang kualitas dan nilai gizinya perlu diketahui. Dengan mengetahui nilai gizi, karakteristik fisik, dan kimia daging kelelawar maka kelelawar sebagai pangan asal hewan yang berkualitas dapat dipercaya. Untuk mengetahui posisi daging kelelawar sebagai bahan pangan yang berkualitas, perlu dibandingkan dengan daging ternak konvensional dan jenis ikan yang umum dijadikan sebagai bahan pangan dan diakui sebagai sumber protein yang tinggi, dengan komposisi asam amino yang lengkap, dan asam lemak yang seimbang. Salah satu bahan pangan dari ternak konvensional yang sudah dikenal antara lain daging babi dan daging ayam, sedangkan jenis ikan yang dipilih ialah ikan cakalang yang dikonsumsi hampir semua masyarakat, dan dapat dijangkau semua kalangan. Sifat-sifat fisik daging yang berhubungan dengan kualitas daging adalah derajat keasaman, daya mengikat air, susut masak Aberle et al. 2001, Soeparno 2005, dan sifat kimia berhubungan dengan komposisi kimia, komposisi asam amino, komposisi asam lemak jenuh SFA, saturated fatty acid, asam lemak tak jenuh rangkap satu MUFA, monounsaturated fatty acid, asam lemak tak jenuh rangkap banyak PUFA, polyunsaturated fatty acid , dan kadar kolesterol total daging Murray et al. 2003, Lawrie 2003 Informasi ilmiah tentang karakteristik fisik dan kimia daging ayam, daging babi, dan ikan sudah pernah dilakukan Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006, Rehfeldt et al. 2007, Florowski et al. 2006, Garcia et al. 2010, Kumar et al. 2011, Robb et al. 2000, Wijayanti et al. 2006, Adebiyi et al. 2011, Salakova et al. 2009, namun dilakukan secara terpisah-pisah oleh peneliti yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula. Informasi tentang kelelawar belum penah ada, oleh karena itu untuk mendapatkan informasi secara menyeluruh pada waktu, kondisi, dan tempat yang sama telah dilakukan penelitian tentang kualitas fisik dan kimia daging kelelawar, khususnya Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus yang dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat-sifat fisik dan profil kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang sebagai sumber bahan pangan yang bernilai gizi tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk kajian-kajian lanjutan tentang kelelawar dalam pengembangannya. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Pengeringan sampel daging dan analisis karakteristik fisik daging dilakukan di laboratorium bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado. Analisis komposisi kimia daging dilakukan di Laboratorium Pusat Sumberdaya dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor LPPM IPB. Analisis komposisi asam lemak dan asam amino dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor IPB. Analisis kadar kolesterol total dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu bulan Juli 2011-Maret 2012. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian pendahuluan untuk mengetahui kadar protein telah dilakukan pada tiga jenis kelelawar, yaitu P. alecto dari Pasar Bersehati Manado, Sulawesi Utara, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus yang berasal dari Desa Pakuure, Sulawesi Utara. Penelitian selanjutnya untuk mengkaji sifat kimia daging mengunakkan A. celebensis dan P. alecto dari Kolono, Sulawesi Tengah masing- masing sebanyak 10 ekor, dan R. amplexicaudatus dari Peonea, Sulawesi Tengah sebanyak 20 ekor, dan daging ayam, daging babi, serta ikan cakalang masing- masing sebanyak 3 kg yang berasal dari Pasar Bersehati Manado. Daging babi yang digunakan adalah bagian paha tanpa pemisahan bagian lemak, daging ayam dan kelelawar menggunakan seluruh karkas tanpa pemisahan bagian lemak. Untuk melihat sifat fisik, yaitu perubahan pH, daya mengikat air, dan susut masak, diambil pada kelelawar P. alecto yang masih hidup kemudian disembelih sendiri dan kelelawar yang sudah dibekukan, sedangkan daging ayam dan daging babi diambil pada saat pemotongan, dan ikan cakalang diambil dalam keadaan sudah beku. Semua materi berasal dari Pasar Bersehati. Pengambilan sampel diambil pada pagi hari, yaitu saat pemotongan dilakukan. Zat-zat yang digunakan adalah aquades, n-heksan, petrolium benzena, dietil eter, etanol, amonia 25, indikator fenolpltalein, NaOH 0.5 N, BF 3 20, NaCL jenuh, isooctana, Na 2 SO 4 anhidrid, standar asam lemak, H 2 SO 4 , NH 4 2 SO 4, NH 3, NaOH jenuh, HCL, H 3 BO 3 2, brom cresol green-methyl red, NH 4 OH, indikator pp, dan KMnO 4. Peralatan yang digunakan adalah kamera digital, food processor, cool box, pH meter, beban besi 35 kg, timbangan kasar dan analitik, kapas bebas lemak, kertas saring whatman 41, stop wacth, dissecting set, termometer bimetal, oven, cawan perselin, cawan petri, vortex, desikator, seperangkat alat sohklet, sentrifuge, tabung reaksi, tabung majonnier, pipet mohr, 5 mL dan 10 mL, labu lemak, gelas ukur, gelas piala, vacuum rotary evoporator, lemari asam, high performance liquid chromatography HPLC, gas chromatography CG, atomic absorbance spektrophotometer AAS , dan spektrofotometer. Metode Penelitian Pada penelitian pendahuluan, karkas dari ketiga jenis kelelawar dibekukan dan dimasukkan ke dalam coolbox lalu dibawa ke Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB untuk dianalisis dalam bentuk bahan segar, sedangkan pada penelitian kedua, semua bahan daging dikeringkan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, untuk mendapatkan bahan kering, selanjutnya dianalisis di laboratorium sesuai tujuan yang akan dicapai. Peubah yang diamati adalah uji komposisi kimia daging yang meliputi kadar air, kadar protein kasar, lemak kasar, kadar abu, kadar mineral Ca dan P, uji total kolesterol daging, analisis komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh, analisis komposisi asam amino esensial dan nonesensial, uji karakteristik fisik dan kimia daging segar yang meliputi derajat keasaman daging pH, kemampuan mengikat air oleh protein daging, dan susut masak. Analisisnya mengikuti prosedur Association of Official Analytical Chemists AOAC 1995 sebagai berikut. Kadar Air Prinsipnya adalah menguapkan air yang terdapat dalam sampel. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 8 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Persen air bahan dihitung dengan rumus : Air – Kadar Lemak Kasar Prinsipnya melarutkan lemak yang terdapat dalam bahan dengan pelarut lemak. Sebanyak 5 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk timbel, lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet, kemudian n- heksana dituangkan ke dalam alat labu sesuai ukuran yang dibutuhkan. Kondensator dan labu lemak dipasang, air dan listrik dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam sampai larutan pelarut yang turun ke dalam labu jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Persen lemak kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut : Analisis Asam Lemak Menggunakan Gas Kromatografi Analisis dengan kromatografi gas didasarkan pada partisi komponen- komponen dari suatu cairan di antara fase gerak berupa gas dan fase diam berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap. Dalam analisis asam lemak, mula-mula lemak dihidrolis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak FAME. Selanjutnya FAME dianalisis dengan kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampel ke tengah komponen yang dipertimbangkan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik standar internal. Luas puncak dari masing-masing adalah berbanding lurus dengan jumlah komponen dalam contoh. Prosedur analisisnya adalah sebanyak 20 g lemak ditimbang dalam tabung tertutup teflon ditambahkan 1 mL NaOH 0.5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF 3 20, dan dipanaskan lagi selama 20 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL isooktana dan dikocok dengan baik. Lapisan isooktana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi sekitar 0.1 g Na 2 SO 4 anhidrat, dan dibiarkan selama 15 menit. Fase cairnya dipisahkan kemudian diinjeksikan ke kromatografi gas. Sebelum diinjeksikan, perangkat alat kromatografi diatur dengan menggunakan kolom Cyanopropil methyl sil capilary column sebagai fase diam, laju alir N 2 sebagai fase gerak, suhu injektor 220 º C, dan suhu detektor 240 º C. Kemudian sebanyak 1 μL campuran standar FAME dinjeksikan ke alat kromatografi yang sudah diatur. Ditunggu sampai semua puncak sudah keluar, apabila semua puncak sudah keluar, maka contoh yang sudah dipreparasi diinjeksikan. Waktu retensi dan puncak masing-masing diukur dan dibandingkan dengan standar. Jumlah komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut : 100 Dimanan : Ax = Area sampel, As = Area standar, C standar = Cone standar, V contoh = volume tera sampel. Analisis Kolesterol Daging Kolosterol daging ditentukan dengan menggunakan metode Leibermann Buchhard. Hasil pengukurannya adalah kadar kolesterol dalam mgg. Sampel daging ditimbang sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diekstraksi dengal etanol dan n-heksana dengan perbandingan 3:1 sebanyak 8 mL. Kemudian diaduk sampai daging hancur dan homogen. Tabung dipanaskan dalam penangas air sampai mulai mendidih. Setelah dingin, filtratnya dimasukkan ke tabung sentrifuge dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke tabung reaksi dan diuapkan dengan dipanaskan dalam air mendidih sampai kering dan terbentuk residu. Residu kering dilarutkan dan dihomogenkan. Kemudian ditambah pereaksi Liebermann Burchard sehingga larutan berwarna hijau kebiruan, kemudian biarkan selama 15 menit di tempat yang gelap. Dengan cara yang sama dibuat larutan blangko sebanyak 0.4 mg. Hasil analisis ditera dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Perhitungan kadar kolesterol daging dilakukan dengan membandingkan absorbansnya dengan absorbans kolesterol standar. Jumlah kolesterol dihitung sebagai berikut : ⁷ ⁷ Kadar Protein Kasar Prinsipnya penetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung, analisis ini didasarkan pada penentuan kandungan nitrogen yang terdapat dalam bahan. Kandungan nilai protein dikalikan 6.25 sebagai angka konversi nilai nitrogen menjadi nilai protein. Nilai 6.25 sebagai asumsi bahwa protein mengandung 16 nitrogen. Penentuan nitrogen melalui tiga tahapan analisis kimia. 1 Destruksi, yaitu tahap penghancuran bahan menjadi komponen sederhana sehingga nitrogen dalam bahan terpisah dari ikatan organiknya, nitrogen tersebut kemudian diikat oleh H 2 SO 4 menjadi NH 4 2 SO 4. 2 Destilasi, yaitu tahap pemisahan. Untuk melepaskan nitrogen dalam larutan hasil destruksi adalah dengan mengubah nitrogen dalam bentuk NH 4 2 SO 4 menjadi gas NH 3 dengan pemberian NaOH jenuh yang terbentuk selanjutnya dikondensasi dengan kondensor, selanjutnya NH 3 diikat oleh H 3 BO 3 membentuk NH 4 3 BO 3 . 3 Titrasi, yaitu tahap penetapan nilai nitrogen. Nitrogen dalam NH 4 3 BO 3 dititrasi dengan HCl. Sebanyak 0.25 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL lalu ditambahkan selenium 0.25 dan 3 mL H 2 SO 4 pekat, dan didestruksi selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah itu, didinginkan kemudian ditambahkan 50 mL aquadest dan 20 mL NaOH 40, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyar yang berisi campuran 10 mL H 3 BO 3 2 dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-methyl red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan destilat menjadi 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap blangko. Selanjutnya untuk penetapan total nitrogen dihitung dengan rumus : Dimana: S = volume titran sampel mL, B = volume titran blangko mL, w = bobot sampel kering mg, 14 = bobot atom nitrogen. Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 5.18 – 6.38. Untuk protein daging digunakan 6.25 konversi nitrogen ke protein kasar. Analisis Asam Amino Menggunakan HPLC Penentuan kadar asam amino dimulai dari tahap hidrolisis protein, pengeringan dan penetapan asam amino menggunakan HPLC. Sebanyak 50 mg sampel yang kering dan halus dimasukkan ke dalam tabung pyrex 10 mL yang tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni, kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam oven dengan suhu 105 º C-110 º C selama 24 jam. Hasil hidrolisis dikeluarkan dalam oven, dibiarkan sampai suhu ruang, kemudian disaring dengan kertas saring whatman No. 41. Selanjutnya, dipipet 1 mL larutan ke dalam tabung 10 mL, dibekukan dengan es kering dan dikeringkan pada pengering vakum. Hasil hidrolisis yang sudah kering dilarutkan kembali dengan HCl 0.1N hingga volume 3 mL, diaduk dengan vortex sampai homogen, dan disaring dengan alat penyaring ukuran membran 0.22 µm. Sebanyak 100 mL atau mikroliter hasil saringan diinjeksikan pada alat yang akan digunakan. Larutan hasil saringan dapat dianalisis dengan menggunakan HPLC atau amino acid analyzer. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus Dimana: l.a spl = luas area sampel masing-masing asam amino l.a sd = luas area standar masing-masing asam amino kons.sd = konsentrasi larutan standar vol.spl = volume sampel BM AA = bobot molekul masing-masing asam amino Kadar Abu Kadar abu adalah total mineral dalam bahan. Prinsipnya adalah membakar bahan dalam tanur sehingga semua unsur utama pembentuk senyawa organik C, H,O, N habis terbakar dan berubah menjadi gas dan sisanya adalah abu berwarna putih atau abu-abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral. Sebanyak 1-5 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarang di atas bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600°C selama 2 jam sampai menjadi abu berwarna putih sampai abu-abu. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan sampai memperoleh bobot tetap. Persen abu dihitung dengan rumus: Kadar Kalsium Ca Prinsipnya larutan kalsium klorida dalam ekstrak HCL akan mengendap dalam bentuk kalsium oksalat dalam larutan amonium oksalat dan buffet asam asetat. Sampel abu diencerkan dengan HCl pekat sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan sampai mengering. Abu yang telah kering ditambahkan 2 mL HCl pekat dan air panas, kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dicuci dengan air panas dan dimasukkan ke dalam labu ukur, kemudian ditambahkan air suling. Hasil filtratnya disebut ekstrak HCl. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan pereaksi chapman sampai 100 mL kemudian dipanaskan. Lalu ditambahkan larutan NH 4 OH pekat beberapa tetes sampai larutan berubah menjadi warna hijau. Larutan didiamkan selama satu malam. Endapan disaring, kemudian dicuci dengan air panas. Kemudian, endapan yang ada pada kertas saring dimasukkan ke dalam gelas piala, lalu ditambahkan sebanyak 25 mL H 2 SO 4 4 N dan H 2 O sampai volume 150 mL. Larutan ini dipanaskan di atas penangas air hingga suhu larutan 80-90 º C. Larutan dititer dengan KMnO 4 0.02 N sampai larutan berwarna merah jambu. Kemudian dibuat blangko dengan cara mengencerkan 8.5 mL HCl pekat hingga 100 mL. Lalu diambil 20 mL HCl encer sebagai blangko. Persen kalsium dihitung dengan rumus Dimana : C = faktor pengenceran, 28 = bobot setara CaO N KMnO 4 = Normalitas KMnO 4. Kadar Fosfor P Prinsipnya, ion fosfor dalam keadaan basa akan membentuk endapan kuning. Endapan ini akan larut dalam NaOH. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan ammonium nitrat 5 g dan asam nitrat 5 mL. Kemudian dipanaskan pada suhu 42 º C, dan ditambahkan larutan ammonium hepta, hingga larutan berwarna kuning. Larutan didiamkan selama satu malam. Larutan disaring, kemudian dicuci dengan air. Endapan yang ada dimasukkan pada kertas saring dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 mL H 2 SO 4 0.2 N, air suling sampai volume 100 mL, dan 2 tetes indikator pp hingga larutan berwarna merah jambu. Selanjutnya larutan dititer dengan HCL 0.1 N hingga larutan tidak berwarna. Persen fosfor dihitung dengan rumus : Dimana : 0.1347 = Derajat Keasaman Daging pH Sampel daging yang telah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam beaker glass, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 mL, kemudian dicampur dengan menggunakan blender selama 1 menit. Setelah itu diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi. Daya Mengikat Air Water Holding Capacity Daya mengikat air diuji dengan menggunakan analisis daya mengikat air, yaitu modifikasi metode Hamm menggunakan beban yang terbuat dari besi seberat 35 kg. Sebanyak 0.3 g sampel daging diletakkan pada kertas saring dan dibebankan di antara dua plat selama 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan luas daerah basa di sekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luasan total luas daerah basah dan luas daerah yang tertutup sampel daging. Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Dimana : M g H 2 O = persen air bebas, Daya mengikat air = kadar air total – kadar air bebas Susut Masak Cooking Loss Susut masak adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak yang dinyatakan dalam . Sampel daging sebanyak 100 g yang telah ditancapkan termometer bimetal, dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah termometer bimetal mencapai angka 81 º C, sampel daging diangkat dan didinginkan selama 60 menit dan ditimbang setiap 30 menit sampai bobotnya konstan. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Fisik Daging Kelelawar, Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Setelah hewan dipotong, fungsi hidup otot tidak langsung berhenti dan otot langsung menjadi daging, tetapi masih terjadi perubahan-perubahan fisik dan struktur yang dikenal sebagai proses perubahan otot menjadi daging. Beberapa karakteristik daging yang terjadi selama perubahan otot menjadi daging adalah perubahan pH daging, perubahan daya mengikat air oleh protein daging, perubahan warna daging, dan susut masak. Karakteristik daging merupakan sebagian parameter penentu kualitas daging yang dihasilkan. Pada penelitian ini, parameter sifat fisik daging yang diamati adalah pH daging, daya mengikat air, susut masak, dan kadar air. Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rataan sifat fisik daging kelelawar babi, ayam, dan ikan cakalang Jenis daging dan Ikan Sifat Fisik pH DIA Susut masak Kadar air Kelelawar 1 6.44±0.08 48.92±2.95 12.83±1.12 67.10±3.87 Kelelawar 2 5.33±0.02 32.63±1.00 36.46±1.39 72.55±0.84 Babi 5.97±0.06 44.78±0.68 19.45±1.46 75.20±1.24 Ayam 6.05±0.07 45.78±3.59 16.30±1.12 73.72±2.36 Ikan cakalang 5.57±0.04 43.23±1.13 27.32±0.72 74.32±0.89 1 Daging kelelawar yang disembelih sendiri; 2 Daging kelelawar yang diambil di pasar tradisional Derajat Keasaman Daging pH Derajat keasaman daging dinyatakan dalam pH. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan glikogen otot pada saat pemotongan. Tabel 7 menunjukkan bahwa rataan nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, serta ikan cakalang masih dalam keadaan pH normal, sedangkan daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Daging kelelawar yang disembelih sendiri mempunyai nilai pH lebih tinggi 1.05 dari daging kelelawar yang dibekukan. Perbedaan pH ini disebabkan oleh penanganan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pedagang bahwa daging kelelawar yang dibekukan berasal dari daerah Sulawesi Tengah sehingga harus mengalami proses transportasi selama 2-3 hari. Selain lama transportasi, untuk menjaga agar daging tetap dalam kondisi baik sampai di lokasi penjualan, pengumpul kelelawar harus mengumpulkan kelelawar hasil buruan dalam kotak-kotak polietilen yang berisi es dan dibekukan, kemudian dikirim seminggu sekali. Akibatnya, lama waktu penjualan lebih dari satu minggu sehingga pada waktu dianalisis nilai pH daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Foegeding et al. 1996 menyatakan bahwa jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH 7.2-7.4, dan akan menurun setelah pemotongan. Secara normal, dalam waktu 6-8 jam pH daging akan turun secara bertahap dari 7.0 sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah pemotongan Aberle et al. 2001. Titik isoelektrik adalah nilai pH pada saat protein memiliki jumlah muatan negatif yang sama dengan jumlah muatan positif. Pada kondisi ini, terjadi pemendekan sarkomer sehingga air cenderung akan didorong dan sifat-sifat fungsional protein, seperti kelarutan protein dan kemampuan membentuk gel dan emulsi juga hilang. Jika daging pada kondisi ini dimasak akan memiliki tekstur yang keras dan kering dengan citarasa yang hambar. Rataan nilai pH daging babi adalah 5.97±0.06. Nilai pH ini lebih rendah dari nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari nilai pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih tinggi dari nilai pH daging babi 24 jam setelah pemotongan, yaitu 5.49-5.54 seperti yang dilaporkan oleh Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006, Rehfeldt et al. 2007. Florowski et al. 2006 melaporkan pH daging dari beberapa jenis babi yang diisimpan selama 48 jam adalah 5.54-5.52. Rataan nilai pH daging ayam adalah 6.05±0.06. Nilai pH ini lebih rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH daging ayam 2 jam setelah dipotong yang dilaporkan Carcia et al.2010, yaitu 6.50, namun lebih tinggi dari nilai pH daging ayam broiler 6 jam setelah pemotongan, yaitu 5.94 yang dilaporkan Dunn et al. 1993, dan Kumar et al. 2011, yaitu 5.87 untuk daging ayam yang dipotong di pasar tradisional. Karaoglu et al. 2004 melaporkan bahwa nilai pH daging ayam broiler 1-3 jam setelah pemotongan ialah 6.40-6.12 dan menurun menjadi 5.95, saat 7 jam setelah pemotongan. Tingginya nilai pH daging kelelawar yang dipotong sendiri, babi dan ayam karena lama waktu pemotongan sampai dianalisis tidak lebih dari 3 jam. Pada kondisi ini, secara fisik penampakan daging masih baik dan proses rigor mortis belum selesai. Aberle et al. 2001 menyatakan bahwa rigor mortis pada babi dan ayam berlangsung selama 30 menit sampai 4.5 jam. Menurut Lawrie 1995 bahwa setelah hewan mati terjadi penurunan pH daging akibat perombakan glikogen melalui proses glikolisis secara anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Pada metabolisme anaerob, ion hidrogen yang dibebaskan pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan untuk mengubah asam piruvat menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan peningkatan keasaman otot. Laju penurunan pH akan menentukan sifat fisik daging. Perubahan pH menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Rataan nilai pH daging ikan cakalang adalah 5.57±0.04. Nilai pH ini hampir setara dengan nilai pH daging kelelawar yang dibekukan, namun lebih rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH normal daging ikan segar yang dinyatakan oleh Robb et al 2000 bahwa pH daging ikan biasanya berkisar 7-7.5 dan dapat turun sampai 6.5, namun masuk ke dalam pH normal yang dilaporkan Haard 2000 bahwa ikan tuna dapat mencapai di bawah pH 5.5, sementara ikan lainnya memiliki pH 6.2- 6.6. Rendahnya nilai pH ikan cakalang yang diambil di pasar diduga karena ikan cakalang telah diberikan es dan disimpan dalam waktu cukup yang lama. Wijayanti et al. 2006 melaporkan bahwa pH ikan cakalang yang disimpan selama 7 hari pada suhu 11 º C adalah 5.8 dan mulai naik 6.15-6.40 setelah hari ke- 8 sampai ke-10. Daya Mengikat Air oleh Protein Daging Daya mengikat air oleh protein daging didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan Soeparno 2005. Daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri, daging babi, daging ayam, dan ikan lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan. Walaupun daging ayam dan daging babi berasal dari pasar, daya mengikat airnya hampir setara dengan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri. Hal ini karena pada waktu pengambilan sampel untuk dianalisis, daging ayam dan daging babi baru disembelih sehingga proses rigor mortis belum berakhir yang dibuktikan dengan masih normalnya nilai pH daging. Perbedaan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri dengan daging kelelawar yang dibekukan adalah 14.13. Perbedaan daya ikat air ini terjadi karena perbedaan lama waktu pemotongan, yaitu kelelawar yang diambil di pasar sudah lama dipotong kemudian dibekukan untuk dipasarkan. Daya mengikat air daging ayam pada penelitian ini adalah 45.78, lebih tinggi dari daging kelelawar yang dibekukan dan lebih rendah dari daging kelelawar yang disembelih sendiri. Daya mengikat air daging ayam ini juga lebih rendah dari daya mengikat air daging ayam bagian dada yang diukur dua jam setelah pemotongan, yaitu 64.79 yang dilaporkan oleh Carcia et al. 2010 dan Adebiyi et al. 2011 yaitu 59.43. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pH, lama waktu pengukuran sampel, dan jenis daging, yaitu pada penelitian ini menggunakan daging bagian paha dan waktu pengukuran tiga jam setelah pemotongan. Kumar et al. 2011 melaporkan bahwa pada pH 5.75, daya mengikat air oleh protein daging ayam segar yang dipotong di rumah potong adalah 40.50. Daya mengikat air daging babi adalah 44.78. Daya ikat air ini lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan, dan lebih rendah dari daya ikat air daging babi yang dilaporkan oleh Budaarsa 1997, yaitu 66.60 pada pH 5.72. Menurunnya daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan disebabkan oleh hilangnya kemampuan protein daging untuk mengikat air oleh karena terjadinya perubahan ion-ion dalam protein daging setelah pemotongan. Lawrie 1985 mengatakan bahwa kemampuan protein untuk mengikat air disebabkan oleh karena banyaknya gugus reaktif protein. Dalam keadaan pH rendah karena banyak terbentuk asam laktat, gugus reaktif akan berkurang sampai mencapai titik terendah pada pH isoelektrik. Susut Masak Daging Susut masak adalah kehilangan bobot selama daging mengalami pemasakan. Susut masak daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 12.83, 19.45, 16.30, dan 27.32. Susut masak ini lebih kecil dari daging kelelawar yang dibekukan, yaitu 36.46, walaupun demikian susut masak daging kelelawar yang dibekukan masih dalam batas standar umum, yaitu 1.5-54.5 Soeparno 2005, dan masih lebih rendah dari susut masak daging kancil, yaitu 45.17 yang dilaporkan Rosyidi et al. 2010. Susut masak daging ayam lebih rendah dari susut masak daging ayam broiler bagian dada yang dilaporkan oleh Salakova et al. 2009, yaitu 26,45- 31.40 demikian juga dengan susut masak daging babi yang dilaporkan oleh Lee et al. 2000, yaitu 66. Susut masak daging babi lebih rendah dari susut masak daging babi yang dilaporkan Morel et al. 2006, yaitu 27.70. Besarnya susut masak yang dihasilkan berbeda-beda. Hal ini selain disebabkan oleh pH dan daya mengikat air, juga oleh perbedaan jenis daging. Shanks et al. 2002, Soeparno 2005 menyatakan bahwa besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya air yang keluar dari daging, lama simpan daging, kemampuan mengikat air oleh proten daging, dan pH akhir daging. Kadar Air Daging Kadar air merupakan komponen dalam daging yang berkaitan dengan kapasitas menahan air oleh protein daging dan susut masak. Semakin kecil kapasitas menahan air oleh protein daging akan semakin besar kadar air yang keluar dalam daging yang akan menyebabkan susut masak semakin besar. Ada tiga jenis air yang terikat dalam daging, yaitu pertama adalah air terikat sangat kuat secara kimia oleh gugus reaktif protein, kedua adalah air terikat lemah terhadap gugus hidrofilik air dalam keadaan tidak bergerak, dan ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein. Air pertama dan kedua bebas dari perubahan molekul, sedangkan air ketiga akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi Aberle et al. 2001. Kadar air daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, ikan dan kelelawar yang dibekukan masing-masing adalah 76.10, 75.20, 73.72, 74.32, dan 72.55. Kadar air kelelawar yang dibekukan lebih tinggi dari kadar air kelelawar yang disembelih sendiri. Hal ini menyebabkan susut masak juga lebih tinggi dan kapasitas menahan air menjadi rendah. Kadar air ikan cakalang masih dalam batas kadar air yang dilaporkan Sumsundari 2007 bahwa kadar air ikan tongkol adalah 79.52, sedangkan daging babi adalah 76.40- 86.20 Susilo 2006. Komposisi Kimia Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Komposisi kimia akan menentukan nilai gizi dan kualitas daging. Gambaran komposisi kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang Jenis Daging Komposisi Kimia Air Protein Lemak Abu Ca P P. alecto 67.21 20.48 - - - - N. cephalotes 62.45 21.73 - - - - R. amplexicaudatus 63.84 21.08 - - - - Pteropus alecto 5.76 48.97 29.85 10.17 10.62 1.46 R. amplexicaudatus 7.54 51.49 22.63 8.49 2.09 1.44 Babi 9.92 69.08 8.91 4.78 1.09 0.69 Ayam 8.27 67.14 11.65 3.86 1.36 0.66 Ikan cakalang 9.90 69.41 3.47 4.54 1.83 0.72 Dalam basis segar dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB; Dalam basis kering dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM.IPB, ; - Tidak diukur. Kadar protein daging segar dari P. alecto, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus adalah 20.4-21.73, sedangkan kadar airnya adalah 62.45- 67.21. Rataan kadar protein ini relatif sama dengan kadar protein daging kancil, dan daging sapi, namun kadar airnya relatif lebih rendah. Rosjidi et al. 2010 melaporkan bahwa kadar air daging kancil adalah 76.33, protein 21.42, lemak 0.51, dan abu 1.20. Prasetyo et al. 2009 melaporkan bahwa kadar protein daging sapi segar adalah 21.08, kadar air 75.90, lemak 0.87, dan abu 1.37. Adegoke Falede 2005 menyatakan bahwa komposisi kimia otot mamalia terdiri atas air 65-80, protein 16-22, dan Lemak 1.5-13. Berdasarkan basis kering, kadar air P. alecto dan N. cephalotes lebih rendah, sedangkan kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar lemak dengan kadar air. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar lemak dalam otot. Rendahnya kadar air daging dari ketiga jenis kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan dalam penelitian ini selain karena jenis ternak juga aktivitas yang dilakukan. Diduga bahwa lemak yang tinggi akan digunakan sebagai cadangan energi untuk aktivitas terbang. Aberle et al. 2001 melaporkan bahwa secara umum, kandungan lemak dalam otot ditentukan oleh pakan, jenis ternak, umur, dan aktivitas yang dilakukan. Kadar protein daging kelelawar tampak paling rendah bila dibandingkan dengan kadar protein daging babi, ayam, dan ikan. Rendahnya kadar protein ini karena komposisi lemak yang tinggi dan kadar air yang rendah. Diduga bahwa selain lemak digunakan sebagai cadangan energi untuk terbang, kedua kelelawar ini sudah dewasa sehingga pertumbuhan kadar protein jaringan tubuh sudah mencapai konstan. Kadar abu, Ca, dan P kedua jenis kelelawar hasil penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu, Ca, dan P daging babi, daging ayam, dan ikan. Tingginya kadar abu, Ca, dan P diduga karena pakan yang dikonsumsi di alam adalah pakan yang mengandung sumber mineral yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kedua jenis kelelawar ini makan buah berupa pisang, mangga, pepaya, semangka, jambu biji, dan jambu air. Jenis buah-buahan ini kaya akan vitamin dan mineral, terutama Ca, P, K, dan Fe Israhadi 2008. Profil Asam Lemak Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh saturated fatty acid, SFA, asam lemak tak jenuh tunggal Monounsaturated fatty acid, MUFA, dan asam lemak tak jenuh ganda Polyunsaturated fatty acid, PUFA. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Tabel 4 Profil asam lemak kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang Asam lemak jenuh SFA yang terdeteksi ada delapan, yaitu asam kaprat Capric acid, asam laurat Lauric acid, asam miristat Myristic acid, asam palmitat Palmitic acid, asam stearat Stearic acid, asam arakhidat Arachidic acid, asam behenat Behenic acid, dan asam lignoserat Licnoceric acid. Asam lemak tidak jenuh MUFA adalah asam miristoleinat Myristoleic acid, asam palmitoleinat Palmitoleic acid, asam oleat Oleic acid, asam eikosenat Cis-11- Eicosenoic acid, asam erukat Erucic acid, dan asam nervonat Nervonic acid, sedangkan asam lemak tak jenuh PUFA adalah: asam linoleat Linoleic acid, asam linolenat Linolenic acid, asam eikosedienoat cis11-14-Eicosedienoic acid, asam eikosetrienoat Cis-8,11,14-Eikosetrienoic acid, Cis-11,14,17- Eikosetrienoic acid, asam arakidonat Arachidonic acid, asam eikosapentaenoat Asam Lemak A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam Ikan Cakalang Asam lemak jenuh SFA Kaprat, C10:0 0.29 0.02 Laurat, C12:0 0.39 1.80 1.26 0.33 0.05 0.04 Miristat, C14:0 11.19 15.64 9.23 1.32 0.50 1.74 Palmitat, C16;0 27.22 24.82 19.67 16.43 17.39 14.43 Stearat, C18:0 3.48 6.58 7.43 8.81 3.99 7.85 Arakidat, C20:0 0.05 0.14 0.21 0.15 0.06 0.47 Behenat, C22:0 0.02 0.02 0.04 0.05 0.03 0.29 Lignoserat, C24:0 0.03 0.04 0.05 0.05 0.04 0.29 Asam lemak tak jenuh MUFA Miristoleinat, C14:1 1.00 0.23 0.14 0.14 0.02 Palmitoleinat, C16:1 3.18 1.06 0.59 1.34 4.63 2.36 Oleat, C18:1n9c 28.74 26.10 27.16 28.87 29.60 10.25 Eikosenat, C20:1 0.09 0.16 0.32 0.74 0.31 1.05 Erukat, C22:1n9 0.01 0.08 0.03 0.02 0.14 Nervonat, C24:1 0.03 0.04 0.08 0.02 0.02 0.46 Asam lemak tak jenuh PUFA Linoleat, C18:2n6c 0.98 0.67 1.83 8.66 9.18 0.89 Linolanat, C18:3n3c 0.28 0.27 0.40 0.31 0.44 0.28 Eikosedienoat, C20:2 0.10 0.08 0.12 0.49 0.22 0.27 Eikosetrienoat, C20:3n6 0.05 0.10 0.25 0.11 0.19 0.10 Eikosetrienoat, C20:3n3 0.03 0.03 0.05 0.03 0.10 Arakidonat, C20:4n6 0.48 0.52 1.57 0.67 0.64 2.33 Eikosanpentaenoat EPA, C20:5n3 0.19 0.13 0.44 0.61 0.29 1.88 Dekosaheksaenoat DHA, C22:6n3 0.38 0.30 1.15 0.05 0.05 17.28 Jenis Daging dan Ikan Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoicacid, dekosaheksaenoat Cis-4,7,10,13,16,19- decosahexaenoic acid. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam lemak jenuh tertinggi adalah asam palmitat, asam miristat, asam stearat, dan asam laurat. R. amplexicaudatus, P. alecto dan A. celebensis memiliki konsentrasi asam lemak palmitat dan asam miristat lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan. Asam stearat tertinggi terdapat pada daging babi diikuti ikan cakalang, R. amplexicaudatus, P. alecto, ayam, dan A. celebensis. Asam laurat tertinggi terdapat pada P. alecto, R. amplexicaudatus, A. celebensis yang diikuti daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Yu et al. 1995 melaporkan bahwa asupan asam laurat, asam palmitat, asam miristat secara signifikan meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol, dan HDL-kolesterol plasma manusia, sedangkan asam stearat tidak meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol dalam plasma. Imaizumi et al. 1993 juga menyatakan bahwa lemak murni yang mengandung asam stearat menghasilkan kolesterol lebih rendah dalam plasma. Tingginya konsentrasi asam palmitat dan miristat pada ketiga jenis kelelawar diduga karena kelelawar mengkonsumsi bahan pakan yang kaya akan kedua asam lemak ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi tempat kelelawar ditangkap diketahui bahwa yang menjadi sumber pakan adalah jambu air, jambu biji, pisang, pepaya, tetapi tidak menutup kemungkinan kelelawar mengkonsumsi buah cokelat dan buah kelapa muda, karena habitat kelelawar dikelilingi dengan tanaman kelapa sawit dan kakao. Lemak kakao sangat kaya dengan asam lemak palmitat, stearat, dan oleat. Lipp Enklam 1998 melaporkan bahwa komposisi asam lemak buah kakao adalah asam palmitat 24.9, asam stearat 37.3, dan oleat 33.5, sedangkan Indarti 2007 melaporkan bahwa lemak biji kakao mengandung asam palmitat sebesar 26.24, asam stearat 43.23, dan asam oleat 26.53. Konsentrasi asam lemak jenuh tak tunggal MUFA tertinggi adalah asam lemak oleat omega 9, yaitu 10.25-29.60. Asam palmitoleinat omega 7 hanya berkisar 0.59-3.18, dan asam miristoleinat hanya berkisar 0.02-1.00. Konsentrasi asam oleat terbesar ada pada daging ayam, diikuti daging babi, A. celebensis, R. amplexicaudatus, P. alecto, dan ikan cakalang. Asam lemak oleat dan asam lemak palmitoleinat bukan merupakan asam lemak esensial dalam makanan karena jaringan tubuh dapat menyisipkan ikatan rangkap pada posisi Δ 9 ke dalam asam lemak jenuh bersesuian Muray et al. 2002. Asam lemak oleat berperan dalam memperbaiki profil lipida dalam tubuh sehingga memberi pengaruh positif pada level kolesterol, dan mencegah risiko penyempitan pembulu darah Grundy 1989. Konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda PUFA tertinggi adalah linoleat omega 6 yang terdapat pada daging ayam, yaitu 9.18 dan daging babi 8.66, sedangkan daging kelelawar hanya berkisar 0.67-1.83, dan ikan cakalang hanya sebesar 0.89. Konsentrasi asam lemak linolenat omega 3 secara keseluruhan dalam daging kelelawar berkisar 0.27-0.40, daging babi 0.31, ayam 0.44, dan ikan 0.28. Konsentrasi asam arakidonat untuk semua daging kelelawar, daging ayam, dan ikan berkisar 0.48-2.33. Murray et al. 2002 menyatakan bahwa kebutuhan asam lemak arakidonat akan terpenuhi jika terdapat linoleat dalam makanan. Asam lemak tak jenuh ganda lain yang terdeteksi dari kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan adalah asupan eikosanpentaenoat EPA dan dokosahexaenoat DHA yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Konsentrasi EPA tertinggi terdapat pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.13-0.44, daging babi 0.61, dan ayam 0.29. Demikian juga konsentrasi DHA tertinggi ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.30-1.15 dan daging babi dan ayam sebesar 0.05. Namun, kedua jenis asam lemak tak jenuh ganda ini kadarnya lebih tinggi dari daging kelinci yang dilaporkan Rosyidi et al. 2010. Walaupun proporsi asam lemak PUFA dibanding SAF dalam daging kelelawar, babi, ayam, dan ikan cakalang sangat kecil dalam daging, jumlah ini sangat berarti karena asam-asam lemak ini merupakan asam lemak esensial bagi nutrisi yang lengkap pada banyak spesies hewan, termasuk manusia. Murray et al. 2002 menyatakan bahwa pada sebagian tubuh hewan, semua ikatan rangkap dapat disisipkan pada posisisi Δ 4 , Δ 5 , Δ 6 , dan Δ 9 yang dihitung dari ujung terminal karboksil, tetapi tidak pernah di atas posisi Δ 9 , sehingga hanya dapat mensintesis kelompok asam lemak Δ 9 omega 9 secara lengkap melalui penggabungan proses pemanjangan rantai dengan desaturasi, dan dalam keadaan defisiensi asam lemak esensial, asam lemak dari PUFA dari kelompok Δ 9 akan menggantikan asam lemak esensial dalam fosfolipid. DHA disintesis dari linolenat yang diperlukan bagi perkembangan otak Murray et al. 2002. Rasio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh dalam makanan merupakan faktor utama dalam penurunan konsentrasi kolesterol plasma. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA dalam penelitian ini untuk A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1, untuk P. alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1 Perbandingan kelompok omega 3 dengan kelompok omega 6 untuk A. celebensis, P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan dan ikan secara berturut-turut adalah 1:1.77, 1:1.76, 1:1.68, 1:63.33, 1:10, 5.96:1. Perbandingan asam lemak linolenat dan linoleat untuk A. celebensis, P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan masing-masing adalah 1:3.5 1: 2.48, 1:4.75, 1:26.24, 1:20.86, dan 1:3.17. Profil Kolesterol Total Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Kolesterol merupakan komponen struktural esensial yang membentuk membran sel serta lapisan eksternal lipoprotein plasma, juga merupakan prekursor semua senyawa steroid dalam tubuh, seperti kortikosteroid, hormon seks, asam empedu, dan vitamin D Hard et al. 2003. Manusia membutuhkan 1.1 g kolesterolhari untuk memelihara dinding sel dan fungsi fisiologis lainnya. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 300 mg berasal dari makanan dan kurang lebih 700 mg berasal dari sintetis endogen di dalam tubuh Murray et al. 2002, Hard et al. 2003. Total kolesterol daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Konsentrasi kolesterol total dalam daging paling tinggi terdapat pada R. amplexicaudatus, diikuti A. celebensis, daging ayam, P. alecto, daging babi, dan ikan cakalang. Konsentrasi kolesterol ini lebih tinggi dari konsentrasi kolesterol daging kancil, yaitu 50 mg100 g Rosyidi et al. 2010. Walaupun demikian, total kolesterol kelelawar lebih rendah jika dibandingkan dengan total kolesterol dari kuning telur ayam kampung 1881.30 mg100 g, ayam ras 1274.50 mg100 g, itik 2118.75 mg100 g, puyuh 2139.17 mg100 g yang dilaporkan Dwiloka 2003. Tabel 5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan basis kering Jenis daging Konsentrasi mg100 gram Kelelawar A. celebensis P. alecto R. amplexicaudattus Babi Ayam Ikan cakalang 284.20 234.75 287.54 192.88 263.15 138.21 Tingginya kolesterol ketiga jenis kelelawar dan daging ayam diduga karena produksi kolesterol dalam hati berlebihan, juga pakan yang dikonsumsi mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi, sedangkan serat kasarnya rendah. Kolesterol dan lemak dalam pakan akan mempengaruhi kadar kolesterol dan lemak dalam darah, daging, dan lemak tubuh. Adanya serat dalam pakan akan menyebabkan kecernaan dan penyerapan kolesterol dan lemak menurun, namun asam lemak volatil meningkat. Peningkatan asam lemak volatil akan menghambat kerja enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA HMG-KoA reduktase. Dengan demikian, biosintesis kolesterol terhambat. Budaarsa 1997 melaporkan kandungan kolesterol pada daging babi yang mendapatkan pakan berserat dari rumput laut lebih rendah, yaitu 195.30 mg100 g daripada ternak yang tidak mendapatkan pakan berserat tanpa rumput laut, yaitu 246.46 mg100 g. Kolesterol disintesis oleh mamalia di hati dan disebarkan ke plasma darah dan jaringan lain. Jika kolesterol pangan dikurangi maka tubuh meningkatkan sintesis untuk mengimbangi kekurangannya, sebaliknya jika kolesterol dalam pangan tinggi, maka hati akan menurunkan sintesis kolesterol Wilbraham et al. 1992. Profil Asam Amino Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Asam amino diperlukan tubuh sebagai penyusun protein atau sebagai kerangka molekul-molekul penting zat pembangun. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari bahan pangan. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 6. Tabe l 6 Profil asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang Asam Amino Jenis Daging dan Ikan A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam I. cakalang Esensial Arginina 3.77 3.47 4.53 4.58 5.03 4.35 Histidina 1.25 1.09 1.84 2.63 2.27 4.95 Fenilalanina 2.32 2.02 3.08 2.93 3.14 2.98 Isoleusina 2.27 1.98 2.66 2.65 2.92 2.82 Leusina 4.25 3.15 3.64 3.51 3.83 3.73 Lisina 3.81 4.35 5.38 5.27 5.78 5.62 Metionina 1.31 1.12 1.89 2.02 2.18 2.27 Treonina 2.44 2.08 3.28 3.19 3.36 3.35 Tirosina 1.77 1.53 2.52 2.41 2.52 2.45 Valina 2.73 2.27 2.74 2.64 2.92 2.90 Nonesensial Asam Aspartat 5.04 4.38 5.98 5.88 6.46 6.33 Asam Glutamat 8.63 7.53 9.15 9.14 10.04 9.24 Alanina 3.69 3.32 4.14 3.92 4.32 4.35 Glisina 4.22 3.99 2.99 2.72 3.00 3.28 Serina 2.47 2.16 2.98 2.78 2.99 2.77 Asam amino esensial yang harus dipenuhi dari pangan sehari-hari ialah isoleusina, leusina, lisina, metionina, fenilalanina, treonina, triptofan, tirosina, valina, arginina, dan histidina. Histidina dan arginina disebut sebagai setengah esensial karena tubuh manusia dewasa sehat mampu memenuhi kebutuhannya. Asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sendiri, yaitu asam aspartat, asam glutamat, alanina, glisina, dan serina. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial untuk daging A. celebensis adalah 24.15 dan 20.81 dengan perbandingan 1.16:1, daging P. alecto 22.51 dan 22.91 dengan perbandingan 0.98:1, daging R. amplexicaudatus 25.84 dan 24.43 dengan perbandingan 1.05:1, daging babi 33.90 dan 30.51 dengan perbandingan 1.1:1, daging ayam 31.43 dan 29.43 dengan perbandingan 1.17:1, dan ikan cakalang 32.97 dan 29.42 dengan perbandingan 1.12:1. Kandungan asam amino esensial dan nonesensial dari ketiga jenis kelelawar, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang berbeda- beda. Lawrie 2003 menyatakan bahwa perbedaan urat daging, bangsa, dan umur hewan sangat mempengaruhi komposisi asam amino. Kandungan asam amino arginina tertinggi ditemukan pada daging ayam 5.03, diikuti daging babi 4.58, R. amplexicaudatus 4.53, ikan cakalang 4.35, A. celebensis 3.77, dan P. alecto 3.47. Asam amino leusina A. celebensis 4.25 lebih tinggi dari R. amplexicaudatus 3.64, P. alecto 3.15, daging babi 3.51, ayam 3.83, dan Ikan cakalang 3.73. Asam amino histidina tertinggi 4.95 ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis daging kelelawar 1.09-1.84, dan daging babi 2.63 relatif rendah. Kandungan asam amino fenilalanina tertinggi terdapat pada daging ayam 3.14 diikuti R. amplexicaudatus 3.08, A. celebensis 2.32, P. alecto 2.02, daging babi 2.93, dan ikan cakalang 2.98. Kandungan asam amino lisina paling tinggi pada daging ayam 5.78 diikuti ikan cakalang 5.62, R. amplexicaudatus 5.38, daging babi 5.27, P. alecto 4.35, dan A. celebensis 3.81. Kandungan asam amino isoleusina tertinggi ada pada daging ayam 2.92 diikuti ikan cakalang 2.82, R. amplexicaudatus 2.66, daging babi 2.65, A. celebensis 2.27, dan P. alecto 1.98. Kandungan asam amino metionina tertinggi ada pada ikan cakalang 2.27 diikuti daging ayam 2.18, daging babi 2.02, R. amplexicaudatus 1.89, A.celebensis 1.31, dan P. alecto 1.12. Kandungan asam amino treonina pada daging A. celebensis 2.44 dan P. alecto 2.08 relatif lebih rendah dibanding R. amplexicaudatus 3.28, daging babi 3.19, daging ayam 3.36, dan ikan cakalang 3.35. Kandungan asam amino valina P. alecto lebih rendah 2.27 dibandingkan dengan kedua jenis daging kelelawar, daging babi, ayam, dan ikan cakalang 2.67-2.92. Nelson et al. 2000 menyatakan bahwa arginina berperan penting dalam pembelahan sel, sekresi testoteron, dan meningkatkan hormon pertumbuhan yang berpengaruh pada perototan, sedangkan histidina merupakan prekursor histamin yang berperan dalam sistem saraf, dan merupakan asam amino semiesensial karena dapat disintesis oleh tubuh, tetapi tidak mencukupi untuk pertumbuhan anak. Asam amino histidina dan arginina merupakan asam amino esensial bagi anak-anak. Fenilalanina merupakan kelompok asam amino aromatik yang memiliki cincin benzena, sebagai penyampai pesan pada sistem saraf otak. Dalam keadaan normal, tubuh akan mengubah fenilalanina menjadi tirosin, yaitu asam amino untuk proses sintesis protein, adrenalin, noradrenalin, dan hormon tiroid. Leusina berperan penting dalam metabolisme protein dan diperlukan untuk pertumbuhan optimal bayi serta mendorong pemulihan otot setelah beraktivitas. Valina dan isoleusina adalah asam amino penyusun protein yang dikodekan DNA. Lisina adalah asam amino yang bersifat antivirus. Treonina adalah salah satu asam amino yang akan menghasilkan senyawa fosfotreonin yang penting pada biosintesis metabolisme sekunder. Metionina adalah asam amino yang berperan dalam proses transkripsi yang menerjemahkan urutan basa nitrogen di DNA untuk membentuk RNA. Glisina berperan dalam sistem saraf sebagai neorotransmiter pada sistem saraf pusat. Simpulan Nilai pH daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang berada pada kisaran pH normal 5.57-6.44, sedangkan daging kelelawar yang diambil di pasar mencapai titik isoelektrik daging 5.33. Daya mengikat air daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang lebih besar 43.23-48.92 daripada daging kelelawar yang diambil di pasar 32.63. Susut masak daging kelelawar yang diambil di pasar lebih besar 36.46 daripada daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang 12.83-27.32. Komposisi kimia, kadar asam lemak, kadar kolesterol, dan kadar asam amino daging kelelawar tidak jauh berbeda dari daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang, namun DHA dan EPA berbeda dari ikan cakalang. Saran Perlu penelitian lanjutan untuk membedakan nilai gizi kelelawar yang dibudidayakan dan kelelawar yang diambil di alam. Daftar Pustaka Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and carcass quality if broiler chicks under high stocking dencity fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 5:264-268. Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 5: 422-425. Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 272: 58-65. Florowski T, et al. 2006. Tecnological parametres in pig of two polish local breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 3: 217-224 Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Braz J Poult Sci 12:233-237. Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr 119:529-533 Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702. Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rek Kim Lingk 62:50-54. Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim Sci 78:253-259. Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci :1 –6. Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389. Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 621:73-97. Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci 71:194-204. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM, 2006. Evaluation of three pork quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 192:266-272. Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. 3rd ED. New York : Worth publishing. Prasetyo A, Prasetyo T, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78:170-175. Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 332: 95-102. Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat depending on their sex. Actavet 78:497-504. Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum. Med Pet 271:1-11 Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14 1 : 41-48 Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol Hasl Ternak 22: 42:51. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61 :1129:1139. TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF EKSTRAK n-HEKSANA DAGING KELELAWAR Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Telaah Fitokimia dan Fraksinasi Senyawa Aktif Ekstrak n-Heksana Daging Kelelawar. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian eksplorasi ini dilakukan berdasarkan adanya dugaan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa makan daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit asma, alergi, dan meningkatkan stamina. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen senyawa aktif pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging beberapa ternak konvensional dan ikan, serta bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah uji steroid sebagai skrining awal pada beberapa potongan karkas dan hati kelelawar, yang dilaksanakan selama dua bulan. Tahap kedua terdiri atas ekstraksi dan uji fitokimia daging kelelawar, daging babi, ayam, kelinci, dan ikan cakalang, serta bumbu masak, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto yang dilaksanakan selama enam bulan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode Sokhlet. Telaah fitokimia daging meliputi identifikasi komponen aktif secara kuantitatif, yaitu uji steroid triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl 2 , uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis KLT. Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Struktur kimia senyawa aktif ditentukan menggunakan software masslynx, tools element composition. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Thoopterus nigrescens menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus mengandung senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto menunjukkan persen kelimpahan yang tertinggi adalah senyawa dengan bobot molekul masing-masing 413.2692 C 26 H 37 4 , 324.2691 C 23 H 34 N, 276.2 C 19 H 34 N, dan 319.3 C 21 H 39 N 2 . Keempat bobot molekul mempunyai kemiripan dengan senyawa steroid sebanyak lima senyawa, dan lima senyawa lainnya mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid. Kata kunci : fitokimia, ekstrak n-heksana, senyawa aktif, kelelawar. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Phytochemical Study and Fractionation of the Active Compound of n-Hexane Extract on Bushmeat of Fruit Bats. Under direction of RARAH RATH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU This exploratory research was conducted to study the claim of some people that eating meat of bat can cure asthma, allergies, and increase stamina. The objective of this study was to determine the active compounds in meat of bats as compared to those of conventional livestocks and fish, as well as cooking spices used in the processing of the bat. The research was carried out for 8 months which consisted of two stages. The first stage was a steroid test as an initial screening on a few pieces of carcass and liver bats, carried out for two months. The second stage consisted of the extraction and phytochemical test from meat of bats, pork, chicken, rabbit, and tuna, as well as spices, followed by isolation, fractionation, and characterization of n-Hexane extract of Pteropus alecto, held for six months. Phytochemical study of meat included identification of active compouns, namely quantitative test steroidtriterpenoid using Lieberman Burchard reagent, the alkaloid test using reagents Dragendrof, Meyer reagents, reagent Bouchardat, the total phenolic using AlCl2 reagent, flavonoids test using Mg and concentrated HCl. Fractionation of the active compound was done by using column chromatography and thin layer chromatography. Characterization of the fractionation was done through the determination of molecular weight by the method of liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Chemical structure of the active compounds was determined by using masslynx software, tools element composition. The results of initial screening indicated that boneless carcass and liver of Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, and Thoopterus nigrescens showed a steroid compound. The second stage showed that the boneless carcass of Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, and Rousettus amplexicaudatus showed steroids and alkaloids, while Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, Thopterus sp, pork, rabbit, and fish contained only steroid compounds. The results of the initial screening of the spices showed the existence of triterpenoid compounds, flavonoids, and alkaloids. The results of the characterization of the isolated extract n-Hexane Pteropus alecto showed that the highest abundance in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 C 26 H 37 4 , 324.2691 C 23 H 34 N, 276.2 C 19 H 34 N, and 319.3 C 21 H 39 N 2 . The four molecular weights observed that have molecular structure similar to steroid compounds were five compounds and five compounds others of molecular structures found similar to alkaloid. Keywords: phytochemicals, extracts n-Hexane, the active compound, bats. Pendahuluan Tuntutan sebagian konsumen terhadap bahan pangan dewasa ini semakin bergeser, yaitu pangan yang diminati adalah pangan yang bersifat fungsional. Artinya, bukan saja memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh Wijaya 2002. Suatu bahan pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, dan memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi Gibson Williams 2000. Definisi pangan fungsional menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan UU No 7 1996, BPOM RI 2011. Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan kelelawar sebagai lauk yang dikenal dengan nama paniki. Berdasarkan informasi di media masa dan wawancara langsung dengan konsumen, dipercayai bahwa daging dan hati kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, seperti asma, alergi, juga dapat mempertahankan stamina bagi pria atau wanita. Diduga bahwa daging kelelawar mengandung senyawa aktif ketotifen dan steroid. Berdasarkan bank data, ketotifen merupakan senyawa pemblokir pelepasan mediator inflamasi PubChem, Drug Bank. Steroid merupakan senyawa aktif yang terdapat pada hewan yang berfungsi sebagai hormon pengatur tumbuh Yohny et al 2003, Handayani et al. 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabai, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan daging kelelawar olahan kaya akan komponen aktif. Darusman et al. 2007 melaporkan bahwa kandungan senyawa aktif pada kunyit adalah flavonoid dan triterpenoid, kandungan cabe rawit adalah flavonoid, sedangkan kandungan jahe adalah triterpenoid. Rustam et al. 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol kunyit mempunyai efek antiinflamasi pada tikus. Pada saat ini telah banyak dilakukan studi terkait keberadaan senyawa bioaktif dalam bahan nabati atau tumbuhan, sedangkan eksplorasi satwa, hewan, dan ternak masih sangat sedikit sekali dipelajari, terlebih yang berkaitan dengan sumber dayakekayaan hayati lokal Indonesia. Laporan ilmiah yang mengungkapkan penggunaan daging kelelawar sebagai bahan pangan yang bersifat fungsional sampai saat ini belum tersedia. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat akan keistimewaan daging kelelawar untuk menyembuhkan penyakit asma perlu dibuktikan secara ilmiah. Identifikasi dan karakterisasi senyawa- senyawa aktif yang terdapat di dalam daging kelelawar sangat berkaitan erat dengan pengembangan ilmu pengetahuan karena akan mengaplikasikan berbagai metode ekstraksi hingga pemurnian untuk mendapatkan jenis senyawa aktif yang bertanggung jawab terhadap pengobatan penyakit asma. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan telaah fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif ekstrak n-Heksana dari daging kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi secara kualitatif senyawa-senyawa aktif dan karakterisasi senyawa-senyawa aktif dalam daging kelelawar melalui penentuan bobot molekul. Teridentifikasinya senyawa-senyawa aktif akan menjawab berbagai kepercayaanpemeo yang beredar di masyarakat dan kesesuaian klaim daging kelelawar sebagai pangan yang bersifat fungsional. Diharapkan, dengan diketahuinya beberapa keistimewaan daging kelelawar, pelestarian dan pemanfaatan hewan ini dapat diseimbangkan. Berdasarkan informasi ini pemerintah dapat menindaklanjuti dengan program pelestarian kelelawar di wilayah Sulawesi sebagai plasma nutfah, sekaligus membudidayakannya agar terhindar dari kepunahan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu temuan baru untuk dapat menjelaskan secara ilmiah keterkaitan antara konsumsi daging kelelawar dengan pengobatan penyakit asma. Studi lanjut secara genetik molekuler di antaranya melalui genotyping terhadap spesies kelelawar, khususnya di Sulawesi dan secara umum di Indonesia, akan terbuka, didasari dengan pembuktian keberadaan senyawa aktif dari hasil penelitian ini nantinya. Penelitian ini, dengan demikian, akan menyumbangkan satu penemuan baru dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk senyawa- senyawa aktif yang terdapat pada produk hewani. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang terdapat dalam daging kelelawar dan bumbu-bumbu sebagai bahan pangan. Kepercayaan akan kegunaan konsumsi daging kelelawar sebagai obat juga mengantarkan penelitian ini untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa aktif golongan alkaloid dan steroid yang terdapat dalam daging kelelawar. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk proses pengeringan daging, Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, IPB untuk telaah fitokimia dan fraksinasi senyawa aktif, dan Laboratorium Biotek, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang, untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap pertama, yaitu uji pendahuluan pada Oktober-Desember 2010. Tahap kedua pada Oktober 2011 sampai April 2012. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap satu sebagai uji pendahuluan adalah 3 ekor kelelawar P. alecto. Jenis kelelawar tahap kedua adalah 37 ekor A. celebensis, 20 ekor N. cephalotes, 20 ekor P. alecto, 7 ekor Pteropus sp, 20 ekor R. amplexicaudatus, 10 ekor T. nigrescens, 5 ekor Thoopterus sp 1, 6 ekor Thoopterus sp 2 yang diperoleh dari beberapa lokasi di Sulawesi, 2 kg daging ayam, 2 kg daging babi, dan 2 kg ikan cakalang yang diperoleh di Pasar Bersehati Manado, 2 kg daging kelinci yang diperoleh dari peternakan rakyat di Bogor, serta bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas berbagai jenis pelarut organik teknis dan proanalisis, yaitu n-heksana, dietil eter, etil asetat, metanol, etanol, kloroform, Pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Dragendrof, Pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, HCl, FeCl 3 , Mg, amyl alkohol, amonia, dan silica gel 60, 70-230 mesh, E. Merck untuk kromatografi kolom, silica gel 60 F 254 untuk kromatografi lapis tipis. Peralatan yang digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan analitik, dissecting set, camera digital, food processor, cool box, lempeng tetes, seperangkat alat sokhlet, oven, seperangkat alat kromatografi kolom dengan panjang kolom 40 cm, dan diameter1.8 cm, vacuum rotary evoporator bunchi R 114 yang dilengkapi dengan sistem vakum bunchi B 169, oven, lemari asam, sinar UV 254 original hanau floutest, pipa kapiler, dan seperangkat alat LC-MS, seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof, jenis kolom acquatif BEH 1.7 μm C18 diameter 2.1 mm x 50 mm. Metode Penelitian Penelitan Tahap l Penelitian tahap pertama adalah uji pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui bagian mana dari komponen karkas dan non karkas kelelawar yang mempunyai zat aktif, dan jenis ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian. Jenis kelelawar yang digunakan adalah P. alecto. Uji pendahuluan yang dilakukan adalah uji steroid. Metode ekstraksi dilakukan secara dingin dengan maserasi dan secara panas dengan sokhlet. Sebelumnya, kelelawar dipelihara dalam kandang di tempat asalnya kurang lebih dua minggu dan diberi makan buah-buahan, seperti pisang dan pepaya setiap hari. Satu hari sebelum dibawa ke laboratorium kelelawar sudah dibakar kemudian karkasnya disimpan di lemari es suhu 5°C. Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB, dan disimpan pada suhu dingin. Seminggu kemudian, karkas diblender sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setiap sampel diuji sebanyak tiga kali. Analisis sampel terdiri atas: Sampel A adalah bagian daging beserta lemak dan kulit, Sampel B adalah karkas keseluruhan, Sampel C adalah daging tanpa lemak dan kulit, Sampel D adalah bagian hati. Prosedur kerja uji pendahuluan adalah sebagai berikut. Ekstraksi Dingin dengan Maserasi. Sebanyak 0.3 g sampel dalam keadaan segar yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan dietil eter sebanyak 5 mL kemudian dikocok menggunakan vorteks sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas dipipet dan diteteskan pada lempeng dan diidentifikasi menggunakan pereaksi Lieberman Buchard. Ekstraksi Panas Menggunakan Metode Sokhlet AOAC, 1995 Sejumlah sampel daging yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 80 º C selama 12 jam, dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk menyerupai timbel, kemudian ditutup dengan kapas wol bebas lemak. Timbel tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet, kemudian alat ekstraksi dipasangkan dengan labu lemak di bawahnya. Pelarut n-heksana dituangkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet sesuai dengan ukuran yang digunakan, alat ekstraksi sokhlet dipasang pada alat kondensator di atasnya. Selanjutnya, dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun ke dalam labu lemak berwarna jernih. Timbel dikeluarkan dan pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi selama satu jam. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C selama satu jam dan didinginkan dalam desikator. Untuk pengujian steroid, ekstrak sebanyak 0.1 g ditambahkan kloroform dan air dengan perbandingan 1:1 kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok dan didiamkan sampai berbentuk dua lapisan. Lapisan bawah disaring dan filtratnya dipipet kemudian diteteskan ke plat tetes. Setelah kering ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard. Penelitian Tahap ll Hasil pengujian tahap pertama merupakan rekomendasi untuk uji fitokimia tahap kedua. Kelelawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar yang ditangkap langsung di habitatnya yang langsung dipotong kemudian diambil bagian karkasnya dan dikeringkan, sedangkan daging ternak konvensional dan ikan serta bumbu masak diambil di pasar tradisional. Prosedur kerja penelitian tahap kedua adalah sebagai berikut. Pengeringan Sampel Sampel daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang yang digunakan dipotong-potong tipis dengan ukuran 1-3 cm, sedangkan bumbu masak dihaluskan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80 º C salama 6-12 jam sampai daging dan bumbu masak mudah dihancurkan, kemudian dihaluskan, lalu dikemas dalam plastik untuk dianalisis. Sampel daging diekstraksi dengan pelarut n-heksana menggunakan sokhlet, kemudian ekstrak n-heksana hasil akstraksi diuji dengan metode fitokimia. Bumbu masak langsung diuji fitokimianya. Uji Fitokimia Daging dan Bumbu Masak Uji fitokimia merupakan skrining awal. Hasil uji fitokimia untuk ekstrak n-heksana yang positif mengandung senyawa aktif dilanjutkan dengan isolasi dan fraksinasi untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Uji fitokimia daging secara kuantitatif meliputi, pemeriksaan alkaloid, flavonoid, fenolik, dan triterpenoid, dengan prosedur kerja sebagai berikut. Persiapan Bahan Uji. Ekstrak n-heksana sebanyak 0.1 g ditambahkan pelarut campuran kloroform dan aquades dengan perbandingan 1:1. Campuran dikocok dalam tabung reaksi dan dibiarkan sejenak sehingga berbentuk dua lapisan. Lapisan yang berada di atas digunakan untuk pemeriksaan fenolik dan flavonoid. Pemeriksaan Alkaloid. Ekstrak n-heksana sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan ammonia 10 dan CHCl 3 10 mL kemudian dikocok. Lapisan CHCl 3 diambil dan ditambahkan H 2 SO 4 , kemudian dikocok lagi, fase cairnya diambil dan dibagi menjadi tiga bagian. Ke dalam masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wegner. Warna merah yang terbentuk pada sampel yang diberikan pereaksi Dragendrof, endapan warna putih pada sampel yang ditambahkan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat kemerahan pada sampel yang ditambahkan pereaksi Wegner menunjukkan bahwa sampel positif mengandung alkanoid. Pemeriksaan Fenolik. Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes, kemudian ditambahkan pereaksi AlCl 3 . Reaksi positif adalah bila terbentuk warna hijau, biru, atau ungu. Pemeriksaan Senyawa Flavonoid. Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan sedikit bubuk logam Mg serta beberapa tetes asam klorida pekat. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna merah kuning atau jingga Pemeriksaan Senyawa Saponin Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian residunya dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambahkan aquades sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan selama 5 menit sampai mendidih. Kemudian, didinginkan dan dikocok vertikal sampai membentuk busa. Kemudian ditambahkan HCl 2N dan didiamkan selama 10 menit. Positif mengandung saponin, jika busa dalam tabung reaksi tidak berubah. Pemeriksaan Senyawa Triterpenoid Steroid. Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian filtratnya dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes kemudian diangin-anginkan. Identifikasi keberadaan senyawa steroid dilakukan dengan reaksi warna dengan pereaksi Lieberman Burchard. Triterpenoid positif apabila terbentuk warna merah atau violet, steroid positif apabila terbentuk warna hijau atau biru. Isolasi Ekstrak n-Heksana Ekstrak n-heksana yang positif mengandung steroid dan alkoloid selanjutnya diisolasi. Isolasi senyawa steroid dilakukan pada tiga jenis kelelawar, yaitu A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus, serta daging babi. Dasar pertimbangan memilih ketiga jenis kelelawar ini adalah A. celebensis merupakan endemik Sulawesi, R. amplexicaudatus penyebaranya luas, P. alecto sudah dikomersialkan dan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern di daerah Sulawesi. Selain itu jumlah sampelnya tersedia. Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi senyawa steroid dapat dilihat pada Gambar 20 - dipotong-potong halus - dikeringkan 80 º C, 12 jam - diekstrak dengan n-heksana - diuji fitokimia - disabunkan dengan KOH - direfluks 70 C, 1jam -difraksinasi dgn dietil eter - dievaporasi -uji L-B -uji L-B -dipekatkan Gambar 20 Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana. Ekstrak n-heksana pekat sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu ukur, disabunkan dengan menambahkan KOH kristal pa sebanyak 9.5 g dan 50 mL etanol 95, dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dan ditambahkan aquades sebanyak 50 mL, dan dimasukkan ke dalam labu kocok. Kemudian ditambahkan dietil eter sebanyak 50 mL dan dikocok-kocok. Didiamkan sampai terjadi pemisahan. Lapisan atas ditampung dalam gelas kimia, dan ditambahkan dietil eter 20 mL kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu kocok. Pemisahan ini diulangi sampai benar-benar lapisan atas bebas dari lemak dan air. Hasil tampungan dicuci dengan air sampai alkali dengan menggunakan indikator pp. Warna pink berarti belum bebas sabun, dan warna netral berarti Daging segar Bahan kering Ekstrak n-heksana Ekstrak n-heksana Ekstrak n-heksana Steroid Alkaloid Flavonoid Fenolik Saponin Fase tak tersabunkan Fase tersabunkan Steroid - Steroid + bebas dari sabun. Fase yang tidak tersabunkan dipekatkan menggunakan evaporator sampai bebas pelarut. Kedua fase ini kemudian diuji dengan pereaksi Lieberman Buchart yang terdiri atas kloroform, asam asetat anhidrid dan asam sulfat pekat. Pemisahan Fase Tak Tersabunkan Untuk melihat larutan pengembang yang baik, maka fase yang tak tersabunkan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis KLT. Fase tak tersabunkan ditotolkan sebanyak 3 ulangan dengan jarak ulangan 1 cm pada masing-masing plat kromatografi lapis tipis yang sudah diaktifkan pada suhu 80 º C selama 15 menit, dan dipotong-potong ukuran 5 cm x 6.5 cm dengan jarak eluen dari titik penotolan dan batas atas 5 cm. Masing-masing Plat KLT yang sudah ditotolkan ekstrak tak tersabunkan dimasukkan ke dalam masing-masing vial yang berisikan larutan pengembang tunggal yang sudah dijenuhkan, yaitu n- hexana, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan etil asetat sampai pergerakan eluen mencapai batas atas KLT. Setelah itu, plat KLT diangkat dan diangin- anginkan. Untuk melihat noda-noda pada plat KLT digunakan sinar UV. Melihat jarak noda dan jumlah noda yang terbentuk pada plat KLT maka dilakukan penggabungan dua jenis pelarut. Hasil penggabungan dua jenis eluen diperoleh gabungan pelarut, yaitu n-heksana-dietil eter 80:20 dengan jumlah noda empat titik dengan jarak noda yang sama. Setelah diperoleh eluen yang terbaik, sebanyak 1 g fase tak tersabunkan dipisahkan dengan cara kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel 60 70-230 mesh sebanyak 80 g dengan panjang kolom 40 cm, dan diameter 1.8 cm menggunakan fase gerak n-heksana- etil asetat dan difraksinasi secara gradient. Fraksi-fraksi ditampung dalam tabung reaksi yang sudah diberi label T1-T125 setiap 5 menit. Masing-masing fraksi dianalisis secara kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola Rf yang sama digabungkan menjadi satu kemudian diuapkan. Semua fraksi-fraksi diuji steroid dan alkaloid. Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul Identifikasi dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectroscopy LC- MS. Penentuan struktur molekul ditentukan dengan bantuan software masslynx, tools element composition. Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan ditunjukkan dalam Gambar 21. Analisis Data Hasil analisis fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif diuraikan secara deskriptif. - di KK dengan silika gel 60 70-230 mesh - dielusi secara gradient dengan eluen n- heksana-EtOAc - ditampung setiap 5 menit - hasilnya di KLT dengan larutan pengembang n-heksana-EtOAc 80 : 20 - disinar UV - fraksinasi dengan pola Rf sama digabung -LC-MS -LC-MS -Software masslynx, -Software masslynx, tools element composition tools element composition Gambar 21 Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan. Fase tak tersabunkan 1 g Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D Fraksi E Fraksi F Bobot molekul Bobot molekul Struktur molekul Struktur molekul Hasil dan Pembahasan Penelitian Tahap l Penelitian tahap pertama merupakan uji pendahuluan. Berdasarkan uji pendahuluan maka diketahui bahwa pada hati, daging bersama kulit, dan daging campuran semua bagian tubuh yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan yang dimaserasi, memiliki komponen senyawa steroid. Identifikasi senyawa steroid diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sebelum dan sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard. Perubahan warna sampel disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P alecto yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi Komponen tubuh Maserasi Sokhlet Warna awal Warna akhir Warna awal Warna akhir A Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun B Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun C Bening putih gading - - D Bening biru kehijauan - - Tanda - tidak dianalisis, A: daging dan kulit, B: karkas keseluruhan, C: daging tanpa kulit, D: hati Uji Lieberman Buchard pada penelitian pendahuluan ini memperlihatkan bahwa sampel A, B, dan D menunjukkan perubahan warna dari warna bening menjadi biru kehijauan, sedangkan sampel C tidak memperlihatkan perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B, dan D teridentifikasi positif memiliki senyawa steroid. Harborne 2006 menyatakan bahwa senyawa aktif dapat diidentifikasikan dari warna yang dihasilkan dengan menggunakan pereaksi Lierbemann Buchard, warna hijau menunjukkan steroid, warna merah, merah muda, dan ungu menunjukkan triterpenoid. Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas. Secara fisiologis, steroid anabolik dapat membuat seseorang menjadi agresif. Johnny et al. 2003 melaporkan bahwa steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu. Saleh 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid clionesterol mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL kg bb mencit jantan. Penelitian Tahap II Uji fitokimia Daging Kelelawar, Ternak Konvensional, dan Ikan Cakalang Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, maka penelitian tahapan kedua ditetapkan untuk mengambil sampel karkas tanpa tulang dengan menggunakan metode ekstraksi secara panas, yaitu sokhlet. Pada penelitian ini pengujian fitokimia meliputi beberapa spesies daging kelelawar yang ditangkap di beberapa daerah, dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti ayam, babi, kelinci, dan ikan cakalang. Tabel 8 menunjukkan bahwa semua jenis kelelawar, daging kelinci, dan ikan cakalang positif mengandung senyawa steroid kecuali daging ayam, dan ada 3 spesies kelelawar yang mengandung senyawa alkaloid. Tabel 8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging ternak konvensional serta ikan cakalang Jenis daging Komponen aktif Steroid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin D M W 1 2 3 Daging kelelawar A. celebensis N. cephalotes P. alecto Pteropus sp R. amplexicaudatus T.nigrescens Thoopterus sp 1 Thoopterus sp 2 ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ - - - - - - - - - + + - - + - - - + + - - + - - - + + - - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Daging kelinci + - - - - - - - - Daging ayam - - - - - - - - + Daging babi + - - - - - - - - Ikan cakalang ++ - - - - - - - - W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak terdapat senyawa aktif Intensitas warna senyawa steroid sangat kuat pada T. nigrescens +++ daripada A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, Pteropus sp, Thoopterus sp 1, Thoopterus sp 2, R. amplexicaudatus, serta ikan cakalang ++, sedangkan daging babi dan kelinci intensitas warnanya lemah + seperti pada Lampiran 1. Kuatnya intensitas warna pada semua jenis daging kelelawar diduga karena jenis makanan yang dikonsumsi kelelawar di alam dan kemampuan tubuh kelelawar untuk memetabolisme nutrisi dalam tubuh terutama karbohidrat yang akan menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor untuk pembentukan asam mevalonat yang akan menghasilkan steroid. Uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner menunjukkan bahwa P. alecto, N. cephalotes, dan T. nigrescens mengandung senyawa alkaloid, walaupun intensitas warna lemah dan endapan yang terbentuk kurang +, seperti pada Lampiran 12. Identifikasi senyawa alkaloid diketahui dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi oranye dengan endapan oranye pada pereaksi Dragendrof, warna bening menjadi putih keruh dan endapan putih keruh pada pereaksi Meyer, dan perubahan warna bening menjadi cokelat dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. Terdapatnya kandungan alkaloid pada N. cephalotes, P. alecto, dan T.nigrescens diduga karena pakan yang dikonsumsi kelelawar jenis ini mengandung nutrisi yang dapat dijadikan sebagai prekursor pembentukan alkaloid dan adanya kemampuan tubuh untuk membentuk asam- asam amino, seperti lisina, histidina, dan tirosina yang merupakan cikal bakal terbentuknya alkaloid Uji fitokimia Bumbu Masak Pengujian fitokimia menunjukkan bahwa bumbu masak mengandung senyawa triterpenoid dan alkaloid. Tabel 9 menunjukkan bahwa cabe rawit, jahe merah, kunyit, daun sereh, dan gabungan dari semua jenis bumbu masak positif mengandung senyawa triterpenoid dan senyawa flavonoid, sedangkan kunyit dan daun bawang hanya menggandung triterpenoid. Identifikasi senyawa triterpenoid diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard menjadi merah muda dengan intensitas warna setiap bumbu yang berbeda. Intensitas warna senyawa triterpenoid sangat kuat pada kunyit, daun sereh, dan bumbu campur +++ daripada cabe rawit ++, sedangkan jahe merah dan daun bawang intensitas warnanya lemah +, seperti pada Lampiran 13. Uji flavonoid menunjukkan bahwa jahe, sereh, cabe rawit, dan campuran semua bumbu masak menggandung flavonoid. Identifikasi flavonoid diketahui dengan adanya perubahan warna menjadi kuning untuk ekstrak jahe, cabe rawit, dan campuran bumbu masak serta warna jingga untuk ekstrak sereh, dengan intensitas perubahan warna yang sangat kuat, seperti pada Lampiran 14. Tabel 9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar Jenis bumbu Komponen aktif Triterpenoid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin D M W Cabe rawit ++ - - - - +++ - Jahe merah + - - - - +++ - Kunyit +++ - - - - - - Bawang daun + - - - - - - Bawang merah - - - - - - - Daun sereh +++ - - - - +++ - Daun jeruk purut - - - - - - Bumbu campur +++ - - - - +++ - W:pereaksi Wagner; M:pereaksi Meyer; D:pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak terdapat senyawa aktif Isolasi Senyawa Steroid dengan Penyabunan Prinsip penyabunan ialah memisahkan senyawa-senyawa lemak selain senyawa-senyawa yang mengandung steroid, yaitu fase yang tersabunkan adalah lemak, dan fase tidak tersabunkan mengandung senyawa steroid. Tabel 10 menunjukkan hasil uji Lieberman Buchart dan perolehan bobot ekstrak tak tersabunkan dari masing-masing ekstrak n- heksana. Tabel 10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar dan daging babi Jenis ekstrak n-heksana Bobot ekstrak n-heksana g Bobot fase tidak tersabunkan g Uji steroid A. celebensis 70 1.225 Warna biru P. alecto 130 3.887 Warna biru R. amplexicaudatus 55 0.991 Warna biru Daging babi 10 0.204 Warna biru Hasil penyabunan ekstrak n-heksana A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus serta daging babi yang difraksinasi dengan menggunakan dietil eter menunjukkan bahwa fase tidak tersabunkan mengandung steroid, dan fase yang tidak tersabunkan tidak mengandung steroid. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tak Tersabunkan Berdasarkan banyaknya fase tak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar dan daging babi, maka untuk pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom diambil satu spesies yang jumlah fase tidak tersabunkan lebih banyak, yaitu P. alecto. Untuk menguji pelarut terbaik yang digunakan dalam kromatografi kolom digunakan enam pelarut tunggal sebagai analisis awal menggunakan kromatografi lapis tipis. Gambar 22 memperlihatkan pola noda yang terbentuk pada KLT dari fase tak tersabunkkan ekstrak n-heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal. Kloroform Etanol Etil asetat n-Heksana Dietil eter Metanol Gambar 22 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n- heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal. Berdasarkan pada pola noda yang terbentuk dari keenam pelarut tunggal dilakukan kombinasi pelarut, yaitu Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat. Gambar 23 memperlihatkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis kombinasi pelarut Etanol –etil asetat 50:50 dan n-heksana-etil asetat 50:50 Etanol –etil asetat 50:50 n-Heksana-etil asetat50:50 Gambar 23 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak n- heksana pada pelarut Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat. Berdasarkan pola noda dari kedua kombinasi pelarut maka dipilih kombinasi n-heksana-etil asetat. Hasil analisis kombinasi n-heksana-etil asetat yang terbaik untuk proses kromatografi kolom dari fraksi yang tidak tersabunkan adalah n-heksana-etil asetat 80 :20, dengan empat noda dan nilai Rf 1 = 0.17, Rf 2 = 0.37, Rf 3 = 0.73 dan Rf 4 =1. Gambar 24 menunjukkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto dengan perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda. n-Heksana - etil asetat 50 :50 n-Heksana - etil asetat 70 :30 n-Heksana - etil asetat 80 :20 Gambar 24 Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda. Hasil analisis dengan kromatografi kolom terhadap satu gram fase tidak tersabunkan ekstak n-Hexana P. alecto diperoleh sebanyak 126 fraksi. Setelah dianalisis dengan KLT diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi-fraksi yang menampakkan pola yang sama pada kromatogram lapis tipis adalah fraksi A T1- T12 seberat 0.0436 g, fraksi B T13-T36 seberat 0.0378 g, fraksi C T37-T58 seberat 0.237 g , fraksi D T59-T67 seberat 0.127 g, fraksi E T68-T76 seberat 0.0144 g, dan fraksi F T77-T126 seberat 0.358 g. Kromatografi lapis tipis dari keenam fraksi gabungan dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25 Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto. Hasil analisis KLT terhadap enam fraksi gabungan menunjukkan bahwa fraksi A memiliki satu noda tebal dengan nilai Rf = 0.92, fraksi B memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.30 dan 0.63, fraksi C memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.41 dan 0.58, fraksi D memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.40 dan 0.6, fraksi E memiliki 3 noda dengan nilai Rf masing masing 0.16, 0.25, dan 0.46, dan fraksi F memiliki dua noda dengan nilai Rf 0.73 dan 0.86. Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul Analisis selanjutnya adalah menentukan bobot molekul senyawa hasil fraksinasi kolom menggunakan LC-MS seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof , kolom acquatif BEH 1.7 μm C18, 2.1 mm x 50 mm, dan pendugaan rumus molekul serta struktur molekul menggunakan bantuan software masslynx, tools element composition serta database melalui database ChemSpider. Hasil LC-MS dari fraksi A menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi secara berurutan adalah 2.3, 2.75, 3.06, 3.19, 3.27, 3.75, 3,97, 4.32, 4.73, 5.00 dan 5.26. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.75 dan 4.73. Spektrum massa dari fraksi A ditunjukkan dalam Gambar 26. Gambar 26 Spektrum MS dari fraksi A. Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.75 mempunyai rumus molekul C 26 H 37 O 4 dan bobot molekul 413.2692, dan senyawa dengan waktu retensi 4.73 mempunyai rumus molekul C 23 H 34 N dan bobot molekul 324.2691. Berdasarkan database senyawa dengan bobot molekul 413.26 mempunyai lima kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 27. 17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3- oxoestr-4-en-4-olate  Massa: 413.269989013672 Da  11-6-Hydroxy-2,5,7,8- tetramethyl-3,4-dihydro-2H- chromen-2-yl-4,8-dimethyl-4,8- undecadienoate  Massa: 413.269989013672 Da  O 15 -3-Carboxylato-3- methyl-2- butanylretinoic acid  Massa: 413.269745 Da  4-Octyloxy-4-[2- pentyloxyphenyl]-2,5- cyclohexadiene-1-carboxylate  Massa: 413.269745 Da 2-4-isobutylphenylpropanoate; 2-4-isobutylphenylpropanoic acid; molecular hydrogen  Massa: 413.269745 Da Gambar 27 Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26. Dari kelima struktur tersebut satu senyawa mempunyai kemiripan dengan struktur molekul senyawa steroid golongan estron, yaitu 17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate. Estron adalah kelompok steroid jenis estrogen yang merupakan hormon seks wanita yang diproduksi di kelenjar adrenal dan ovari dan berkaitan dengan pengembangan sel telur dan perkembangan seks sekunder pada wanita Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003. Senyawa dengan bobot molekul 324.27 mempunyai enam kemungkinan senyawa seperti pada Gambar 28. Berdasarkan strukrur molekulnya, senyawa N,N-Diethyl-N-[4-3-phenyl-2butanylbenzyl]ethanaminium dan [4-1-ethyl-3- phenyl-pentyl phenyl]methyl-trimethyl-ammonium tidak memiliki kemiripan dengan senyawa steroid. Kedua senyawa ini memiliki kemiripan dengan turunan benzena, dan cincin benzena sebagai subtituen pada alkana. Empat senyawa, yaitu 1-{[5R,7S-3-4-Methylphenyl-1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1-{[3-4-Methylphenyl-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1- 7-Isopropyl-1-me thyl-4-azulenyl-2-methyl-2-propanyl]-1-methylpyrrolidinium mempunyai kemi ripan dengan struktur molekul alkaloid golongan piridin- piperidin karena mengandung cincin karbon dan satu atom nitrogen dalam satu cincin karbon sebagai struktur inti. Senyawa alkaloid golongan ini terdapat pada tumbuhan Piperis nigri lada hitam, dan tumbuhan areca catechu pohon pinang yang berguna sebagai obat cacing dan penenang Kristina Syahid 2008.  1-[1-7-Isopropyl-1-methyl-4- azulenyl-2-methyl-2propanyl]- 1-methylpyrrolidinium  Massa: 324.268585 Da  N,N-Diethyl-N-[4-3-phenyl-2- butanylbenzyl]ethanaminium  Massa: 324.268585 Da  1-{[3-4- Methylphenyladamantan-1- yl]methyl}piperidinium  Massa: 324.268585 Da   1-{[5R,7S-3-4- Methylphenyladamantan-1-yl] methyl}piperidinium  Massa: 324.268585 Da   1-Dodecyl-3-phenylpyridinium  Massa: 324.269012451172 Da   [4-1-ethyl-3-phenyl- pentylphenyl]methyl- trimethyl-ammonium  Massa: 324.269 Da    Gambar 28 Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27. Keempat senyawa juga mempunyai kemiripan struktur molekul dengan senyawa Kitotifen Gambar 29 yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit, anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi.  4-1-Methyl-4-piperidinylidene-4,9-dihydro-10H- benzo[4,5]cyclohepta[1,2-b]thiophen-10-one  Molecular Formula: C 19 H 19 NOS  Monoisotopic mass: 309.118744 Da Gambar 29 Struktur molekul senyawa kitotifen. Hasil LC-MS dari fraksi C menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi secara berurutan adalah 2.16, 2.23, 2.82, 3.11, 3.21, 3.39, 4.05, 4.58, 4.62, 4.95 dan 5.18. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.21 dan 4.62 dengan bobot molekul 276.2 dan 319.3. Spektrum massa dari fraksi C ditunjukkan dalam Gambar 30. Gambar 30 Spektrum MS dari fraksi C. Hasil analisis spektrum massa menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.21 mempunyai molekul 276.26, dan senyawa dengan waktu retensi 4.62 mempunyai bobot molekul 319.31. Berdasarkan hasil analisis menggunakan bantuan software senyawa dengan bobot molekul 276.26 mempunyai rumus molekul C 19 H 34 N dengan 17 kemungkinan senyawa. Empat senyawa di antaranya mempunyai kemiripan dengan steroid golongan androstan. Salah satu jenis hidrokarbon induk steroid dari keempat senyawa ini adalah androstan dengan gugus fungsi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan rantai samping NH 3 yang melekat pada atom C nomor 17, seperti pada Gambar 31.   5α,14β,17β- Androstan-17- aminium  Massa: 276.268585 Da  5β,14β,17β- Androstan-17- aminium  Massa: 276.268585 Da   5α,8α,14β,17β- Androstan-17- aminium  Massa: 276.268585Da   5β,8α,14β,17β- Androstan-17- aminium  Massa: 276.268585 Da Gambar 31 Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26858. Harold et al. 2003 menyatakan bahwa ciri umum struktur steroid adalah sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggotakan enam, dan cincin D beranggota lima, biasanya ada substitusi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan semacam rantai samping yang melekat pada C-17. Adrostan merupakan hormon seks pada pria yang masuk ke dalam kelompok androgen yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang berkaitan dengan perkembangan seks sekunder pada pria Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003. Senyawa dengan bobot molekul 319.31 mempunyai rumus molekul C 21 H 39 N 2 dengan dua kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 32. Berdasarkan pada struktur molekul, kedua senyawa tersebut mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid, karena adanya atom nitrogen dalam struktur lingkar heterosklik. Berdasarkan pada atom nitrogen, senyawa 3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3,9- dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo[1,2-a:1,2-c] pyrimi din-4-ium masuk ke dalam alkaloid heterosiklik golongan imidazol yang atom nitrogen terdapat pada cincin karbon dan cincin karbonnya mengandung dua atom nitrogen. Alkaloid golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata dan untuk meningkatkan sirkulasi darah. Santos Moreno 2004 melaporkan bahwa alkaloid pilocarpine dari tamanam Pilocarpus digunakan sebagai obat tetes mata untuk pengobatan glaukoma, serta untuk stimulasi keringat dan kelenjar air mata Sawaya et al. 2011.  4-Amino-1-hexadecylpyridinium  Massa: 319.310791 Da  3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3,9-dipropyl- 2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H- dipyrrolo[1,2-a:1,2-c]pyrimidin-4-ium  Massa: 319.310791 Da Gambar 32 Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.31. Harbone 2006 mengatakan bahwa tidak satu pun definisi alkaloid yang memuaskan, tetapi umumnya alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, dan biasanya dalam cincin heterosiklik, sekurang-kurangnya satu atom di antara cincin harus merupakan heteroatom, yaitu atom yang bukan karbon. Adanya senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, serta senyawa triterpenoid dan flavoinoid pada bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai pangan yang dapat berfungsi sebagai pangan fungsional. Adanya kemiripan senyawa steroid golongan estron dan androstan serta senyawa alkaloid golongan piridin-piperidin dan imidazol pada daging kelelawar P. alecto maka dugaan daging kelelawar dapat membantu proses penyembuhan asma, alergi dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima Simpulan Hasil skrining tahap awal pada bagian hati, daging bersama kulit, dan karkas kelelawar P. alecto menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil uji fitokimia tahap kedua menunjukkan N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa aktif yang beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n- heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol. Daftar Pustaka [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. Arlington. Virginia. USA. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK. 00.05.52.0685. 2005. Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. BPOM RI. Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69 1 :67-72. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari spektrum infra merah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 123:154-162. Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains Teknol Farm131:1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. ITB Bandung Harold H, LE Craine, DH Hart. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta: Erlangga. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas Brine Shrimp Lethality test dan antioksidan 1.1-diphenyl-2- pikrilhydrazyl dari ekstrak daun saga Abrus precatorius L.. Makara Sains 131:50-54. Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa Cocos nucifera, pinang Areca catechu dan aren Arenga pinnata sebagai tanaman obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. terhubung berkala http:balittro.litbang.deptan.go.idind 7 Mei 2012 Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill. Rustam E, Atamasari I, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol kunyit curcuma domestica val. pada tikus putih jantan galur wistar. J Sains Teknol 122:112-115. Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan cendana Santalum album Linn. Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan. Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137. Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of pilocapus Rustaceae as sources of pilocarine and other imidazole alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 3. Absrtact. http:www.springerlink.comcontent01027wm4011mr53w. 7 mei 2012 Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya Carica papaya L.. J Kim 21:15- 18. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert 24 2: 47-55. KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING KELELAWAR, SAPI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Karakteristik Organoleptik Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Data hasil uji hedonik diolah dengan metode Kruskal-Wallis. Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot. Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata P˂0.05 pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Kesimpulan adalah tingkat kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang. Daging yang disukai adalah daging yang dimasak menggunakan bumbu kari dan rica-rica. Kata kunci : daging kelelawar, tingkat kesukaan, bumbu, kari, rica-rica. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Organoleptic Characteristics of Fruit Bats Meat, Beef, Chicken, and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU The experiment was designed to study the hedonic scaling of the bat meat as compared to beef, chicken, and tuna cooked by steaming, kari, and rica-rica. The organoleptic testing used was hedonic test. The hedonic scale used was 1 to 7. Hedonic test data was processed by the Kruskal-Wallis method. To know the distribution of renponse, data were analyzed using boxplot chart. The analysis showed that various kinds of meat with different ways of processing had significan effect P˂0.05 on flavor, color, aroma, tenderness, and general acceptance of bat meat, beef, chicken, and tuna. The conclusion is the panelist liked the meat of the bat same as beef, chiken, and tuna that were cooked rica-rica and kari. Keywords : fruit bats, hedonic scaling, meat, seasoning, kari, rica-rica Pendahuluan Nilai gizi sangat menentukan kualitas bahan pangan, namun bahan pangan yang diminati konsumen bukan saja dilihat dari nilai gizi yang baik, namun dari penampakan yang menarik, cita rasa yang enak juga aman untuk dikonsumsi. Warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan umum adalah atribut penampakan dan cita rasa suatu pangan yang dikenal sebagai sifat organoleptik Soewarno S. 1981, Setyaningsih et al. 2010. Penilaian setiap orang untuk atribut organoleptik terhadap bahan pangan berbeda-beda sesuai dengan budaya, kebiasaan, bentuk, dan jenis produk. Dengan demikian, bahan pangan yang menurut seseorang disukai belum tentu disukai oleh orang lain. Untuk mengetahui suatu produk disukai atau tidak disukai maka dilakukan analisis organoleptik terhadap bahan pangan, menggunakan indera manusia sebagai instrumen, seperti penglihatan, penciuman, pencicipan, dan perabaan. Metode analisis sensori pada prinsipnya ada tiga jenis, yaitu uji pembedaan, uji deskripsi, dan uji afeksi. Uji afeksi adalah metode yang digunakan untuk mengukur subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Tujuan uji afeksi untuk mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan terhadap produk yang sudah ada atau produk baru. Uji hedonik adalah salah satu uji kesukaan. Dalam uji ini panelis diminta untuk mengemukakan tingkat kesukaannya terhadap suatu produk secara langsung. Uji ini dapat diaplikasi pada pengembangan suatu produk atau pembandingan suatu produk Setyaningsih et al. 2010. Di Indonesia, proses pengolahan bahan pangan sangat bervariasi, baik diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional, pengolahan daging didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan pangan yang diolah supaya diterima konsumen Soewarno 1981. Paniki adalah salah satu produk pangan dengan bahan dasar daging kelelawar yang merupakan pangan eksotik masyarakat di Sulawesi Utara, yang diolah rica-rica dan santan kari, dan bisa diperoleh di rumah-rumah makan tradisional, restoran atau pada upacara keagamaan, dan ucapan syukur di setiap keluarga. Bahkan paniki sudah dikirim ke luar daerah sampai mancanegara karena permintaan secara personal. Walaupun belum ada data ilmiah yang menyatakan seberapa besar tingkat kesukaan masyarakat di Manado dan Minahasa terhadap daging paniki olahan, jika dibandingkan dengan daging olahan yang lainnya, maka daging paniki merupakan salah satu daging favorit yang disukai. Untuk membuktikan tingkat kesukaan masyarakat pada daging paniki olahan, maka telah dilakukan penelitian terhadap daging paniki yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica, dan dibandingkan dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang. Dipilihnya daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang sebagai pembanding karena daging sapi dan ayam bisa dikonsumsi untuk semua kalangan, sedangkan ikan cakalang merupakan menu yang hampir tiap hari tersedia dan sudah dikenal masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Uji organoleptik dilakukan pada Agustus 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah kelelawar jenis Pteropus alecto sebanyak 5 ekor, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang masing-masing sebanyak 2 kg, cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit dan daun jeruk, mentimun, dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, dissecting set, food processor, cawan petri, kompor, format uji, alat tulis menulis, wadah sampel, kapas, dan tisu makan. Metode Penelitian Uji Organoleptik Daging Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang, untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap daging olahan hasil dari tiga cara pengolahan, yaitu direbus, dimasak kari, dan dimasak rica. Kelelawar jenis P. alecto dimatikan dengan cara memotong bagian kepalanya, darahnya ditiriskan, bulunya dibakar menggunakan kompor gas, lalu kepala, sayap, rongga pencernaan, dan pernapasan dikeluarkan. Lalu dipotong-potong berbentuk dadu dan siap untuk dimasak. Daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dari pasar dicuci bersih, lalu dipotong-potong dadu seperti daging kelelawar. Setiap jenis daging dimasak dengan tiga cara, yaitu dikukus, masak kari, dan masak rica-rica, menggunakan bumbu masak cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit, dan daun jeruk dengan perbandingan 100 g : 50 g : 25 g : 10 g : 20 g : 3 g untuk setiap 500 g daging. Bumbu yang digunakan untuk masak rica- rica sama dengan masak kari hanya pada masak kari ditambahkan kunyit dan santan kelapa kental sebanyak 100 mL, sedangkan yang dikukus tidak diberi bumbu. Waktu pemasakan masing-masing selama 20 menit. Sebelum diuji, masing-masing masakan diberi kode sebanyak tiga huruf sebagai berikut : kelelawar kukus KKU, kelelawar masak kari KKA, dan kelelawar masak rica KRI, sapi kukus SKU, sapi masak kari SKA, dan sapi masak rica SRI, ayam kukus AKU, ayam masak kari AKA, dan ayam masak rica ARI, serta ikan cakalang kukus IKU, ikan cakalang masak kari IKA, dan ikan cakalang masak rica IRI. Pengujian organoleptik menggunakan uji hedonik Setyaningsih et al 2010. Jumlah panelis yang digunakan adalah 50 orang panelis tidak terlatih, yaitu mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi yang terdiri atas pria dan wanita pada kelompok umur yang sama. Daging diolah dengan cara masak dan pemberian bumbu yang sama, setelah dimasak bahan uji disajikan secara acak dan dilakukan secara spontan. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1 sampai 7. Pengujian dilakukan pada pukul 08.00 sampai 12.00. Sebelum penelis memberikan tanggapan tentang contoh uji pada format uji, panelis diberikan arahan atau petunjuk tentang apa yang akan mereka lakukan. Untuk menghindari komunikasi antara panelis, antara panelis satu dengan lainnya dipisahkan dengan sekat yang dibuat dari karton ukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm. Komunikasi hanya terjadi antara panelis dan penyaji. Penyajian contoh dilegkapi dengan air minum. Setiap kali panelis pindah contoh uji diwajibkan untuk minum agar supaya tidak terjadi bias terhadap atribut penilaian. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan menggunakan format uji seperti di bawah ini. Form Penilaian Organoleptik Uji Hedonik Nama panelis : Tanggal Pengujian : Bahan uji : Petunjuk 1. Dihadapan Anda terdapat 12 sampel. 2. Anda dimohon untuk memberi penilaian terhadap masing-masing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, kekerasan, dan penerimaan keseluruhan, dengan angka yang sesuai dengan penilaian sebagaimana ditunjukkan pada keterangan notasi. 3. Setiap kali anda mencicipi satu sampel, mohon saudara minum air putih, untuk menetralkan sampel berikutnya. Kode Sampel Tingkat kesukaan yang diuji Rasa Warna Aroma Keempukan Penerimaan Keseluruhan KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI Keterangan notasi : 7 = sangat suka 6 = suka 5 = agak suka 4 = biasa saja 3 = agak tidak suka 2 = tidak suka 1 = sangat tidak suka Diagram alir proses pengolahan sampai pengujian disajikan pada Gambar 33. Untuk analisis keragaman maka data hedonik diubah menjadi skala numerik. Untuk membaca skala hedonik maka angka numerik di belakang koma yang lebih besar dari lima harus dibulatkan ke atas, dan angka numerik di belakang koma di bawah lima harus dibulatkan ke bawah. -darah ditiriskan, -sayap, kepala, rongga pernapasan dan pencernaan dikeluarkan -daging dipisahkan -dibersihkan dengan air -dibagi tiga bagian -dipotong dadu -tanpa bumbu - bumbu kari -bumbu rica - dimasak 20’ - dimasak 20’ -dimasak 20’ - diberi kode - diberi kode - diberi kode -dianalisis -dianalisis -dianalisis - rasa -rasa -rasa -warna -warna -warna -aroma -aroma -aroma -keempukan -keempukan -keempukan -penerimaan umum -penerimaan umum -penerimaan umum Gambar 33 Diagram alir pengolahan daging sampai pengujian organoleptik. Analisis Data Pengujia organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik Setyangsih et al. 2010. Data hasil uji hedonik diolah dengan metode Kruskal-Wallis Gibbons 1975 menggunakan Minitab versi 16. Untuk mengetahui perlakuan mana yang Kelelawar Mati daging daging kukus daging masak kari daging masak rica contoh uji contoh uji contoh uji Daging sapi, ayam dan ikan cakalang Data hedonik Data hedonik Data hedonik berbeda dianalisis menggunakan grafik kotak plot boxplot. Tujuan menggunakan grafik boxplot adalah melihat median dan sebaran data respons panelis terhadap contoh uji. Prinsip dari boxplot adalah 50 dari data pengamatan menyebar dalam kotak box, dan median adalah 50 respons penilaian panelis seperti pada nilai median kotak plot. Garis atas dan bawah yang merupakan perpanjangan dari kotak whiskers merupakan nilai yang lebih tinggi atau rendah dari data dalam kotak. Nilai di luar badan boxplot merupakan nilai outlier, yaitu data yang letaknya 1.5 kali panjang kotak diukur dari garis atas dan bawah kotak, dan nilai extrim adalah nilai-nilai yang letaknya lebih dari 3 kali panjang kotak diukur dari garis atas dan bawah kotak. Susunan perlakuan uji hedonik adalah sebagai berikut. Perlakuan 1 adalah daging kelelawar kukus KKU, perlakuan 2 adalah daging kelelawar masak kari KKA, perlakuan 3 adalah daging kelelawar masak rica KRI, perlakuan 4 adalah daging sapi kukus SKU, perlakuan 5 adalah daging sapi masak kari SKA, perlakuan 6 adalah daging sapi masak rica SRI, perlakuan 7 adalah daging ayam kukus AKU, perlakuan 8 adalah daging ayam masak kari AKA, perlakuan 9 adalah daging ayam masak rica ARI, perlakuan 10 adalah ikan cakalang kukus IKU, Perlakuan 11 adalah ikan cakalang masak kari IKA, dan perlakuan 12 adalah ikan cakalang masak rica IRI. Hasil dan Pembahasan Uji Hedonik Terhadap Rasa Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Indera manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensori, yang terdiri atas indera pencicipan, penglihatan, penciuman, dan perabaan. Proses penginderaan dimulai dari rangsangan suatu benda pada indera manusia, dan akan diteruskan oleh sel-sel saraf ke otak, dan otak akan menginterpretasikan rangsangan yang masuk menjadi persepsi, kemudian respons akan diformulasikan berdasarkan persepsi manusia. Data uji hedonik respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 16. Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa daging Kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median Kelelawar kukus Kelelawar kari Kelelawar rica-rica Sapi kukus Sapi kari Sapi rica-rica Ayam kukus Ayam kari Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica 2.10 5.90 5.94 2.75 5.67 5.69 3.82 6.14 6.18 2.98 5.82 6.12 1.06 0.76 0.79 1.67 1.07 0.95 1.88 0.66 0.82 1.49 0.95 0.84 2 6 6 2 6 6 4 6 6 3 6 6 Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata P˂0.05 pada rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica- rica memberikan pengaruh yang berbeda. Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 34. Respons penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kukus tidak disukai 2.10, dan daging sapi kukus hampir sama dengan ikan cakalang kukus, yaitu agak tidak disukai 2.75 dan 2.98, sedangkan daging ayam kukus, panelis menyatakan biasa saja 4. Namun, nilai median untuk daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus adalah 2, daging ayam kukus 4, dan ikan cakalang kukus 3. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung lebih menyukai daging ayam kukus diikuti ikan cakalang kukus, walaupun masih dalam taraf agak menyukai dan biasa saja, dibandingkan dengan daging kelelawar dan daging sapi kukus. Gambar 34 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. Respons pemerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari hampir sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu disukai 5.82-6.14, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Demikian juga respons penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar rica-rica 5.94 hampir sama dengan daging sapi rica-rica 5.69, ayam rica-rica 6.18, dan ikan cakalang rica-rica 6.12, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai daging kelelawar kari dan daging kelelawar rica-rica sama dengan daging sapi kari dan daging sapi rica- IRI IKA IKU ARI AKA AKU SRI SKA SKU KRI KKA KKU 7 6 5 4 3 2 1 Jenis Daging Olahan Sk al a H ed on ik 2 6 6 6 6 2 6 6 4 6 6 3 Nilai Median Rasa rica, daging ayam kari dan daging ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari dan ikan cakalang rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 4, sedangkan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 3 ke 4 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kukus hanya sampai ke arah biasa saja, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari daging sapi kukus ke arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap rasa daging sapi kukus sampai ke arah sangat menyukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 untuk daging ayam kukus, dari skala 4 hingga 7 untuk ikan cakalang kukus, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap rasa daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak menyukai sampai sangat menyukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari dan daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging kelelawar kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap rasa daging kelelawar kari ke arah sangat menyukai, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam kari ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap daging ayam kari mengarah ke biasa saja sampai sangat disukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging sapi kari dan ikan cakalang kari dimulai dari 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa daging sapi kari dan ikan cakalang kari sama, yaitu ke arah biasa saja sampai sangat menyukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica sama dengan ikan cakalang rica-rica dimulai dari skala 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot, yang menggambarkan 50 respons panelis mengarah ke sangat menyukai kelelawar rica-rica dan ikan cakalang rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik daging sapi rica dimulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap rasa daging sapi rica-rica ke arah biasa saja sampai sangat menyukai, dan rentang penyebaran skala daging ayam rica-rica dimulai dari 5 hingga 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot pada daging ayam rica-rica k earah bawah mulai dari 6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis terhadap daging ayam rica-rica dari agak suka ke sangat menyukai. Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 11 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 34 dapat dinyatakan bahwa penelis menyukai rasa daging kelelawar, baik yang dimasak kari dan rica-rica sama dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica- rica, sedangkan daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus cenderung disukai, dan daging kelelawar kukus serta daging sapi kukus dinyatakan tidak disukai. Rasa daging yang disukai adalah rasa daging yang diberi bumbu masak. Hal ini disebabkan cara masak daging di Manado yang menggunakan bumbu-bumbu masak, terutama bumbu kari dan rica-rica sehingga penelis terbiasa mengkonsumsi daging yang diolah menggunakan bumbu masak rica-rica dan kari yang pedas. Akibatnya, indera pencicipan peka terhadap sensasi rasa pedas. Setyaningsih et al. 2010 menyatakan bahwa kepekaan terhadap rasa bervariasi bergantung pada substansi yang diuji, yaitu pada permukaan lidah terdapat sel-sel yang peka terhadap lima rasa dasar dengan urutan kepekaan, yaitu lidah ujung depan peka terhadap manis, tengah depan terhadap rasa asin, tengah belakang asam, pangkal lidah pahit, dan selain rasa dasar terdapat sensasi rasa yang dihasilkan oleh saraf trigeminal yang terletak di rongga mulut dan hidung, seperti rasa pedas, rasa dingin, dan rasa terbakar. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam proses pengolahan daging memberikan sensasi rasa pedas, gurih, dan enak. Uji Hedonik Terhadap Warna Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Bagi konsumen, salah satu hal yang penting dalam penilaian produk makanan adalah warna produk, dan konsumen akan memilih makanan sesuai dengan selera yang dilihatnya secara visual. Data uji hedonik respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 18. Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap rasa disajikan pada Tabel 12. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 18 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata P˂0.05 terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica- rica memberikan pengaruh yang berbeda. Tabel 12 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap warna daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan Rataan Standar deviasi Median Kelelawar kukus Kelelawar kari Kelelawar rica-rica Sapi kukus Sapi kari Sapi rica-rica Ayam kukus Ayam kari Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica 4.14 5.58 5.52 4.38 5.72 5.50 4.58 5.84 5.72 4.50 5.64 5.26 1.51 0.81 0.81 1.32 0.88 0.91 1.58 1.18 1.01 1.59 0.98 1.35 5 6 5 5 6 5 5 6 6 5 6 6 Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 35. Respons penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus hampir sama, yaitu biasa saja, dengan rataan masing masing adalah 4.14, 4.38, 4.58,4.50, dan nilai median masing-masing adalah 5. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung menyukai warna daging kelelawar kukus sama dengan warna sapi kukus, ayam kukus, dan ikan cakalang kukus Respons pemerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar kari hampir sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu disukai, dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, 5.64, dan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai warna daging kelelawar kukus sama dengan warna daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus Respons penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica hampir sama dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dengan rataan masing masing adalah 5.58, 5.72, 5.84, dan 5.64, namun nilai median daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica adalah 5, sedangkan daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis lebih menyukai daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica daripada daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica- rica. Gambar 35 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan daging ayam kukus dimulai dari 2 hingga 7, dan ikan cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus ke arah atas mulai dari skala 5 ke 7, namun untuk IRI IKA IKU ARI AKA AKU SRI SKA SKU KRI KKA KKU 7 6 5 4 3 2 1 Jenis Daging Olahan Sk al a H ed on ik 5 6 6 6 5 5 6 5 5 6 6 5 Nilai Median Warna daging ayam kukus dan ikan cakalang kukus mulai dari 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot dari daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan daging ayam kukus ke arah bawah dari 3 ke 2, namun untuk ikan cakalang kukus dari 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap warna daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak disukai sampai sangat disukai. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari dimulai dari 4 hingga 7, dan daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4, namun untuk ikan cakalang kari terdapat data respons yang terletak di luar badan boxplot, yang menggambarkan respons panelis terhadap warna daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan ikan cakalang kari mengarah dari biasa saja sampai sangat disukai. Namun, ada sebagian panelis secara ekstrim agak tidak suka. Rentang penyebaran skala hedonik daging ayam kari dimulai dari 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 6 ke 5, namun terdapat data respons yang terletak di luar badan boxplot yang merupakan nilai ekstrim. Hal ini mengambarkan bahwa pada umumnya panelis mempunyai persepsi yang sama dalam menyatakan respons terhadap kesukaan warna daging ayam kari, dan sebagian panelis menyatakan tidak menyukai daging ayam kari. Rentang penyebaran skala hedonik daging kelelawar rica-rica sama dengan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dimulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala hedonik 6 ke 7, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala hedonik 5 ke 4. Namun, untuk daging kelelawar rica- rica dan daging sapi rica-rica mempunyai nilai median 5, sedangkan daging ayam rica-rica mempunyai nilai median 6. Hal ini menggambarkan bahwa respons panelis terhadap warna daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica dimulai dari arah biasa saja sampai sangat disukai, namun sebagian besar panelis menyatakan menyukai warna daging kelelawar rica-rica dan daging sapi rica-rica, sedangkan untuk daging ayam rica- rica, dan ikan cakalang rica-rica dinyatakan sangat disukai. Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 12 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 35 dapat dinyatakan bahwa penelis lebih menyukai warna daging kelelawar kari, daging sapi kari, daging ayam kari, ikan cakalang kari, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica daripada daging kelelawar kukus, daging kelelawar rica-rica, daging sapi kukus, daging sapi rica- rica, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Warna daging yang lebih disukai adalah warna yang kelihatan cerah, sedangkan yang tidak disukai adalah warnanya kelihatan agak gelap. Hal ini disebabkan karena pengaruh jenis daging, yaitu daging kelelawar, daging sapi, dan ikan cakalang, warnanya agak gelap dibanding daging ayam yang berwarna putih. Aberlle et al. 2001, Lawrie 2003 menyatakan bahwa warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi faktor penentunya adalah kandungan mioglobin daging, yaitu kandungan mioglobin bergantung pada spesies, umur, jenis daging dan aktivitas fisik. Selain jenis daging, pemberian bumbu masak juga mempengaruhi penampilan warna daging, yaitu daging yang dimasak kari warnanya lebih cerah, sedangkan yang diberi bumbu rica-rica warnanya gelap. Lebih cerahnya warna daging yang dimasak kari karena daging yang dimasak rica-rica tidak diberikan kunyit, sedangkan daging yang dimasak kari diberikan kunyit, sehingga warna kunyit menyebarkan ke seluruh permukaan daging yang dimasak kari. Desroiser 1988 menyatakan bahwa atribut warna pada umumnya dianggap suatu sifat dari benda, dan benda akan berwarna jika memantulkan dan menyebarkan energi yang dapat dilihat. Uji Hedonik Terhadap Aroma Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Aroma adalah suatu atribut sensori yang dapat dideteksi dengan indera penciuman, yaitu hidung, dan merupakan sifat mutu yang penting dalam penilaian bahan pangan. Data uji hedonik respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 19. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 20. Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan penelis terhadap aroma disajikan pada Tabel 13. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 20 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata P˂0.05 terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di masak rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda. Tabel 13 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap aroma daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median Kelelawar kukus Kelelawar kari Kelelawar rica-rica Sapi kukus Sapi kari Sapi rica-rica Ayam kukus Ayam kari Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica 2.54 5.78 5.65 2.72 5.50 5.61 3.09 5.87 6.04 3.09 5.70 5.87 1.28 0.85 0.64 1.15 1.15 0.91 1.49 0.93 0.67 1.36 1.11 0.81 2 6 6 2 6 6 3 6 6 3 6 6 Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica, disajikan pada Gambar 36. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus berkisar antara 2.54 hingga 2.72, yaitu tidak suka hingga agak tidak suka, dengan nilai median 2, dan daging ayam kukus serta ikan cakalang kukus 3.09, yaitu agak tidak disukai, dengan nilai median 3. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung tidak menyukai aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara antara 5.54 hingga 5.87, yaitu agak suka dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari, sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Respons penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica- rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.61 hingga 6.04, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai aroma daging kelelawar kari sama dengan sapi kari, dan sapi rica-rica, ayam kari dan ayam rica-rica, juga ikan cakalang kari. Gambar 36 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk aroma daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 4, daging sapi kukus 1 hingga 6, ayam kukus, dan ikan cakalang kukus dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 3 hingga 4, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma daging kelelawar kukus mulai dari sangat tidak suka sampai ke arah biasa saja, walaupun ada data respons panelis di luar badan boxplot yang menyatakan agak suka dengan aroma daging kelelawar kukus, kecenderungan itu sangat kecil. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas mulai dari skala hedonik 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma daging sapi kukus mulai dari sangat tidak menyukai ke arah sangat menyukai, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus dan ikan kukus ke arah bawah mulai dari skala 2 ke 1, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap IRI IKA IKU ARI AKA AKU SRI SKA SKU KRI KKA KKU 7 6 5 4 3 2 1 Jenis Daging Olahan Sk al a H ed on ik 2 6 6 6 6 2 6 6 3 6 6 3 Nilai Median Aroma aroma daging ayam kukus dan ikan kukus sangat luas dimulai dari arah sangat tidak menyukai hingga sangat menyukai. Berdasakan pada distribusi data pada Gambar 36, dapat dikatakan bahwa aroma daging kelelawar kukus cenderung kurang disukai dibanding dengan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Adanya kecenderungan daging kelelawar kukus kurang disukai karena kelelawar memiliki kelenjar pada bagian leher yang mengeluarkan aroma khas yang tidak disukai, dan aroma tersebut terakumulasi dengan daging. Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar kari sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar kari sama dengan aroma daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, gambaran tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah panelis. Rentang penyebaran skala hedonik aroma daging kelelawar rica-rica sama dengan aroma daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang kari berkisar dari 4 hingga 7, sedangkan daging ayam rica-rica tidak membentuk boxplot karena data respons panelis tidak menyebar, namun berkumpul pada median 6, walaupun ada data yang di luar median yang menyebar dari 1 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot untuk aroma daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap aroma daging kelelawar rica-rica sama dengan aroma daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai dari arah biasa saja sampai sangat disukai, walaupun ada data panelis di luar badan boxplot yang menyatakan kurang menyukai aroma daging sapi rica-rica. Aroma daging ayam rica-rica cenderung sangat disukai, walaupun terdapat data panelis yang jauh dari respons panelis umumnya yang menyatakan kurang menyukai aroma daging ayam rica-rica. Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 13 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 36 dapat dinyatakan bahwa aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus kurang disukai, sedangkan aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai. Kurang disukainya aroma daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan daging ikan cakalang kukus karena panelis tidak terbiasa mengkonsumsi daging dan ikan cakalang yang hanya di kukus. Dengan demikian, pada waktu disajikan, sensasi tidak menyukai yang diterima oleh sel-sel saraf dari indera penciuman diteruskan ke otak, dan otak akan menginterpretasikan respons yang masuk menjadi persepsi tidak menyukai. Winarno 2005 menyatakan bahwa aroma makan banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Zaika et al 1978 menyatakan bahwa aroma dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan, makin banyak bumbu maka aroma makin tajam. Uji Hedonik Terhadap Keempukan Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Rataan, standar deviasi dan median respons penerimaan penelis terhadap keempukan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap keempukan daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan Rataan Standar deviasi Median Kelelawar kukus Kelelawar kari Kelelawar rica-rica Sapi kukus Sapi kari Sapi rica-rica Ayam kukus Ayam kari Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica 4.88 5.80 5.86 4.72 5.76 5.62 5.28 5.84 6.08 5.08 5.86 5.94 1.51 0.76 0.78 1.46 0.85 0.90 1.20 0.84 0.78 1.44 0.83 0.82 5 6 6 5 6 6 6 6 6 5 6 6 Data uji hedonik respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil uji Kruskal-Wallis respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 22. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 22 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata P˂0.05 pada keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica- rica memberikan pengaruh yang berbeda. Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 37. Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus berkisar antara 4.72 sampai 5.28, yaitu biasa saja hingga agak suka, dengan nilai median 5 untuk daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, dan ikan cakalang kukus, sedangkan nilai median ayam kukus adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa keempukan daging kelelawar kukus cenderung disukai penelis sama dengan keempukan daging sapi kukus, dan ikan cakalang kukus, namun panelis lebih menyukai keempukan daging ayam kukus. Gambar 37 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. IRI IKA IKU ARI AKA AKU SRI SKA SKU KRI KKA KKU 7 6 5 4 3 2 1 Jenis daging Olahan Sk al a H ed on ik 5 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6 5 Nilai Median Keempukan Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar antara 5.76 hingga 5.86, yaitu agak suka, dengan nilai median masing-masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai keempukan daging kelelawar kari, sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Respons penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.94 hingga 6.08, yaitu agak suka hingga suka, dengan nilai median masing- masing adalah 6. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai keempukan daging kelelawar kari sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, ayam rica-rica, juga ikan cakalang rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk keempukan daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 7, daging sapi kukus 2 hingga 7, ayam kukus dan ikan cakalang kukus dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 4 hingga 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap keempukan daging kelelawar kukus dari sangat tidak suka hingga sangat disukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas mulai dari skala hedonik 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 4 ke 2 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma daging sapi kukus mulai dari tidak menyukai ke arah sangat disukai. Garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus dan ikan kukus ke arah bawah adalah sama mulai dari skala 5 ke 4, dan ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, serta terdapat data respons panelis di luar badan boxplot, namun nilai median dari daging ayam kukus 6, sedangkan ikan cakalang kukus hanya 5, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap keempukan daging ayam kukus lebih disukai dibandingkan dengan keempukan ikan cakalang kukus. Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar kari sama dengan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu berkisar dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7 untuk daging kelelawar kari, daging sapi kari, dan daging ayam kari, namun untuk ikan cakalang kari tidak terdapat perpanjang garis ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar kari sama dengan keempukan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di luar badan bloxplot yang merupakan gambaran sebagian kecil panelis yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging ayam kari. Rentang penyebaran skala hedonik keempukan daging kelelawar rica-rica sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar dari 4 hingga 7, sedangkan daging ayam rica-rica berkisar dari 5 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas untuk keempukan daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 untuk daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica- rica, dan ikan rica-rica, sedangkan daging ayam rica-rica dari 6 ke 5, yang menggambarkan respons panelis terhadap keempukan daging kelelawar rica sama dengan keempukan daging sapi rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica, yaitu mulai dari arah biasa saja sampai sangat disukai, sedangkan daging ayam rica-rica dimulai dari agak suka hingga sangat menyukai, walaupun ada data panelis di luar badan boxplot yang menyatakan kurang menyukai keempukan daging sapi rica- rica dan ayam rica-rica. Berdasarkan pada nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 14 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 37 dapat dinyatakan bahwa keempukan daging kelelawar dikukus sama dengan keempukan daging sapi kukus dan ikan cakalang kukus, yaitu cenderung disukai, sedangkan keempukan daging kelelawar kari dan rica-rica sama dengan daging keempukan daging sapi kari, daging sapi rica-rica, daging ayam kukus, daging ayam kari, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang kari, serta ikan cakalang rica-rica. Uji Hedonik Terhadap Penerimaan Umum Daging Kelelawar, Daging Sapi, Daging Ayam, dan Ikan Cakalang yang Dikukus, Masak Kari, dan Rica-Rica Data uji hedonik respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil uji Kruskal- Wallis respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica- rica dapat dilihat pada Lampiran 24. Rataan, standar deviasi, dan median respons penerimaan panelis terhadap penerimaan umum disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan, standar deviasi, dan median respons penelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan masak rica-rica Jenis Daging Olahan Rataan Standar Deviasi Median Kelelawar kukus Kelelawar kari Kelelawar rica-rica Sapi kukus Sapi kari Sapi rica-rica Ayam kukus Ayam kari Ayam rica-rica Ikan cakalang kukus Ikan cakalang kari Ikan cakalang rica-rica 3.10 5.94 6.06 3.39 5.76 5.96 4.18 5.92 6.28 4.10 6.00 6.20 1.79 0.74 0.77 1.65 0.96 0.83 1.81 0.80 0.64 1.62 0.78 0.78 2 6 6 3 6 6 4 6 6 4 6 6 Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 24 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata P˂0.05 pada penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kukus, kari, dan rica-rica. Hal ini menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica memberikan pengaruh yang berbeda. Distribusi data hedonik dan nilai median respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica disajikan pada Gambar 38. Respons pemerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus adalah 3.10, dengan nilai median 2, yaitu tidak suka, daging sapi kukus berkisar 3.39 dengan nilai median 3, yaitu agak tidak suka, dan daging ayam kukus 4.18, dengan nilai median 4, yaitu biasa saja. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis cenderung tidak menyukai penampakan keseluruhan dari daging kelelawar kukus, daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar kari, daging sapi kari, ayam kari, dan ikan cakalang kari berkisar 5.76 hingga 6, dengan nilai median masing-masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar kari, sama dengan penampakan keseluruhan daging sapi kari, daging ayam kari, dan ikan cakalang kari. Gambar 38 Distribusi data dan nilai median penerimaan panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, masak kari, dan rica-rica. Respons penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica, daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, dan ikan cakalang rica-rica berkisar antara 5.92 hingga 6.20, dengan nilai median masing- masing adalah 6, yaitu suka. Hal ini memberikan gambaran bahwa panelis menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica sama dengan penampakan keseluruhan daging sapi rica-rica, daging ayam rica-rica, juga ikan cakalang rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik untuk penerimaan umum daging kelelawar kukus dimulai dari 1 hingga 7 sama dengan daging sapi kukus, daging ayam kukus, dan ikan cakalang kukus. Garis perpanjangan kotak boxplot dari kelelawar kukus ke arah atas mulai dari skala 4 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan umum daging kelelawar kukus mulai dari sangat IRI IKA IKU ARI AKA AKU SRI SKA SKU KRI KKA KKU 7 6 5 4 3 2 1 Jenis Daging Olahan Sk al a H ed on ik 2 6 6 6 6 3 6 6 4 6 6 4 Nilai Median Penerimaan Umum tidak suka hingga sangat suka. Garis perpanjangan kotak boxplot dari sapi kukus ke arah atas mulai dari skala hedonik 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari 2 ke 1 yang menggambarkan tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan umum daging sapi kukus sama dengan daging kelelawar kukus, sedangkan garis perpanjangan kotak boxplot dari ayam kukus ke arah atas mulai dari skala 6 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot dari ke arah bawah mulai dari skala 3 ke 1, yang menggambarkan bahwa respons panelis terhadap penampakan keseluruhan daging ayam kukus sama dengan penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus dan daging sapi kukus. Demikian juga dengan ikan cakalang kukus, yaitu garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 5 ke 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 3 ke 1. Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar kari sama dengan daging sapi kari dan daging ayam kari yang berkisar dari 4 hingga 7. Garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas mulai dari skala 5 hingga 7, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan respons panelis terhadap penerimaan umum daging kelelawar kari sama dengan penerimaan umum daging sapi kari dan daging ayam kari, yaitu mulai dari arah biasa saja hingga sangat disukai, walaupun terdapat data panelis di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai penerimaan umum daging sapi kari. Gambaran tersebut hanya sebagian kecil dari jumlah panelis. Penyebaran skala hedonik penerimaan umum ikan cakalang kari berkisar 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang menggambarkan panelis cenderung sangat menyukai penampakan keseluruhan ikan cakalang kari, walaupun sama dengan daging sapi kari, terdapat data panelis di luar badan bloxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan keseluruhan daging sapi kari. Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging kelelawar rica-rica, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan ke arah atas dan ke arah bawah yang menggambarkan kecenderungan panelis sangat menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging sapi rica-rica berkisar dari 4 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah dari skala 5 ke 4 yang menggambarkan panelis menyukai biasa saja hingga sangat menyukai penampakan keseluruhan sapi rica-rica. Rentang penyebaran skala hedonik penerimaan umum daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica adalah sama, yaitu mulai dari 5 hingga 7, tanpa ada garis perpanjangan kotak boxplot ke arah atas, dan garis perpanjangan kotak boxplot ke arah bawah mulai dari skala 6 ke 5 yang menggambarkan respons panelis terhadap penampakan keseluruhan daging ayam rica dan cakalang rica-rica mulai dari arah agak suka sampai sangat sukai, walaupun ada data panelis di luar badan boxplot yang menyatakan kurang menyukai penampakan keseluruhan daging ayam rica-rica dan ikan cakalang rica-rica. Berdasarkan nilai rata-rata dan nilai median pada Tabel 15 serta pola penyebaran data hedonik pada Gambar 38 dapat dinyatakan bahwa panelis tidak menyukai penampakan keseluruhan daging kelelawar kukus, sapi kukus agak tidak disukai, ayam kukus dan ikan cakalang kukus biasa saja, sedangkan penampakan keseluruhan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica disukai. Simpulan Berdasarkan uji hedonik terhadap atribut rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum maka disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap daging kelelawar sama dengan kesukaan panelis terhadap daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang. Dilihat dari cara pengolahan maka penelis menyukai daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan masak rica-rica, sedangkan yang dikukus tidak disukai. Daftar Pustaka Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Ed Ke-4. USA: KendalHunt Pulishing Co. Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor : IPB press. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press. Soewarno S. 1981. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil pertanian. Pusat teknologi pangan Pusbangtepa. IPB. Bogor. Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan dari : Meat Science. Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL, 1978. Effect of spice and salt on fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189. KAJIAN MIKROB DAGING KELELAWAR SEBAGAI BAHAN PANGAN TRADISIONAL Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kajian Mikrob Daging Kelelawar sebagai Bahan Pangan Tradisional. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak secara tradisional berupa kari dan rica-rica, yang disimpan dalam lemari es selama 14 hari. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan daging dari tiga jenis kelelawar, yaitu kalong sulawesi Acerodon celebensis, kalong hitam Pteropus alecto, dan nyap biasa Rousettus aplexicaudatus yang dimasak rica-rica dan kari, setelah 14 hari disimpan dalam lemari es. Tahap kedua menggunakan satu jenis daging kelelawar yaitu, Pteropus alecto yang dimasak rica-rica dan kari beberapa jam setelah disembelih. Hasil analisis dari daging olahan penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa total mikrob, Staphylococcus aureus, Eschericia coli, coliform, dan Salmonella sp dari daging tiga jenis kelelawar yang dimasak rica- rica dan kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional BSN untuk pangan asal hewan. Hasil analisis pada tahap kedua menunjukkan bahwa daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan selama 14 hari dalam lemari es mengandung total mikrob 3.1 x 10 4 - 6.0 x 10 4 cfumL, Staphylococcus aureus 7.7 x 10 1 – 7.6 x 10 3 cfumL, sedangkan Eschericia coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar yang dimasak kari mengandung total mikrob 6.8 x 10 5 -9.7 x 10 5 cfumL, Staphylococcus aureus 4.3 x 10 1 -1 x 10 4 cfumL, Eschericia 3 mL, dan Salmonella sp adalah negatif. Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 layak dikonsumsi. Sementara rica-rica dan kari yang berasal dari daging tiga jenis kelelawar yang sudah dibekukan 14 hari sebelum dimasak mengandung mikrob yang melebihi batas maksimum, sehingga proses pengolahan ini sesuai BSN tidak direkomendasikan. Kata kunci : daging kelelawar, kari, rica-rica, mikrob. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Microbial Study on Meat of Fruit Bats as a Traditional Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU This study was designed to assess the microbial characteristics of bats meats which were cooked as kari and rica-rica, and were stored up to 14 days. The study was divided into two stages. The first stage used three types of bat meat that were cooked as rica-rica and kari 14 days after being stored in the refrigerator. The second stage used meat of a species of bat that was cooked as rica-rica and kari a few hours after slaughtering. The result of the meat analysis at the 1 st experiment showd that the total count of microbials i.e ; Staphylococcus aureus, Escherichia coli, coliform, and Salmonella sp from three species of bats that were cooked rica-rica and kari were above the maximum limit of microbial contaminant occording to BSN 2009. The analyses showed that bat meat cooked as rica-rica and stored up to 14 days contained total microbial count of 3.1 x 10 4 – 6.0 x 10 4 cfumL, Staphylococcus aureus 7.7 x 10 1 -7.6 x 10 3 cfu mL, Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of bat meat cooked as kari was 6.8 x 10 5 -9.7 x 10 5 cfumL, Staphylococcus aureus was 4.3 x 10 1 -1 x 10 4 cfu mL, Escherichia coli3mL, and Salmonella sp was negative. Based on the result obtained, it was concluded that the bat meat cooked as rica-rica and kari which were cooked in a few hours after cutting and stored until 14 days were suitable for human consumption. Keywords: bat meat, kari, rica-rica, microbial count. Pendahuluan Daging sebagai bahan pangan rentan terhadap mikroorganisme karena tinggi kandungan gizinya, dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme sehingga mudah rusak Rao et al. 2009, Ukut et al. 2010. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kelelawar yang disebut paniki adalah salah satu satwa yang diolah sebagai bahan pangan sumber daging oleh masyarakat di Sulawesi Utara, bahkan dikirim ke luar daerah sesuai permintaan untuk acara-acara tertentu. Kelelawar yang dikonsumsi adalah kelelawar pemakan buah, yaitu jenis P. alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus, dan Toopterus sp. Secara umum, daging kelelawar yang dijual di pasar-pasar tradisional dan swalayan di Minahasa dan Manado adalah jenis P. alecto yang berasal dari daerah Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Jenis ini mempunyai bobot badan sekitar 250-1000 g, dan sebagian besar dipasarkan dalam keadaan sudah dibakar atau dalam keadaan beku. Berdasarkan daftar Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources, jenis- jenis ini masuk kategori least concern, artinya jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status aman dan belum terancam punah. Trasportasi daging kelelawar beku dari tempat penangkapan ke tempat penjualan membuat jalur pemasaran cukup panjang sehingga mengalami penyimpanan cukup lama, dan mempunyai risiko terhadap keamanan daging, karena kemungkinan untuk tercemar mikroorganisme cukup tinggi. Tercemarnya daging oleh mikroorganisme memungkinkan daging tidak aman untuk dikonsumsi karena menyebabkan penyakit saluran pencernaan, seperti muntah-muntah, diare, nyeri perut, dan sakit kepala Clarence et al. 2009, Ukut et al. 2010. Walaupun sampai saat ini tidak ada kasus penyakit yang dilaporkan akibat mengkonsumsi daging kelelawar olahan, perlu diamati, mengingat daging kelelawar olahan merupakan pangan khas di Minahasa dan Manado. Beberapa parameter uji cemaran mikrob dalam daging segar dan olahan meliputi Total Plate Count TPC, Eschericia coli, Coliform, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp BSN 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-rempah menjadikan daging kelelawar aman dikonsumsi, karena rempah- rempah dapat berkhasiat sebagai antibakteri Shelef 1983, Zaika 1988, Jenie et al. 1992, Fardiaz et al. 1998, Rahayu 2000. Namun, adanya permintaan daging kelelawar olahan dari luar daerah menyebabkan timbul upaya untuk meningkatkan daya simpan daging olahan melalui proses pendinginan dan penyimpanan. Pendinginan dan penyimpanan yang tidak benar dapat menyebabkan bahaya secara mikrobiologis Khalafalla et al. 1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Adanya bahaya tersebut perlu dikaji lebih lanjut secara ilmiah. Berdasarkan cara pengolahan, dikenal dua jenis pangan yang berasal dari daging kelelawar, yaitu kelelawar rica-rica dan kelelawar kari. Kelelawar rica-rica terbuat dari daging kelelawar yang dimasak bersama bumbu-bumbu masak tertentu, yakni cabe rawit, daun bawang, sereh, jahe merah, kunyit, dan daun jeruk. Kelelawar kari adalah hampir sama dengan kelelawar rica-rica, perbedaannya adalah dimasak pakai santan kelapa. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dilakukan penelitian yang mengkaji kandungan mikrob dalam daging kelelawar segar yang dimasak rica-rica dan kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu di bawah 5ºC. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dalam pengembangan produk hewani berbasis pangan lokal. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Uji mikrobiologis dilakukan pada Februari-Maret 2012 di Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Kegiatan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan untuk uji adalah kelelawar jenis Pteropus alecto yang masih hidup dan beku masing-masing sebanyak 5 ekor, cabe rawit, bawang merah, jahe, sereh, kunyit dan daun jeruk, mentimun, dan telur bebek. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, alkohol, kloroform, larutan NaCl fisiologis 85, potasium telullurit, Buffer Pepton Water BPW, Plate Count Agar PCA, Xylose Lysine Deoxycholate Agar XLDA, Eosyn Methylen Blue Agar EMBA, dan Baird Parker Agar BPA. Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, dissecting set, food processor, cool box, vortex, waterbath, oven, autoclave, refrigerator, hockey stick, colony caunter, laminari, inkubator, kamera, cawan petri, tabung reaksi, botol scott, erlenmeyer, pembakar bunsen, vortex, magnetic stirer, kompor, format uji, alat tulis menulis, wadah sampel, kapas, dan tissue makan. Metode Penelitian Pengujian tahap pertama untuk melihat Total Plate Count TPC, E. coli, Coliform, S. aureus, dan Salmonella sp pada tiga jenis daging kelelawar, yaitu P. alecto, A. celebensis, dan R. amplexicaudatus yang dimasak rica-rica, kari, dan tanpa pemasakan. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujian mikrob adalah sebagai berikut. Ketiga jenis kelelawar dari Manado yang sudah dipelihara dalam kandang selama 1 minggu masing-masing sebayak 5 ekor dibius dengan kapas berkloroform dan disembelih pada bagian kepala, lalu kedua sayapnya dikeluarkan dan rambutnya dibakar menggunakan kompor gas. Kemudian dikemas menggunakan steroform dan dibawa ke Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB, lalu disimpan selama14 hari dalam lemari es pada suhu di bawah 5ºC. Sebelum diolah, daging pada bagian dada dari masing-masing kelelawar dikeluarkan dan dipisahkan menjadi tiga bagian masing-masing sebanyak 250 g, dan dipotong-potong berbentuk dadu. Satu bagian tidak dimasak, satu bagian dimasak kari, dan satu bagian lainnya dimasak rica-rica. Kelelawar yang dimasak rica-rica dibuat dengan formulasi bumbu yang terdiri atas 50 g cabe rawit, bawang merah 25 g, daun bawang 25 g, jahe merah 10 g, bawang putih 5 g, serai 5 g, dan daun jeruk 3 g. Cara pengolahannya adalah semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging kelelawar yang sudah dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan dan ditutup sampai matang. Pemasakan dilakukan selama 30 menit menggunakan kompor. Bumbu yang digunakan untuk masak kari sama dengan bumbu rica-rica hanya ditambahkan kunyit 10 g dan santan kelapa kental sebanyak 100 g. Cara pengolahan kelelawar masak kari adalah semua bumbu ditumis sampai matang kemudian daging kelelawar yang sudah dipotong dadu dimasukkan ke dalam tumisan bersama dengan santan kelapa dan dibiarkan sampai kering. Pemasakan dilakukan selama kurang lebih 40 menit menggunakan kompor. Daging yang tidak dimasak dan yang diolah kemudian diuji kandungan mikrobnya. Pengujian tahap kedua dilakukan pada daging kelelawar jenis Pteropus alecto yang tidak disimpan beku. Prosedur penyiapan contoh untuk pengujiannya adalah sebagai berikut. Kelelawar yang masih hidup sebanyak 5 ekor dari kandang yang berasal dari Manado, disembelih pada pukul 4.00 pagi, lalu dikuliti, dan seluruh isi saluran pencernaan dan organ pernapasan dikeluarkan, lalu dikemas dalam kemasan steroform yang berisi icepack untuk diuji di Laboratorium Bagian Mikrobiologi, Fakultas Peternakan IPB. Setibanya di laboratorium, daging pada semua bagian karkas dikeluarkan dan dipisah menjadi tiga bagian masing-masing sebanyak 300 gram, satu bagian dimasak kari, satu bagian dimasak rica, dan satu bagian tidak dimasak. Lalu, masing-masing bagian dibagi lagi menjadi dua bagian, dan satu bagian langsung diuji kandungan mikrobnya, sedangkan satu bagian disimpan dalam lemari es pada suhu di bawah 5 ºC selama 14 hari kemudian diuji kandungan mikrobnya. Metode pengujian dengan hitungan cawan menggunakan larutan pengencer Buffered Pepto Water BPW dan medium Plate Count Agar PCA untuk menghitung total mikrob, Baird Parker Agar BPA untuk total Staphylococcus aureus, Xylose Lysine Desoxycholate Agar XLDA untuk Salmonella sp, Violet Red Bile Agar VRBA untuk total Coliform, dan Eosyn Methylen Blue Agar EMBA untuk Escherichia coli. Cara pengujian yang digunakan untuk masing-masing mikrob disajikan sebagai berikut. Analisis Kuantitatif Total Mikrob Metode Hitungan Cawan SNI 2008 Sampel dihancurkan dengan chopper, lalu ditimbang sebanyak 5 g dan ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 45 mL larutan BPW steril, dihomogenkan menggunakan vortex, dan larutan ini merupakan pengenceran pertama 10 -1 . Untuk mendapatkan pengenceran 10 -2 dibuat dengan mengambil 1 mL dari larutan pengenceran 10 -1 dan ditambahkan ke dalam larutan BPW 9 mL, selanjutnya dibuat pengenceran 10 -3 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7 . Sebanyak 1 mL suspensi dari setiap pengenceran 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7 dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu ditambahkan 15-20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga temperatur 45 º C pada masing-masing cawan yang berisi suspensi. Supaya larutan contoh dan media PCA tercampur merata, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan dan didiamkan sampai padat, kemudian diinkubasikan pada temperatur 34 º C-36 º C selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik. Perhitungan jumlah koloni adalah Jumlah koloni x1 faktor pengenceran Analisis kuantitatif E. Coli Metode Hitungan Cawan APHA 1992 Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer berisikan 45 mL larutan BPW steril, dihomogenkan, dan didapatkan pengenceran 10 -1 , selanjutnya dibuat sampai pengenceran 10 -4 . Masing-masing hasil pengenceran diambil dengan pipet sebanyak 1 mL sampel dan dituangkan ke dalam cawan petri steril, kemudian dituangi media EMBA sebanyak 15 mL. Segera setelah penuangan medium agar, cawan digerakkan dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan diinkubasi pada suhu 37°C dengan posisi terbalik selama 24-48 jam. Koloni Escherichia coli berwarna kehijauan jika diletakkan di bawah sinar matahari atau lampu Analisis Kwantitatif

