Ekstraksi dan identifikasi senyawa bioaktif lintah laut (Discodoris sp ) sebagai antioksidan

(1)

EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF

LINTAH LAUT (

Discodoris

sp.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN

HAFILUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahawa tesis dengan judul “Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Lintah Laut (Discodoris sp.) sebagai Antioksidan” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Februari 2011

Hafiluddin NRP. C351080011


(4)

(5)

ABSTRACT

HAFILUDDIN. Extraction and Identification of Bioactive Compounds Sea Slug (Discodoris sp.) as an antioxidant. Supervised by TATI NURHAYATI dan NURJANAH

One of the commodities produced from the ocean that have a bioactive compounds is a sea slug (Discodoris sp.). That is very interesting to study mainly deals with the nature of both chemical and biochemical characteristics and their use for the field of food and health. The purpose of this study is to determine the nutrient content of sea slug, determine antioxidant activity, and determine the bioactive compounds of sea slug. The experiment was conducted with several stages: sample preparation, extraction bioactive compound, fractionation by TLC and identification of compounds by GC-MS. Sea slug from the island of Madura Pamekasan potential as a source of protein, fat, and minerals. Sea slug has esensial amino acids amount to 5,57% was dominated by leucin of 1,42%. Nonesensial amino acids amount to 6,54% wich was dominated by glutamic acid 2,19%. Saturated fatty acids amounted to 27.53% of sea slug was dominated by palmitic (C16:0) which was 13.36%. Unsaturated fatty acids amounted to 34.66%, which was dominated by the essential fatty acids linolenic (C18:3, n-3) 20.91%. The highest yield of the crude extract was ethanol of 6,97% and contained alkaloid, steroids, saponin, phenols, carbohydrates and reducing sugar compound. The bioactive compounds in the meat of sea slug with ethanol solvent was galoxolide, dibuthyl phthalate, di-n-octhyl phthalate, oleic acid amide, erucylamide, squalene and has an IC50 best antioxidant activity in fraction 5 at 150.92 ppm.


(6)

(7)

RINGKASAN

HAFILUDDIN. Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Lintah Laut (Discodoris sp.) sebagai Antioksidan. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan NURJANAH.

Salah satu komoditi yang dihasilkan dari laut yang mempunyai senyawa bioaktif adalah lintah laut (Discodoris sp.). Senyawa bioaktif lintah laut sangat menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan sifat karakteristik kimia maupun biokimianya serta pemanfaatannya untuk bidang pangan dan kesehatan. Menurut pengalaman empiris, lintah laut telah lama digunakan oleh masyarakat pantai sebagai bahan pangan dan obat-obatan.

Penelitian yang komprehensif tentang kandungan gizi dan komponen bioaktif dari lintah laut jenis Discodoris sp. ini masih sangat kurang, khasiat dan manfaatnya secara empiris perlu dibuktikan, sehingga diperlukan penelitian yang lebih lengkap untuk menentukan komposisi gizi, komponen kimia, ekstraksi dan identifikasi senyawa dari lintah laut. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kandungan gizi lintah laut, menentukan aktivitas antioksidan, dan menentukan senyawa bioaktif lintah laut.

Penelitian dilaksanakan dengan beberapa tahap yaitu (1) pengambilan dan preparasi sampel, analisis yang dilakukan adalah rendemen (Hustiany 2005), analisis proksimat (AOAC 2005) (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kandungan asam amino (AACC 1994), asam lemak (AACC 1983), mineral dan logam berat (SNI 01-2896-1998); (2) ekstraksi senyawa biokatif, analisis yang dilakukan adalah fitokimia (Departemen Kesehatan RI 1995), uji antioksidan metode DPPH (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005); (3) fraksinasi lanjutan, analisis yang dlakukan adalah uji antioksidan dengan metode DPPH (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005); (6) identifikasi senyawa aktif, analisis yang dilakukan adalah identifikasi senyawa aktif dengan menyesuaikan dengan senyawa yang ada di labrary GC-MS.

Lintah laut (Discodoris sp.) yang berasal dari perairan pantai Kabupaten Pamekasan Madura memiliki kadar air berkisar dari 9,22±1,11% (jeroan kering) sampai 83,00±1,25% (daging segar), abu berkisar dari 1,87±0,20% (daging segar) sampai 26,86±0,64% (jeroan kering), protein berkisar dari 12,31±0,86% (daging jeroan) sampai 45,13±0,29% (daging kering), lemak berkisar dari 0,44±0,04% (jeroan segar) sampai 7,10±0,44% (jeroan kering), serta karbohidrat berkisar dari 2,38±1,87% (daging segar) sampai 23,07±1,83% (jeroan kering). Asam-asam amino yang terdapat pada lintah laut terdiri atas 9 asam amino non essensial dan 8 asam amino esensial. Asam amino essensial lintah laut lebih rendah dari pada asam amino non esensialnya. Asam amino esensial lintah laut sebesar 5,57% (daging) dan 5,69% (jeroan), sedangkan asam amino non esensial sebesar 6,54% (daging) dan 6,76% (jeroan). Asam amino essensial yang terdapat pada lintah laut yaitu lisin 1,39%, leusin 1,42%, isoleusin 0,43%, treonin 0,52%, methionin 0,28%, valin 0,81%, phenilalanin 0,36%, dan histidin 0,35%. Asam amino non essensial pada lintah laut yaitu asam aspartat 0,91%, asam glutamat 2,19%, glisin 0,22%, serin 0,55%, alanin 0,38%, polin 1,18%, triosin 0,50%, arginin 0,46%, dan sistein 0,14%.


(8)

x

Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA) sebesar 27,53% (daging) dan 29,82%(jeroan) yang terdiri atas laurat (C12:0) 4,59%, miristat (C14:0) 1,11%, palmitat (C16:0) 13,37%. Asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid) sebesar 34,66% (daging) dan 17,95% (jeroan), terdiri atas asam lemak tidak jenuh tunggal (monounsatuted fatty acid/MUFA) yaitu oleat (C18:1,n-9) 8,13% dan asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yaitu linoleat (C18:2,n-6) 5,63% dan linolenat (C18:3,n-3) 20,91%. Kandungan mineral lintah laut terdiri atas mineral makro dan mineral mikro. Kandungan mineral tertinggi pada lintah laut yaitu pada jeroan meliputi kalium 206,05 ppm, kalsium 187,66 ppm, magnesium 112,4 ppm dan beberapa mineral mikro. Logam berat yaitu Hg, Cd dan As tidak terdeteksi pada lintah laut.

Rendemen ekstrak kasar terbaik pada pelarut etanol sebesar yaitu 5,08% pada daging lintah laut dan 6,97% pada jeroannya. Lintah laut mengandung senyawa alkaloid, steroid, saponin, fenol, karbohidrat dan senyawa gula pereduksi. Nilai aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh dari ekstrak kasar daging lintah laut dengan pelarut etanol dengan IC50 sebesar 441,12 ppm.

Fraksinasi menggunakan KLT dan pengamatan dengan sinar UV 254 nm dihasilkan 6 fraksi dengan Rf (Retardation factor) yaitu 0,12; 0,32; 0,49; 0,56; 0,78; dan 0,94. Nilai aktivitas antioksidan masing-masing fraksi tertinggi diperoleh pada fraksi 5 dengan IC50 sebesar 150,92 ppm. Hasil identifikasi dengan GC-MS ditemukan 6 senyawa pada daging lintah laut dengan pelarut etanol yaitu galaksolida, dibutil ftalat, dioktil ftalat, oleilamida, erusilamid dan skualen. Senyawa tersebut sudah digunakan sebagai antioksidan maupun bersama-sama senyawa antioksidan, bersadarkan hasil analisis fitokimia dan beberapa literatur yang digunkan disimpulkan bahwa yang berperan sebagai senyawa antioksidan dalam lintah laut yaitu skualen.


(9)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF

LINTAH LAUT (

Discodoris

sp.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN

HAFILUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

x

Dosen Penguji Luar Komisi:


(13)

Judul Tesis : Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Lintah Laut (Discodoris sp.) sebagai Antioksidan

Nama : Hafiluddin

NIM : C351080011

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.

Mengetahui:

Dr. Ir. Nurjanah, MS. Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.

Tanggal Ujian: 25 Januari 2011

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Lintah Laut (Discodoris sp.) sebagai Antioksidan” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini didanai oleh IPB melalui program Penelitian Unggulan IPB Tahun 2009 atas nama Dr. Ir Nurjanah, MS.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi M.Si selaku ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dip.Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi perbaikan tesis ini.

3. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan staf laboran Progam Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak membantu dan kerjasama yang baik selama penulis menempuh studi.

4. Keluarga besar Hafiluddin dan Silviana Indah Junyanti yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis sampai saat ini.

5. Teman-teman S2 THP IPB baik dari angkatan 2007 (Sefri), angkatan 2008 (Kak Sil, Kak Nikma, Bang Ridho, Teteh Iis, Om Uki, Lilis, Erika dan Pipih), angkatan 2009 (Untung dkk) dan adik-adik S1 THP atas kerjasama yang baik selama studi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Bogor, Februari 2011


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pamekasan pada tanggal 08 Maret 1980 sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan Samsuri dan Halimah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 2 Bunder pada tahun 1993, kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri 1 Pademawu dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis menempuh sekolah menengah atas pada SMA Negeri 2 Pamekasan dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan IPB dari tahun 1999-2003.

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai dosen pada Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan jenjang magister pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan IPB. Penulis menikah dengan Silviana Indah Junyanti pada 11 Februari 2009, dan dikarunia anak pertama Selina Putri Aufil Fakhira pada 7 Nopember 2009. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian sidang tesis pada 25 Januari 2011.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) ... 5

2.2 Komponen Bioaktif ... 7

2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif ... 9

2.4 Antioksidan ... 12

2.5 Kandungan Fitokimia ... 14

2.5.1 Alkaloid ... 14

2.5.2 Steroid/triterpenoid ... 15

2.5.3 Flavonoid ... 15

2.5.4 Saponin ... 16

2.5.5 Fenol hidrokuinon ... 17

2.5.6 Karbohidrat ... 17

2.5.7 Gula pereduksi ... 18

2.5.8 Peptida ... 19

2.5.9 Asam amino ... 19

3 METODOLOGI ... 21

3.1 Waktu dan Tempat ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.3 Prosedur Penelitian ... 22

3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel ... 22

3.3.2 Ekstraksi lintah laut kering ... 22

3.3.3 Fraksinasi lanjutan ... 24

3.3.4 Identifikasi senyawa aktif ... 25


(20)

x

3.4.1 Rendemen (Hustiany 2005) ... 25

3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 2005) ... 26

3.4.3 Analisis asam amino (AACC 1994) ... 29

3.4.4 Analisis asam lemak (AACC 1983) ... 31

3.4.5 Analisis mineral dan logam berat (SNI 01-2896-1998) ... 32

3.4.6 Analisis fitokimia (Departemen Kesehatan RI 1995) ... 35

3.4.7 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005) ... 37

3.5 Rancangan Penelitian ... 38

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Karakteristik Lintah Laut (Discodoris sp.) ... 41

4.1.1 Rendemen ... 42

4.1.2 Kandungan proksimat lintah laut ... 42

4.1.3 Kandungan asam amino lintah laut ... 45

4.1.4 Kandungan asam lemak lintah laut ... 46

4.1.5 Kandungan mineral lintah laut ... 48

4.2 Ekstraksi Lintah Laut ... 49

4.2.1 Rendemen ... 49

4.2.2 Hasil pengujian senyawa fitokimia ... 51

4.2.3 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut... 53

4.3 Pemurnian Ekstrak Lintah Laut ... 56

4.3.1 Hasil fraksinasi dengan KLT ... 56

4.3.2 Aktivitas antioksidan hasil fraksinasi... 58

4.3.3 Identifikasi senyawa hasil fraksinasi ... 60

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Sifat fisika kimia beberapa pelarut yang digunakan dalam ekstraksi

bahan alam ... 11

2 Kondisi dan spesifikasi operasi alat GC-MS ... 26

3 Rendemen lintah laut setelah preparasi ... 42

4 Hasil analisis proksimat lintah laut (Discodoris sp.) ... 43

5 Kandungan asam amino pada lintah laut (Discodoris sp.)... 45

6 Komposisi asam lemak lintah laut (Discodoris sp.) ... 46

7 Hasil analisis kandungan mineral lintah laut (Discodoris sp.) ... 48

8 Rendemen ekstrak lintah laut ... 50

9 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar lintah laut (Discodoris sp.) ... 52

10 Perbandingan nilai Rf pada beberapa penelitian lintah laut ... 57

11 Pengelompokan senyawa pada fraksi 5 lintah laut dari hasil GC-MS ... 62


(22)

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Lintah laut (Discodoris sp.) ... 5 2 Beberapa senyawa yang diisolasi dari nudibranch: (1) Nembrotha

kubaryana, (2) Chromodoris petechialis, (3 dan 4) Hypselodoris

infucata ... 8 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan... 13 4 Bagan kerja ekstraksi lintah laut (Discodoris sp.) (Sherif et al. 2008

dengan beberapa modifikasi) ... 23 5 Diagram penelitian ... 39 6 Lintah laut; (a) utuh segar, (b) setelah preparasi (daging dan jeroan),

(c) setelah dikeringkan, dan (d) tepung lintah laut... 41 7 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan lintah laut (Discodoris sp.) ... 54 8 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan standar BHT ... 54 9 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut (a)

kloroform daging, (b) kloroform jeroan, (c) etil asetat daging, (d) etil

asetat jeroan, (e) etanol daging, (f) etanol jeroan. ... 55 10 Hasil fraksinasi senyawa pada lintah laut menggunakan KLT ... 57 11 Hasil fraksinasi dengan KLT; (a) kromatografi KLT preparatif, (b)

Hasil pengecekan dengan kromatografi lapis tipis ... 58 12 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan pada masing-masing fraksi ... 58 13 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan pada standar BHT ... 59 14 Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan pada masing-masing fraksi,

(a) Fraksi 1, (b) fraksi 2, (c) fraksi 3, (d) fraksi 4, (e) fraksi 5, (f)

fraksi 6 ... 60 15 Kromatogram senyawa pada fraksi 5 (F5) lintah laut dengan


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kromatogram standar asam amino pada HPLC ... 77 2 Kromatogram asam amino daging lintah laut pada HPLC ... 78 3 Kromatogram asam amino jeroan lintah laut pada HPLC ... 79 4 Contoh perhitungan asam amino glutamat pada daging lintah laut ... 80 5 Kromatogram standar asam lemak pada GC... 81 6 Kromatogram asam lemak daging lintah laut pada GC ... 82 7 Kromatogram asam lemak jeroan lintah laut pada GC ... 83 8 Contoh perhitungan asam lemak lenolenat pada daging lintah laut... 84 9 Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut ... 85 10 Hasil analisis sidik ragam aktivitas antioksidan masing-masing fraksi ... 86 11 Kromatogram GC-MS secara umum senyawa pada lintah laut ... 87 12 Hasil identifikasi senyawa galoksolid lintah laut pada GS-MS ... 88 13 Hasil identifikasi senyawa dibutil ftalat lintah laut pada GS-MS ... 89 14 Hasil identifikasi senyawa dioktil ftalat lintah laut pada GS-MS ... 90 15 Hasil identifikasi senyawa oleilamida lintah laut pada GS-MS ... 91 16 Hasil identifikasi senyawa erusilamid lintah laut pada GS-MS ... 92 17 Hasil identifikasi senyawa skualen lintah laut pada GS-MS ... 93


(26)

(27)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lebih dari 70% permukaan bumi ini diliputi oleh lautan dan kehidupan yang asli di bumi ini terdapat dalam laut. Dalam ekosistem laut terdapat coral reef, para ahli mengestimasi bahwa kekayaan biologinya sama banyaknya dengan hutan hujan tropis. Organisme laut jenis sponge, soft coral, moluska tanpa cangkang atau hewan bertubuh lunak tergolong sesil atau bergerak lambat dan umumnya mempunyai pertahanan fisik yang kurang karena tidak memiliki pelindung kulit atau duri, organisme tersebut melakukan mekanisme pertahanan kimia yaitu mensintesis racun yang digunakan untuk melawan predator.

Kondisi alam dan iklim Indonesia yang tidak fluktuatif membuat laut di Indonesia memiliki potensi sumberdaya dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Sumberdaya laut tersebut belum terdayagunakan secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya laut selain sebagai sumber pangan, juga berpotensi sebagai sumber senyawa bioaktif yang lebih bernilai ekonomis.

