Situasi Indonesia Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya 9 . Namun rupanya Belanda berusaha mengingkari perjanjian tersebut.Terbukti pihak Belanda berusaha mendirikan Negara Indonesia Timur pada tahun 1946 dan Negara Pasundan pada 4 Mei 1947.Selain itu Belanda juga melakukan aksi polisionilnya yang pertama atau biasa dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, Agresi Militer Belanda tersebut telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli 1947.Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, sedangkan di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh Pantai Utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah – wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Aksi militer Belanda tersebut berhasil merebut daerah-daerah 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1940 di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya akan pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Selain itu pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura dan sumbangan dari Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda yang mengakibatkan tewasnya Abdulrahman Saleh dan Adi Soetjipto Serangan militer Belanda tidak berhenti sampai di Agresi Militer Belanda I saja, pada tahun 1948 pasukan Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap pemerintah RI. Kali ini sasarannya adalah Yogyakarta yang merupakan pusat pemerintahan Indonesia masa itu. Agresi Militer Belanda II atau biasa juga disebut dengan Operasi Gagak, terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, serta penangkapan Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, pasukan udara Belanda melakukan pengeboman terhadap Pangkalan Udara Indonesia yang terletak di Maguwo, Yogyakarta. Menghadapi serangan Belanda yang kedua tersebut para pemimpin militer Indonesia tidak tinggal diam. Jenderal Soedirman selaku pimpinan militer Indonesia saat itu segera mengumumkan pertempuran terhadap pasukan Belanda. Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para pemimpin republik ini banyak melakukan perundingan-perundingan diplomasi baik dengan pihak Belanda maupun dengan negara-negara lain seperti Amerika, Inggris bahkan dengan PBB. Adapun beberapa perundingan yang pernah dilakukan oleh Indonesia pada masa Perang Revolusi antara lain adalah Perjanjian Linggarjati yang disepakati antara Belanda dan Indonesia, namun pada akhirnya dicurangi oleh pihak Belanda, Perundingan Renville, Perundingan Kaliurang, Perundingan Roem-Royen dan yang terakhir adalah Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Belanda. Dalam Konferensi Meja Bundar yang diadakan pada 23 Agustus 1949 yang inti dari hasil konfrensi tersebut adalah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. C. Orang-orang yang Mempengaruhi Pemikiran Mgr. Albertus Soegijapranata,SJ. Soegija pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang didirikan oleh Franz Van Lith, SJ atau yang lebih akrab dipanggil Van Lith di Muntilan, Magelang. Dalam menjalani pendidikannya di sekolah tersebut Soegija didampingi oleh guru pendamping yaitu Van Drieesche. Kedua tokoh tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Soegija muda di masa yang akan datang, saat Soegija menjadi seorang uskup dan negarawan. Van Lith, merupakan salah satu pastor dari Sarikat Yesuit yang berasal dari Belanda, oleh Sarikat Yesuit Belanda Van Lith ditunjuk sebagai misionaris di Indonesia. Setelah berada di Indonesia, Van Lith mulai belajar dan menyelam dalam kehidupan rakyat pribumi sehingga tidak ada benteng pemisah antara Van Lith, dengan masyarakat pribumi.Dalam misinya Van Lith, mendirikan sekolah sederhana bagi anak-anak, sekolah tersebut semakin hari kian berkembang. Dalam mendidik anak-anak didiknya, termasuk Soegija muda, Van Lith, menciptakan keakraban yang sehat diantara murid-muridnya. Van Lith, tidak hanya mengajarkan kepada anak-anak didiknya