S. Aureus Metode Hitungan Cawan Sebar BSN 2008

Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran 10 -1 sampai pengenceran 10 -4 . Suspensi dari tiap pengenceran sebanyak 0.1 mL disebarkan di seluruh permukaan medium BPA yang diberi Egg Yolk tellurit emulsion 5 mL dalam 95 ml media BPA, dan diratakan dengan hockey stick steril, lalu diinkubasikan pada suhu 35 °C, selama 45-48 jam dengan posisi cawan terbalik. Koloni staphylococcus aureus pada medium ini berwarna hitam mengkilat dan dikelilingi oleh area bening Analisis Pendugaan Salmonella sp Metode Hitungan Cawan APHA 1992 Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran 10 -1 sampai pengenceran 10 -4 . Sebanyak 1 mL suspensi dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu dituangkan 15-20 mL media XLDA. Larutan suspensi dan media agar dihomogenkan dengan menggerakkan cawan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan, lalu didiamkan sampai padat dan diinkubasikan pada suhu 37 º C selama 24-28 jam dengan posisi cawan terbalik. Salmonella sp pada medium ini berwarna merah mudah bintik hitam di tengah. Diagram alir proses penyiapan sampai pengujian sampel dapat dilihat pada Gambar 39. Tahap 1 Tahap 2 -darah ditiriskan, -dikemas -sayap, kepala, -dimasukkan ke dalam cool box rongga pernapasan -diberi icepack dan pencernaan dikeluarkan -ditransportasi ±6 jam -dikuliti -disimpan, 14 hari,-5 º C -dibersihkan dengan air -dikemas -dimasukkan ke dalam coolbox -dibagi tiga bagian -diberi icepack -transportasi ke lab.±8 jam -dibagi tiga bagian -tanpa bumbu - bumbu kari -bumbu rica -tidak dimasak - dimasak 20’ -dimasak 20’ -dihaluskan -dibagi 2bgn -diambil 5g. -simpan, -diencerkan BPW 14hari,-5 º C -Inkubasi 24-48jam, -35-37 ◦ C -diambil 5 g, -diencerkan BPW Gambar 39 Diagram alir analisis mikrob daging segar, masak kari dan rica-rica. Kelelawar Mati Karkas tanpa kulit Daging tanpa diolah Daging masak kari Daging masak rica contoh uji, tanpa penyimpanan contoh uji untuk disimpan kelelawar bakar dipupuk PCA, PDA,XLDA, VRBA,EMBA Karkas dalam kemasan Penghitungan mikrobia pada cawan contoh uji beku Kelelawar beku Analisis Kualitatif Coliform Metode Hitungan Cawan, APHA 1992 Sampel 5 g diencerkan dari pengenceran 10 -1 sampai pengenceran 10 - 4 . Sebanyak 1 mL suspensi dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri steril, lalu dituangkan 15-20 mL media VRBA. Larutan suspensi dan media agar dihomogenkan dengan menggerakkan cawan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan, lalu didiamkan sampai padat dan diinkubasikan pada suhu 37 º C selama 24-28 jam dengan posisi cawan terbalik. Koloni berwarna ungu muda berbentuk kecil-kecil seperti wijen. Analisis Data Metode deskriptif dengan tabel dan narasi akan digunakan untuk menjelaskan data karakteristik mikrob hasil penelitian. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Mikrob Daging