Produk alami laut menarik perhatian ilmuwan dari berbagai bidang ilmu, yaitu kimia, farmakologi, biologi dan ekologi. Pemikiran ini didukung dengan fakta bahwa sebelum tahun 1995 terdapat 6.500 produk alami laut telah diisolasi, sedangkan jumlah tersebut sekarang meningkat menjadi lebih dari 19.000 senyawa. Salah satu contoh senyawa baru ditemukan dari laut dan digunakan sebagai obat, yaitu prialt (ziconotida) sebagai analgesik kuat untuk penyakit yang sudah kronis dan yondelis (trabectedin atau E-743) sebagai antitumor (Sherif et al. 2008).

Salah satu komoditi yang dihasilkan dari laut dan mempunyai senyawa bioaktif adalah lintah laut (Discodoris sp.). Senyawa bioaktif lintah laut sangat menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan sifat karakteristik kimia maupun biokimianya serta pemanfaatannya untuk bidang pangan dan kesehatan. Menurut pengalaman empiris, lintah laut telah lama digunakan oleh masyarakat pantai di daerah Pamekasan Madura yang dikenal dengan nama lokal ”kok-okok” karena lintah laut tubuhnya bisa memanjang dan mengkerut apabila disentuh. Lintah laut digunakan sebagai bahan pangan dan obat untuk menyembuhkan penyakit borok


(28)

2

payudara bagi orang hamil dan menyusui. Lintah laut juga digunakan sebagai jamu untuk menyembuhkan penyakit punggung dan meningkatkan stamina.

Beberapa penelitian tentang lintah laut telah dilakukan, yaitu isolasi senyawa steroid dari lintah laut dan ditemukan 7 jenis senyawa metabolit yang salah satu diantaranya adalah senyawa androgen (Ibrahim 2001). Peneliti lain mengungkapkan bahwa lintah laut mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh serta sterol pada fraksi nonpolar (Witjaksono 2005). Hasil uji fitokimia dari ekstrak metanol lintah laut diperoleh kelompok alkaloid, steroid, asam amino, saponin dan fenol berperan sebagai antioksidan dengan rendemen yang terbesar, yaitu 5,12% serta aktivitas antioksidan 89,44% dibandingkan dengan pelarut yang lain (Nurjanah et al. 2010). Lintah laut jenis Discodoris sp. telah dimanfaatkan sebagai formulasi minuman fungsional dan mempunyai aktivitas antioksidan (Naiu 2010).

Beberapa penelitian tentang senyawa bioaktif dari nudibranch masih terbatas pada penemuan senyawa yang belum diketahui aktivitasnya, yaitu Fontana (2001) berhasil mengisolasi senyawa bioaktif dari nudibranch berupa isokuinolin alkaloid, pentasiklik skalaran, furanoseskuiterpenoid. Wojnar (2008) mengisolasi senyawa terpen, makrolid, peptida dari golongan nudibranch. Mollo (2008) berhasil mengisolasi senyawa apigenin, genkwanin, chrisoeriol, syphonosid dari golongan opisthobranchia.

Penelitian yang komprehensif tentang kandungan gizi dan komponen bioaktif dari lintah laut jenis Discodoris sp. ini masih sangat kurang, khasiat dan manfaatnya secara empiris perlu dibuktikan, sehingga diperlukan penelitian yang lebih lengkap untuk menentukan komposisi gizi, komponen kimia, ekstraksi dan identifikasi senyawa dari lintah laut.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah: 1) Menentukan kandungan gizi lintah laut

2) Menentukan aktivitas antioksidan lintah laut 3) Menentukan senyawa bioaktif lintah laut


(29)

3

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemanfaatan lintah laut dalam bidang pangan maupun dalam bidang kesehatan.

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang harus diuji dari penelitian ini adalah pada spesies lintah laut (Discodoris sp.) di perairan pantai Kabupaten Pamekasan Madura mengandung komponen bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan dan pada bagian daging serta jeroannya memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda-beda.


(30)

(31)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.)

Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan anggota dari kelompok ordo nudibranchia. Kata nudibranch berasal dari Bahasa Latin ”nudus” yang berarti telanjang dan bahasa Yunani ”brankhia” yang berarti insang. Kelompok hewan ini memiliki corak dan warna yang beraneka ragam, namun beberapa jenis dari hewan ini mempunyai kemampuan kamuflase yang handal sehingga cukup sulit untuk ditemukan (Sorowako 2008).

Menurut Wojnar (2008) lintah laut diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom : Animal

filum : Molusca kelas : Gastropoda sub kelas : Opistobranchia ordo : Nudibranchia sub ordo : Doridina famili : Dorididae genus : Discodoris sp.

Gambar 1 Lintah laut (Discodoris sp.)

Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki tubuh yang berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya. Permukaan tubuhnya licin dan tidak dilindungi oleh lapisan pelindung. Insang-insangnya berjumbaian di punggung, selain itu hewan ini memiliki kepala bertentakel yang sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa dan bau. Matanya yang


(32)

6

kecil hanya bisa melihat sedikit selain membedakan terang dan gelap (Sorowako 2008).

Daerah penyebaran genus Discodoris secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, Samudera Hindia dan Pasifik khususnya di zona intertidal atau daerah pasang surut (Rudman 1999). Organisme ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur ataupun berpasir serta menghasilkan lendir (mukus) untuk mencegah dari kekeringan pada tubuhnya. Pada bagian bawah tubuhnya dapat bergerak dan menempel pada subtrat sehingga gerakannya lambat.

Discodoris sp. adalah spesies yang banyak ditemukan di Kepulauan Philipina, Papua New Geunia, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan Australia. Biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut dalam lebih dari satu kilometer dalamnya, nudibranch berkembang biak baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobong-cerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009).

Lintah laut termasuk jenis hewan hermaprodit, artinya hewan yang mempunyai alat kelamin ganda yaitu jantan dan betina terdapat dalam satu individu. Ketika organisme ini siap untuk kawin akan bermigrasi ke daerah pantai yang berbatu dan ditumbuhi subur oleh tanaman alga dan rumput laut dan menyemprotkan telur dan sperma sekaligus di sekitar bebatuan tersebut. Telur-telur tesebut akan dibiarkan melayang di sekitar bebatuan dengan maksud agar terhindar dari predator dan telur dibiarkan menetas sendiri (Rudman 1999 diacu dalamWitjaksono 2005).

Discodoris sp. merupakan hewan herbivora, makanan utamanya adalah plankton, alga (alga merah, alga coklat dan alga hijau), rumput laut, sponge. Juvenil akan tumbuh menjadi populasi yang pesat bila mendapatkan makanan yang melimpah disekitar daerah bebatuan yang subur dengan tumbuhan alga dan rumput laut.

Nudibranch atau dikenal sebagai lintah laut, merupakan golongan invertebrata laut bertubuh lunak. Nudibranch termasuk dalam golongan moluska tidak memiliki cangkang dan sedikit memiliki mekanisme pertahanan fisik, berpotensi sebagai mangsa bagi hewan predator karnivora. Untuk mengatasi


(33)

7

lemahnya pertahanan fisik tersebut, nudibranch melakukan adaptasi terhadap lingkungan melalui perubahan anatomi dan fisiologi. Beberapa opistobranch aktif pada malam hari, mengerutkan tubuhnya ketika diserang, dan mampu berkamuflase secara efektif dengan berbagai warna yang menyerupai habitatnya (Grcovik et al. 2005).

2.2 Komponen Bioaktif

Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan cara isolasi, identifikasi, struktur ilusidasi dan mempelajari karakteristik produk kimia yang dihasilkan dari organisme hidup. Sejak jaman Mesopotamia kuno, ketika sejarah menunjukkan kultivasi dari poppy (Papaver somniferum) untuk diekstraksi sebagai opium, senyawa alam mulai menunjukkan perannya yang penting bagi kehidupan manusia khususnya dalam bidang kedokteran (Wojnar 2008). Senyawa metabolit sekunder dikembangkan dalam dunia kedokteran mulai dari sebagai ilmu racun, meliputi antitumor, sitotoksin, antiinflamantori sampai proses metabolismenya di dalam sel (Martin et al. 2000).

Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme hidup yang didefinisikan sebagai senyawa produk alami yang tidak termasuk dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi yang normal pada organisme dan tidak begitu penting dalam hidup. Senyawa yang dihasilkan dari metabolit sekunder tergolong dalam bikokimia yang tidak mengalami perubahan sampai fungsinya diperlukan. Senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai alat interaksi antar organisme, dan sering juga digunakan sebagai pertahanan, sistem imun, antifungi, antibakteri dan sitotoksik alami (Wojnar 2008).