mengenai hal-hal yang berbau liturgi atau teologis saja, namun juga menanamkkan rasa nasionalisme sebagai sebuah bangsa. Van Lith, sering memancing murid-muridnya dengan cerita-cerita lucu yang mengundang tawa. Atau melontarkan ejekan yang mengundang protes dan pertentangan. Anak-anak pun akan membalasnya. Van Lith, menciptakan suasana agar anak berusaha untuk saling membela diri. Dengan demikian sekaligus juga untuk membangun kesadaran sebagai suatu bangsayang mempunyai harga diri 10 . Walaupun seorang Belanda, namun Van Lith, memiliki rasa empati terhadap penindasan yang dialami oleh masyarakat pribumi akibat dari penjajahan orang-orang sebangsanya. Dalam sebuah tulisannya, Van Lith, menuliskan “ Keinginan untuk mendominasi setiap orang Jawa, hanya karena dia seorang Jawa, sama halnya dengan bermain api. Hargailah hak-hak pribumi, kalau kamu juga menginginkan hak-hakmu diakui.Lepaskanlah dengan sukarela hak-hakmu yang semu, dan tanggalkanlah juga privilegi-privelegi yang kalin peroleh.Ingatlah bahwa di dalam Gereja Kristus tidak ada lagi pembedaan apakah dia orang Jahudi, orang Romawi atau orang Yunani, juga tidak ada pembedaan apakah dia orang Belanda atau orang Jawa. Dan kiranya apa yang sejak awal telah menjadi norma di dalam gereja sekarang hendaknya menjadi norma juga di luar gereja. Orang Belanda, orang-orang Indo-Eropa dan orang-orang Jawa mulai sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai saudara. Jika tidak maka dalam waktu dekat pasti akan terjadi perpecahan 11 ” 10 op cit., Hlm 11 11 Ibid ., hlm12 Sedangkan Van Drieensche mengajarkan kepada murid-muridnya termasuk Soegija mengenai Sepuluh Perintah Allah, yang mana Van Drieensche menekankan perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah yang berbunyi “Hormatilah Ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Dalam pengajaran kepada murid-muridnya Van Drieensche mengartikan kata “ayah-ibu” tidak hanya dalam makna sempit yang memiliki makna sebagai orangtua yang melahirkan, menghidupi dan memberikan pendidikan, serta memenuhi segala kebutuhan hidup anak-anaknya. Oleh Van D rieesche makna kata “ayah-ibu” juga diartikan sebagai tanah air yang memberi kehidupan. Dengan interpretasi tersebut sekaligus menanamkan cinta tanah air 12 . Ajaran-ajaran dari kedua tokoh tersebut yang pada perjalanan hidup Soegija dijadikan sebagai pedoman dalam penggembalaannya sebagai imam dalam Gereja Katolik maupun sebagai seorang negarawan. Selain belajar banyak hal mengenai cinta kasih dan pengabdian kepada sesama terutama rakyat kecil yang tertindas, Soegija juga belajar mengenai rasa toleransi, yang mau menerima perbedaan pendapat, perbedaan pola pikir dan perbedaan keyakinan dari kedua orangtuanya. Di saat Soegija memutuskan untuk dibaptis kedua orangtua Soegija beserta kakak dan adik Soegija menerima perpindahan iman Soegija. Pada saat Soegija memberitau kedua orangtuanya bahwa dirinya telah dibaptis, ayah dan ibu Soegika mengatakan bahwa bagi orang jawa semua agama itu baik apabila dijalankan dengan benar dan membuat manusia 12 Ibid ., hlm. 11. berubah menjadi lebih baik. Selain itu pada saat Soegija mengambil keputusan untuk menjadi seorang imam, ibu Soegija menerimanya dengan ikhlas dan memberikan restunya kepada Soegija. Sikap keluarga tersebut yang membuat Soegija pada nantinya menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama dan mau menerima perbedaan di dalam lingkungannya. Oleh sebab itu Soegija bisa diterima oleh hampir seluruh rakyat Indonesia, bahkan Soegija juga menjalin hubungan yang akrab dengan para petinggi Negara Indonesia saat itu, misalkan seperti dengan Presiden Soekarno, Sri Sultan Hamengkubowono IX dan I.J Kasimo

D. Pandangan Kebangsaan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ

Soegija bukan hanya seorang tokoh agama, namun juga dikenal sebagai seorang yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Soegija terkenal dengan semboyan 100 Katolik, 100 Indonesia. Semboyan Soegija tersebut merupakan ungkapan yang menunjukkaan bahwa Soegija tidak hanya ingin menjadi seorang Katolik sejati yang taat dalam melakukan ritual dan ajaran agamanya saja. Namun juga ingin menunjukkan bahwa dirinya ingin menjadi seorang Indonesia sejati. Semboyan tersebut bukan hanya ditujukan kepada dirinya saja, namun Soegija juga menyerukan semboyan 100 Katolik, 100 Indonesia, kepada seluruh umat Katolik Indonesia. Soegija ingin mengajak umat Katolik Indonesia untuk mengintegrasikan sekaligus antara kekatolikan dan nasionalisme. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengajarkan tentang pengertian Gereja dan peran negara dalam hubungan timbal balik. Soegija menegaskan : “ Negara tugasnya memelihara, menyatukan, mengatur serta mengurus kehidupan rakyat dengan bertindak yang terarah pada kesejahteraan, ketentraman, kepentingan umum yang bersifat sementara, bersifat lahiriah dan duniawi.Sedang Gereja Katolik bertugas memelihara, membimbing dan mengembangkan kehidupan rohani manusia dengan mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan agama, peribadatan, kesusilaan, kerohanian yang sifatnya tetap, kekal, surgawi dan mengatasi kodrat. …Dengan menjamin ketentraman, norma-norma, kesejahteraan, budaya, dan hak-hak asasi, negara mempersiapkan suatu iklim yang perlu bagi perkembangan keagamaan dan moralitas, Gereja Katolik dengan menjaga hidup keagamaan, moralitas, kejujuran, kesetiaan terhadap janji, keadilan, cinta kepada sesama, dedikasi terhadap pekerjaan dan lembaga; dengan cara mendidik untuk menaruh hormat kepada pemimpin, dan mengarahkan untuk bertindak seturut hukum, berarti Gereja membangun suatu dasar yang kokoh bagi masyarakat dan pemerintah ” 13 . Dari kata-kata tersebut, Soegija ingin menunjukkan bahwa sejatinya, Gereja Katolik dan Negara memiliki peranan penting dalam kehidupan umat manusia guna mencapai kepada kehidupan yang diimpikan setiap orang. Oleh karena itu haruslah umat Katolik memiliki kesadaran untuk mengabdi tidak hanya kepada Gereja Katolik saja atau Negara saja, namun mengabdi kepada Gereja Katolik dan Negara secara seimbang. Soegija memberikan landasan moral sosial dan landasan teologis bagi pengintegrasian kekatolikan dan nasionalisme. Soegija memberikan contoh dari perintah ke empat dari sepuluh Perintah Allah. Soegija pernah mengatakan, “Sebagaimana dalam Katekismus-kita wajib mencintai Gereja Kudus, dan kita juga wajib mencintai negara, dengan seluruh hati kita. Selain itu beliau juga mengingatkan 13 Anhar Gonggong. Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara, 2011. Hlm 45 akan ajaran Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menajadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” 14 . Semangat nasionalisme yang dimiliki Soegija dapat diketahui dari motivasi ketika Soegija memutuskan untuk menjadi seorang imam. Sebelum kepindahannya ke Semarang tahun 1947 sebagai uskup, Soegija menungkapkan motivasinya untuk menjadi imam. “Keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa.Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus mengabdi bangsa selain menjadi imam” 15 . Sikap patriotisme dalam membela bangsa dan negara, rasa kemanusiaan yang besar dan berani membela kaum yang tertindas, yang ada dalam diri Soegija tidak muncul begitu saja. Semua itu tumbuh akibat dari perjalanan hidup yang dialami Soegija sewaktu masih kanak-kanak hingga ketika Soegija menjadi seorang calon imam. Dalam kehidupannya Soegija menyaksikan langsung bagaimana bangsanya berada di bawah kekuasaan asing yang merendahkan harkat dan martabat bangsanya, Soegija juga melihat langsung bagaimana peperangan menghancurkan masa depan orang banyak dan menimbulkan kerugian yang besar. Pengalaman tersebut yang 14 Budi Subanar, G, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta : Sanata Dharma, 2012. Hlm 21 15 Ibid , Hlm 15