P. alecto, A. celebensis, R. amplexicaudatus yang Dimasak Rica-rica dan Kari

Pengujian tahap pertama terhadap kandungan mikrob dari tiga jenis daging kelelawar yang biasa dikonsumsi masyarakat Sulawesi Utara, yaitu P. alecto, A.celebensis, dan R. amplexicaudatus yang disimpan beku selama 14 hari pada suhu 5 ºC sebelum dimasak kari dan rica-rica diperoleh hasil Total Plate Count TPC, Coliform, E. coli, Salmonella sp, dan S. aureus yang jumlah koloninya terlalu banyak untuk dihitung TBUD yang berarti berada diatas standard plate count. Hal tersebut melebihi batas maksimum cemaran total mikrob daging segar, yaitu 1 x 10 6 cfumL, dan daging olahan, yaitu 1 x 10 2 cfumL BSN 2009. Tingginya kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan tersebut diduga karena berasal dari tubuh kelelawar itu sendiri, yaitu melalui alat pencernaan dan alat pernapasan, karena pada waktu disimpan semua isi perut dan dada tidak dikeluarkan, juga kontaminasi dengan lingkungan selama proses pengolahan. Ibekwe et al. 2008 melaporkan bahwa Salmonellla merupakan bakteri patogen secara normal terdapat di dalam usus dan udara yang tercemar. Coliform dan E. coli merupakan mikrob normal dalam saluran pencernaan dan galur tertentu bersifat patogen, S. aureus terdapat di udara, air, atau peralatan yang diperoleh dalam pengolahan bahan pangan, secara normal terdapat di hidung, tenggorokan, dan kulit Turtura 1991, Clarence et al. 2009. Kondisi ini menggambarkan keberadaan daging kelelawar yang disimpan terlalu lama di pasar, walaupun cara penanganan daging kelelawar di pasar disimpan beku tanpa dibakar terlebih dahulu, dan pada waktu dijual baru dibakar sehingga kemungkinan mikrob yang tumbuh akan mati oleh suhu pembakaran. Namun, kemungkinan untuk terkontaminasi mikrob pada waktu masih segar sangat tinggi karena transportasi yang cukup lama, dan disimpan beku bersama dengan alat pencernaan dan pernapasan yang merupakan sumber mikrob. Penjualan daging di pasar tradisional umumnya dalam keadaan terbuka dan daging disajikan di lokasi lingkungan yang kurang terjamin kebersihannya yang merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikrob Zottola Sasahara 1994, Schlegelova et al. 2010, Adeyinka et al. 2011. Ngitung 2008 melaporkan bahwa daging ayam broiler yang dijual di pasar swalayan yang disimpan pada suhu 5ºC di kota Makasar memenuhi standar cemaran total mikrob, yaitu 1.9 x 10 5 -0.4 x 10 6 cfumL, namun kandungan E. coli adalah 3.0 x 10 2 -1.0 x 10 3 cfumL, dan berada di atas batas cemaran mikrob pada daging segar, yaitu 1 x 10 2 cfumL. Palupi et al. 2010 melaporkan bahwa tingginya S. aureus daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan Merak, karena sanitasi yang buruk dari pekerja yang menangani proses pemotongan ayam hingga karkas di rumah potong, dan juga dari ayam itu sendiri. Sartika et al. 2005 melaporkan bahwa semua daging sapi yang diambil dari pasar tradisional dan rumah potong hewan di Bogor telah terkontaminasi oleh E. coli. Nurwantoro et al. 2012 melaporkan bahwa daging sapi yang diambil dari rumah potong hewan semarang 2 jam setelah pemotongan mengandung E. coli 2.4 x 10 5 cfu 100 mL. Total Mikrob Daging P. alecto Segar, Masak Rica-Rica, dan Masak Kari. Tingkat higienis bahan pangan dapat dilihat dari tingginya cemaran mikrob, terutama TPC. Data rataan total mikrob daging kelelawar segar dan kelelawar masak rica-rica dan kari yang disimpan hingga 14 hari disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rataan total mikrob cfumL daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5 ᵒC Produk daging Standard Lama Penyimpanan segar olahan BSN 2009 0 hari 14 hari Daging segar 1x10 2.3 x 10 4.8 x 10 Masak rica-rica 1x10 3.1 x 10 6.0 x 10 Masak kari 1x10 6.8 x 10 9.7 x 10 Secara umum, total mikrob daging segar, daging masak kari dan rica-rica meningkat selama penyimpanan. Total mikrob daging kelelawar segar yang disimpan selama 14 hari berkisar dari 2.3 x 10 - 4.8 x 10 cfumL dan berada di atas batas maksimum cemaran mikrob pada daging segar yaitu 1 x 10 cfumL BSN 2009. Hal tersebut disebabkan daging kelelawar yang digunakan berasal dari Manado sehingga mengalami waktu cukup panjang dalam menganalisis, yaitu mulai dari pemotongan sampai di Laboratorium Bagian Mikrobiologi Departemen Ilmu Produksi dan Tekonologi, Fakultas Peternakan IPB sekitar 8 jam, dan waktu persiapan pengujian mulai dari pengenceran sampai pemupukan sekitar 5 jam, sehingga daging telah mencapai rigormortis dan nilai pH daging menurun sampai pada titik isoelektrik. Akibatnya, kemampuan protein daging menahan air berkurang sehingga banyak cairan dalam daging yang keluar. Selain itu, selama proses pengenceran hingga pemupukan, daging berada pada suhu kamar. Kondisi seperti itu merupakan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan mikrob, seperti jamur dan bakteri. Aberle et al. 2001 mengemukakan bahwa secara normal dalam waktu 6-8 jam pH daging akan turun secara bertahap dari 7.0 sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah pemotongan. Brooks et al. 1995 mengemukakan bahwa hampir semua bakteri tumbuh pada pH berkisar 4 hingga 8 dan jamur 2.0 hingga 8.0. Total mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan hingga 14 hari berkisar dari 3.1 x 10 4 - 6.0 x 10 4 cfumL, dan masih berada di bawah batas maksimum cemaran mikrob daging olahan, yaitu 1 x 10 5 cfumL. Total mikrob daging kelelawar yang dimasak kari dan disimpan hingga 14 hari berkisar dari 6.8 x 10 5 - 9.7 x 10 5 cfumL. Nilai ini berada di atas batas maksimum cemaran mikrob daging olahan berdasarkan BSN 2009. Namun, hasil ini masih berada di bawah batas cemaran mikrob bila dibandingkan dengan pernyataan yang dilaporkan Ockerman 1984, yaitu tingkat maksimum total mikrob yang dapat diterima pada daging adalah 3.39 x 10 cfumL. Kisaran total mikrob daging kelelawar masak kari dan rica-rica berada di bawah kisaran total mikrob kalio sejenis rendang dengan formulasi bumbu masak relatif sama dengan rendang, tetapi memiliki kadar air lebih tinggi dengan kuah lebih encer dibanding rendang, yang disimpan 1 hari pada suhu kamar yang dilaporkan Murhadi et al. 1994 berkisar dari 8.6 x 10 6 cfumL. Mengacu kepada Badan Standardisasi Nasional Indonesia 2009, daging kelelawar segar yang disimpan 14 hari sudah tidak layak dikonsumsi, namun setelah dilakukan perlakuan pemasakan dan pengolahan dengan pemberian bumbu kari dan rica-rica, maka kandungan total mikrob berkurang dan layak untuk dikonsumsi. Berkurangnya total mikrob dalam daging olahan karena beberapa mikrob tidak tahan terhadap suhu pemanasan saat pemasakan. Stillmunkess et al. 1993 melaporkan bahwa perlakuan pemanasan 60-70ºC dapat menginaktifkan sebagian besar mikrob pembusuk. Murhadi et al. 1994 melaporkan pemanasan dapat menurunkan total mikrob pada masakan rendang sapi dan kalio. Berkurangnya total mikrob pada daging yang dimasak kari dan rica-rica disebabkan juga oleh kombinasi bumbu-bumbu masak yang diberikan, seperti cabe rawit, jahe, kunyit, sereh, bawang merah, bawang putih, dan daun jeruk yang mengandung senyawa-senyawa antimikrob, seperti senyawa fenol, kurkumin, allisin, dan minyak astiri yang bersifat bakterisidal dan bakteristatik yang dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan mikrob. Komariah et al. 2004 melaporkan bahwa pemberian jahe pada daging sapi dapat menurunkan total mikrob daging. Rahayu 2000 melaporkan bahwa bumbu masak yang digunakan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah pertumbuhan mikrob, dan kemampuan bumbu masak untuk menghambat sejumlah mikrob disebabkan karena senyawa aktif dari masing-masing bumbu masak. Total mikrob daging kelelawar yang dimasak kari, dan disimpan selama 14 hari, kandungan mikrobnya lebih tinggi dibandingkan dengan total mikrob daging yang dimasak rica-rica. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kandungan lemak dan air yang terdapat dalam bumbu kari, sehingga mikrob tumbuh dengan baik dan berkembang dengan cepat. Ting Deibel 1992 melaporkan bahwa lemak yang terdapat dalam ekstrak daging mampu membentuk lapisan pada permukaan mikrob, dan dapat mencegah penetrasi zat antimikrob dari bumbu ke dalam sel mikrob. Rahayu 2000 melaporkan bahwa produk pangan yang mempunyai kadar air yang tinggi cenderung meningkatkan jumlah mikrob. Kandungan S. aureus pada Daging Kelelawar Segar, Dimasak Rica-Rica, dan Kari Total S. aureus daging segar, dimasak rica-rica, dan kari disajikan pada Tabel 17. Rataan S. aureus pada daging segar selama 14 hari berkisar 3.7 x 10 2 - 1.2 x 10 5 cfumL, dan berada di atas batas maksimum cemaran S. aureus untuk daging segar, yaitu 1 x 10 2 cfumL BSN 2009. Tingginya kandungan S. aureus pada daging segar diduga karena kontaminasi saat penanganan pada waktu disembelih, pengepakan, dan pada waktu tiba di laboratorium. Tabel 17 Rataan S. aureus cfumL daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5 ᵒC Produk daging Standard Lama penyimpanan segar olahan BSN 2009 0 hari 14 hari Daging segar 1x10² 3.7 x 10² 1.2 x 10 Masak rica-rica 1x10² 7.7 x 10¹ 7.6 x 10³ Masak kari 1x10² 4.3 x 10¹ 1 x 10 Pada waktu tiba di laboratorium uji, daging dikeluarkan dari dalam coolbox dan diletakkan pada suhu ruang untuk dihaluskan. Selain itu, lama waktu pengenceran dan pemupukan berkisar hampir 5 jam. Demikian juga pada hari ke- 14, daging dikeluarkan dari lemari es dan di-thawing terlebih dahulu di suhu ruang sebelum diencerkan dan dipupuk. Total kandungan S. aureus pada daging yang dimasak rica-rica sebelum penyimpanan adalah 7.7 x 10 1 cfumL, dan berada di bawah batas maksimum Standar Nasional Indonesia untuk daging olahan, yaitu 1 x 10 2 cfumL, sedangkan total S. aureus yang disimpan hingga 14 hari adalah 7.6 x 10 3 cfumL, dan berada di atas batas maksimun Standard Nasional Indonesia BSN 2009. Total kandungan S. aureus pada daging yang dimasak kari sebelum penyimpanan adalah 4.3 x 10 1 cfumL, dan berada di bawah batas maksimum Standar Nasional Indonesia, sedangkan total S. aureus yang disimpan hingga 14 hari adalah 1 x 10 4 cfumL, dan berada di atas batas maksimun Standard Nasional Indonesia. Total kandungan S. aureus pada daging yang dimasak kari dan disimpan selama 14 hari masih lebih rendah dari total S. aureus kalio yang disimpan selama 1 hari pada suhu kamar dan dipanaskan kembali selama lima menit pada suhu 70-75ºC, yaitu 4.3 x 10 4 cfumL Murhadi et al. 1994 Berdasarkan BSN 2009 bahwa daging kelelawar segar tanpa penyimpanan sudah melampaui batas maksimum cemaran S. aureus pada daging segar, namun setelah dilakukan perlakuan pemasakan dan pemberian bumbu masak kari dan rica-rica maka total S. aureus berkurang, karena sifat dari S. aureus yang relatif tidak tahan terhadap panas. Pada penyimpanan hari ke-14 total S. aureus meningkat, dan peningkatan ini diduga tidak terjadi selama daging segar, daging yang dimasak rica-rica dan kari disimpan dalam suhu penyimpanan. Peningkatan terjadi setelah daging dikeluarkan dari lemari es dan diletakkan pada suhu kamar, sehingga kemungkin kontaminasi terjadi selama penanganan untuk persiapan pengenceran sampai pemupukan. Kandungan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp pada Daging P. alecto Segar, Masak Rica-Rica, dan Kari Total Coliform hanya diujikan pada daging kelelawar belum diolah, sedangkan E. coli, dan Salmonella sp untuk daging olahan, disesuaikan dengan SNI yang ditetapkan oleh BSN. Total Coliform, E. coli, dan Salmonella sp daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rataan Coliform, E. coli, dan Salmonella sp cfumL daging kelelawar segar, rica-rica, dan kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5 ᵒC nd = tidak dianalisis, 0 = nol Total Coliform daging kelelawar segar tanpa penyimpanan, ditemukan bebas dari Coliform, sedangkan total Coliform daging yang disimpan hingga 14 hari adalah 4.9 x 10 4 cfumL. Hasil ini melebihi batas ambang maksimum cemaran Coliform berdasarkan Standard Nasional Indonesia, yaitu 1x10 2 cfumL. Keberadaan bakteri Coliform dalam daging diperkirakan berasal dari kotorannya pada saat pengeluaran semua isi saluran pencernaan dan pernapasan waktu disembelih, dan juga pada saat pencucian untuk mempersiapkan proses pengenceran dan pemupukan. Total E. coli pada daging yang dimasak kari tanpa penyimpanan adalah 2 cfumL. Nilai ini berada di bawah batas ambang cemaran Coliform berdasarkan standar Nasional Indonesia, yaitu 3 cfumL, sedangkan E. coli pada daging yang disimpan hingga 14 hari dan E. coli daging yang dimasak rica-rica tanpa penyimpanan dan yang disimpan selama 14 hari, tidak terdapat bakteri E. coli. Demikian juga dengan bakteri Salmonella sp pada daging segar, daging masak kari, dan daging masak rica-rica tanpa penyimpanan dan penyimpanan hingga hari ke-14 adalah negatif. Produk daging segar olahan Standard Standard Standard BSN 2009 0 hari 14 hari BSN 2009 0 hari 14 hari BSN 2009 0 hari 14 hari Daging segar 1x10² 4.9 x 10 nd nd nd nd Masak rica-rica nd nd nd ˂3g negatif25 g negatf negatf Masak kari nd nd nd ˂3g 2 negatif25 g negatf negatf Salmonella sp Lama Penyimpanan Lama Penyimpanan Coliform E. coli Lama Penyimpanan Simpulan Berdasarkan pada hasil uji mikrob tahap pertama dapat disimpulkan bahwa pada penyimpanan daging kelelawar tanpa pengeluaran isi saluran pencernaan, menyebabkan kontaminasi mikrob yang melampaui batas ambang maksimum cemaran mikrob sehingga tidak layak dikonsumsi. Berdasarkan pada hasil uji total mikrob, E. coli, dan Salmonella sp pada tahap kedua yang relatif rendah maka dapat direkomendasikan bahwa daging kelelawar yang dimasak kari dan rica-rica, dan disimpan hingga hari ke-14 masih layak dikonsumsi. Saran Perlu penelitian tentang karakteristik mikrob daging olahan yang disimpan selama 14 hari, kemudian dipanaskan sebelum dimakan. Di samping itu, karakteristik mikrob daging kelelawar yang dibekukan dan tidak dibekukan kemudian dimasak rica-rica dan kari juga perlu dikaji secara lebih detil. Daftar Pustaka Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. 4 th Ed. USA : KendalHunt Pulishing Co. Adejinka AE et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms isolated from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria. Adv Appl Sci Research 24:391-400. Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Mocrobiology. Ed ke-4. Conecticut : Appleton Lange, Simon Schuster Co. [BSN] Badan Standardisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional Indonesia. 2897:2008 [BSN]. Badan Standardisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009 Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 344: 407-412. Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality of ready to eat food Meat pie in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J Microb Res 36: 390-395. Fardiaz S, Triana A, Rahayu WP. 1998. Aktivitas antimikrob bumbu segar hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. J Ilmu Teknol Pangan 3 2 : 1-7. Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 39: 225-230. Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan. Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 32:1-16 Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427. Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang ditambahkan jahe Zingiber Officinale Roscoe pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Med Pet 272: 46-54. Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 3 : 26-33. Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar swalayan di kota Makasar. J Agris 91:23-40. Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan. 12:20-22. Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4: Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State University. Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Hem Soa 21: 9-14. Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indus Pangan 112 : 42-48. Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 68:1058-1065. Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O 157 :O 7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya. Mak Kes 91:23-28. Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 285:450- 461. Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44. Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food Sci 585: 953-958. Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at two temperature. J Food Safety12:129-137. Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in slaughtered poultry. MAN 92: 139-146. Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 91: 89-100. Zaika LL.1988. Spices and herb: their antimicrobial activity and its determination. J Food Safety 9: 97-118. Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry. Intl J Food Microbiol 23 :125-148. PEMBAHASAN UMUM Pangan adalah bahan yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan atau minuman UU No.7 1996. Fungsi pangan adalah sebagai asupan zat gizi untuk keberlangsungan hidup, pemuas sensori seperti citarasa dan tekstur, dan secara fisiologis menjadi regulasi bioritme sistem saraf, sistem imun, dan pertahanan tubuh Yamada et al. 2008. Besarnya tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan dewasa ini menyebabkan pangan yang diminati sebagian konsumen memiliki kombinasi nilai gizi yang baik dan fungsi fisiologis untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, yang dikenal sebagai pangan fungsional Gibson Williams 2000. Definisi pangan fungsional dari setiap negara berbeda-beda karena perbedaan dalam jenis makanan. Jepang adalah negara yang pertama kali mendefinisikan pangan fungsional, yaitu pangan olahan bergizi yang juga mengandung bahan atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu Gibson Williams 2000. Dewan informasi makanan internasional The International Food Information Council, IFIC 2011 mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang menguntungkan bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai sumber zat gizi dasar. Asosiasi ahli gizi Amerika The America Dietetic Association, ADA 2009 mendefinisikan pangan fungsional sebagai serangkaian pangan meliputi produk segar atau produk olahan yang diperkaya dan ditingkatkan mutunya sehingga menguntungkan bagi kesehatan dan mengurangi risiko penyakit pada konsumen. Definisi pangan fungsional menurut UU No. 7 1996 dan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia BPOM 2011 adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan, dengan kriteria memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan, memiliki karakteristik warna, tekstur, dan cita rasa yang dapat diterima konsumen. Klasifikasi pangan fungsional menurut departemen kesehatan Jepang antara lain produk daging dan susu, dan golongan komponen yang dapat meningkatkan kesehatan, antara lain asam amino, vitamin, mineral, asam lemak tak jenuh ganda, dan phytochemicals Gibson Williams 2000. BPOM 2011 menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi. Kelelawar yang disebut dengan paniki adalah jenis pangan hasil olahan tradisional yang disukai oleh sebagian masyarakat di Sulawesi Utara sebagai sumber zat gizi, juga sebagian masyarakat percaya dapat menyehatkan dan dapat meningkatkan staminakebugaran. Berdasarkan pada definisi, klasifikasi dan persyaratan pangan fungsional tersebut di atas, maka daging kelelawar memiliki potensi sebagai pangan fungsional karena hasil penelitian pendahuluan melalui uji fitokimia yang merupakan skrining awal terbukti bahwa kulit dan lemak di bawah kulit, serta hati kelelawar memiliki senyawa golongan steroid. Uji fitokimia terhadap kombinasi daging, lemak, dan kulit dari beberapa jenis kelelawar menunjukkan bahwa N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid dan senyawa alkaloid, sedangkan A. celebensis, P. alecto, R. amplexicaudatus, dan Thoopterus sp positif mengandung senyawa steroid. Uji fitokimia terhadap bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar positif mengandung triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi senyawa aktif pada ekstrak n-heksana daging P. alecto menunjukkan adanya senyawa yang mempunyai kemiripan dengan struktur molekul senyawa steroid golongan estron, steroid golongan androstan, alkaloid golongan piridin- piperidin, dan alkaloid heterosiklik golongan imidazol. Estron adalah jenis estrogen yang menyebabkan perkembangan seks sekunder pada wanita, seperti pembentukan buah dada, dan androstan merupakan hormon seks jantan kelompok androgen menghasilkan ciri seks kejantanan seperti perubahan suara, pertumbuhan bulu dan janggut pada remaja pria Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003. Alkaloid golongan piridin-piperidin mempunyai kemiripan dengan senyawa kitotifen yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit, anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi PubChem, drug bank. Alkaloid heterosiklik golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata, juga untuk peningkatan sirkulasi darah Santos Moreno 2004. Adanya kemiripan senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, juga senyawa flavonoid yang terdapat dalam bumbu-bumbu yang digunakan pada pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar olahan sebagai pangan yang berpotensi sebagai bahan pangan fungsional, namun adanya steroid golongan estron dan adrostan pada daging kelelawar disarankan untuk dikonsumsi secara bijaksana karena kelebihan asupan adrogen dapat menyebabkan virilisasi pada wanita dan kelebihan asupan estrogen dapat menyebabkan sifat kewanitaan pada pria, walaupun belum diketahui kandungannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengolah dan mengkonsumsi daging kelelawar berdasarkan jenis kelamin. Terdeteksinya senyawa estron diduga berasal dari P. alecto betina, dan senyawa androstan berasal dari P. alecto jantan, karena dalam penelitian ini jantan dan betina tidak dipisahkan. Selain keberadaan komponen aktif, daging kelelawar mempunyai komposisi asam-asam lemak, asam amino baik jumlah dan jenisnya yang cukup lengkap, juga kandungan kalsium Ca dan fosfor P yang tinggi. Tingginya keberadaan Ca dan P pada daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai sumber mineral yang dapat diandalkan bagi tubuh, karena kalsium berperan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti pembentukan dan pemecahan asetilkolin yaitu zat kimia penghantar saraf neotransmiter, relaksi dan kontraksi otot, dan menjaga permebialitas membran sel. Kalsium mengatur kerja hormon dan faktor pertumbuhan. Kekurangan Ca pada masa pertumbuhan akan menyebabkan pertumbuhan terganggu, sedangkan pada usia lanjut menyebabkan osteoporosis, dan osteomalasia riketsia pada orang dewasa karena kurang vit D. Kekurangan fosfor mengakibatkan kerusakan tulang, gejala lelah, dan kurang nafsu makan Almatsier 2003. Kandungan asam lemak jenuh yang paling dominan adalah asam miristat C14:0, asam palmitat C16:0, dan asam stearat C18:0, dan total kolesterol daging kelelawar dalam penelitian ini lebih tinggi dari daging babi dan ikan cakalang, namun terdapat juga asam lemak tak jenuh ganda yang terdeteksi dalam daging kelelawar adalah ekosanpentaenoat EPA dan dokosaheksaenoat DHA yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Oleh karena itu, konsumsi daging kelelawar tidak perlu ditakuti, karena tubuh mempunyai mekanisme penyeimbang antara kolesterol yang masuk dan kolesterol yang disintesis tubuh. Selain itu, terdapat juga kandungan asam stearat, linoleat, linolenat, DHA, dan EPA yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL dalam darah Imaizumi et al. 1993, Yu et al. 1995, Murray et al. 2002. Kandungan asam amino yang menonjol pada daging kelelawar dalam penelitian ini adalah fenilalanina, leusina, glisina, dan tirosina. Pada keadaan normal, fenilalanina akan diubah menjadi tirosina, yaitu asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis protein, zat kimia otak termasuk L-DOPA, adrenalin, noradrenalin. L-DOPA adalah prekursor untuk neotransmitter dopamin, adrenalin, dan noradrenalin. Adrenalin merupakan neotransmitter yang dikeluarkan oleh safaf simpatis dan juga sebagai hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal Djojosoebagio 1996. Aderalin digunakan sebagai zat yang dapat memperlebar bronkodilator bagian saluran pernapasan, dan meningkatkan saluran udara keparu-paru untuk penderita asma. Tingginya adrenalin menyebabkan otot polos disaluran pernapasan relaksasi http:www.medicinet.comasthmapage3.htm. Kerja noradrenalin memberikan efek fisiologis guna mengatasi depresi. Noradrenalin dilepaskan ketiga terjadi perubahan fisiologi yang disebabkan karena stres. Fungsi penting noradrenalin sebagai neotransmitter yang dilepaskan dari saraf simpatik ke jantung sehingga laju kontraksi meningkat Guyton et al. 2006. Sebagai hormon stres, noradrenalin dapat meningkatkan aliran darah ke otot dan meningkatkan oksigen ke otak http:www.hormone.orgendocrine_ system.cfm. Leusina digunakan sel untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Glisina tidak merupakan asam amino ensensial bagi tubuh, namun berfungsi sebagai prekursor biosintesis profirin, dan mencegah pembesaran prostat pada pria Lehninger 1982. Keberadaan komponen aktif dan zat gizi dalam kelelawar membuktikan bahwa pemeo daging kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan yang dapat berfungsi bagi kesehatan, namun bahan pangan yang disukai konsumen bukan saja dilihat dari kandungan komponen aktif dan nilai gizi yang baik, namun juga dari penampakan yang menarik, cita rasa yang enak, serta aman dan sehat untuk dikonsumsi Wijaya 2002 . Hasil uji hedonik terhadap sifat-sifat organoleptik menunjukkkan bahwa panelis menerima daging kelelawar yang dimasak kari dan rica-rica sama dengan daging sapi, ayam, dan ikan cakalang yang dimasak kari dan rica-rica, sedangkan daging kelelawar yang hanya dikukus tanpa menggunakan bumbu tidak disukai panelis. Hal ini menggambarkan bahwa jenis daging tidak berpengaruh pada tingkat pemerimaan konsumen terhadap atribut organoleptik. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan bumbu-bumbu masak menjadikan daging kelelawar olahan aman dikonsumsi. Rahayu 2000 melaporkankan bahwa bumbu masak yang digunakan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi pada konsentrasi tersebut dapat membantu bahan-bahan lain untuk mencegah pertumbuhan mikrob. Namun, penanganan pengolahan yang kurang higienis dan penyimpanan yang cukup lama dan tidak benar akan menyebabkan terkontaminasinya dan berkembangnya mikrob patogen Khalafalla et al. 1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Hasil analisis terhadap daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC, kemudian dimasak kari dan rica-rica menghasilkan total mikrob, S. aureus, E.coli, Coliform, dan Salmonella sp di atas batas maksimum cemaran mikrob. Hasil analisis terhadap daging kelelawar segar 8-9 jam setelah pemotongan, juga daging kelelawar yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC menunjukkan total mikrob dan total S. aureus di atas batas maksimum cemaran mikrob, namun total mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari yang disimpan selama 14 hari pada suhu 5ºC berada di bawah batas cemaran mikrob yang dapat diterima pada daging olahan, walaupun total S. aureus pada daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan dimasak kari, juga total Coliform pada daging segar meningkat pada penyimpanan ke-14 hari, sehingga berada di atas batas cemaran yang ditetapkan BSN 2009, sedangkan total E. coli, Salmonella sp, dan Coliform adalah negatif. Berdasarkan pada karakteristik mikrob daging kelelawar segar dan daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari hasil penelitian ini, maka disarankan untuk membekukan karkas kelelawar tanpa isi saluran pencernaan, dan sebaiknya mengolah daging kelelawar segera setelah pemotongan. Kelelawar sebagai pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional yang aman untuk dikonsumsi harus tersedia secara berkelanjutan. Berdasarkan pada segi ketersediaan sebagai bahan pangan, P. alecto adalah spesies kelelawar pemakan buah yang paling banyak ditemukan diperjualbelikan di pasar, baik pasar tradisional maupun swalayan, dan jalur pemasarannya telah terbentuk mulai dari penangkap, pengumpul, sampai ke penjual. Berdasarkan pengamatan, di daerah Kolono, P. alecto dan A. celebensis yang dijual berada dalam keadaan mati beku. Sebaliknya, di daerah Lamaya, pengumpul mengambil kelelawar dalam keadaan masih hidup dan langsung diangkut dan dipasarkan. Berdasarkan pengamatan, pada sekitar bulan Mei hingga Juni, jumlah P. alecto di pasar berkurang, sedangkan sekitar bulan September hingga Maret, penjualan kelelawar melimpah di pasar. Hal itu terjadi karena di sekitar bulan tersebut merupakan musim buah-buahan sehingga kelelawar kembali ke habitat asalnya sehingga dengan mudah para penangkap mendapatkan tangkapannya. Dilihat dari lokasi, Gorontalo dan Sulawesi Tengah merupakan habitat yang ideal untuk kelangsungan hidup kelelawar karena kondisi hutan tempat bertengger dan mencari makan masih baik, yang ditandai dengan tidak ditemukannya perombakan dan pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perumahan. Demikian juga hutan mangrove di sekitar pantai masih terjaga. Selain itu, ditemukan juga beberapa gua batu yang terdapat dalam hutan yang tidak pernah diganggu manusia sehingga kelelawar dapat bertengkar membentuk koloni. Berkaitan dengan prospek penyediaan daging kelelawar kedepan, status A. celebensis, P. alecto, N. cephalotes, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens berdasarkan daftar IUCN Redlist yang dikeluarkan Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources IUCN 2012 masuk kategori least concer, Artinya, jenis-jenis kelelawar tersebut di atas masih dalam status aman dan belum terancam punah, dan keberadaan N. cephalotes, T. nigrescens, dan R. amplexicaudatus tidak termasuk dalam daftar konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam CITES, Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora baik appendix l dan ll. Artinya, spesies-spesies ini populasinya tidak dalam taraf yang membahayakan dan bisa diperdagangkan secara internasional. Sebaliknya, Pteropus alecto dan Acerodon celebensis termasuk dalam appendix ll. Artinya, kedua jenis ini tidak segera terancam punah, tetapi mungkin akan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan. Walaupun keberadaan kelelawar hasil penelitian masih masuk kategori aman, ketersedian secara berlanjut untuk bahan pangan diragukan karena berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan ada indikasi eksploitasi yang berlebihan, dan betina-betina yang tertangkapterjaring umumnya adalah betina produktif bunting dan sedang menyusui yang menyebabkan produktivitas kelelawar berkurang sehingga dikhawatirkan apabila eksploitasi terus dilakukan, suatu saat akan mengalami kepunahan. Hasil penelitian ini sangat menarik, karena disatu sisi ada kekhawatiran bahwa jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi akan mengalami kepunahan apabila perburuan terus dilakukan tanpa memperhatikan kelangsungan hidup kelelawar. Tidak terdapatnya informasi ilmiah tentang populasi kelelawar pemakan buah di Sulawesi merupakan kendala dalam hal ketersediaan daging kelelawar secara berkelajutan. Di sisi lain, daging kelelawar mempunyai kandungan gizi yang hampir sama dengan ternak konvensional lainnya, bahkan daging kelelawar P. alecto yang paling banyak dijual di pasar mengandung senyawa aktif yang berfungsi sebagai pangan yang dapat menyehatkan. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, maka kelelawar akan terus diburu di habitatnya yang akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi kelelawar dan kemungkinan akan menuju kepunahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan untuk menjaga populasi dan habitat kelelawar di alam bekerja sama dengan pemerintah membuat aturan atau larangan seperti penangkapan betina produktif dengan cara melepaskan betina bunting dan menyusui pada waktu ditangkap, pengaturan waktu penangkapan melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pemburu dan pengumpul kelelawar, juga edukasi kepada anak-anak sekolah tentang peran kelelawar sebagai bahan pangan dan fungsi ekologis kelelawar sebagai pengatur keseimbangan di hutan. Adanya pelarangan penangkapan kelelawar menyebabkan mata pencarian pemburu dan penjual kelelawar akan terganggu sehingga perlu dipikirkan bagaimana mengalihkan pekerjaan mereka. Ditinjau dari sisi peternakan, perlu dikaji cara budi daya kelelawar dengan melibatkan masyarakat, khususnya pemburu dan penjual kelelawar. Diharapkan masyarakat penggemar daging kelelawar mengkonsumsi daging kelelawar bukan mengambil dari alam tetapi dari hasil budi daya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada 5 jenis yaitu A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, R. amplexicaudatus, dan T. nigrescens. Produksi karkas kelelawar berkisar 49.29-64.07, tulang 19.09- 24.29, daging 50.27-51.86, dan lemak 4.09-10.61. Kualitas dan nilai gizi daging kelelawar hampir sama dengan ternak konvensional. N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens memiliki kandungan steroid dan alkaloid, bumbu masak memiliki triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n- heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol. Daging kelelawar masak kari dan rica-rica yang disimpan selama 14 hari dalam lemari pendingan pada suhu 5ºC layak dikonsumsi manusia, dan dari sisi organoleptik, daging kelelawar olahan disukai konsumen sama dengan daging olahan ternak konvensional. Dilihat dari nilai gizi dan komponen aktif yang ada pada daging kelelawar dan bumbu masak maka daging kelelawar yang diolah rica-rica dan kari berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Saran Berdasarkan hasil pengamatan, ada gejala ekploitasi yang berlebihan dan betina yang tertangkap pada umumnya betina produktif sehingga ada kemungkinan suatu saat keberadaan kelelawar menuju kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk melihat status populasi dan keberadaan habitat kelelawar di setiap lokasi. Untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar yang ada di tiap lokasi, maka perlu dilakukan penelitian molekuler. Perlu dilakukan penelitan untuk membedakan nilai gizi dan kandungan bioaktif kelelawar hasil budi daya dibandingkan kelelawar di alam, juga dengan karakteristik mikrob daging olahan yang berada di rumah-rumah makan, dan daging kelelawar olahan yang dibekukan kemudian dipanaskan sebelum dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrad DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Ed ke-4. USA : KendalHunt Pulishing Co. Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and carcass quality if broiler chicks under high stocking density fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 5:264-268. Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Adejinka AE. et al. 2011. Physicochemical properties and microorganisms isolated from drier meat obtained in Oja-Oba market in Ilorin, Nigeria. Adv Appl Sci Res 24:391-400. Almatseir. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard method for the examination of Dayry Product. Ed ke-16. Washington DC : Porth Cyti Press. [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. USA : Arlington.Virginia. Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 5 422-425. Baratawidjaya K, Sundaru H. 1981. Asma bronkial : Patofisiologi. Cermin Dunia Kedokteran 21:29-32. Baratawijaya K. 1988. Imunolog Dasar. Indonesia : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island Mamalia, Megachiroptera. Zool Verhandlugen 248:1-14. Blasco A, Estany J, Baselga M. 1984. Prediction rabbit meat and bone weight using carcass measurements and simple cuts. Ann Zootec 332:161-170. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK. 03.1.23.11.11.09909. 2011. Tentang Pengawasan Klaim Dalam label dan Iklan Pangan Olahan. BPOM RI. Botha SStC, Hoffman LC, Britz TJ. 2006. Effect of hot deboning on the physical quality characteristics of ostrich meat. S Afr J Anim Sci 36:197-208. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-4. Conecticut : Appleton Lange, Simon Schuster Co. [BSN] Badan Standarisasi Nasional 2008. Metode Pengujian Mikrob dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. SNI. Standar Nasional Indonesia. 2897:2008 [BSN]. Badan Standarisasi Nasional 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikrob Pangan. SNI. Standar Nasional Indonesia. 7388:2009 Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian Durio zibethinus, Bombacae in southern Thailand. J Trop Ecol 25:85-92. Cetin O et al. 2010. The microbiological, serologi and chemical quality of mincemeat marketed in Istanbul. Turk J Vet Anim Sci 344: 407-412. Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69 1 :67-72. Clarence SY, Obinna CN, Shalom NC. 2009. Assessment of bacterilogical quality of ready to eat food Meat pie in Benin city metropolis, Nigeria. Afr. J Microb Res 36: 390-395. Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers long they become rare. Ecology 872:271-276. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari spektrum infra merah sebagai penenda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 123:154-162. Desroiser NM. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. [Ditjenak Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. [Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan] Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Dumont ER, Onell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats Pteropodidae. J Mammal 85 1: 8-14. Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 272: 58-65. Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific Moluccan Islands. Sydney : Australian Museum Reed Book. Florowski T et al. 2006. Teknological parametres in pig of two polish local breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 3: 217-224. Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Brazil J Poul Sci 12:233-237. Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited. Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr. 119:529-533. Guyton, Arthur, Hall, John 2006. Textbook Kedokteran Fisiologi. Ed ke-11. Pennsylvania: Elsevier Inc. Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains Teknol Farm131:1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Harold H, Craine LE, Hart DH. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta: Erlangga. Haryoko I, Warsiti T. 2008. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap karakteristik fisik karkas kelinci peranakan New Zealand White. Anim Product 102: 85-98. Hill JE, Smith JD. 1984. Bats : A Natural History London : Cromwell Road. Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats Chiroptera: pteropodidae as seed dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic 344:491-503. Hutajulu WL, Yulinas. 2007. Pengaruh pemberian tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger terhadap karkas kelinci local umur 16 minggu. J Agribis Pet 32:75-79. Ibekwe AC et al. 2008. Baseline Salmonella agglutinin titres in apparently healthy freshmen in Awka, South Eastern, Nigeria. Sci Res Essay 39: 225-230. Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702. Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rekay Kim Lingk 62:50-54. Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Jenie BSL, Undriyani K, Dewanti R. 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu kontak terhadap aktivitas beberapa mikrob penyebab kerusakan pangan. Bul Penel Ilmu Teknol Pangan 32:1-16. Johnson PL, Purchas RW, Mcewan JC, Blair HT. 2005. Carcass composition and meat quality differens between pasture-reared ewe and lambs. Meat Sci 712:383-391. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas Brine Shrimp Lethality test dan antioksidan 1.1-diphenyl-2- pikrilhydrazyl dari ekstrak daun saga Abrus precatorius L.. Makara Sains 131:50-54. Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim Sci 78:253-259. Khalafalla F, Gergis AF, El-Sherif A. 1993. Effect of freezing and mincing technique on microbial load of minced meat. Die Nahrung 37:422-427. Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene Chiroptera : Pteropodidae from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417. Klooker et al. 2010. The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral hypersensitivity and internal symptoms in patients with irritable bowel syndrome. Gut 599:1213-1221. Komariah, Arief I, Wiguna Y. 2004. Kualitas fisik dan mikroba daging sapi yang ditambahkan jahe Zingiber Officinale Roscoe pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Med Pet 272: 46-54. Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa Cocos nucifera, pinang Areca catechu dan aren Arenga pinnata sebagai tanaman obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. terhubung berkala http:balittro.litbang.deptan.go.idind 7 Mei 2012 Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci :1 –6. Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv 131:584-593. Lawrie RA. 2003. Ilmu daging. Parakkasi A, Penerjemah; Jakarta: Terjemahan dari : Meat Sci. Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop Biodivers 6:145-162. Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488. Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389. Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Volume ke-2. Menggy Thenawijaya, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principle of Biochemisrty. Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 621:73-97. Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci 71:194-204. Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record. Treubia 321: 63-85. Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus Chiroptera : Pteropodidae from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111- 120. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM. 2006. Evaluation of three pork quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 192:266-272. Murhadi, Fardiaz S, Laksmi SS, Satiawihardja B. 1994. Pengaruh penyimpanan dan pemanasan kembali terhadap mutu biologis kalio dan rendang daging sapi. Bul Tek Indus Pangan 5 3 : 26-33. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill. Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. ED ke-3. New York : Worth publishing. Ngitung R. 2007. Tingkat kontaminasi mikrobiologi daging broiler pada pasar swalayan di kota Makasar. J Agris 91:23-40. Nurwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Escherichia coli daging sapi yang dimarinasi dalam jus bawang putih. J Aplik Teknol Pangan. 12:20-22. Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post Mortem Muscle Tissue. Vol 4: Microbilogy. Ed ke-12. Department of Animal Science. The Ohio State University. Owens FN, P Dubeski, Hanson CF. 1993. Factor that alter the growth and development of ruminant. J Anim Sci 71:3138-3150. Palupi KT et al. 2010. Penyujian Staphylococcus aureus pada daging ayam yang dilalulintaskan melalui pelalbuhan penyeberangan merak. Hemera Soa. 21: 9-14. Prasetyo A, PrasetyoT, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Rahayu WP. 2000. Aktifitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul Teknol Indust Pangan 112 : 42-48. Raji. 2008. Sistem endokrin dan jenis hormon : An overview. Hormon Health Network. http:www.hormone.orgendocrine_system.cfm 21 Oktober 2012 Rao VA, Thulasi G, Ruban SW. 2009. Meat quality characteristics of non-discript buffalo as effected by age and sex. Word App Sci J 68:1058-1065. Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78:170-175. Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 332: 95-102. Rustam E, I Atamasari, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol kunyit curcuma domestica val. pada tikus putih jantan galur wistar. J Sains Teknol 122:112-115. Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat depending on their sex. Actavet 78:497-504. Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan cendana Santalum album Linn. Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatra Utara. Medan. Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137. Sartika RAD, Ivonne M, Indrawani, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O 157 :O 7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya. Mak Kes 91:23-28. Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of pilocapus Rustaceae as sources of pilocarine and other imidazole alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 3. Absrtact. http:www.springerlink.comcontent01027wm4011mr53w. 7 mei 2012 Schlegelova J et al. 2010. Microbial contamination after sanitation of food contact surface in dairy and meat processing plants. Czech J Food Sci 285:450- 461. Setiowati WE, Mardiastuty E. 2009. Tinjauan bahan pangan asal hewan yang asuh berdasarkan aspek mikrobiologi di DKI Jakarta. 19 November 2009. Badan Standardisasi Nasional. Hlm 1-11. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor : IPB press. Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Shelef LA. 1983. Antimicrobial effect of species. J Food Sci 6: 29-44. Shiel MC. 2010. Asma. http:www.medicinenet.comasthmapage3.htm. 12 Oktober 2012 Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum. Med Pet 271:1-11. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press. Stillmunkes AA, Prabhu GA, Sebranek JG. 1993. Microbiological safety of cooked beef roasts treated with lactate monolaurin or glukonate. J Food Sci 585:953-958. Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya Carica papaya L.. J Kim 2 1:15- 18. Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14 1 : 41-48. Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol Has Tern 22: 42:51. Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Ting WTE, Deibel KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices at two temperature. J Food Safe 12:129-137. Turtura GC. 1991. Enterobacteriaceae and other gram negatif bacteria in slaughtered poultry. MAN 92: 139-146. Ukut IOE et al. 2010. Assessment of bacteriological quality of fresh meats sold in Calabar metropolis, Nigeria. EJEAChe 91: 89-100. Presiden Republik Indonesia. 1996. Undang undang No. 7. Tentang Pangan. Jakarta. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Wiley DJ, Engbring J, Otobed D. 1997. Abundance, biology, and human exploitation of bats in the Pulau Islands. J Zool London 241:203-227. Wijaya H. 2002. Pangan fungsional dan kontribusinya bagi kesehatan. Seminar online Kharisma ke-2.http:ml.scribd.comdoc28608855pangan- fungsional-dan-kontribusinya-bagi-kesehatan [26 Sept 2012] Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert 24 2: 47-55. Yalden DW, Morris PA. 1975. The live of bats. New York : The New York Times Quadrangle. 247 hlm. Yohnny F, Tridjoko, Roza. 2003. Study pendahuluan pengaruh hormon steroid terhadap keragaan hematologi induk ikan kerapu bebek. J Vet 44: 30- 34. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61 :1129:1139. Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL. 1978. Effect of spece and salt on fermentation of libanon bologna sausage. J Food Sci 43:186-189. Zottola EA, Sasahara KC.1994. Microbial biofilm in the food processing industry. Int J Food Microbiol 23 :125-148. LAMPIRAN Lampiran 1 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 213.29 25.57 7.00 195.00 270.00 213.27 8.12 26.00 200.00 220.00 Panjang lengan bawah 136.86 2.41 7.00 135.00 140.00 140.77 6.43 26.00 130.00 150.00 Panjang betis 59.29 4.50 7.00 55.00 65.00 59.42 2.58 26.00 55.00 65.00 Panjang kaki 50.71 4.50 7.00 45.00 55.00 53.46 2.35 26.00 50.00 55.00 Panjang telinga 31.86 1.86 7.00 30.00 34.00 31.54 1.58 26.00 30.00 35.00 Panjang tengkorak total 59.29 1.38 7.00 57.00 61.00 62.88 2.70 26.00 57.00 68.00 Panjang tengkorak condylobasal 52.00 3.96 7.00 45.00 56.00 55.58 3.78 26.00 45.00 63.00 Panjang tengkorak condylocaninus 47.29 3.09 7.00 42.00 50.00 49.38 2.50 26.00 42.00 55.00 Panjang baris gigi geraham atas 25.00 1.53 7.00 23.00 28.00 24.85 2.29 26.00 15.00 28.00 Lebar tulang pipi 34.86 1.68 7.00 32.00 37.00 36.08 1.67 26.00 32.00 39.00 Lebar geraham baris gigi premolar 12.86 0.38 7.00 12.00 13.00 13.73 0.45 26.00 13.00 14.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.29 0.76 7.00 7.00 9.00 8.65 0.75 26.00 7.00 10.00 Kolono Lamaya Lampiran 2 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak N. chepalotes di Pakuure Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Panjang sayap 509.80 18.81 10.00 470.00 540.00 Panjang lengan bawah 69.30 1.64 10.00 65.00 70.00 Panjang betis 27.00 1.25 10.00 25.00 30.00 Panjang kaki 19.60 0.84 10.00 18.00 20.00 Panjang telinga 16.80 0.79 10.00 15.00 18.00 Panjang tengkorak total 32.00 1.00 7.00 32.00 33.00 Panjang tengkorak condylobasal 28.00 0.58 7.00 27.00 29.00 Panjang tengkorak condylocaninus 25.57 0.79 7.00 25.00 27.00 Panjang baris gigi geraham atas 10.29 0.49 7.00 10.00 11.00 Lebar tulang pipi 22.57 1.40 7.00 20.00 24.00 Lebar geraham baris gigi premolar 3.29 0.49 7.00 3.00 4.00 Lebar geraham baris gigi molar 6.00 0.00 7.00 6.00 6.00 Pakuure Lampiran 3 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 231.33 8.55 15.00 220.00 245.00 247.14 28.70 7.00 190.00 270.00 262.78 15.63 9.00 225.00 270.00 236.79 14.89 14.00 210.00 250.00 Panjang lengan bawah 154.67 3.39 15.00 150.00 158.00 166.43 9.45 7.00 145.00 170.00 166.11 4.17 9.00 160.00 170.00 159.29 12.07 14.00 140.00 170.00 Panjang betis 73.93 4.23 15.00 70.00 80.00 75.71 3.45 7.00 70.00 80.00 77.22 2.64 9.00 75.00 80.00 74.29 2.67 14.00 70.00 80.00 Panjang kaki 59.33 1.76 15.00 55.00 60.00 57.86 2.67 7.00 55.00 60.00 61.33 2.18 9.00 60.00 65.00 59.29 1.82 14.00 55.00 60.00 Panjang telinga 32.53 0.52 15.00 32.00 33.00 32.14 1.07 7.00 30.00 33.00 32.22 0.97 9.00 30.00 33.00 32.00 1.18 14.00 30.00 33.00 Panjang tengkorak total 69.60 0.83 15.00 68.00 70.00 69.29 1.89 7.00 65.00 70.00 70.56 1.67 9.00 70.00 75.00 70.14 2.11 14.00 68.00 74.00 Panjang tengkorak condylobasal 59.60 0.83 15.00 58.00 60.00 59.86 2.27 7.00 55.00 62.00 61.67 2.50 9.00 60.00 65.00 60.07 2.81 14.00 55.00 64.00 Panjang tengkorak condylocaninus 54.33 1.11 15.00 52.00 55.00 54.86 2.19 7.00 50.00 56.00 56.67 2.50 9.00 55.00 60.00 54.64 3.03 14.00 48.00 58.00 Panjang baris gigi geraham atas 28.20 0.56 15.00 28.00 30.00 27.71 0.76 7.00 26.00 28.00 29.56 0.53 9.00 29.00 30.00 27.43 0.85 14.00 26.00 28.00 Lebar tulang pipi 38.27 0.70 15.00 38.00 40.00 35.29 1.70 7.00 33.00 38.00 39.44 0.88 9.00 38.00 40.00 37.29 2.13 14.00 34.00 40.00 Lebar geraham baris gigi premolar 15.27 0.46 15.00 15.00 16.00 16.14 0.69 7.00 15.00 17.00 16.33 1.00 9.00 15.00 17.00 16.21 0.80 14.00 15.00 17.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.00 0.00 15.00 8.00 8.00 8.43 0.53 7.00 8.00 9.00 8.00 0.00 9.00 8.00 8.00 8.93 0.83 14.00 8.00 10.00 Kolono Lamaya Pasar Bersehati Matialemba Lampiran 4 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Panjang badan 133.56 12.95 16.00 105.00 160.00 Panjang lengan bawah 87.63 9.60 16.00 70.00 100.00 Panjang betis 45.56 6.77 16.00 30.00 50.00 Panjang kaki 30.25 5.34 16.00 20.00 35.00 Panjang telinga 20.44 2.56 16.00 16.00 23.00 Panjang tengkorak total 42.69 3.50 16.00 37.00 48.00 Panjang tengkorak condylobasal 37.94 2.46 16.00 35.00 42.00 Panjang tengkorak condylocaninus 33.75 2.72 16.00 30.00 39.00 Panjang baris gigi geraham atas 14.81 1.64 16.00 12.00 17.00 Lebar tulang pipi 23.13 2.00 16.00 20.00 25.00 Lebar geraham baris gigi premolar 10.06 1.18 16.00 8.00 11.00 Lebar geraham baris gigi molar 5.13 0.81 16.00 4.00 6.00 Peonea Lampiran 5 Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, kisaran maksimum dan minimum ukuran tubuh dan tengkorak Thoopterus spp. di Pakuure Ukuran Tubuh dan Tengkorak mm Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Rataan St.dev N Min Max Panjang sayap 553.15 77.41 13.00 490.00 725.00 467.67 39.50 15.00 400.00 510.00 379.09 52.00 11.00 260.00 420.00 Panjang lengan bawah 75.92 5.39 13.00 70.00 85.00 66.00 7.01 15.00 57.00 75.00 53.82 9.13 11.00 35.00 60.00 Panjang betis 30.15 1.34 13.00 29.00 33.00 27.53 1.36 15.00 26.00 30.00 20.09 3.39 11.00 15.00 24.00 Panjang kaki 25.31 3.84 13.00 23.00 32.00 20.53 1.55 15.00 18.00 23.00 14.64 2.73 11.00 10.00 20.00 Panjang telinga 17.00 0.58 13.00 16.00 18.00 15.47 1.30 15.00 14.00 17.00 15.91 0.94 11.00 15.00 17.00 Panjang tengkorak total 37.88 0.83 8.00 37.00 39.00 33.60 4.19 15.00 28.00 40.00 29.00 1.85 8.00 25.00 31.00 Panjang tengkorak condylobasal 34.00 0.76 8.00 33.00 35.00 29.67 3.75 15.00 25.00 35.00 25.88 1.25 8.00 24.00 27.00 Panjang tengkorak condylocaninus 30.88 0.83 8.00 30.00 32.00 28.27 3.37 15.00 24.00 32.00 24.38 0.74 8.00 23.00 25.00 Panjang baris gigi geraham atas 13.75 0.46 8.00 13.00 14.00 16.73 7.19 15.00 8.00 28.00 10.88 2.17 8.00 8.00 13.00 Lebar tulang pipi 23.25 1.04 8.00 22.00 25.00 16.80 3.88 15.00 13.00 24.00 18.75 2.12 8.00 15.00 21.00 Lebar geraham baris gigi premolar 3.13 0.35 8.00 3.00 4.00 2.47 0.52 15.00 2.00 3.00 2.00 0.00 8.00 2.00 2.00 Lebar geraham baris gigi molar 8.13 0.35 8.00 8.00 9.00 6.67 1.35 15.00 5.00 8.00 5.50 0.53 8.00 5.00 6.00 Thoopterus sp 2 Thoopterus nigrescens Thoopterus sp 1 Lampiran 6 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas A. celebensis di Lamaya dan Kolono Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 7 354.14 32.47 300.90 395.80 11 385.94 74.20 274.40 533.90 Karkas 7 51.98 3.64 47.59 57.24 11 56.04 2.79 50.03 59.11 Daging 7 56.92 4.89 49.77 63.00 11 54.81 3.42 47.06 59.01 Kulit 7 15.54 1.13 14.08 17.72 11 16.06 1.44 13.44 18.63 Tulang 7 21.43 1.99 19.02 24.87 11 19.86 3.35 15.08 25.16 Lemak 7 2.03 1.26 0.00 3.80 11 8.97 5.18 1.90 17.25 Non karkas 7 18.28 2.25 14.72 21.80 11 17.09 2.92 13.41 22.75 Lamaya Kolono Lampiran 7 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas P. alecto di Pasar Bersehati, Lamaya, Matialemba, dan Kolono Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah samplel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 7 535.66 92.89 333.60 600.00 7 546.19 163.17 325.00 795.00 7 739.53 20.30 719.50 779.20 15 508.89 25.22 450.00 545.00 Karkas 7 54.85 7.58 41.64 61.74 7 56.03 8.22 40.54 63.70 7 56.55 2.30 52.84 59.79 15 54.49 1.02 247.30 56.34 Daging 7 54.07 10.99 44.40 72.36 7 47.18 4.56 41.22 55.06 7 45.37 2.78 42.39 50.10 15 54.03 1.59 51.23 56.45 Kulit 7 16.80 2.52 15.28 22.27 7 16.54 1.04 15.27 18.60 7 15.63 2.45 13.73 20.96 15 18.49 1.27 16.59 20.37 Tulang 7 19.15 3.58 14.02 24.32 7 20.86 3.34 18.10 26.48 7 18.97 1.76 16.64 20.90 15 18.12 0.86 17.05 19.41 Lemak 7 11.49 6.64 0.00 17.28 7 11.74 8.90 0.00 20.51 7 19.16 2.81 14.30 21.37 15 7.59 1.75 5.93 12.04 Non karkas 7 13.78 1.87 11.67 16.48 7 12.67 2.49 11.01 17.47 7 12.59 1.62 9.91 15.36 15 12.41 0.89 11.20 13.94 Matialemba Pasar Bersehati Manado Lamaya Kolono Lampiran 8 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas Thoopterus spp. di Pakuure Komponen Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 9 90.54 39.81 59.80 156.50 5 30.6 6.06 22.5 39.3 Karkas 9 49.29 6.50 42.61 65.49 5 64.07 2.05 61.75 66.63 Daging 9 51.41 3.10 47.49 57.63 5 51.86 3.93 47.26 55.43 Kulit 9 17.21 2.97 11.55 20.13 5 9.34 0.94 8.53 10.95 Tulang 9 21.59 5.12 15.53 29.19 5 19.85 1.92 17.44 21.92 Lemak 9 4.09 6.19 0.00 13.79 5 0.00 0.00 0.00 0.00 Non karkas 9 18.44 5.85 11.05 28.50 5 17.51 2.71 14.03 21.29 Thoopterus nigrescens Thoopterus sp Lampiran 9 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas N. cephalotes di Pakuure Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot Badan kg 8 52.76 5.15 43.1 60 Karkas 8 61.58 3.16 54.77 64.14 Daging 8 50.27 2.23 46.25 53.31 Kulit 8 11.37 0.95 10.40 13.28 Tulang 8 19.09 2.07 17.42 23.44 Lemak 8 4.89 3.07 0.00 7.61 Non karkas 8 17.81 0.68 16.50 18.83 Lampiran 10 Jumlah sampel, standar deviasi, bobot badan maksimum dan minimum, bobot karkas, bobot komponen karkas, dan bobot nonkarkas R. amplexicaudatus di Peonea Komponon Jumlah sampel Rataan Stdev Min Max Bobot badan kg 8 97.84 35.05 58.50 149.60 Karkas 8 55.65 2.29 50.99 58.65 Daging 8 51.67 1.77 48.65 53.60 Kulit 8 12.57 2.77 8.92 16.13 Tulang 8 24.29 2.50 21.30 29.68 Lemak 8 10.61 3.16 5.48 14.87 Non karkas 8 15.89 1.95 13.16 18.96 Lampiran 11 Intensitas warna senyawa steroid ekstrak n-heksana kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna Kelelawar : Acerodon celebensis Bening menjadi biru ++ Nyctimene chepalotes Bening menjadi biru ++ Pteropus alecto Bening menjadi biru ++ Pteropus sp Bening menjadi hijau ++ Rousettus ampexicaudatus Bening menjadi biru ++ Thoopterus nigrescens Bening menjadi biru pekat ++ Lanjutan lampiran 11 Jenis daging Perubahan warna Keterangan warna Thoopterus sp 1 Bening menjadi biru ++ Thoopterus sp 2 Bening menjadi biru ++ Daging babi Bening menjadi biru + Daging kelinci Bening menjadi biru + Ikan Bening menjadi hijau ++ Ayam Tidak ada perubahan - ++: intensitas warna kuat;+ + intensitas warna lemah; - tidak terdapat steroid Lampiran 12 Uji Alkaloid N. cephalotes, T. nigrescens, dan P. alecto Jenis daging Perubahan warna Keterangan gambar W M D N. cephalotes Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye +. Terbentuk endapan oranye T. nigrescens Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye+. Terbentuk endapan oranye P. alecto Bening- cokelat kemerahan +. Terbentuk endapan cokelat Bening- keruh +. Terbentuk endapan putih Bening- oranye +. Terbentuk sedikit endapan oranye W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; + endapan yang terbentuk sedikit. Lampiran 13 Intensitas warna senyawa triterpenoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan warna Cabe rawit bening menjadi merah jambu ++ Jahe Bening menjadi merah jambu ++ Kunyit Kuning menjadi merah jambu +++ Bawang daun Bening menjadi kuning kemerahan + Daun sereh Bening menjadi kuning kemerahan + Rempah campur Bening menjadi merah jambu pekat +++ +++: intensitas warna kuat;++ intensitas warna sedang; + intensitas warna lemah Lampiran 14 Uji flavonoid bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar, ternak konvensional, dan ikan cakalang Jenis bumbu Perubahan warna Keterangan gambar Jahe Bening menjadi kuning +++ Cabe rawit Bening menjadi kuning +++ Sereh Bening bening jingga +++ Rempah campur Bening menjadi kuning +++ +++: intensitas warna kuat Lampiran 15 Data uji hedonik terhadap rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan di masak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 3 5 7 7 6 5 5 7 7 3 7 7 2 2 6 5 2 6 6 7 7 7 5 3 7 3 4 5 6 6 7 7 6 5 7 3 6 7 4 2 5 5 4 7 7 6 7 6 4 6 7 5 4 6 7 5 5 6 6 6 7 6 6 7 6 3 7 7 5 7 7 6 7 7 7 7 7 7 4 6 6 2 6 6 2 5 5 2 5 5 8 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 9 1 5 6 3 5 4 1 7 7 1 7 6 10 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5 11 2 6 7 2 6 5 7 6 6 5 6 5 12 2 6 5 3 4 5 5 5 6 4 5 5 13 4 7 7 6 7 7 6 6 5 5 7 7 14 1 7 6 2 7 6 2 7 6 2 7 6 15 4 5 7 3 6 7 4 6 4 6 6 7 16 3 6 6 5 6 6 4 7 7 3 6 5 17 4 5 6 2 7 6 5 7 7 2 6 6 18 1 5 5 2 6 5 2 5 5 5 5 5 19 1 7 7 1 4 7 6 5 6 2 5 7 20 3 7 7 7 4 7 5 6 7 5 6 7 21 2 6 7 5 6 7 4 6 6 2 6 7 22 2 6 6 3 5 5 5 6 5 5 6 6 23 2 5 5 1 4 5 6 7 6 1 4 6 24 2 7 6 2 6 7 2 6 6 2 6 7 25 1 7 7 3 7 7 2 7 7 2 7 7 26 2 6 6 1 6 5 3 6 5 1 6 6 27 1 7 7 1 7 7 2 7 6 2 7 7 28 2 6 5 2 6 6 2 6 7 4 6 6 29 1 6 7 1 6 6 1 6 5 1 6 7 30 3 7 5 4 5 5 5 6 7 2 6 7 31 4 6 6 4 5 5 6 6 6 2 6 6 32 1 6 5 2 7 6 1 6 7 3 5 7 33 1 6 5 4 6 5 6 7 7 4 7 7 34 1 6 5 1 7 5 1 6 6 1 7 5 35 2 6 5 1 7 5 3 6 7 2 7 6 36 2 6 7 2 6 7 4 6 6 2 7 7 37 1 6 7 2 5 4 6 5 5 5 5 5 38 1 7 5 1 4 4 1 6 5 1 5 5 39 2 5 6 2 3 5 2 7 7 2 5 5 40 1 5 6 2 6 6 5 7 7 2 3 7 41 2 5 6 3 5 6 5 6 6 3 6 6 42 3 5 5 3 5 5 2 5 5 2 5 5 43 1 7 6 4 6 6 4 6 7 4 6 6 44 3 5 6 2 3 4 3 6 6 2 6 5 45 2 6 6 1 6 6 1 6 6 2 6 6 46 1 6 6 1 5 6 2 6 6 3 6 6 47 2 7 6 3 7 6 1 7 7 3 7 7 48 4 6 6 5 5 4 5 6 6 4 5 5 49 1 5 5 1 5 5 3 5 5 3 5 5 50 1 5 5 1 5 5 4 6 7 3 5 5 Total 105 296 298 138 283 283 192 307 309 150 291 306 Rataan 2.1 5.92 5.96 2.76 5.66 5.7 3.84 6.14 6.18 3 5.82 6.12 Lampiran 16 Analisis uji Kruskal-Wallis rasa daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.000 75.3 -9.59 2 50 6.000 373.0 3.09 3 50 6.000 385.0 3.60 4 50 2.000 123.7 -7.53 5 50 6.000 357.0 2.41 6 50 6.000 352.6 2.22 7 50 4.000 199.0 -4.32 8 50 6.000 412.2 4.76 9 50 6.000 416.2 4.93 10 50 3.000 133.6 -7.11 11 50 6.000 372.7 3.08 12 50 6.000 405.7 4.48 Overall 600 300.5 H = 322.81 DF =11 P = 0.000 H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 17 Data uji hedonik terhadap warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 2 4 5 7 7 7 6 7 7 4 4 3 2 3 5 5 3 5 5 4 5 5 3 5 6 3 5 5 5 3 5 5 5 7 7 5 5 6 4 2 6 6 5 5 6 2 5 7 2 7 5 5 3 5 5 5 5 5 5 7 7 3 6 5 6 4 5 5 3 5 5 5 7 6 5 7 6 7 3 5 4 3 5 4 6 6 5 4 5 5 8 3 5 5 3 6 5 4 1 3 4 6 3 9 5 6 5 3 6 6 4 6 6 3 5 7 10 3 4 4 3 7 7 3 6 6 3 6 5 11 2 6 6 5 6 5 2 4 4 2 4 3 12 3 5 4 3 5 5 5 6 3 5 6 6 13 5 6 6 5 6 6 6 6 6 5 6 7 14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 15 5 7 6 5 6 6 4 6 6 4 5 6 16 5 5 6 6 6 6 5 6 7 4 6 7 17 4 7 7 3 7 7 4 7 5 3 6 6 18 5 6 7 5 5 5 6 7 5 6 3 4 19 5 6 6 6 7 6 5 5 5 3 6 6 20 5 6 6 7 7 6 6 7 7 5 7 7 21 6 5 5 4 6 5 4 6 5 3 5 5 22 6 7 6 7 6 7 2 6 6 4 7 6 23 6 7 7 5 7 6 4 3 5 4 4 5 24 5 7 7 5 6 7 5 6 6 6 6 6 25 5 6 6 5 6 6 7 7 6 7 6 6 26 5 6 7 5 5 7 6 6 6 7 6 5 27 6 5 6 5 4 5 6 6 7 7 7 7 28 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6 5 29 7 7 5 5 6 6 3 7 5 4 6 5 30 5 6 5 7 6 5 6 6 6 6 6 6 31 4 4 5 3 4 5 6 7 6 5 5 6 32 4 6 5 4 6 5 6 5 5 6 5 4 33 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6 6 34 5 5 5 5 5 5 7 6 6 6 7 6 35 5 5 6 5 6 6 6 7 7 7 6 5 36 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 5 37 2 7 5 2 7 4 6 3 5 6 7 5 38 2 6 6 5 6 6 2 6 6 2 5 3 39 2 6 7 5 4 4 6 6 7 6 6 4 40 5 5 5 5 4 4 6 6 6 6 5 6 41 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 42 6 6 5 3 6 5 2 6 3 6 3 1 43 7 5 7 5 7 4 6 4 5 4 5 1 44 2 6 5 2 7 7 2 6 6 2 6 6 45 2 5 5 4 5 7 5 7 6 6 6 5 46 2 5 5 4 5 5 2 6 5 2 6 6 47 3 5 5 3 5 5 3 6 6 3 5 5 48 2 5 5 2 5 5 3 6 6 3 6 6 49 5 5 5 2 5 5 4 6 6 1 4 6 50 3 5 5 4 7 4 2 6 6 4 7 6 Total 210 280 276 221 286 275 233 293 285 226 282 263 Rataan 4.2 5.6 5.52 4.42 5.72 5.5 4.66 5.86 5.7 4.52 5.64 5.26 Lampiran 18 Uji Kruskal-Wallis warna daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 5.000 179.0 -5.18 2 50 5.500 334.0 1.43 3 50 5.000 322.2 0.93 4 50 5.000 190.8 -4.68 5 50 6.000 359.6 2.52 6 50 5.000 321.8 0.90 7 50 5.000 238.0 -2.66 8 50 6.000 397.0 4.11 9 50 6.000 368.5 2.90 10 50 5.000 226.2 -3.16 11 50 6.000 355.1 2.32 12 50 6.000 313.8 0.57 Overall 600 300.5 H = 97.91 DF =11 P = 0.000 H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 adjuted for ties Lampiran 19 Data uji hedonik terhadap aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 1 7 5 1 4 6 1 6 6 2 3 6 2 5 6 7 4 5 7 7 6 7 4 7 7 3 4 5 6 4 5 7 5 5 7 5 6 7 4 4 5 6 4 5 6 4 6 6 4 6 6 5 2 6 5 2 6 5 2 6 7 2 6 5 6 2 5 6 3 5 5 4 5 6 4 5 6 7 2 5 5 3 5 5 3 6 6 3 6 6 8 3 5 6 3 5 5 4 6 6 4 6 7 9 7 6 6 2 7 6 6 7 6 7 4 7 10 2 6 6 3 6 6 5 6 6 1 5 6 11 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 12 3 6 6 4 6 6 2 7 6 2 6 6 13 2 5 6 1 3 4 2 6 6 2 6 5 14 2 6 6 1 6 6 3 6 6 2 2 6 15 2 5 5 2 7 5 2 3 6 3 4 6 16 2 6 6 2 6 6 2 6 6 2 7 6 17 2 5 6 2 5 4 2 6 6 4 6 6 18 3 4 4 4 4 4 4 5 6 5 5 6 19 1 5 5 2 3 6 3 6 6 5 3 6 20 2 7 6 2 4 6 4 5 5 4 6 6 21 2 5 5 2 5 5 4 6 6 3 5 5 22 2 6 6 2 6 5 4 6 7 3 6 5 23 3 7 6 3 7 7 4 7 6 3 7 6 24 2 6 6 2 6 5 2 6 5 2 7 5 25 1 6 5 2 6 5 4 6 6 3 6 6 26 1 6 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5 27 1 7 6 2 7 7 2 7 6 2 7 6 28 4 6 7 5 7 4 2 4 2 5 4 6 29 4 6 6 3 6 6 4 7 7 4 5 4 30 2 6 5 2 6 6 2 6 7 2 6 6 31 2 4 5 3 4 4 2 5 4 2 5 5 32 4 7 5 6 5 6 6 7 6 5 7 6 33 5 6 6 4 4 5 3 5 6 3 7 5 34 1 6 5 4 7 5 2 6 6 5 6 5 35 2 7 6 2 7 6 2 7 7 2 6 7 36 4 5 5 4 4 6 3 7 7 4 7 7 37 2 5 5 2 5 6 2 6 5 4 6 6 38 2 5 5 5 7 7 5 6 6 4 6 7 39 2 6 5 2 5 5 5 5 6 5 5 6 40 2 5 6 2 5 3 2 3 6 2 6 5 41 2 5 6 1 6 5 3 5 7 2 5 5 42 2 6 6 3 5 6 2 5 5 2 5 6 43 4 5 6 4 6 6 1 7 6 2 6 4 44 1 7 5 2 4 5 2 6 6 1 5 5 45 3 6 7 4 7 7 2 6 6 4 6 7 46 4 7 5 4 7 6 4 5 5 4 6 7 47 2 6 7 1 7 6 1 6 6 1 6 5 48 4 5 6 2 5 6 3 7 7 1 7 6 49 2 7 6 3 6 6 3 5 5 2 6 6 50 1 6 5 2 7 6 1 6 6 1 6 6 Total 126 288 283 137 278 278 156 291 297 153 283 292 Rataan 2.520 5.760 5.660 2.740 5.560 5.560 3.120 5.820 5.940 3.060 5.660 5.840 Lampiran 20 Uji Kruskal-Wallis aroma daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.000 100.6 -8.52 2 50 6.000 390.6 3.84 3 50 6.000 376.1 3.22 4 50 2.000 111.6 -8.05 5 50 6.000 368.3 2.89 6 50 6.000 365.0 2.75 7 50 3.000 143.0 -6.71 8 50 6.000 405.0 4.46 9 50 6.000 419.8 5.08 10 50 3.000 134.6 -7.07 11 50 6.000 388.3 3.74 12 50 6.000 403.2 4.37 Overall 600 300.5 H = 322.81 DF =11 P = 0.000 H = 339.27 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 21 Data uji hedonik terhadap keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 2 5 5 2 5 4 6 6 7 2 5 5 2 3 7 4 4 4 7 6 6 6 2 6 6 3 1 4 5 2 4 5 6 5 5 7 4 5 4 5 6 7 5 6 6 4 6 6 5 6 7 5 4 6 7 4 6 5 4 6 7 4 5 5 6 4 7 6 4 7 6 5 5 6 5 7 6 7 6 6 5 5 6 5 5 6 6 5 6 6 8 3 5 6 2 5 3 3 6 7 3 4 4 9 5 7 5 5 7 5 5 7 6 5 7 5 10 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 11 5 5 5 5 6 5 6 6 6 4 5 5 12 7 7 7 5 7 5 4 7 7 7 7 6 13 4 7 5 7 7 3 7 6 7 5 7 6 14 5 6 6 5 6 6 6 6 6 7 6 6 15 7 6 6 5 6 6 5 3 6 7 5 6 16 4 6 6 4 5 6 3 6 5 5 6 5 17 5 5 6 5 5 5 6 6 6 5 6 5 18 4 5 6 2 4 6 4 5 6 3 6 6 19 4 6 5 4 6 5 5 6 4 4 6 4 20 5 5 5 5 5 6 6 5 6 6 6 6 21 6 6 6 6 7 6 6 6 7 6 7 7 22 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 5 6 23 5 7 6 5 5 6 6 7 6 6 7 6 24 5 6 6 5 6 6 5 6 6 6 5 6 25 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 7 7 26 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6 7 27 6 7 7 6 7 7 7 7 7 7 6 7 28 6 5 5 6 6 6 5 4 6 5 6 6 29 2 7 7 2 6 7 4 7 7 2 6 7 30 5 5 7 5 5 7 5 6 6 5 7 7 31 6 6 6 6 5 5 6 5 7 6 7 6 32 2 7 7 2 7 7 2 7 5 2 5 6 33 2 5 5 2 5 7 3 5 5 3 5 5 34 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5 6 6 35 2 5 6 2 5 5 2 5 5 2 5 5 36 4 6 5 4 5 5 6 6 5 4 5 5 37 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 38 6 6 5 6 6 5 6 5 6 6 5 5 39 5 6 7 5 6 7 5 6 6 5 5 7 40 5 5 6 6 6 6 6 5 7 6 6 7 41 6 5 6 6 5 6 6 6 7 6 6 6 42 7 5 6 3 6 5 5 7 7 5 5 6 43 5 5 6 5 7 5 5 5 6 5 5 6 44 5 6 7 7 5 5 6 6 5 6 7 7 45 7 6 7 7 6 6 7 7 7 7 7 7 46 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 47 7 5 7 6 7 5 7 7 7 6 7 7 48 5 6 5 5 5 6 6 7 7 6 7 6 49 5 6 7 5 6 5 6 5 5 6 6 7 50 6 6 6 6 7 7 6 5 6 6 6 7 Total 242 289 295 237 287 282 263 292 304 254 294 298 Rataan 4.84 5.78 5.9 4.74 5.74 5.64 5.26 5.84 6.08 5.08 5.88 5.96 Lampiran 22 Uji Kruskal-Wallis keempukan daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 5.000 179.0 -5.18 2 50 5.500 334.0 1.43 3 50 5.000 322.2 0.93 4 50 5.000 190.8 -4.68 5 50 6.000 359.6 2.52 6 50 5.000 321.8 0.91 7 50 5.000 238.0 -2.66 8 50 6.000 397.0 4.11 9 50 6.000 368.5 2.90 10 50 4.000 226.2 -3.16 11 50 6.000 355.1 2.32 12 50 6.000 313.8 0.57 Overall 600 300.5 H = 97.91 DF =11 P = 0.000 H = 105.64 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties Lampiran 23 Data uji hedonik terhadap penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Jenis daging Kelelawar Sapi Ayam Ikan Cara Pengolahan Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica Kukus Kari Rica-rica PanelisKode sampel KKU KKA KRI SKU SKA SRI AKU AKA ARI IKU IKA IRI 1 3 6 5 3 6 5 3 5 5 3 5 5 2 1 5 6 1 5 6 4 6 7 3 5 6 3 1 4 5 3 4 5 3 4 5 7 4 5 4 3 5 5 5 3 7 6 4 6 5 4 6 5 2 7 5 3 5 5 2 5 6 4 5 7 6 2 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6 7 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 8 2 5 6 1 4 5 2 6 7 2 5 6 9 4 6 6 3 5 5 2 5 7 4 6 6 10 2 6 5 3 5 5 1 5 7 2 6 6 11 2 6 6 3 6 6 5 6 6 3 6 6 12 4 5 6 2 5 5 3 7 7 2 5 5 13 3 6 6 2 6 6 2 6 6 3 6 6 14 5 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7 15 6 6 6 6 6 6 5 6 6 5 6 6 16 1 5 6 2 5 6 6 5 6 4 5 6 17 1 6 5 3 5 5 2 6 6 2 6 6 18 5 5 6 5 5 6 5 6 6 6 6 6 19 1 5 7 1 6 7 2 5 6 2 6 6 20 2 5 7 4 5 5 5 7 7 4 7 7 21 1 5 6 4 6 5 1 6 6 5 5 6 22 2 7 7 3 7 7 2 6 7 2 6 7 23 6 7 7 7 7 7 6 6 7 6 7 7 24 6 6 7 6 6 7 6 7 7 6 7 7 25 7 6 6 5 6 6 6 6 6 6 6 7 26 6 7 6 5 5 6 6 6 6 6 6 5 27 3 6 6 3 5 5 4 5 6 5 5 6 28 2 6 7 2 5 6 1 5 6 1 6 7 29 1 7 6 2 7 7 4 7 6 2 7 5 30 2 7 7 2 5 6 6 7 7 2 5 6 31 2 6 6 3 5 6 5 5 6 5 6 6 32 1 7 7 1 7 7 5 6 6 4 6 7 33 4 7 7 4 7 7 3 6 7 6 7 7 34 1 6 6 2 6 6 4 6 6 4 6 6 35 7 6 7 6 7 7 7 7 5 7 7 7 36 6 6 7 6 6 7 7 6 7 4 6 7 37 6 7 7 6 7 7 6 7 7 7 7 7 38 4 6 5 3 6 6 3 6 6 6 6 5 39 2 6 7 2 6 4 1 5 7 4 6 7 40 2 6 5 2 7 7 4 6 6 5 6 6 41 2 7 7 3 7 6 7 7 7 5 7 6 42 2 5 5 3 5 5 4 6 6 3 6 5 43 2 6 6 2 6 6 6 6 6 2 6 6 44 4 7 5 3 7 7 4 7 5 1 7 4 45 2 6 6 2 6 6 7 7 6 5 7 7 46 3 6 5 3 5 5 3 5 6 3 6 6 47 4 6 5 5 6 5 6 7 7 4 6 7 48 4 5 6 5 6 7 4 5 7 3 6 7 49 3 6 7 1 7 6 6 7 7 3 5 7 50 3 5 7 3 4 6 5 7 7 5 7 7 Total 155 298 304 168 287 298 210 297 315 202 298 309 Rataan 3.1 5.96 6.08 3.36 5.74 5.96 4.2 5.94 6.3 4.04 5.96 6.18 Lampiran 24 Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum daging kelelawar, daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dikukus, dimasak kari, dan dimasak rica-rica Perlakuan N Median Ave Rank Z 1 50 2.500 121.6 -7.62 2 50 6.000 358.4 2.47 3 50 6.000 377.0 3.26 4 50 3.000 131.4 -7.20 5 50 6.000 336.5 1.54 6 50 6.000 362.1 2.63 7 50 4.000 196.1 -4.43 8 50 6.000 357.0 2.41 9 50 6.000 413.7 4.82 10 50 4.000 178.9 -5.18 11 50 6.000 370.3 2.97 12 50 6.000 402.4 4.34 Overall 600 300.5 H = 219.18 DF =11 P = 0.000 H = 233.86 DF = 11 P = 0.000 adjusted for ties ABSTRACT TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Morphometric Identification Characteristics and Extraction of Bioactive Components of Fruit Bats Meat in Celebes as Food. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU This study aims to determine the species of fruitbats, bioactive compounds in meat, carcass and meat product, meat quality and nutritional value, level of consumer acceptance of processed meat, and security of processed meat as food. The results showed five species of bats identified to species level, and 3 types to genus level. Carcass production of Acerodon celebensis were 51.98-56.04, Pteropus alecto 54.49-56.55, Nyctimene cephalotes 61.58, Rousettus amplexicaudatus 55.65 Thoopterus sp 49.29-64.07, and meat production were 54.81-56.92, 45.37-54.03, 50.27, 51.67, 51.41-51.86, respectively. The pH value and water holding capacity for unfrozen P. alecto meat were higher than frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna, while the cooking loss were lower. Protein, water, Ca and P percentage of P. alecto and R. amplexicaudatus were lower than pork, chicken, and tuna, but the fat percentage was higher. Ratio of saturated fatty acid SFA, Monounsaturated fatty acid MUFA, and Polyunsaturated fatty acid PUFA for A. celebensis was 17.21:13.27:1, for P. alecto was 23.36:13.13:1, for R. amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, Chicken was 2:1.5:1, Tuna was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non essential amino acids for A. celebensis was 1.16:1, for P. alecto was 0.98:1, for R. amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken was 1.17:1, and for tuna was 1.12:1. Cholesterol for P. alecto, R. amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20, 234.75, 287.54, 192.88, 263.15, 138.21 mg, respectively. LC-MS results showed that the highest in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 C 26 H 37 4 , 324.2691 C 23 H 34 N, 276.2 C 19 H 34 N, and 319.3 C 21 H 39 N 2 . Consumer preference for processed P. alecto meat was the same with conventional livestock meat and tuna. P. alecto meat was cooked rica-rica that stored up to 14 days in freezing temperatures contained total microbial count of 3.1 x 10 4 cfumL-6.0 x 10 4 cfumL, Staphylococcus aureus, 7.7 x 10 1 cfu mL - 7.6 x 10 3 cfu mL. Escherichia coli and Salmonella sp was negative. The total microbial count of P. alecto meat that cooked kari was 6.8 x 10 5 cfu mL - 9.7 x 10 5 cfumL, S. aureus was 4.3 x 10 1 cfu mL - 1 x 10 4 cfu mL. E. coli 3 mL, and Salmonella sp was negative. The conclusions of this study was fruit bats were found 5 sp. The body weight could be used to predict the expected growth rate and carcass component of the fruit bats. The quality for fruit bat meats are similar with conventional livestock and tuna. Rica-rica P. alecto meat and curry were preferred by consumers and safe for consumption up to 14 days of storage at 5ºC. Keywords: fruitbats, characteristics, bioactive, food, Celebes. RINGKASAN TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Morfometri Karakteristik dan Ekstraksi Komponen Bioaktif Daging Kelelawar di Sulawesi sebagai Bahan Pangan. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU. Kelelawar sangat penting keberadaannya karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan dan penyerbuk tumbuhan, juga sebagai bahan pangan yang dipercayai dapat menyembuhkan alergi, asma, dan meningkatkan stamina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan bahan pangan, produksi karkas dan komponen karkas, sifat-sifat fisik dan kimia daging, nilai gizi daging, serta jenis komponen bioaktif pada daging kelelawar yang dibandingkan dengan daging ternak konvensional, dan ikan cakalang. Selain itu untuk mengetahui komponen bioaktif bumbu masak, tingkat penerimaan konsumen, dan total mikrob daging kelelawar olahan pada saat dikonsumsi. Identifikasi dilakukan menggunakan kunci identifikasi kelelawar berdasarkan morfometri dan warna tubuh. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Produksi karkas dan komponen karkas dihitung berdasarkan perhitungan ternak konvensional. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Untuk mengetahui komponen bioaktif dalam daging, sebagai skrining awal dilakukan uji fitokimia, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana P. alecto. Ekstraksi menggunakan metode Sokhlet. Uji fitokimia daging dan bumbu masak meliputi uji steroidtriterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl 2 , dan uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis KLT. Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy LC-MS. Penentuan struktur kimia senyawa aktif menggunakan software masslynx. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak dengan cara dikukus, dimasak kari, dan masak rica-rica dianalisis menggunakan uji Kruskal- Wallis . Untuk mengetahui sebaran data dari respons panelis terhadap contoh uji, dianalisis menggunakan grafik kotak plot boxplot. Skala hedonik yang digunakan dari 1 hingga 7. Variabel yang digunakan adalah warna, rasa, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Untuk mengkaji total mikrob, Escherichia coli. Staphylococcus aureus, Salmonella sp, dan Koliform dalam daging kelelawar menggunakan metode hitungan cawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi sampai tingkat genus ada tiga jenis, yaitu satu jenis dari genus Pteropus sp, dua jenis dari genus Thoopterus sp. Kelelawar yang teridentifikasi sampai tingkat spesies ada lima spesies. Analisis kelompok cluster analysis menunjukkan Pteropus sp memiliki kesamaan morfometri mencapai 99 dengan P. alecto. Thoopterus sp memiliki kesamaan 99 dengan T. nigrescens. Produksi karkas A. celebensis adalah 51.98-56.04 dan produksi daging 54.81-56.92. Produksi karkas P. alecto adalah 54.49-56.55 dan produksi daging 45.37- 54.03. Produksi karkas N. cephalotes adalah 61.58 dan produksi daging 50.27. Produksi karkas R. amplexicaudatus 55.65 dan produksi daging 51.67. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29-64.07 dan produksi daging 51.41-51.86. Nilai pH daging kelelawar P. alecto yang disembelih, daging kelelawar P. alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92±2.95, 32.63±1.00, 44.78±0.68, 45.78±3.59, dan 43.23 ±1.13, sedangkan susut masak adalah 12.83±.1.12, 36.46±1.39, 19.45±1.46, 16.30±1.12, dan 27.32±0.72. Berdasarkan basis segar maka kadar protein daging kelelawar P. alecto, kelelawar N. cephalotes, dan kelelawar R. amplexicaudatus secara berturut-turut adalah 20.48, 21.73, dan 21.08, dan kadar air adalah 67.21, 62.45, dan 63.84. Berdasarkan basis kering, kadar protein P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 48.97, 51.49, 69.08, 67.14, dan 69.41, kadar lemak adalah 29.85, 22.63, 8.91, 11.65, dan 3.47, kadar air adalah 5.76, 7.54, 9.92, 8.27, dan 9.90, kadar Ca adalah 10.62, 2.09, 1.09, 1.36, dan 1.83, dan kadar P adalah 1.46, 1.44, 0.69, 0.66, dan 0.72. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1. P. alecto adalah 23.36:13.13:1. R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1. Daging babi adalah 2.48:2.83:1. Daging ayam adalah 2:1.5:1. Ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial daging A. celebensis adalah 1.16:1, daging P. alecto adalah 0.98:1, daging R. amplexicaudatus adalah 1.05:1, daging babi adalah 1.1:1, daging ayam adalah 1.17:1, dan ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar kolesterol P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging N. cephalotes, P. alecto, dan T. nigrescens positif mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari N. cephalotes, P. alecto, dan R. amplexicaudatus menunjukkan adanya senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan A. celebensis, T. nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan cakalang hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron, yaitu 17-[3 Cyclopentylpropanoyloxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate dengan rumus molekul C26H37O4, dan empat senyawa mirip dengan steroid kelompok androstan, yaitu 5α,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,14β,17β- Androstan -17-aminium, 5β,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium, 5α,8α,14β,17β-Androstan-17-aminium dengan rumus molekul C19H34N. Empat senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid kerangka piridin-piperidin dan senyawa kitotifen, yaitu 1-{[5R,7S-3-4- Methyl phenyl- 1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3- phenylpyridinium, 1- {[3-4-Methyl phenyl-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1-7-Isopropyl-1- methyl-4-azulenyl-2-methyl-2-propanyl]- 1-methylpyrrolidinium, dan satu senyawa mempunyai kemiripan dengan alkaloid golongan imidazol, yaitu 3S,5R,6aS,9S-5-Pentyl-3, 9-dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo [1,2-a:1,2-c] pyrimidin-4-ium. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan bahwa j enis daging dengan cara pengolahan yang berbeda berpengaruh nyata P˂0.05 pada rasa, warna, aroma, keempukan, dan penerimaan umum. Hasil analisis tahap pertama terhadap kandungan mikrob menunjukkan bahwa total mikrob S. aureus, E. coli, coliform, dan Salmonella sp dari tiga jenis kelelawar yang dimasak rica- rica dan dimasak kari berada di atas batas maksimun cemaran mikrob yang ditetapkan Bandan Standard Nasional untuk pangan asal hewan. Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa kelelawar yang dimasak rica-rica dan disimpan hingga 14 hari mengandung total mikrob 3.1 x 10 4 cfumL-6.0 x 10 4 cfumL, S. aureus 7.7 x 10 1 cfumL-7.6 x 10 3 cfumL, sedangkan E. coli dan Salmonella sp adalah negatif. Daging kelelawar kari mengandung total mikrob 6.8 x 10 5 cfumL- 9.7 x 10 5 cfumL, S. aureus 4.3 x 10 1 cfumL-1 x 10 4 cfumL. E. coli 3 mL, dan Salmonella sp adalah negatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelelawar yang ditemukan adalah lima spesies. Daging kelelawar A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging yang hampir sama dengan daging babi dan ayam, walaupun kandungan SFA yang tinggi. Tingkat kesukaan penelis pada daging kelelawar sama dengan tingkat kesukaan daging sapi, daging ayam, dan ikan cakalang yang dimasak menggunakan bumbu kari dan rica. Daging kelelawar rica-rica dan kelelawar kari yang dimasak beberapa jam setelah pemotongan dan disimpan hingga hari ke-14 pada suhu 5ºC masih layak dikonsumsi. N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa yang lebih beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana P.alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol, oleh karena itu dugaan daging kelelawar dapat membantu penyembuhan penyakit asma dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima. Kata kunci : kelelawar, karakteristik, bioaktif, pangan, Sulawesi. PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan daging ternak konvensional ruminansia dan unggas secara nasional dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi. Untuk memenuhi kebutuhan daging maka pemerintah bersama swasta harus mengimpor daging atau ternak dari luar negeri. Berdasarkan data Statistik Peternakan 2009 bahwa pada tahun 2007 konsumsi daging rata-rata per kapita per tahun di Indonesia sebesar 8.37 kg, tahun 2008 sebesar 7.75 kg, tahun 2009 sebesar 6.5 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.97 kg. Sementara ketersediaan daging per kapita per tahun untuk tahun 2007 hanya sebesar 6.3 kg, tahun 2008 sebesar 6.4 kg, tahun 2009 sebesar 6.60 kg, dan tahun 2010 sebesar 6.95 kg, sehingga harus mengimpor daging tahun 2009 sebesar 771.370.806 kg, tahun 2010 sebesar 874.680.103, dan tahun 2011 sebesar 599.823.558 kg Direktorat Jenderal Peternakan 2011. Salah satu alternatif untuk memenuhi suplai daging adalah mencari potensi hayati yang ada di Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber daging. Indonesia kaya akan keragaman hayati yang merupakan sumber daya genetik, di antaranya terdapat 205 jenis kelelawar atau sekitar 21 dari semua jenis kelelawar yang ada di dunia Suyanto 2001. Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai penyerbuk tumbuhan Bumrungsri et al. 2009, sebagai bahan pangan Jenkins Racey 2008, dan dipercaya sebagai obat tradisional Mohd- Azlan et al. 2001. Berdasarkan informasi lewat media elektronik diketahui bahwa pada beberapa tempat, seperti di Jawa Timur, Medan, Kalimantan, dan Yogyakarta, sebagian masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar karena masyarakat meyakini bahwa selain sebagai bahan pangan, daging kelelawar juga dapat menyembuhkan penyakit tertentu, seperti asma dan alergi serta dapat meningkatkan stamina. Di Sukabumi, daging kelelawar diolah menjadi abon untuk diperdagangkan dengan label dapat menyembuhkan penyakit asma, walaupun belum ada informasi ilmiah yang menguatkan secara pasti tentang jenis kelelawar yang dikonsumsi sebagai bahan pangan yang berfungsi untuk menyembuhkan asma. Diduga daging kelelawar mengandung komponen aktif berupa senyawa steroid dan senyawa kitotifen. Steroid adalah sejenis lipid yang berfungsi sebagai hormon pengatur tubuh. Kitotifen adalah antihistamin yang berfungsi untuk menstabilkan membran sel-sel mastosit dan menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan hipersensitivitas Klooker et al. 2010. Sel-sel mastosit kaya akan histamin dan leukotrin yang bertanggung jawab atas awal mula terjadinya asma akibat alergi. Histamin adalah senyawa turunan dari asam amino yang terlibat dalam tanggapan imun Bratawijaya 1988. Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI 2007 bahwa asma adalah inflamasi saluran napas, dan salah satu pemicu asma adalah alergi Bratawidjaya Sundaru 1981. Seiring dengan permintaan konsumen terhadap daging kelelawar, dan adanya pemeo bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan mulai bergeser, yaitu pangan yang diminati bukan sekadar mempunyai nilai gizi dan cita rasa yang enak, tetapi juga memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh yang dikenal sebagai pangan fungsional Wijaya 2002. Pangan fungsional menurut Undang Undang No. 7 1996 dan Badan Pengawas Obat dan Minuman Republik Indonesia BPOM RI 2011 adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan. Daging kelelewar diduga mempunyai potensi sebagai pangan fungsional, karena diduga selain memiliki nilai gizi yang baik, juga mengandung komponen aktif. Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa komponen aktif hasil ekstraksi, seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, terpenoid, dan steroid berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan sebagai hormon pengatur tumbuh yang terdapat pada hewan, tumbuhan, dan rempah-rempah Yohnny et al. 2003, Chaovanalikit Wrolstad 2004, Handayani et al. 2008, Sukadana et al. 2008. Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah- rempah, seperti jahe, kunyit, cabe rawit, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan kelelawar olahan disukai dan banyak diminati di Minahasa dan Manado. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konsumen diperoleh informasi bahwa mereka mengkonsumsi daging kelelawar olahan bukan karena mereka menyadari bahwa daging tersebut sebagai sumber gizi, tetapi karena daging kelelawar lezat dan enak. Daging kelelawar sebagai lauk merupakan salah satu pangan tradisional alternatif sumber daging selain daging ternak konvensional lainnya. Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya mikrobiologi Khalafalla et al.1993, Botha et al. 2006, Cetin et al. 2010. Adanya bahaya tersebut sering kali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktik sanitasi dan higiene yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional Setiowati Mardiastuty 2009. Kelelawar sebagai bahan pangan mempunyai keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan ternak konvensional karena hampir semua komponen tubuh kelelawar, yaitu karkas, sayap, rongga dada, dan rongga perut diolah bersama untuk dikonsumsi. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, diperoleh data bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap penjual per hari adalah 50 kg, dengan bobot masing-masing kelelawar rata- rata 300-600 g. Berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat penjual kelelawar di Pasar Bersehati, Manado, diperoleh informasi bahwa rata- rata kelelawar yang habis terjual sebanyak 100 ekor per hari, atau setiap harinya daging kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 30-50 kg. Mempertimbangkan minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging kelelawar olahan dan sumbangan daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan ketersediaannya. Laporan ilmiah yang mengungkapkan jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi, produksi karkas dan daging, kandungan komponen aktif, komposisi nilai gizi yang baik dan aman dikonsumsi, serta tingkat penerimaan masyarakat terhadap daging kelelawar olahan sampai saat ini belum tersedia. Sampai sejauh ini, bahwa daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit tertentu masih merupakan pemeo. Oleh karena itu, manfaat dan khasiat ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan dan diharapkan data hasil penelitian ini merupakan informasi awal untuk menjadikan daging kelelawar sebagai salah satu alternatif ternak penghasil daging yang bersifat fungsional. Tujuan Penelitian a. Melakukan identifikasi berdasarkan morfometri, struktur gigi, dan ciri-ciri fisik tubuh untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dijadikan sebagai bahan pangan di Sulawesi. b. Mengkaji distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi. c. Mengkaji kandungan gizi, sifat fisik, dan sifat kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging ternak konvensional. d. Mengkaji tingkat penerimaan daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional e. Mengkaji kandungan komponen bioaktif daging kelelawar pemakan buah, dibandingkan dengan daging ternak-ternak konvensional, dan ikan cakalang. f. Mengkaji kandungan mikrob daging kelelawar segar dan olahan yang disimpan selama 14 hari. g. Membuktikan potensi kelelewar sebagai pangan fungsional yang aman berbasis pangan tradisional yang disukai dan aman untuk dikonsumsi. Manfaat Penelitian a. Sebagai informasi ilmiah awal tentang jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi yang dijadikan bahan pangan. b. Sebagai informasi ilmiah awal tentang distribusi potongan karkas dan daging kelelawar pemakan buah di Sulawesi. c. Sebagai pembuktian ilmiah tentang kandungan senyawa aktif, nilai gizi, dan tingkat penerimaan konsumen terhadap kelelawar pemakan buah di Sulawesi dan beberapa hewan konvensional sebagai pangan yang merupakan keanekaragaman sumber daya hayati lokal. d. Memperkuat klaim kasiat dan potensi kelelawar sebagai bahan pangan yang aman dikonsumsi dan mempunyai fungsi fisiologis yang dapat memberi manfaat bagi kesehatan tubuh. e. Menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang pangan, khususnya pangan berbasis tradisional sebagai pangan fungsional f. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk pengembangan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus acuan untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri atas 6 tahap. Tahap ke-1. Survei lapangan meliputi enam daerah di Sulawesi dengan kegiatan penelitian yaitu identifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah. Tahap ke-2. Produktivitas karkas dan komponen karkas kelelawar pemakan buah yang teridentifikasi. Tahap ke-3. Kualitas daging yang meliputi sifat-sifat fisik daging dan nilai gizi daging kelelawar yang meliputi komposisi kimia, kandungan kolesterol, kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kandungan asam-asam amino esensial dan nonesensial. Tahap ke-4. Uji fitokimia daging kelelawar dan daging ternak konvensional, serta bumbu masak, yang dilanjutkan dengan karakterisasi komponen aktif, khususnya pada daging kelelawar yang positif mengandung senyawa aktif yang intensitas warnanya sangat kuat dan ketersediaan daging di pasaran. Tahap ke-5. Uji penerimaan konsumen terhadap daging kelelawar olahan dibandingkan dengan daging olahan ternak konvensional serta ikan. Tahap ke-6. Uji kandungan mikrob daging kelelawar yang dimasak rica-rica dan kari yang disimpan selama 14 hari. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Kelelawar Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mamalia, ordo Chiroptera. Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163 spesies, dan subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan 814 spesies Corbet Hill 1992, Flannery 1995. Megachiroptera adalah kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari, dan Microchiroptera adalah kelawar yang kebanyakan memakan serangga dan hanya sebagian kecil yang pemakan buah dan nektar Yalden Morris 1975. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera, 133 spesies subordo Microchiroptera. Di Sulawesi, subordo Megachiroptera terdapat 11 genus, 22 spesies, yaitu Acerodon Jourdan, 1837; L.F.I yang terdiri atas 2 spesies, yaitu Acerodon celebensis Peters, 1867 dengan nama daerah kalong sulawesi yang tersebar di Sulawesi, dan Acerodon humilis K Andersen, 1909 dengan nama daerah kalong talaud yang tersebar di Pulau Karakelang dan Salibabu Kepulauan Talaud. Boneia Jentink, 1879 hanya 1 spesies, yaitu Boneia bidens, Jentink 1879 dengan nama daerah cecudu sulawesi yang hanya tersebar di Sulawesi. Chironax Andersen, 1912; L.F.2 hanya 1 spesies, yaitu Chironax melanocephalus Temminck, 1825 dengan nama daerah bakul kepala hitam yang tersebar di Thailand, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Pteropus Erxlebe, 1777 terdiri atas 5 spesies, yaitu Pteropus alecto Temminck, 1837 dengan nama daerah kalong hitam yang tersebar di Pulau Bawean, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Ambon, Papua Barat, Panua Niugini, dan Australia, Pteropus caniceps Gray, 1844 dengan nama daerah kalong morotai yang tersebar di Sulawesi dan Maluku, Pteropus griseus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah kalong kelabu yang tersebar di Filipina, Sulawesi, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Pteropus pumilus Miller, 1910 dan Pteropus speciosus Andersen, 1908 dengan nama daerah kalong laud yang tersebar di Filipina dan Kepulauan Talaud. Nyctimene Borkhausen, 1797 terdiri atas 2 spesies, yaitu Nyctimene cephalotes Pallas, 1767 dengan nama daerah paniki pallas yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Pulau Timor, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua Niugini, dan Nyctimene minitus K Andersen, 1910 dengan nama daerah paniki sulawesi yang tersebar di Sulawesi, Pulau Buru, dan Maluku. Chynopterus F Cuvier, 1824 terdiri atas 2 spesies, yaitu Chynopterus luzoniensis Peters, 1861 dengan nama daerah codot sulawesi yang tersebar di Filipina dan Sulawesi, dan Chynopterus minutus Miller, 1906 dengan nama daerah codot mini yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Dobsonia Palmer, 1898 terdiri atas 3 spesies, yaitu Dobsonia exoleta K Andersen, 1909 dengan nama daerah kubu sulawesi tersebar hanya di Sulawesi, Dobsonia minor Dobson, 1879 dengan nama daerah kubu kecil tersebar di Sulawesi, dan Papua Barat, Dobsonia viridis Heude, 1896 dengan nama daerah kubu hijau tersebar di Sulawesi, dan Maluku. Neopteryx Hayman, 1946 hanya 1 spesies, yaitu Neopteryx frosti dengan nama daerah cocot gigi kecil tersebar hanya di Sulawesi. Thoopterus Matschie, 1899 hanya 1 spesies, yaitu Thoopterus nigrescens dengan nama daerah codot walet tersebar di Sulawesi dan Maluku. Macroglossus F Cuvier, 1824 hanya 1 spesies, yaitu Macroglossus minimus E Geoffroy, 1810 dengan nama daerah cecudu pisang kecil tersebar luas di Indonesia, kecuali Sumatera, Thailand, Papua Niugini, Indocina, Filipina, dan Australia. Rousettus Gray, 1821 terdiri atas 3 spesies, yaitu Rousettus amplexicaudatus E Geoffroy 1810 dengan nama daerah nyap biasa tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Kepulauan Bismarck, dan Solomon, Rousettus celebensis K Andersen, 1907 dengan nama daerah nyap sulawesi tersebar di Sulawesi dan Maluku Flannery 1995, Suyanto 2001, dan Rousettus linduensis tersebar di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah Maryanto Yani 2003 Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan yaitu, Microchiroptera menggunakan ekolokasi untuk orientasi saat terbang, memiliki mata yang kecil, memiliki tragus dan antitragus, yaitu bagian yang menyerupai tangkai yang terletak di dalam telinga, sedangkan Megachiroptera lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat dengan jelas, serta memiliki cakar pada jari kedua Flannery 1995, Suyanto 2001. Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar, seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata, telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis pakannya. Megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh yang besar, bisa mencapai bobot lebih dari 1500 g, dan moncong seperti anjing. Microchiroptera umumnya berukuran lebih kecil, ukuran paling kecil 2 g dan paling besar 196 g Suyanto 2001. Kelelawar merupakan binatang nokturnal, yakni mencari makan pada malam hari dan beristirahat di siang hari, dan mempunyai tempat tinggal yang sangat bervariasi, ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua, gulungan dedaunan dan celah-celah pada ruas bambu Hill Smith 1984. Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena perannya sebagai pemencar biji buah-buahan Hodgkison et al. 2003, sebagai penyerbukan bunga dan buah-buahan Bumrungisri et al. 2009, Dumont 2004, oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008, Afolabi et al. 2009, dan diyakini dapat menyembuhkan suatu penyakit Mohd-Azlan et al. 2001. Karakteristik Fisik-Kimia Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ-organ, seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot, termasuk ke dalam definisi ini Lawrie 2003, Soeparno 2005. Karakteristik fisik dan kimia daging segar antara lain ditentukan oleh susut masak, daya mengikat air oleh protein daging, keempukan, dan pH Aberle et al. 2001. Susut masak atau cooking loss didefinisikan sebagai hilangnya cairan daging akibat pemasakan. Susut masak merupakan indikator nilai gizi yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot, dan besarnya nilai susut masak bervariasi antara 1.5-54 Aberle et al. 2001, Soeparno 2005. Daya mengikat air atau Water Holding Capacity WHC didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya selama aplikasi daya eksternal, seperti, pemotongan, pemanasan, dan pengepresan Aberle et al. 2001. pH atau derajat keasaman daging segar berkisar antara 5.5-6.4. pH akhir daging mencapai titik isoelektrik 5.2-5.4 apabila jumlah gugus reaktif dari protein otot yang dimuati secara positif dan negatif sama, sehingga gugus tersebut cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air Aberle et al. 2001. Keempukan merupakan salah satu faktor berhubungan dengan palatabilitas. Kesan keempukan mencakup tekstrur yang melibatkan aspek kemudahan awal menggigit, mudah dikunyah menjadi bagian kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan Lawrie 2003. Keempukan daging dapat diuji berdasar sensory test atau uji organoleptik yang dilakukan oleh uji panel Setyaningsih et al. 2010 Komposisi Kimia Daging Beberapa HewanTernak Kandungan zat gizi daging merupakan salah satu penentu kualitas daging. Secara umum susunan kimia daging terdiri atas air 65-80 , protein 16-22, lemak 1.5-13, dan zat terlarut bukan protein 2.3, dan selebihnya adalah vitamin Aberle et al. 2001. Air merupakan unsur utama daging dilihat secara kualitas, yang dapat mempengaruhi juiciness, keempukan, warna, dan citarasa daging. Kadar air dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, dan kadar lemak dalam daging. Karbohidrat dan substansi non protein dalam daging terdapat dalam bentuk glikogen dan glukosa. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air, kadar protein, dan kadar lemak, sehingga daging tanpa lemak secara relatif lebih banyak mengandung mineral Aberle et al. 2001. Kadar abu daging bervariasi antara 0.5-1.5 Soeparno 2005. Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa kolagen yang terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Di dalam otot, proporsi protein terbesar terdapat pada miofibril, yaitu lebih besar dari 50 dan sisanya dalam jumlah kecil berupa protein regulator Aberle et al. 2001. Protein terdiri atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino terdiri atas asam amino esensial dan nonesensial. Asam amino esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga perlu tersedia dalam bahan pangan. Asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh digolongkan sebagai asam amino nonesensial Murray et al. 2003. Lemak daging merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding karbohidrat dan protein. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin larut lemak dan memberi rasa enak pada makanan Aberle et al. 2001. Lemak triasil gliserol tersusun oleh gliserol dan asam lemak. Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang mempunyai atom karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak dapat dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh saturated fatty acid dan asam lemak tidak jenuh unsaturated fatty acid.Tingkat kejenuhan asam lemak dapat mempengaruhi penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya titik cair Lawrie 2003. Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan, seperti, kuning telur, daging, hati, dan otak. Kolesterol merupakan senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam keadaan normal untuk membentuk membran sel, sistem saraf pusat, dan vitamin. Kolesterol terdapat dalam darah bersama dengan trigliserida. Kolesterol berada dalam keadaan bebas ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh Wibraham Matta 1992. Keamanan Daging dan Produk Olahannya Di Indonesia, proses pengolahan daging sangat bervariasi, baik diolah secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional pengolahan daging didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat yang telah menjadi turun temurun. Berbagai bentuk pemasakan, seperti perebusan, penggorengan, dan pemanggangan disertai dengan penggunaan rempah secara khas, sejak dulu telah dipakai untuk meningkatkan kelezatan, kemudahan mengunyah, dan keamanan pangan yang diolah. Secara alami, rempah-rempah mengandung berbagai macam komponen aktif yang sangat besar perannya dalam penciptaan cita rasa suatu produk. Rempah-rempah telah terbukti memiliki senyawa antioksidan yang diperlukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Komponen bioaktif yang berdapat pada kemangi adalah steroidtritepenoid Hendarwati 2009 , pada sereh adalah sitral dan geraniol, cabai merah kapcaisin, hidrokapsaisin, vitamin A, vitamin C, zat warna kapsantin, serta karoten yang berkhasiat sebagai antirematik, dan peluruh kencing atau diuretik. Daun batang bawang mengandung komponen aktif, seperti flavonoid, saponin, dan steroid. Jahe memiliki komponen aktif, seperti zingiberen, curcumin, filandren, gingerol, dan shogaol yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, rematik, dan kekebalan tubuh. Kunyit memiliki komponen aktif kurkominoid dan komponon fenolik yang berfungsi sebagai antikolesterol dan penghilang rasa nyeri Winarti Nurdjana 2005. Rahayu 2000 melaporkan bahwa penggunaan bumbu masak dapat membantu bahan-bahan lainya dalam bahan makanan untuk menghambat sejumlah mikrob. Pemasakan daging merupakan langkah untuk mendapatkan makanan secara mikrobiologi lebih aman. UU Pangan No.7 tahun 1996 mendefinisikan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Batas cemaran mikrob daging, produk daging, dan daging hewan buruan mentah adalah angka lempeng total ALT 1 x 10 6 cfumL, Koliform 1x10 2 cfumL, Salmonella sp 1x10 1 cfumL, Staphylococcus Aureus 1x10 2 cfumL, Campylobacter sp negatif25 mL. Batas cemaran mikrob produk olahan daging, daging unggas, dan daging hewan buruan adalah ALT 30 ºC, 72 jam 1 x10 5 cfumL, Escherichia coli 3mL, Salmonella sp. negatif25 mL, S. Aureus 1x10 2 cfumL, Bacilus careus 1x10 2 cfumL BSN 2009. Metabolit Sekunder Pada dasarnya senyawa-senyawa pangan bagi berbagai kehidupan mempunyai peranan universal sama, yaitu sebagai bahan energi, sebagai bahan struktural, serta untuk fungsi-fungsi fisiologis. Senyawa-senyawa demikian mempunyai fungsi vital dan pola biosintesis maupun perombakannya dalam berbagai jenis kehidupan mengikuti tapak-tapak yang sama. Lintasan metabolismenya tergolong pada metabolisme primer. Berbagai senyawa bioorganik hewan, mikrob dan tumbuhan yang tidak berperan dalam proses metabolisme primer disebut metabolit sekunder. Metabolisme sekunder mengiringi metabolisme primer karena metabolisme primer menghasilkan metabolit sekunder. Senyawa-senyawa metabolit sekunder sangat berbeda antar spesies. Metabolit sekunder dapat juga dianggap sebagai hasil ekstraksi yang tidak berguna bagi kehidupan yang menghasilkannya. Metabolit sekunder pada hewan tidak selalu hasil sintesis dalam tubuh hewan itu sendiri, sering hal tersebut dihasilkan oleh pola dan kebiasaan makannya. Komponen aktif hasil metabolit sekunder pada hewan umumnya disimpan dalam jaringan khusus seperti alkoloid salamander kodok ditemukan dalam kelenjar kulit Moeljohardjo 1990. Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan antidegranulasi sel-sel mastosit. Handayani et al. 2008 melaporkan bahwa ekstrak metanol spon laut acanthodendrilla sp kosentrasi 25 µgmL sampai dengan 400µgmL dapat menghambat sel-sel mastosit yang diinduksi dengan antigen putih telur ayam ras konsentarsi 50 secara in vivo. Nurjanah et al. 2008 melaporkan bahwa ekstrak steroid dari teripang pasir dapat meningkatkan kadar testoteron pada mencit. Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, isoprene, terpena, dan steroid. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari fungi, tumbuhan dan hewan. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan, tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan. Isoprena dihasilkan secara alamiah oleh tumbuhan dan hewan. Isoprena biasa juga dikandung dalam kadar rendah pada banyak bahan pangan. Terpena merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sejumlah hewan. Sebagai contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpena. Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh tumbuhan. Kandungan minyak atsiri mempengaruhi penggunaan produk rempah- rempah, baik sebagai bumbu, sebagai wewangian, serta sebagai bahan pengobatan kesehatan Moeljohardjo 1990. Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas, sedangkan pada tanaman dalam keadaan glikosida. Pada sterol-sterol hewani, kebanyakan bertindak sebagai senyawa induk ialah lanosterol yang dalam tubuh hewan diubah menjadi sterol-sterol yang lain. Lanosterol ialah yang pertama diubah menjadi kolesterol melalui zimosterol. Kolesterol adalah intermediat penting dalam sintesis steroid baik pada hewan Murray et al. 2003. Beberapa steroid bersifat anabolik. Secara fisiologi, steroid anabolik dapat membuat seseorang menjadi agresif. Hormon steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu Johny et al. 2003. Saleh 2007 melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid clionesterol mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL kg bb mencit jantan. Pangan Fungsional Pangan menurut Badan Pengawasan Obat dan Minuman Republik Indonesia UU No. 7 1996, BPOM 2011 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah dan diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan, sedangkan pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak berbahaya dan bermanfaat bagi kesehatan. Suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah, dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini Gibson Williams 2000. IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan, sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara, kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri- ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah, Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah. Kata kunci : kelelawar pemakan buah, morfometri, identifikasi. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU The presence of bats is very important for human life, because of its role as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats. Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea, Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado, North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi. Keywords : fruit bats, morphometric, identification Pendahuluan Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera. Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili, yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies. Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta ecolocation Corbet Hill 1992. Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di Sulawesi, subordo megachiroptera Pteropodidae terdapat 11 genus dan 22 spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp. satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto Yani 2003. Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan pangan Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009, serta sebagai obat tradisional Mohd-Azlan et al. 2001. Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan Lee 2000b. Lee et al. 2005 melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis kelelawar yang dipasarkan adalah P. alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per hari. Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. 2006 melaporkan bahwa diduga ada 24 kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A. humilis IUCN Redlist 2012. Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi morfomeri kelelawar. Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat. Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan ciri- ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu 1 Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; 2 Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1° 06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; 3 Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso; 4 Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Bawah, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, di titik ordinat 01°59᾿15,6”S, 121°08’48,8” E; 5 Hutan mangrove Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, di titik ordinat 02°40᾿56.0”S, 122°00’26,1” E; 6 Hutan Tapa, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo di titik ordinat 00°41᾿55.0”S, 122°51’00.0”E. Pertimbangan melaksanakan penelitian di enam lokasi ini ialah hasil survei lapangan bahwa tempat-tempat ini merupakan jalur perdagangan dan perburuan kelelawar. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa semua lokasi penelitian terletak di jalur trans-Sulawesi. Penelitian dilaksanakan selama 6 enam bulan, yaitu bulan April hingga Oktober 2011. Bahan dan Alat Penelitian Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS Global Position System, jangka sorong, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan, kamera, alkohol, kloroform, formalin, kapas, tofles, dan beberapa spesies kelelawar pemakan buah. Metode Penelitian Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara langsung pada saat bulan baru di tiap-tiap lokasi. Teknik penangkapan dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan jaring kabut yang dipasangkan di dekat gua dan tempat yang diduga dilalui kelelawar pada waktu malam dan menggunakan kail nomor 12 yang dipasang di sekitar pohon tempat kelelawar tidur pada waktu malam. Cara pertama dilakukan untuk jenis Dobsonia sp, Nyctimene sp, Rousettus sp, Thoopterus sp, sedangkan cara kedua untuk jenis P. alecto dan A. celebensis. Kelelawar yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kandang untuk diidentifikasi. Identifikasi kelelawar dilakukan dengan cara pengambilan gambar pada kelelawar hidup, pengukuran bagian-bagian tubuh, termasuk tengkorak, serta struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar Suyanto 2001. Untuk menindaklanjuti hasil identifikasi dengan pengukuran karakter morfometri, beberapa spesimen kelelawar dibawa ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong untuk dicocokkan dengan spesimen kelelawar yang ada di labaratorium tersebut. Sebelum dibawa ke laboratorium, kelelawar terlebih dahulu difiksasi dengan formalin 4-8 netral selama 12 jam. Identifikasi kelelawar pemakan buah didasarkan pada ciri-ciri fisik, ukuran tubuh, ukuran tengkorak, dan struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar. Karakter yang diamati adalah cici-ciri fisik tubuh, struktur gigi, ukuran tubuh, dan tengkorak. Peubah yang diukur untuk ukuran tubuh dan tengkorak adalah panjang ekor, yang diukur dari panjang pangkal ekor sampai ujung ekor. Panjang kaki belakang diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Panjang telinga diukur dari pangkal telinga sampai ujung telinga terjauh. Panjang betis diukur dari lutut sampai pergelangan kaki. Panjang lengan bawah sayap diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang melengkung. Panjang tengkorak total diukur dari titik paling belakang pada tengkorak belakang sampai ke titik terdepan pada rahang atas. Panjang tengkorak conylobasal diukur pada titik condylus occipytalus yang paling belakang sampai titik terdepan pada rahang atas di antara gigi seri pertama kanan dan kiri. Panjang tengkorak condylocaninus diukur dari titik pada condylus occipitalis yang paling belakang sampai titik terjauh pada taring. Lebar tulang pipi adalah jarak terlebar antara tulang pipih kanan dan kiri Suyanto 2001, Maharadatunkamsi Maryanto 2002. Tingkat ketelitian pengukuran tubuh dan tengkorak adalah 1 milimeter dan untuk bobot badan adalah 1 g. Sebelum dilakukan pengukuran tengkorak dan gigi, bagian kepala dan bagian daging dikeluarkan dengan cara direbus terlebih dahulu. Analisis Data Metode deskriptif dengan tabel dan narasi digunakan untuk menjelaskan data ciri-ciri fisik tubuh, ukuran tubuh, dan tengkorak. Selain itu analisis dilakukan untuk melihat struktur komunitas kelelawar berdasarkan tingkat kelimpahan jenis. Kesamaan suatu spesies ditentukan berdasarkan karakter morfometri dan kelimpahan jenis pada setiap lokasi penelitian, menggunakan analisis kluster berupa dendogram. Hasil dan Pembahasan Jenis-Jenis Kelelawar Jenis-jenis kelelawar pemakan buah beserta jumlah individu yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1. Kesepuluh jenis kelelawar yang ditemukan, tujuh jenis dapat diidentifikasi sampai spesies berdasarkan ciri fisik, ukuran tubuh, tengkorak, dan stuktur gigi, dan tiga jenis hanya sampai pada genus karena mempunyai ciri fisik yang berbeda, yaitu Pteropus sp, Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Tiga spesies merupakan endemik Sulawesi, yaitu A. celebensis, D. exoleta, N. cephalotes, empat spesies, yaitu R. celebensis dan T. nigrescens tersebar di Sulawesi dan Maluku, P. alecto tersebar di Sulawesi, Maluku, Ambon, Nusa Tenggara, Papua Barat, Papua Nuigini, dan Australia, serta R. amplexicaudatus tersebar di Indonesia, Malaysia Timur, Filipina, dan Asia Tenggara Flannery 1995. Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Berdasarkan pada lokasi penangkapan, jenis kelelawar yang paling banyak ditemukan 6 jenis dengan jumlah individu 64 ekor terdapat di Desa Pukuure, di Lumaya dua spesies dengan jumlah individu 50 ekor, di Kolono dua jenis dengan jumlah individu 42 ekor, di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Peonea masing- masing satu jenis dengan jumlah individu masing-masing 32 ekor, 9 ekor, dan 26 ekor. Analisis cluster mengelompokkan keenam lokasi dalam empat kelompok lokasi dengan tingkat kesamaan 78.01 Gambar 1. Keempat kelompok lokasi itu terdiri atas kelompok 1, yaitu Pasar Bersehati dan Matialemba, kelompok 2, Jenis Kelelawar A B C D E F Total A. celebensis 29 28 57 D. exoleta 4 4 N. cephalotes 12 12 P. alecto 32 9 14 55 Pteropus sp. 21 21 R. amplexicaudatus 7 16 23 R. celebensis 2 2 T. nigrescens 15 15 Thoopterus sp.1 11 11 Thoopterus sp.2 13 13 Total 32 64 50 9 16 42 213 IndividuLokasi yaitu Lamaya dan Kolono, kelompok 3, yaitu Pakuure, dan kelompok empat, yaitu Peonea. Hal ini berarti bahwa kehadiran jenis dan kelimpahan kelelawar dari masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh kondisi habitat. Secara umum, kondisi keenam lokasi hampir sama karena memiliki hutan primer dan hutan sekunder dengan struktur vegetasi yang beragam, yang merupakan tempat kelelawar bertengger dan mencari makan. Demikian pula keadaan bentang alam dengan ketersediaan berbagai sumber air menyebabkan kelembapan tanahnya tinggi sehingga sangat baik untuk habitat satwa.Walaupun demikian, lokasi Pakuure dan Peonea berdiri sendiri. A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Gambar 1 Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya, Matialemba, Peonea, dan Kolono. Perbedaan ini karena di Pakuure, selain memiliki hutan primer dan hutan sekunder, juga memiliki perkebunan rakyat yang di dalamnya terdapat jenis buah- buahan, seperti pisang, pepaya, duren, mangga, dan rambutan sebagai sumber pakan. Sebaliknya, di Peonea, walaupun lokasi habitat kelelawar berada di hutan lindung, kehadiran kelelawar di hutan hanya untuk mencari makan, sedangkan tempat bertengger dan tidur berada di gua yang terletak di dalam hutan, dan kehadiran kelelawar di dalam gua membentuk koloni dengan spesies yang sama. Selain itu, juga terdapat perkebunan rakyat berupa perkebunan cokelat, jeruk, dan pepaya yang merupakan sumber pakan. Berdasarkan struktur gigi, ukuran lengan bawah sayap, dan panjang telinga Pteropus sp dapat digolongkan ke dalam P. alecto, namun berdasarkan warna tubuh masih diragukan, karena Pteropus sp memiliki warna kuning kecokelatan di daerah leher, sebagian punggung dan kepala yang berwarna B E F C D A 34.04 56.02 78.01 100.00 Lokasi Ti ng ka t K es am aa n Kelompok Lokasi kontras dengan warna bagian tubuh yang hitam, sedangkan P. alecto berwarna hitam pada seluruh tubuh Gambar 2. Gambar 2 Perbedaan warna Pteropus sp a dan P. alecto b pada bagian leher dan punggung. Analisis cluster yang didasarkan pada ukuran tubuh dan ukuran tengkorak Gambar 3 menunjukkan bahwa Pteropus sp yang berasal dari Lamaya mempunyai tingkat kesamaan yang mencapai 99.54 dan 99.95 dengan P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM: P.alecto Matialemba, PaK: P.alecto Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM: P.alecto Matialemba, PaK:P.alecto Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. Gambar 3 Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. PaL PaK PaM PaB 99.54 99.70 99.85 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran Tubuh PaK PaL PaM PaB 99.95 99.97 99.98 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran tengkorak a b Melihat tingkat kesamaan yang besar berdasarkan ukuran badan dan tengkorak maka Pteropus sp yang berasal dari Lamaya dapat dikelompokkan bersama P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. Dua jenis Thoopterus sp tidak digolongkan bersama dengan T. nigrescens karena T. nigrescens berwarna cokelat kemerahan dan abu yang menyebar pada seluruh tubuh. Thoopterus sp 2 memiliki warna abu-abu, dan Thoopterus sp 1 memiliki warna cokelat pada bagian leher belakang sampai ekor, sedangkan pada kepala, perut, dan lengan berwarna abu-abu Gambar 4. Gambar 4 Perbedaan T. nigrescens a, Thoopterus sp 1 b dan Thoopterus sp 2 c berdasarkan warna tubuh. Analisis cluster dari ketiga jenis kelelawar Thoopterus yang didasarkan pada tengkorak dan ukuran tubuh Gambar 5 menunjukkan tingkat kesamaan a.belakang b. belakang c. belakang a. muka b. muka c. muka yang mencapai 99.91 dan 99.02. Oleh karena itu, Thoopterus sp dapat dikelompokkan dengan T. nigrescens. TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2:Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus. TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2 :Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus. Gambar 5 Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure. Spesies dari jenis Pteropus sp dan Thoopterus sp ini dipastikan dengan membawa contoh ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong Jl. Raya Jakarta- Bogor KM 46 Cibinong untuk dibandingkan dengan spesimen utama yang dipakai sebagai acuan pemberian nama spesies Holotype, namun holotype tidak tersedia. Karekteristik A. celebensis Berdasarkan identifikasi morfometri diketahui bahwa genus Acerodon yang diperoleh dalam penelitian adalah A. celebensis. Flannery 1995, Suyanto 2001 melaporkan bahwa genus Acerodon di Indonesia ada tiga jenis, yaitu A. mackloti di Nusatenggara, serta A. celebensis, dan A. humilis di Sulawesi. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, dan kisaran parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 1. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot badan A. celebensis dari Desa Lamaya Gorontalo lebih kecil 56.11 g dibandingkan dengan yang berasal dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Perbedaan bobot badan maksimum dan minimum dari Gorontalo 94.9 g, sedangkan dari Kolono 286 g. Perbedaan ini menggambarkan bobot badan A. celebensis dari Lamaya Gorontalo tidak banyak bervariasi, dibandingkan dengan A. celebensis dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah polulasi di Lamaya mulai TnP2 TnP1 TnP 99.91 99.94 99.97 100.00 Jenis kelelawar T in g k at k es am aa n Ukuran tubuh TnP1 TnP2 TnP 99.02 99.35 99.67 100.00 Jenis kelelawar T in g k at k es am aa n Ukuran tengkorak mengalami penurunan yang disebabkan oleh perburuan yang tidak terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penangkap dan penjual di lokasi penelitian diketahui bahwa penangkapan kelelawar di Lamaya dilakukan setiap hari, dan hasil penangkapan ada yang langsung dipasarkan, ada juga yang dikumpulkan ke penampung dan setiap minggunya dipasarkan ke lokasi pemasaran, seperti Minahasa dan Manado. Sebaliknya, di Kolono, penangkapan kelelawar dilakukan sesuai dengan pesanan, dan setiap dua minggu diambil oleh pengumpul di lokasi penangkapan. Selain itu, aktivitas masyarakat untuk pemburuan masih kurang. bb : bobot badan, pb : panjang badan, plb: panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb,plb,pbt,pk dan pt =milimeter ptt : panjang tengkorak, cbl : panjang tengkorak condylobasal, ccs : panjang tengkorak condylocaninus, ra : panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm : lebar baris gigi molar Gambar 6 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono. Rataan lengan bawah sayap, betis, telinga, dan tengkorak total A. celebensis dari Gorontalo lebih pendek dibandingkan A. celebensis dari Sulawesi Tengah, namun parameter ini sesuai ukuran yang dilaporkan Flannery 1995, yaitu A. celebensis bobot badan 250-500 g mempunyai panjang lengan bawah sayap 120.5-144.3 mm, telinga 28.8-31.1 mm, dan panjang betis 50.2-54.3 mm, serta tengkorak total 62.5-64.9 mm Suyanto 2001. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya. Karakteristik fisik A. celebensis yang teridentifikasi adalah memiliki cakar pada jari kedua, tidak ada ekor, warna tubuh cokelat kekuningan, sayap cokelat dan pada jari sayap kedua dan tiga berwarna kuning muda Gambar 7. Rumus bb pb plb pbt pk pt Lamaya 354.14 213.29 136.86 59.29