Beberapa senyawa metabolit khususnya struktur dan aktivitas biologisnya telah berhasil diisolasi dari hewan-hewan laut. Senyawa metabolit tersebut mempunyai potensi sebagai obat. Senyawa bioaktif yang menarik diteliti umumnya diisolasi dari spons laut, ubur-ubur, bintang laut, timun laut, terumbu karang, moluska, echinodermata, dan krustasean. Senyawa bioaktif yang telah diisolasi dari hewan laut yaitu steroid, terpenoid, isoprenoid, nonisoprenoid, quinon, dan nitrogen heterosiklik (Bhakuni dan Rawat 2005).


(34)

8

Nudibranch merupakan golongan moluska tidak bercangkang yang selalu berwarna cerah dan indah sebagai pertahanan terhadap serangan predator. Nudibranch merupakan binatang yang indah yang umumnya mengandung sejumlah besar senyawa produk alam untuk membantu pertahanan terhadap serangan predator. Gambar 2 merupakan senyawa yang telah berhasil diisolasi, yaitu tetrapyrole dari Nembrotha kubaryana, nakafuran-8 dan nakafuran-9 dari Hypselodoris infucata, spongiane-16-one dari Chromodoris petechialis. Senyawa ini sebelumnya ditemukan dalam organisme laut lainnya yang mendukung hubungan antara makanan dan senyawa metabolit yang dihasilkan dalam nudibranch (Karuso dan Schewer 2002).

Gambar 2 Beberapa senyawa yang diisolasi dari nudibranch: (1) Nembrotha kubaryana, (2) Chromodoris petechialis, (3 dan 4) Hypselodoris infucata

Golongan invertebrata laut diketahui sebagai sumber dari senyawa bioaktif yang memiliki potensi bagi dunia kedokteran, meskipun tidak sebagian besar obat dikembangkan dari laut. Beberapa senyawa yang telah diujicobakan secara klinis, yaitu obat antikanker. Penelitian tentang produk alam dari laut dalam 3 dekade terakhir telah menghasilkan banyak senyawa kimia dan biologis yang sangat

(4) nakafuran-9

(1) tertrapyrole (2) spongiane-16-one


(35)

9

menarik. Salah satunya adalah asam kainat, asam okadiat, tetradotoksin, manoalida, palitoksin dan sebagainya (Higa et al. 2001).

Senyawa metabolit yang ada pada spons juga ditemukan dalam beberapa nudibranch, meskipun hubungannya dengan spons tidak selalu ditemukan dalam daerah geografis yang sama dengan nudibranch. Di dalam saluran pencernaan Anisodoris nobilis terdapat metabolit kardiaktif 1-metilisoguan. Beberapa senyawa yang juga terdapat dalam nudibranch yaitu pigmen yang diperoleh dari spons yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan kimia secara pasif dan sebagai upaya kamuflase (Faulkner dan Ghiselin 1983).

Beberapa senyawa bioaktif telah ditemukan pada nudibranch Jorunna funebris, yaitu isokuinolin alkaloid (N-formil-1,2-dihidroreneirol asetat, asetil renierol, mimosamisin). Glossodoris atromarginata mengandung senyawa bioaktif deoksoskalarin, sesterterpen heteronemi dan skalaran. Hypselodoris kanga mempunyai kandungan senyawa bioaktif furanoseskuiterpenoid dan furodisinin. Chromodoris mandapamensis mempunyai kandungan senyawa bioaktif spongiadiol (Fontana et al. 2001). Produk bahan alam yang diisolasi dari nudibranch Dendrodoris denisoni, yaitu cinnamolide, olepopuane, metoksi asetat, dan poligodial (Grkovic et al. 2005).

Senyawa bioaktif pada nudibranch umumnya diperoleh dari makanannya, berbagai macam senyawa yang berhasil diisolasi dari lintah laut hampir sama dengan senyawa metabolit yang ada pada spons dan spesies lainnya yang merupakan makanan dari nudibranch. Senyawa yang telah diisolasi yaitu terpen (isocyanopupukeanane) dari nudibranch Phyllidia varicosa dan juga ditemukan pada spons Hymeniacidon sp. Makrolid telah berhasil diisolasi dari nudibranch Hexabranchus sanguineus dan juga pada spons Halichondria, Mycale dan Jaspis. Senyawa peptida berhasil diisolasi dari opistobranch Dolabella auricularia dan pada sianobakteri Symploca. Senyawa peptida tersebut yaitu dolastatin 10 yang terbukti mempunyai aktivitas antitumor pada manusia (Wojnar 2008).

2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut. Komponen yang


(36)

10

dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau cairan. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan yang ingin dicapai dari ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, yaitu ekstraksi dengan pelarut, distilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode yang telah diaplikasikan, metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998).

Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada sumber bahan alam dan senyawa yang ingin diisolasi. Beberapa tujuan dari ekstraksi adalah untuk mengetahui senyawa bioaktif, mengetahui keberadaan senyawa dalam organisme, hubungan struktur senyawa dalam organisme, identifikasi seluruh senyawa bioaktif yang ada pada organisme (Sarker et al. 2006). Tujuan dari isolasi dan purifikasi bahan alam yaitu untuk memisahkan senyawa aktif dari biomassa, untuk mengisolasi senyawa metabolit atau karakterisasi beberapa senyawa dengan uji fitokimia (Seidel 2006).

Metode ekstraksi dengan teknik maserasi digunakan karena relatif sederhana dan mudah tetapi menghasilkan produk yang baik meskipun memiliki kekurangan, yaitu pengerjaan lama dan pengekstrakan kurang sempurna (Meloan 1999). Seidel (2006) mengemukakan bahwa beberapa metode ekstraksi menggunakan pelarut organik atau air telah dikembangkan dalam ekstraksi bahan alam. Maserasi merupakan metode yang mudah dan umum dilakukan. Metode maserasi memiliki kekurangan, yaitu prosesnya memerlukan waktu yang lama, memerlukan volume pelarut yang banyak, beberapa senyawa tidak dapat diekstrak secara efisien dan sedikit larut dalam suhu ruang.

Senyawa yang terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang mempunyai polaritas sesuai dengan pelarutnya. Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi. Ketaren (1986) berpandapat bahwa jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi, pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar.


(37)

11

Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (gugus OH, COH, dan lain-lain). Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Nur dan Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat fisika kimia beberapa pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bahan alam

Pelarut Indek

kepolaran

Titik didih (0C)

Viskositas (cPoise)

Kelarutan dalam air (% w/w) n-Heksan Diklorometan n-Butanol iso-Propanol n-Propanol Kloroform Etil asetat Aseton Metanol Etanol Air 0,0 3,1 3,9 3,9 4,0 4,1 4,4 5,1 5,1 5,2 9,0 69 41 118 82 92 61 77 56 65 78 100 0,33 0,44 2,98 2,30 2,27 0,57 0,45 0,32 0,60 1,20 1,00 0,001 1,6 7,81 100 100 0,815 8,7 100 100 100 100 Sumber : Seidel diacu dalam Sarker et al. (2006)

Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995). Pemilihan pelarut tersebut berdasarkan sifat kepolarannya dan kandungan kimia bahan yang akan diekstrak. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstrak dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran zatnya. Ekstraksi ini dilakukan berdasarkan prinsip like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990).


(38)

12

2.4 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas seperti karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Rohman dan Riyanto 2005).

Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak. Meskipun demikian, antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen-komponen lain, yaitu vitamin dan pigmen yang juga banyak mengandung ikatan rangkap di dalam strukturnya (Siagian 2002).

Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya untuk makanan dan telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan Antioksidan-antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial (Rohman dan Riyanto 2005).

Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi (Ketaren 1986), yaitu: pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

Diantara berbagai jenis antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis antioksidan saja (Siagian 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer


(39)

13

(pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul antioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO˙) dan radikal turunan antioksidan tersebut (A˙) lebih stabil dibanding radikal lipida, atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD), Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT) dan tokoferol (Oktay et al. 2003).

Antioksidan yang sering digunakan umumnya tergolong dalam senyawa fenolik. Senyawa-senyawa tersebut bertindak sebagai antioksidan melalui kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas (terutama radikal peroksi, ROO•). Dalam hal ini, senyawa fenolik bertindak sebagai donor hidrogen atau sebagai akseptor radikal peroksi.

Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal) Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan

Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Larutan DPPH berwarna ungu gelap, ketika ditambahkan senyawa antioksidan maka warna larutan akan


(40)

14

berubah menjadi kuning cerah. Penurunan absorbansi akan menunjukkan adanya aktivitas scavenging dengan berkurangnya warna ungu (Molyneux 2004).

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50% (Molyneux 2004).

2.5 Kandungan Fitokimia

Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah dan fungsi biologinya (Harborne 1987).

2.5.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (gugus amina dan amida) dan bersifat basa. Senyawa tersebut dapat diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah pada tumbuhan (Solmons 2004). Sifat kebasaan alkaloid dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan, dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid umumnya berbentuk padatan kristal dan berasa pahit (Sarker dan Nahar 2007).

Biosentesis alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftofan yang menurunkan alkaloid indol. Keberadaan alkaloid yang sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan langsung dari tumbuhan dibandingkan dari produk sentesis (Kaufman et al. 1999).

Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, yaitu nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif menjelang operasi), kokain (analgesik), piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin (analgesik untuk migran), reserpin


(41)

15

(pengobatan simptomatis disfungsi ereksi), mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat kanker) (Putra 2007).

2.5.2 Steroid/triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987).

Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.

Triterpenoid dapat digolongkan menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmaterol dan kaempesterol (Harborne 1987).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi.

2.5.3 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia (Harborne 1987). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan hijau. Flavonoid merupakan senyawa


(42)

16

antioksidan alami, mencegah bergabungnya oksigen dengan zat lain sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh (Liu dan Guo 2006).

Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Diperkirakan 2% dari seluruh karbon yang difotosentesis oleh tumbuhan dirubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya (Markam 1988). Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh kelas flavonoid, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne 1987).

Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008), hasil penelitian Bernardi et al. (2007) menunjukkan

bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan.

2.5.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 2008). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain).

Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum adalah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpecaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).


(43)

17

Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian Cui et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dari tumbuhan herbal Dioscorea nipponica Mak. biasa digunakan sebagai obat penyakit kardiovaskular (penyakit jantung, hyperlipaemia, dan tonsilitis).

2.5.5 Fenol hidrokuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian, diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987).

2.5.6 Karbohidrat

Karbohidrat berasal dari kata ”karbo” yang berarti unsur karbon dan ”hidrat” yang berarti air, yang berarti unsur C mengikat molekul H2O dengan rumus kimia CH2O. Biomolekul karbohidrat adalah makromolekul senyawa organik dengan BM beberapa ribu, sehingga rumus kimia karbohidrat menjadi (CH2O)n. (Hawab 2003).

Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama


(44)

18

dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati), transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa). Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1987).

Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996). Berdasarkan berat molekul, panjang pendeknya rantai hidrokarbon, serta komplikasi makromolekulnya, Hawab (2003) menggolongkan karbohidrat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu monosakarida yang disebut juga gula sederhana dengan jumlah atom C 3 sampai 7, disakarida yang mengandung 2 residu monosakarida, oligosakarida yang memiliki 3 sampai 7 residu monosakarida, dan polisakarida yang memiliki banyak unit monosakarida.

2.5.7 Gula pereduksi

Gugus fusngional monosakarida yaitu gugus aldehid dan gugus keton yang berfungsi sebagai pereduktif. Reaksi antara monosakarida dan peroksida menghasilkan monosakarida. Beberapa pereaksi peroksida yang dapat digunakan untuk uji monosakarida ialah uji fehling, molisch, benedict, dan barfoed. Tidak semua monosakarida bersifat pereduksi, tergantung aktivitas gugus fungsionalnya. Monosakarida yang masih bersifat pereduksi disebut gula pereduksi (Hawab 2003).

Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi benedict berupa larutan yang mengundang kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadi ion Cu2+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994).


(45)

19

2.5.8 Peptida

Peptida merupakan pembentukan dua atau lebih residu asam amino yang berikatan satu sama lain dan membentuk ikatan peptide. Ikatan ini dibentuk dengan pelepasan gugus OH pada gugus karboksil asam amino dan gugus H dari asam amino yang lain, serta membentuk satu molekul H2O. Reaksi terbentuknya ikatan peptide dan menghasilkan molekul H2O disebut reaksi kondensasi. Dua molekul asam amino yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipeptida, tiga molekul asam amino yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida, dan begitu seterusnya (Hawab 2003).

Hidrolisis ikatan peptida dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat (HCl 6M), basa kuat (NaOH 2M) atau enzim tertentu. Metode hidrolisis yang paling sering dilakukan adalah hidrolisis asam (Bailey 1992). Pepetida merupakan senyawa yang bersifat zwitterion, netral dan tidak memiliki muatan pada titik isoelektriknya. Berdasarkan konstanta keasamannya, peptida kurang bersifat zwitterionik dibandingkan dengan asam amino (Shallenberger 1993).

Peptida berkontribusi pada pembentukan flavor baik yang diinginkan maupun yang off-flavor, mulai dari dipeptida hingga molekul yang mengandung banyak residu asam amino dengan berat molekul ribuan (Weir 1992).

2.5.9 Asam amino

Menurut Lehninger (1988), semua asam amino yang ada pada protein memiliki ciri yang sama, yaitu memiliki gugus karboksil dan gugus amino yang diikat pada atom karbon yang sama. Masing-masing asam amino berbeda satu sama lainnya pada rantai samping (gugus R), yang bervariasi dalam struktur, ukuran, muatan listrik dan kelarutan dalam air.

Kalisifikasi asam amino dapat dilakukan berdasarkan beberapa kategori. Menurut Belitz dan Grosch (2009), asam amino dikalisifikasikan berdasarkan kemampuan rantai samping dalam melakukan reaksi intra dan intermolekul. Kalisifikasi tersebut membagi asam amino menjadi tiga bagian, yaitu asam amino non polar dan tidak bermuatan (glisin, alanin, valin, leusin, isoleusin, prolin, fenilalanin, triptofan, dan methionin); asam amino polar dan tidak bermuatan (serin, sistein, tirosin, asparagin, dan glutamine); asam amino bermuatan (asam aspartat, asam glutamate, histidin, lisin, dan arginin).


(46)

20

Menurut Lehninger (1988), berdasarkan polaritasnya asam amino dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu asam amino hidrofilik (asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glutamin, lisin, arginin, dan histidin), asam amino hidrofobik (fenilalanin, leusin, isoleusin, methionin, valin, dan triptofan), adan asam amino antara (prolin, treonin, serin, sistein, alanin, glisin, dan tirosin).

Beberapa asam amino memiliki kontribusi dalam pembentukan cita rasa. Asam amino pembentuk rasa dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu asam amino yang memiliki bentuk rasa L dan D-enantimorf yang tidak memiliki rasa atau tidak jelas rasanya, asam amino dengan sensasi rasa yang kompleks yang sulit untuk dikenali dalam bentuk murninya, dan asam amino dengan rasa berbeda. L-triptofan mendekati rasa pahit, D-L-triptofan 35 kali lebih manis daripada sukrosa, sedangkan L- dan D-fenilalanin, serta L- dan D-tirosin hampir sama. Glisin memiliki rasa manis yang terendah diantara asam amino. Asam glutamat pada ekstrak sintesis tidak hanya memberikan rasa gurih, tetapi meningkatkan keseluruhan sensasi sebagai hasil kesinambungan yang menyampaikan, ketebalan, kelembutan, dan kompleksitas (Murata et al. 1969).


(47)

21

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni 2009 sampai November 2010, bertempat di Laboratorium bagian Preparasi Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Penelitian Kimia Organik Departemen Kimia FMIPA IPB. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor. PUSLABFOR BARESKRIM POLRI Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, alat-alat gelas, alat ekstraksi dan uji kimia antara lain : rotari evaporator Buchi Rotavapor R-205, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, Kromatografi Lapis Tipis silika gel 60 F 254, AAS Shimazu-7000, HPLC Varian 940-LC, GC-MS AGILENT TECHNOLOGIES.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa lintah laut. Bahan ekstraksi terdiri atas: kloroform, etil asetat dan etanol. Bahan analisis proksimat antara lain: tablet kjeltab, natrium hidroksida, asam borat, larutan bromocresol green 0,1%, larutan metil merah 0,1%, alkohol 96%, asam klorida 0,02 N dan akuades digunakan untuk analisis protein. Asam klorida 6 N, metanol, natrium asetat, trietilamin, pikoitosianat, asetonitril 60% dan buffer fosfat 0,1 M digunakan untuk analisa asam amino. Asam klorida 1 N, asam nitrat, asam sulfat, asam perklorat, molibdat-vanadat, digunakan untuk analisis mineral. Bahan untuk analisis logam berat, seperti merkuri klorida, batu didih, vanadium pentaoksida. Bahan analisis asam lemak berupa natrium hidroksida, metanol, natrium klorida dan heksana. Bahan untuk uji antioksidan berupa DPPH (1,1-difenil -2-pikrilhidrazil) dan BHT (Butylated Hydroxytoluena).


(48)

22

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pengambilan dan preparasi sampel, ekstraksi senyawa bioaktif dari lintah laut, fraksinasi senyawa bioaktif, dan identifikasi senyawa bioaktif.

3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel

Tahap pertama penelitian ini dimulai dari pengambilan dan preparasi sampel serta persiapan bahan dan alat untuk pengujian kandungan gizi dan ekstraksi senyawa aktif. Sampel diambil dari pantai dan mangrove dengan tipe sedimen berlumpur di daerah Pamekasan Madura. Lintah laut diambil ketika kondisi air laut mulai surut. Setelah terkumpul, lintah laut dicuci dengan air laut untuk membersihkan dari kotoran lumpur, kemudian dikeluarkan isi perutnya dengan cara membelahnya secara melintang dari oral menuju aboral. Lintah laut dicuci kembali sampai bersih dengan air mengalir, kemudian dikeringkan sekitar 3-4 hari dengan sinar matahari. Setelah kering lintah laut dihaluskan dengan mortal dan blender.

Penanganan sampel segar dilakukan dengan membawa lintah laut dalam keadaan hidup yang sudah dicuci dengan air laut, kemudian dibungkus dengan kain basah dan dimasukkan ke dalam wadah. Melalui cara ini, lintah laut bisa bertahan hidup sampai 5-7 hari.

Analisis yang dilakukan pada tahap ini adalah: analisis rendemen (Hustiany 2005), analisis proksimat meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat (AOAC 2005), analisis asam amino (AACC 1994), analisis asam lemak (AACC 1983), analisis mineral dan logam berat (SNI 01-2896-1998).

3.3.2 Ekstraksi lintah laut kering

Ekstraksi lintah laut dilakukan dengan fraksinasi bertingkat dengan berbagai perbedaan kepolaran pelarut. Bubuk lintah yang dihasilkan ditimbang sebanyak 50 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan dengan 100 ml kloroform. Campuran dikocok dengan bantuan shaker selama 24 jam kemudian disaring. Fraksinasi menggunakan pelarut kloroform dilakukan 3 kali atau sampai larutan berwarna jernih. Hasil penyaringan ditampung dalam


(49)

23

labu dan dievaporasi sampai pekat. Fraksi ini merupakan fraksi dengan tingkat kepolaran rendah.

Gambar 4 Bagan kerja ekstraksi lintah laut (Discodoris sp.) (Sherif et al. 2008 dengan beberapa modifikasi)

Residu dari fraksinasi kloroform kemudian dilarutkan dengan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan kloroform ditambahkan dengan 100 ml pelarut etil asetat. Selanjutnya campuran dikocok dengan shaker selama 24 jam dan kemudian disaring. Fraksinasi dengan pelarut etil asetat dilakukan sebanyak 3 kali atau hingga larutan menjadi jernih. Hasil penyaringan ditampung dalam

Tepung lintah laut 50 g

Maserasi dengan kloroform 100 ml, 24 jam, suhu ruang

Penyaringan

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak Kloroform

Residu

Penyaringan

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak Etil asetat

Maserasi dengan etil asetat 100 ml, 24 jam, suhu ruang

Residu

Penyaringan

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak Etanol

Maserasi dengan etanol 100 ml, 24 jam, suhu ruang


(50)

24

labu dan dievaporasi sampai pekat. Fraksi ini merupakan fraksi dengan tingkat kepolaran sedang.

Fraksinasi terakhir menggunakan pelarut etanol. Residu hasil fraksinansi dengan etil asetat ditambahkan dengan pelarut etanol sebanyak 100 ml. Campuran dikocok dengan shaker selama 24 jam dan kemudian disaring. Fraksinasi dengan pelarut etanol dilakukan sebanyak 3 kali atau hingga larutan menjadi jernih. Hasil penyaringan ditampung dalam labu dan dievaporasi sampai pekat. Fraksi ini merupakan fraksi dengan tingkat kepolaran tinggi.

Larutan hasil fraksinasi bertingkat tersebut dikeringkan dengan evaporator pada suhu 40 0C. Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian dikeringkan dengan freezedryer. Kandungan zat aktif pada masing-masing fraksi dihitung bobotnya. Prosedur lengkap dari proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4. Analisis yang dilakukan pada tahap ekstraksi ini meliputi: analisis rendemen, analisis fitokimia (Departemen Kesehatan RI 1995), dan analisis antioksidan (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005).

3.3.3 Fraksinasi lanjutan

Fraksi yang memiliki aktivitas antioksidan terbaik kemudian dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis. Fase diam yang digunakan adalah silika gel 60 F254.

Pelaksanaan kromatografi preparatif dilakukan dengan mencari pelarut terbaik terlebih dahulu menggunakan kromatografi lapis tipis. Eluen yang digunakan yaitu heksan, kloroform, etil asetat, metanol dan etanol. Pencarian eluen terbaik dimulai dengan menggunakan eluen tunggal sampai dengan eluen campuran atau perbandingan.

Sebanyak 5 ml eluen dimasukkan ke dalam chamber dan ditutup, kemudian dibiarkan beberapa menit sampai larutan menjadi jenuh. Ekstrak kasar yang terpilih dilarutkan dalam pelarutnya, kemudian ditotolkan pada garis bagian bawah yang ditandai pada plat kromatografi lapis tipis dengan menggunakan pipa kapiler dan dikeringkan beberapa menit. Kemudian dimasukkan ke dalam chamber dengan posisi agak tegak, sampel yang ditotolkan berada pada bagian bawah dan diusahakan tidak terendam oleh eluen. Kemudian chamber ditutup dan ditunggu sampai sampel terbawa eluen pada batas atas. Plat kromatografi


(51)

25

lapis tipis dikeluarkan dan dikeringkan. Selanjutnya plat dilihat hasilnya dengan menggunakan sinar UV 254 nm.

Setelah ditemukan eluen terbaik, dilanjutkan dengan kromatografi preparatif. Prosedur yang dilakukan hampir sama dengan KLT namun dengan ukuran yang lebih besar. Pembuatan preparat dengan menggunakan silika gel 60 F 254 yang dipasang pada lempeng kaca dengan ukuran 20x20 cm. Eluen terbaik yang diperoleh disiapkan sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam chamber. Larutan sampel ditotolkan pada plat KLT dan dimasukkan ke dalam chamber, setelah dilihat hasilnya dengan sinar UV 254 nm, kemudian setiap fraksi atau masing-masing Rf (Retardation factor) yang dihasilkan dikerok dan dikumpulkan. Hasil pengerokan dilarutkan dengan pelarut yang sama dengan sampel terpilih. Pada fraksi atau Rf yang diperoleh dicek dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Jika pada lempeng KLT masing-masing fraksi hanya terdapat 1 bercak, maka dimungkinkan pemisahan sudah hampir sempurna dan diharapkan diperoleh senyawa tunggal.

Analisis yang dilakukan pada masing-masing fraksi (Rf) yang diperoleh yaitu analisis antioksidan dengan metode DPPH menurut Blois (1958) diacu dalamHanani et al. (2005).

3.3.4 Identifikasi senyawa aktif

Fraksi terpilih dengan nilai aktivitas antioksidan terbaik dilanjutkan dengan melihat komponen senyawa yang terdapat di dalamnya yaitu menggunakan GC-MS. Kromatografi Gas-Spektrometri Massa dilakukan untuk mendapatkan bobot molekul dan pola fragmentasi dari senyawa murni tersebut. Kondisi operasi dari GC-MS disajikan pada Tabel 2.

Analisis yang dilakukan pada tahap identifikasi senyawa aktif ini yaitu memilih senyawa yang memiliki puncak tinggi dan dicocokkan dengan senyawa yang ada pada library GC-MS dengan kemiripan >90%.