50.71 31.86

Kolono 410.25 213.27 140.77

59.42 53.46

31.54 50

100 150 200 250 300 350 400 450 S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm Lamaya 59.29 52.00 47.29 25.00 34.86 19.86 15.14 12.86 8.29 Kolono 62.88 55.58 49.38 24.85 36.08 20.19 15.50 13.73 8.65 10 20 30 40 50 60 70 Satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak gigi I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. P 1 umumnya tanggal, di tengah permukaan kunyah geraham bawah P 4 M 1 M 2 mempunyai tonjolan yang memanjang, dan ada tonjolan sebelah depan geraham atas P 4 M 1 . Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, walaupun tidak dapat ditentukan umurnya yang tepat. Beberapa ekor ditemukan bunting 17.64 untuk A. celebensis dari Kolono, dan 25 dari Lamaya. Gambar 7 Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan a, dan warna sayap cokelat tua b. Persentase betina yang tertangkap adalah 65.38 dan jantan 34.64 untuk A. celebensis dari Kolono, sedangkan A. celebensis dari Lamaya adalah betina 57.14 dan jantan 42.86. Ini berarti, sebagian besar yang tertangkap adalah betina produktif yang mengindikasikan bahwa suatu waktu populasi spesies ini akan terancam apabila pemburuan tidak terkendali. Karakteristik N. cephalotes Di Sulawesi, genus Nyctimene terdapat dua jenis, yaitu N. cephalotes dan N. minitus. Ciri yang membedakan kedua spesies ini adalah garis cokelat di tengah punggung, panjang tengkorak total, kaki belakang, lengan bawah sayap, dan betis, serta garis cokelat di tengah punggung Flannery 1995, Suyanto 2001. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Pakuure adalah N. cephalotes. Rataan, simpangan baku, dan jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 2. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot badan N. cephalotes yang terjaring lebih tinggi 9.40 g dan perbedaan a b variasi bobot 16.9 g dari rataan bobot badan N. cephalotes yang berasal dari pulau Sanana. Flannery 1995 melaporkan bahwa rataan bobot badan jantan dan betina adalah 43.2 g dengan variasi bobot antara 40-47 g, dan ukuran lengan bawah sayap, betis dan telinga N. cephalotes jantan asal Sanana, Pulau Maluku secara berurutan adalah 64.7, 25.5, dan 14.6 mm, sedangkan betina adalah 65.3, 6.3, dan 14.6 mm. Lebih besarnya bobot badan N. cephalotes pada penelitian ini mungkin disebabkan karena lokasi dan ketersediaan pakan yang memenuhi kebutuhan disertai aktivitas perburuan yang jarang dilakukan. bb:bobot badan, pb:panjang sayap, plb : panjang lengan bawah, pb:panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 8 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak N. cephalotes di Pakuure. Ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang terjaring sama dengan ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang dilaporkan Suyanto 2001, namun kaki dan telinga lebih panjang masing-masing 1.40 mm dan 0.30 mm. Panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal sama dengan panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Kitchener et al. 1993. Kesamaan ukuran panjang lengan bawah sayap, kaki, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan paremeter untuk identifikasi N. cephalotes karena paremeter ini tidak akan berubah apabila kelelawar sudah dewasa. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.

52.60 509.80

69.30 27.00

19.60 16.80

100 200 300 400 500 600 bb ps plb pbt pk pt S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh

32.00 28.00

25.57 10.14

22.57 10.29

6.00 3.29

6.00 5

10 15 20 25 30 35 40 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak Rumus gigi kelelawar ini adalah I 1 CP 1 P 3 P 4 M 1 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 . . Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, bahkan sudah ada yang aus dan tanggal. Karakteristik fisik lain N. cephalotes yang teridentifikasi adalah memiliki ekor, hidung berbentuk tabung, ada bercak kuning pada sayap, hidung, dan telinga. Warna seluruh tubuh cokelat kehijauan, ada garis cokelat dan sempit di tengah punggung Gambar 9. Gambar 9 Warna tubuh dan bercak kuning pada sayap a, garis cokelat di tengah puggung b, ekor dan bentuk hidung c N. cephalotes. Persentase betina yang tertangkap adalah 40 dan jantan 60. Ini berarti bahwa jantan dan betina pada habitatnya seimbang yang mengindikasikan bahwa spesies ini pada habitatnya dapat bertahan dan dapat memperbanyak diri sehingga tidak diragukan terancam pada suatu waktu tertentu. Karakteristik P. alecto Di Indonesia, genus Pteropus ada 20 spesies dan di Sulawesi ada lima spesies, yaitu P. alecto, P. caniceps, P. griseus, P. pumilis dan P. speciosus Suyanto 2001. Ciri yang membedakan spesies adalah basal ledge posterior, warna tubuh, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga, dan bulu pada betis. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa marga Pteropus yang ditemukan di empat lokasi adalah P. alecto. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 3. Variasi pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 10. Bobot badan P. alecto dari Pasar Bersehati hampir seragam dengan selisih bobot badan maksimum dan minimum 95 g, sedangkan P. alecto asal Lamaya, Matialemba dan Kolono bervariasi dengan selisih bobot maksimum dan minimum masing-masing 277.4 g, 247 g, dan 470 g. Variasi bobot badan paling kecil adalah a b c pada P. alecto asal Pasar Bersehati. Hal ini disebabkan karena P. alecto tidak diambil dari habitat asalnya, tetapi diambil dari pasar yang merupakan pusat penjualan kelelawar di Kota Manado sehingga sudah dipilih dan dikelompokkan berdasarkan bobot badan. Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penjual kelelawar diperoleh informasi bahwa kelelawar yang dipasarkan berasal dari Pulau Sangihe dan Talaud, walaupun ada juga yang berasal dari Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. bb:bobot badan, pb:panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt = milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra:panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm :lebar baris gigi molar Gambar 10 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati PaB, Lamaya PaL, Matialemba PaM, dan Kolono PaK. Variasi bobot badan paling besar adalah pada P. alecto asal Kolono, diikuti Matilemba dan Lamaya. Hal ini karena lokasi habitat hutan primer di ketiga lokasi dan hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono masih baik, selain itu budaya masyakarat yang tidak mengkonsumsi daging dan lokasi pemasaran yang cukup jauh juga ikut menentukan kurangnya aktivitas masyarakat untuk memburu kelelawar. Berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkapan kelelawar di Kolono diperoleh informasi bahwa jumlah penangkap kelelawar di Kolono ada dua orang. Kelelawar yang diburu dikumpulkan dan dipasarkan di daerah sekitar Motibawah Kecamatan Beteleme, Kabupaten Morowali, Makasar dan Manado setiap dua minggu oleh pengumpul. Hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkap dan pengumpul di Lamaya, Gorontalo diperoleh informasi pada musim buah, setiap minggu kelelawar bb pb plb pbt pk pt PaB 508,89 231,33 154,67 73,93 59,33 32,53 PaL 535,66 247,14 166,43 75,71 57,86 32,14 PaM 679,00 262,78 166,11 77,22 61,33 32,22 PaK 545,86 236,79 159,29 74,29 59,29 32,00 100 200 300 400 500 600 700 800 S a t ua n Variabel pengukuran Ukuran Tubuh 20 40 60 80 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm PaB 69.60 59.60 54.33 28.20 38.27 19.13 14.13 15.27 8.00 PaL 69.29 59.86 54.86 27.71 35.29 20.14 16.86 16.14 8.43 PaM 70.56 61.67 56.67 29.56 39.44 22.00 15.00 16.33 8.00 PaK 70.14 60.07 54.64 27.43 37.29 20.07 16.86 16.21 8.93 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak ditangkap dan dikumpulkan untuk dipasarkan di daerah Minahasa dan Manado, sedangkan pada musim buah-buahan tidak berbuah aktivitas penangkapan berkurang karena populasi kelelawar berkurang atau berpindah tempat. Hasil wawancara di Pasar Bersehati diperoleh informasi bahwa kelelawar yang berasal dari Pulau Mantehage hanya di bawa ke Manado pada waktu tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat di Sulawesi Tengah masih lebih baik dibanding habitat asal P. alecto yang diambil di Pasar Bersehati dan Habitat di Lamaya Gorontalo. Rataan ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total dari ke empat lokasi variasinya sama dengan yang dilaporkan oleh Flannery 1995 dan Suyanto 2001. Hal ini berarti bahwa ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total merupakan parameter penentu dalam identifikasi P. alecto. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya. Karakteristik fisik lain P. alecto yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna hitam, sayap berwarna cokelat tua, dan rigi palatum 5+5+3 Gambar 11. Gambar 11 Warna seluruh tubuh, sayap, dan rigi palatum P. alecto. Rumus gigi marga Pteropus adalah I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi permanen sudah tumbuh semuanya, bahkan ada beberapa gigi geraham belakang yang sudah tanggal. Hampir semua P. alecto betina belum pernah beranak. Persentase betina dan jantan yang tertangkap adalah 33.33 dan 66.67 untuk P. alecto asal Pasar Bersehati, Matialemba dan Kolono sama yaitu 21.43 dan 78.57, dan Lamaya 57.15 dan 42.85, Tubuh Sayap Rigi palatum dengan persentase kebuntingan 28.57, dan persentase kebuntingan dari Kolono 21.43. Ini berarti jumlah kelelawar jantan yang tertangkap di keempat lokasi lebih tinggi daripada kelelawar betina. Walaupun jantan lebih banyak yang tertangkap dibanding betina, betina yang tertangkap adalah betina produktif. Lebih banyaknya jantan yang tertangkap mungkin disebabkan karena populasi jantan lebih besar daripada betina. Ini mungkin karena jantan lebih banyak yang dilahirkan daripada betina. Hasil pengamatan langsung pada P. alecto yang dikandangkan, dari tujuh ekor yang bunting semua melahirkan anak jantan. Karakteristik R. amplexicaudatus Di Indonesia genus Rousettus terdiri atas empat jenis, yaitu R. amplexicaudatus, R. celebensis, R. spinalatus dan R. leschenauli, sedangkan di Sulawesi dan Maluku marga ini hanya terdapat satu jenis, yaitu R. celebensis. Ciri yang membedakan spesies ini adalah ada tidaknya perlekatan sayap di tengah punggung, ukuran lengan bawah sayap, dan banyaknya bulu Flannery 1995, Suyanto 2001. Maryanto Yani 2003 melaporkan bahwa di Sulawesi ada satu spesies baru, yaitu R. linduensis. Ciri-ciri Rousettus sp adalah moncong panjang, lidah panjang, gigi seri belah ujungnya kanan kiri, lengan bawah sayap 69-99 mm, mempunyai cakar pada jari kedua serta rumus gigi I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 M 2 M 3. P 1 mengecil seukuran gigi seri, geraham belakang nomor satu lebih pendek dari pada nomor tiga dan empat. Berdasarkan parameter tersebut di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Peonea adalah R. amplexicaudatus. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 4. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 12. Rataan bobot badan R. amplexicaudatus adalah 104.24 g dengan variasi berkisar dari 58.5-149.6 g. Rataan bobot badan ini lebih tinggi 27-87. 2 g dibandingkan dengan rataan bobot badan dari R. amplexicaudatus yang dilaporkan Flannery 1995 bahwa rataan bobot badan R. amplexicaudatus di New Ireland adalah 101.5 g dengan kisaran 98-105 g. Besarnya bobot badan dan variasi bobot badan R. amplexicaudatus di Peonea mengindikasikan struktur populasi yang seimbang, dan habitat gua batu yang menyusuri sungai sepanjang tiga kilometer di tengah hutan lindung Saluwaidei, yang ditunjang dengan aneka pohon dan buah-buahan yang tumbuh sebagai sumber pakan yang cocok bagi kehidupan kelelawar. bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb :panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 12 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea. Selain itu, aktivitas penangkapan masyarakat di sekitar hutan lindung jarang dilakukan. Flannery 1995 melaporkan bahwa panjang lengan bawah sayap, ekor, dan telinga R. amplexicaudatus jantan asal New Ireland adalah 74.9 73.2-77.2 mm, 18,7 17.6-20.6 mm dan 15.7 14.4-17 mm, dan betina adalah 70.3 66.8-74 mm, 16 14.8-15.2 mm dan 16 14-18.3 mm. Bergman Rozendaal 1988 melaporkan beberapa ukuran tubuh dan tengkorak dari R. amplexicaudatus dari Sulawesi adalah, panjang lengan bawah sayap 81.55 77.3- 85.6 mm, panjang tengkorak total 36.85 35.2-38.5 mm, tengkorak condylobasal 35.4 34.2-37.2 mm dan lebar tulang pipi 22.3 20.7-23.3 mm. Ukuran maksimum dan minimum lengan bawah sayap R. amplexicaudatus di Peonea lebih tinggi 4-33 mm dan panjang telinga lebih tinggi 2-5 mm dari ukuran panjang ekor dan telinga R. amplexicaudatus yang dilaporkan oleh Flannery 1995, sedangkan ukuran maksimun dan minimum panjang ekor sama. Ukuran maksimum dan minimum tengkorak total lebih tinggi 1.8-9.5 mm dan tengkorak condylobasal lebih tinggi 0.8-4.8 mm dari ukuran maksimum dan minimum tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Bergmans Rozendaal 1988. Hal ini mengindikasikan bahwa panjang ekor merupakan 104.24 133.56

87.63 45.56

30.25 20.44

20 40 60 80 100 120 140 160 bb pb plb pbt pk pt S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh

42.69 37.94

33.75 14.81

23.13 12.88 11.25

10.06 5.13

5 10 15 20 25 30 35 40 45 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak parameter yang tidak mengikuti bobot badan, sedangkan ukuran lengan bawah sayap, telinga, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal mengikuti bobot badan sehingga panjang lengan dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan parameter dalam mengidentifikasi spesies ini. Karakteristik fisik lain yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna cokelat abu-abu dan bulu yang tidak lebat dan pendek Gambar 13. Persentase jantan dan betina yang tertangkap adalah 75 dan 25. Gambar 13 R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea. Karakteristik T. nigrescens Marga ini hanya satu jenis, yaitu codot walet T. nigrencens yang penyebarannya terbatas di Sangihe, Sulawesi Utara, Morotai, dan Mangole . Ciri- cirinya moncong perdek, warna keabuan dan cokelat pada daerah punggung dan bahu Flannery 1995. Rumus giginya adalah I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4 M 1 I 1 I 2 CP 1 P 3 P 4. M 1 M 2. P 4 dan M 1 sangat lebar dibandingkan gigi lainnya. M 2 kecil hampir sama dengan P 1 , I 2 lebih pendek daripada I Suyanto 2001. Berdasarkan rumus gigi, bentuk kepala, dan bentuk moncong maka jenis yang ditemukan adalah T. nigrescens. Namun, berdasarkan bobot badan, ukuran lengan bawah sayap, betis, dan warna bulu, ditemukan kemungkinan dua jenis berbeda yang dapat digolongkan sebagai marga Thoopterus sp, yaitu Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Data rataan, simpangan baku, jumlah sampel, parameter ukuran tubuh, dan tengkorak hasil pengukuran ketiga jenis ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 14. Rataan bobot badan T. nigrescens hasil penelitian ini lebih rendah 8,81 g dan ukuran betis lebih tinggi 1,43 mm dari kisaran T. nigrescens asal Morotai yang dilaporkan Flannery 1995. Rataan bobot badan, lengan bawah sayap, betis, panjang tengkorak total, dan tengkorak condylobasal Thoopterus sp 1 dan Thoopterus sp 2 lebih rendah dari T. nigrescens yang ditemukan di lokasi penelitian dan T. nigrescens asal Mangole yang dilaporkan Flannery 1995, yaitu T. nigrescens mempunyai panjang tubuh 107-109 mm, lengan bawah sayap 71.2- 72.3 mm, panjang betis 28.7 mm, telinga 16.6-16.8 mm, dan bobot badan 62-88 g untuk jantan dan panjang tubuh 94.1-106.7 mm, lengan bawah sayap 70.4-73.9 mm, panjang betis 27.4-31 mm, telinga 14.1-16.7 mm, dan bobot badan 52-60 g untuk betina. Bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs: panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g: lebar geraham premolar, gm:lebar baris gigi molar Gambar 14 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens TnP Thoopterus sp 1 TnP 1, dan Thoopterus sp 2 TnP 2 di Pakuure. Dari rumus gigi diketahui bahwa T. nigrescens yang tertangkap sebanyak 13 ekor 84.62 sudah dewasa, dan dua ekor 15.38 masih muda. Dengan jumlah jantan yang terjaring lebih rendah dari betina dengan persentase 46.15: 53.85, demikian juga Thoopterus sp 1 dengan persentase jantan 27:73. Sebaliknya, untuk jenis Thoopterus sp 2 jumlah jantan yang terjaring lebih tinggi daripada betina dengan persentase 90.90:0.90. Dilihat dari perbandingan jantan dan betina yang terjaring, maka pada kondisi habitat yang tidak menunjang kehidupan kelelawar ada kemungkinan suatu waktu akan terjadi penurunan populasi dan perubahan struktur populasi apabila perburuan terus dilakukan. bb ps plb pbt pk pt TnP 83.65 553.15 75.92

30.15 25.31

17.00 TnP1 51.59

467.67 66.00

27.53 20.53

15.47 TnP2 24.42

379.09 53.82

20.09 14.64

15.91 100

200 300 400 500 600 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm TnP 37.88 34.00 30.88 13.75 23.25 13.25 8.13 0.00 8.13 TnP1 33.60 29.67 28.27 16.73 16.80 10.87 7.13 2.47 6.67 TnP2 29.00 25.88 24.38 10.88 18.75 10.25 6.38 2.00 5.50 5 10 15 20 25 30 35 40 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak Simpulan Berdasarkan susunan gigi, ukuran tengkorak dan ukuran tubuh maka jenis kelelawar pemakan buah yang ditemukan ada lima spesies yang terdiri atas 1. A. celebensis dapat ditemukan di Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Lumaya Gorontalo dan Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 2. N. cephalotes, dan 3. T. nigrescens dapat ditemukan di Perkebunan Rakyat Toori sekitar hutan Gunung Lolombulan Kecamatan Tenga, Kabupaten Manahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, 4. R. amplexicaudatus dapat ditemukan di gua batu hutan lindung Saluwadei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 5. P. alecto dapat ditemukan di Pasar Bersehati, Kota Manado, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo dan Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, dan Hutan mongrove di pesisir pantai Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Saran Perlu dilakukan penelitian molekuler untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar di setiap lokasi. Penelitian tentang populasi dan habitat kelelawar perlu dilakukan untuk mengetahui status populasi dan habitat kelelawar pemakan buah yang tersebar di Sulawesi. Daftar Pustaka Afolabi OO et al. 2009. Determination of major mineral in bats Chiropterans disambiguation. Continent J Food Sci Technol 3:14-18. Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island Mamalia, Megachiroptera. Zool Verhandlugen 248:1-14. Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian Durio zibethinus, Bombacae in southern Thailand. J Trop Ecol 25:85-92. Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers long they become rare. Ecologi 872:271-276. Corbet GB, Hill JE. 1992.The Mammals of the Indomalayan Region: A Systematic Review. Oxford : Oxford University Press. Dumont ER, Onell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats Pteropodidae. J mammal 85 1: 8-14. Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific Moluccan Islands. Sydney : Australian Museum Reed Book. Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats Chiroptera: pteropodidae as seed dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic 344:491-503 Jenkins RKB, Racey PA. 2008. Bats as bustmeat in Madagascar. Madagascar Conserv Develop 3 1:22-30. Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene Chiroptera : Pteropodidae from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417. Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv 131:584-593. Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop Biodivers 6:145-162. Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488. Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record. Treubia 321:63-85. Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus Chiroptera : Pteropodidae from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111- 120. Mickleburgh S, Waylen K, Racey P. 2008. Bat as bushmeat: a global review. Oryx 433:217-234. Mohd-Azlan J, Zubaid A, Kunz TH. 2001. The distribution, relative abundance, and conservation status of the large flying fox, Pteropus vampyrus, in Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropt 3:149-162. Riley J. 2002. Mammal survey on the Sangihe and Talaud Island, Indonesia and the impact of hunting and habitat loss. Oryx 36:288-296 Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Wiles GJ, Engbring J, Otobed D, 1997. Abudance, biology, and human exploitation of bat in the Pulau Islands. J Zool 241 :203-227 PRODUKSI KARKAS DAN DAGING KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Produksi Karkas dan Daging Kelelawar Pemakan Buah. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah pada bulan Maret sampai Oktober 2011. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui potensi kelelawar pemakan buah sebagai sumber daging. Materi yang digunakan adalah enam jenis kelelawar, yaitu Acerodon celebensis, Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, dan Thoopterus sp.Variabel yang diamati adalah bobot hidup, bobot karkas, bobot nonkarkas, bobot tulang, bobot daging, bobot lemak, dan kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi karkas Acerodon celebensis di dua lokasi adalah 51.9-56.04 dan produksi daging 54,81-56.92. Produksi karkas Pteropus alecto tertinggi dan terendah di empat lokasi adalah 54.49-56.55 dan produksi daging 45.37- 54.03. Produksi karkas Nyctimene cephalotes adalah 61.58 dan produksi daging 50.27. Produksi karkas Rousettus amplexicaudatus 55.65 dan produksi daging 51.67. Produksi karkas dari kedua marga Thoopterus sp adalah 49.29- 64.07 dan produksi daging 51.41-51.86. Kata kunci : produksi karkas, daging, kelelawar pemakan buah. Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Carcass and Meat Production of Fruit Bats in Celebes. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU The research was conducted in North Sulawesi, Gorontalo, and Central Sulawesi in March until October 2011. The purpose of this study was to determine the potential of fruit bats as a source of meat. The materials used were six species of bats, namely Acerodon celebensis, Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, Rousettus amplexicaudatus, and Thoopterus sp. Variables measured were body weight, carcass weight, non carcass weight, the bone weight, meat weight, fat weight, and skin weight. The results showed that the production of Acerodon celebensis carcasses at two sites was 51.9-56.04, meat production was 54,81- 56.92. The lowest and the highest Pteropus Alecto carcass production in four locations were 54.49-56.55, meat production were 45.37-54.03. Carcass production of Nyctimene cephalotes was 61.58, meat production was 50.27. Production of Rousettus amplexicaudatus carcass was 55.65, meat production was 51.61. Carcass production of both genera Thoopterus sp ranged from 49.29 to 64.07, meat production ranged from 51.41 to51.86. Keywords : carcasses production, meat, fruit bats. Pendahuluan Hasil identifikasi berdasarkan morfometri, diperoleh 5 spesies kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi di Sulawesi Utara, yaitu P. alecto, A. celebensis, N. cephalotes, R. amplexicaudattus, dan T. nigrescens. Walaupun belum ada data jumlah konsumsi daging kelelawar per tahun, sumbangsih daging kelelawar dalam pemenuhan konsumsi daging dan asupan zat gizi cukup berarti. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap hari kelelawar dalam bentuk hidup dan mati serta kelelawar olahan yang dikenal dengan paniki bisa ditemukan di pasar tradisional, swalayan, dan tempat penjual makanan tradisional sebagai pangan eksotik. Bahkan pada hari-hari tertentu, seperti natal, tahun baru, hari ulang tahun perkawinan, dan pengucapan syukur karena berhasil dalam pertanian, kelelawar olahan dijadikan menu spesial bagi keluarga. Hasil survei di pasar tradisional Tomohon dan Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara, pada Maret 2011, menunjukkan bahwa rata-rata penjualan kelelawar setiap hari adalah 50 kg, sedangkan berdasarkan survei dan wawancara langsung dengan masyarakat penjual kelelawar di Pasar Bersehati Manado pada Oktober 2011 diperoleh informasi bahwa setiap harinya daging kelelawar yang terjual adalah 30-50 kg. Dengan demikian, setiap harinya kelelawar menyumbang penyediaan daging yang setara dengan 80-100 kg. Kelelawar pemakan buah, sebagai alternatif penghasil daging, kaya akan mineral yang esensial bagi tubuh Lee 2000b, Riley 2002, Lee et al. 2005, Jenkins Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009. Melihat minat masyarakat Minahasa dan Manado terhadap daging kelelawar dan sumbangsih daging kelelawar terhadap pemenuhan konsumsi daging di luar ternak konvensional, maka perlu dipikirkan produktivitas karkas dan ketersediaannya. Produktivitas berhubungan dengan komposisi karkas yang meliputi tulang, daging, dan lemak yang dihasilkan, sedangkan komposisi karkas berhubungan dengan bobot badan Aberle et al. 2001. Sampai saat ini, informasi tentang produksi karkas dan daging kelelawar belum tersedia secara ilmiah karena kelelawar merupakan satwa liar yang belum ada penanganannya sehingga pengukuran produktivitasnya belum diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi pertumbuhan dan produksi daging kelelawar berdasarkan bobot hidup dan bobot karkas. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi tentang pendugaan bobot karkas dan nonkarkas berdasarkan bobot hidup, serta pendugaan bobot komponen karkas berdasarkan bobot karkas yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan pegembangan potensi kelelawar sebagai satwa harapan sumber daging yang ketersediaannya kontinu melalui budi daya. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Manado dan Pakuure Sulawesi Utara, Lamaya Gorontalo, serta Matialemba, Peonea, dan Kolono Sulawesi Tengah Pengambilan data potongan karkas dan nonkarkas kelelawar pemakan buah dilakukan di Labaratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk kelelawar yang berasal dari Pasar Manado, sedangkan yang lainnya dilakukan di lokasi masing-masing. Lama penelitian enam bulan dimulai dari Maret sampai Oktober 2011. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan enam jenis kelelawar dari enam lokasi, yaitu A. celebensis dari Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 300.90- 395.80 g, dan dari Kolono sebanyak 11 ekor dengan kisaran bobot badan 274.40- 533.90 g. N. cephalotes dari Pakuure sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan 43.14-60 g. P. alecto dari pasar Bersehati sebanyak 15 ekor dengan kisaran bobot badan 450-545 g, Lamaya sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 333.60 - 600 g, Matialemba sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 719-779 g, dan Kolono sebanyak 7 ekor dengan kisaran bobot badan 325 –795 g. R. amplexicaudatus dari Peonea sebanyak 8 ekor dengan kisaran bobot badan 58.50- 149.60 g. Thoopterus sp dari Pakuure yang terdiri atas T. nigrescens sebanyak 9 ekor dengan kisaran bobot badan 59 –156.50 g, Thoopterus sp 2 sebanyak 5 ekor dengan kisaran bobot badan 22.50 –39.30 g. Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS Global Position System, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan, kamera, alkohol, kapas, kandang penampungan dalam bentuk ram kawat, gunting, silet, pisau, timbangan digital kapasitas 1000 g, juga seperangkat alat untuk keamanan diri.