3.4 Analisis

3.4.1 Rendemen (Hustiany 2005)

Rendemen adalah persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan. Lintah laut utuh ditimbang beratnya baik sebelum maupun sesudah diambil


(52)

26

jeroannya, kemudian dijemur menggunakan panas matahari. Daging dan jeroan lintah laut yang telah kering ditimbang kembali untuk mengetahui penurunan berat setelah dikeringkan. Rendemen merupakan persentase perbandingan antara bagian yang digunakan dengan berat utuh lintah laut segar.

%

% x100

(gram) laut lintah utuh Berat (gram) digunakan yang bagian Berat Rendemen=

Tabel 2 Kondisi dan spesifikasi operasi alat GC-MS

3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi uji kadar air dan abu dengan metode oven, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet, dan uji kadar protein menggunakan metode kjedahl.

(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan

Kondisi GC Spesifikasi dan program pengaturan

Tipe kolom Agilent 19091J-433, tipe HP-5, 0,25 mm x 30 m x 0,25 µm

Diameter 250 µm Suhu maksimum 350 0C Film thickness: 0,25 µm Model aliran: konstan

Kecepatan aliran: 1 mL/menit Instrumen GC-MS Agilent 19091J-433

Gas pembawa: helium Injektor Pompa sampel: 6

Volume: 1 µl

Ukuran Springe: 10 µl

Inlet Mode split

Suhu 270 0C

Kecepatan split: 19,8 ml/menit Total aliran: 23,8 ml/menit Gas: helium

Tekanan: 8,67 psi

Oven Suhu awal 70 0C

Suhu akhir 70 0C Suhu maksimum 330 0C Waktu operasi 34,67 menit


(53)

27

semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan.

Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100-105 0C selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

%

% x100

A B C B air Kadar − − =

(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik ini disebut abu.

Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-600 0C sampai pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pembakaran dalam tanur diulangi sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus:

%

% x100

A B A C abu Kadar − − = (3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode sokhlet. Prinsipnya adalah lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak non polar.


(54)

28

Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram (B) lalu dibungkus dengan kertas saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Pelarut heksan atau pelarut lemak lain dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan refluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam atau sampai palarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105 0C selama 1 jam, lalu labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus:

%

% x100

B A C lemak

Kadar = −

(4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Prinsipnya adalah oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat, selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan diikat dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya dengan titrasi menggunakan larutan baku asam.

Prosedur analisis kadar protein sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,1-0,5 g, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml, ditambahkan dengan 1/4 buah tablet kjeltab, kemudian didekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan SO2 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50 ml dan diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dimasukkan ke dalam alat destilasi, ditambahkan dengan 5-10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator (larutan bromcresol green 0,1% dan


(55)

29

larutan metil merah 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengan 2 ml metil merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus:

% ,

% x100

D 100 x 007 14 x C x A) B ( nitrogen

Kadar = −

FK x nitrogen kadar

protein

Kadar %

% =

Keterangan: A = volume HCl untuk titrasi blanko B = volume HCl untuk titasi sampel (ml)

C = normalitas HCl yang digunakan (0,02374 N) D = bobot sampel (mg)

FK = faktor konversi (6,25 untuk produk perikanan) 3.4.3 Analisis asam amino (AACC 1994)

Komposisi asam amino ditentukan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan juga harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; dan (4) tahap injeksi serta analisis asam amino.

(1) Tahap pembuatan hidrolisat protein

Tahap preparasi sampel adalah pembuatan hidrolisat protein. Prosedurnya sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur ditambahkan dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 0C selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan, selain itu pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Setelah pemanasan selesai, hidrolisat protein disaring dengan milipore berukuran 45 mikron.

(2) Tahap pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 30 µl larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trietilamim dengan perbandingan 2:2:1. Setelah ditambahkan dengan larutan pengering,


(56)

30

dilakukan pengeringan dengan gas nitrogen untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi.

(3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiotisianat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pegenceran dengan cara menambahkan 10 ml asetonitil 60% atau buffer fosfat 0,1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali menggunakan milipore berukuran 0,45 mikron.

(4) Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Penghitungan konsentrasi asam amino dilakukan dengan cara membandingkan kromatogram sampel dengan standar, pembuatan kromatogram standar menggunakan asam amino yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino: Temperatur : 27 0C (suhu ruang)

Jenis kolom : pico tag 3,9 m x 150 µm Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fasa gerak : - Asetoniril 60% - Buffer fosfat 0,1 M

Detektor : UV

Panjang gelombang : 256 nm

Derivatisasi : pre-column derivatization

Tipe injeksi : on column injection tanpa septum

Program : isokratik (kecepatan aliran eluen konstan)

Kandungan masing-masing asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus:

) g ( sampel Bobot 100 x BM x FB x C x standar area Luas sampel area Luas amino asam i Konsentras µ =


(57)

31

Keterangan : C = konsentrasi standar asam amino (5 µg) FP = faktor pengenceran (10 ml)

BM = bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol) 3.4.4 Analisis asam lemak (AACC 1983)

Analisis asam lemak dilakukan melalui tahap ekstraksi, derivatisai, injeksi dan pembacaan sample melalui kromatogram. Pada tahap ekstraksi, sampel dilarutkan dengan heksan. Terlebih dahulu diperoleh asam lemak dengan metode sokhlet dan ditimbang sebanyak 0,02 g lemak dalam bentuk minyak.

Tahap derivatisasi dilakukan dengan cara menambahkan NaOH sebanyak 5 ml ke dalam metanol lalu dipanaskan selama 20 menit pada suhu 80 0C, setelah itu larutan didinginkan. Larutan yang telah dingin ditambahkan sebanyak 5 ml pada sampel. Sampel dipanaskan pada suhu 80 0C selama 20 menit, diangkat dan didinginkan. Sampel ditambahkan 2 ml NaCl jenuh dan 5 ml heksan dihomogenkan kemudian dipipet lapisan heksan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi atau eppendorf. Sebanyak 2-5 µl sampel diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Asam lemak yang ada dalam metil-ester akan diidentifikasi oleh flame ionization detector dan respon yang ada akan tercatat melalui kromatogram. Kondisi alat GC pada saat analisis adalah sebagai berikut:

Temperatur kolom : 200 0C Temperatur initial : 150 0C Temperatur final : 180 0C

Kecepatan alir : H2 = 2,5 Kgf/cm3 dan N2 = 50 Kgf/cm3 Batas tekanan : 3000 psi

Fase gerak : N2

Fase stasioner : serbuk diethyl glicol sukcinat (DEGS) Detektor : flame ionization detector (FID) suhu 250 0C Jenis kolom : pico tag 4 m x 5 mm

Kecepatan suhu : 5 0C/menit

Analisis kuantitatif asam lemak dapat dihitung dengan rumus:

100 x pelarut) si (Konsentra 100 sampel i Konsentras mg/lemak) ( lemak Asam − =


(58)

32

3.4.5 Analisis mineral dan logam berat (SNI 01-2896-1998)

Mineral yang dianalisis pada sampel lintah laut (Discodoris sp.) meliputi: kalsium, kalium, magnesium, besi, fosfor, selenium, seng, kadmium, merkuri dan timbal yang dianalisis dengan metode spektrofotometer serapan atom.

(1) Analisis mineral kalsium, magnesium, kalium dan seng (SNI 01-2362-1991)

Prinsip penentuan kadar kalsium, magenesium, kalium dan seng adalah dengan proses pelarutan sampel dengan asam klorida, kemudian diukur absorbansinya dengan AAS.

Prosedur analisis kadar mineral kalsium adalah sebagai berikut: sampel yang telah kering ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dihancurkan dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 100 ml yang telah dibilas dengan HCl 1 N. Sampel ditambahkan dengan 25 ml HCl 1 N dan disimpan selama 24 jam. Setelah penyimpanan, sampel dikocok dengan shaker dan disaring dengan kertas whatman no 1.

Ekstrak sampel dipipet sebanyak 1 ml, ditambahkan 2 ml larutan lantanium oksida dan ditambahkan HCl 1 N sampai volume menjadi 10 ml, kemudian ditera dengan penambahan akuades sampai volume menjadi 50 ml. Larutan diukur absorbansinya dengan AAS masing-masing pada panjang gelombang 422,7 nm untuk kalsium, 285,2 untuk magnesium, 766,5 nm untuk kalium dan 213,9 nm untuk seng.

(2) Analisis mineral besi (SNI 01-2896-1998)

Prinsip penentuan kadar besi adalah proses pelarutan bahan dengan larutan asam campur terdiri dari asam nitrat, asam sulfat, dan asam perklorat, kemudian dilanjutkan dengan proses pemanasan.

Prosedur analisis mineral besi adalah sebagai berikut: sampel yang telah kering ditimbang sebanyak 1-2 gram kemudian dihancurkan. Larutan asam campuran disiapkan yang dibuat dari HNO3, H2SO4, dan HClO4 dengan perbandingan 5:1:2. Sampel yang telah hancur ditambah 10 ml larutan asam campuran, kemudian dipanaskan di dalam ruang asam menggunakan api kecil selama 2 jam. Kemudian api dibesarkan sampai larutan menjadi jernih dan


(59)

33

didinginkan. Larutan ditambahkan akuades sampai volume 50 ml dan disaring dengan kertas saring pencucian asam whatman no 1.

Ekstrak dipipet sebanyak 10 ml, ditambahkan 1 ml hidrokuinon dan 1 ml orto-phenatrolin kemudian ditambahkan sodium sitrat sampai pH 3,5. Larutan diencerkan dengan akuades sampai volume 50 ml dan dipanaskan dalam water bath selama 1 jam. Larutan deret standar diperlukan dengan pereaksi yang sama dengan ekstrak sampel. Absorbansinya diukur dengan AAS pada panjang gelombang 248,3 nm.

(3) Analisis mineral tembaga (SNI 01-2896-1998)

Prinsip penentuan kadar tembaga adalah dengan proses pengabuan pada suhu 450 0C dengan penambahan asam nitrat (HNO3). Prosedur analisisnya sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 25 g dalam gelas piala 250 ml yang terlebih dahulu dicuci dengan HNO3 6 N. Sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 110-125 0C selama 8-24 jam. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam tungku pada suhu 350 0C selama 1-2 jam untuk mencegah terjadinya proses pembakaran cepat yang menyebabkan sampel dapat terhambur ke luar. Suhu dinaikkan hingga 450 0C selama 12-24 jam. Apabila sampel abu belum putih sempurna, maka ditambah 0,25-1 ml HNO3 pekat, kemudian diuapkan di atas hot

plate. Sampel dipanaskan kembali pada suhu 450 0C di dalam tungku selama 30-60 menit sampai abu benar-benar putih.

Abu dilarutkan dalam 2 ml HNO3 pekat, kemudian diencerkan dengan akuades hingga 25 ml dan dididihkan di atas hot plate. Larutan disaring dengan kertas saring no 42 yang terlebih dahulu dicuci dengan HNO3 10% dan akuades, filtratnya ditampung dan diencerkan dengan akuades hingga 50 ml. Absorbansinya diukur dengan AAS pada panjang gelombang 324,7 nm.

(4) Analisis mineral merkuri (SNI 01-2896-1998)

Prinsip dari penentuan kadar merkuri mengikat sampel dengan campuran H2SO4 dan HNO3 dan dioksidasi dengan H2O2. Merkuri yang teroksidasi dikembalikan lagi ke valensi dasarnya melalui penambahan larutan pereduksi dengan cara mereaksikan merkuri dengan SnCl2 dalam keadaan asam untuk membentuk gas atomik merkuri. Merkuri dalam keadaan dasar ini diaerasikan ke udara dan dibentuk dengan AAS tanpa nyala pada panjang gelombang 256,3 nm.


(60)

34

Prosedur analisisnya sebagai berikut: sampel yang telah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam labu. Leher labu dibilas dengan 5 ml akuades. Ditambahkan 20 buah batu didih, 10-20 mg V2O5, dan 20 ml H2SO4 dengan HNO3 dengan perbandingan 1:1. Labu dihubungkan dengan kondensor dan digoyang-goyang hingga tercampur. Air dingin dialirkan melalui kondensor selama pencampuran dilakukan, kemudian dipanaskan dengan api kecil sampai mendidih (sekitar 6 menit) dan diakhiri dengan pemanasan kuat (api besar) selama 10 menit. Selama reaksi berlangsung, labu terus digoyang-goyang. Alat pemanas dimatikan dan kondensor dicuci dengan 15 ml akuades. Ditambahkan 2 tetes H2O2 melalui kondensor ke dalam labu dan dicuci dengan 15 ml akuades. Larutan dalam labu didinginkan pada suhu kamar dengan cara menempatkan dalam gelas yang berisi air. Labu diangkat dari kondensor dan leher labu dibilas dengan akuades. Labu dibilas hati-hati dengan akuades kemudian ditera sampai volume 50 ml.

Larutan blanko dan kurva standar disiapkan lalu ditambahkan 100 ml larutan pengencer ke dalam masing-masing labu. Larutan pengencer dibuat dengan cara sebanyak 50 ml HNO3 dan 67 ml H2SO4 dipipet ke dalam labu ukur 1000 ml yang berisi 300-500 ml akuades kemudian ditera sampai volume 1000 ml. Out put pompa diatur sampai mencapai kira-kira 2 liter udara/menit dengan mengatur kecepatan pompa lalu ditambahkan 20 ml larutan pereduksi ke dalam masing-masing labu. Larutan pereduksi dibuat dengan cara dipipet 50 ml H2SO4 dan ditambahkan 300 ml akuades kemudian didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 15 g NaCl, 25 g SnCl2, dan 15 g hidroksil aminasulfat ditimbang, kemudian semua bahan dilarutkan dalam larutan H2SO4 sampai volume 500 ml. Gas inlet adapter dihubungkan dan dilakukan aerasi selama 1 menit. Absorpsi larutan blanko dan larutan standar dicatat lalu diplotkan dalam kurva.

Larutan sampel dipipet 25 ml dari labu, kemudian ditambahkan dengan 75 ml larutan pengencer. Out put pompa diatur sampai mencapai kira-kira 2 liter udara/menit dengan mengatur kecepatan pompa lalu ditambahkan 20 ml larutan pereduksi yang telah dibuat ke dalam larutan yang akan diperiksa. Gas inlet adapter dihubungkan dan dilakukan aerasi selama 1 menit. Absorpsi larutan sampel dicatat. Berdasarkan kurva tersebut dapat ditentukan konsentrasi merkuri


(61)

35

pasa sampel yang diperiksa. Bila didapat konsentrasi merkuri dalam sampel yang diperiksa menyimpang dari kurva, maka dilakukan penentuan kembali dengan memakai volume larutan standar yang lebih kecil. Kadar masing-masing mineral dalam bahan dihitung dengan rumus:

x W Slope

V x Abs ppm)

( mineral

Kadar =

Keterangan : Abs : absorbansi yang terbaca pada AAS V : Volume pengenceran

Slope : slope regrsi kurva dari masing-masing mineral W : bobot sampel (g)

3.4.6 Analisis fitokimia (Departemen Kesehatan RI 1995)

Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada serbuk ekstrak kasar lintah laut. Analisis fitokimia yang dilakukan terdiri dari alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin.

(1) Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi dragendorf, meyer dan wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi dragendorf membentuk endapan merah sampai jingga.

Pereaksi meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 g kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dalam labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.

Pereaksi wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 g iodin dan 2 g kalium iodida, kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.

Pereaksi dragendorf dibuat dengan cara 0,8 g bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 g kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum


(62)

36

digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga.

(2) Steroid/triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhidrida asetat sebanyak 10 tetes dan asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif sampel mengandung steroid dan triterpenoid yaitu terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

(3) Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan sampel mengandung saponin.

(4) Flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume sama) dan 4 ml alkohol, kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid, yaitu terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

(5) Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 g sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa fenol, yaitu terbentukya larutan berwarna hijau atau hijau biru.

(6) Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Hasil uji positif sampel mengandung karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan.

(7) Benedict

Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif


(63)

37

sampel mengandung gula pereduksi yaitu terbentuknya larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.

(8) Biuret

Larutan sampel sebanyak 1 ml ditambahkan pereaksi biuret sebanyak 4 ml. Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa peptida yaitu terbentuknya larutan berwarna ungu.

(9) Ninhidrin

Larutan sampel sebanyak 2 ml ditambahkan beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji positif sampel mengandung asam amino, yaitu terbentuknya larutan berwarna biru.

3.4.7 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005)

Ekstrak lintah laut dari hasil ekstraksi bertingkat dan hasil pemurnian dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut metanol dengan konsentrasi yang sama dengan sampel. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM.

Masing-masing sampel uji dan pembanding diambil 4,50 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC

selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan

spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,50 ml pelarut metanol dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Nilai persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus:

%

% x100

blanko Absorbansi

sampel Absorbansi

-blanko Absorbansi


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)