Sejarah Singkat Kehidupan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ
Soegija pun pindah ke sekolah tersebut. Pendidikan di SR diselesaikan Soegija hanya sampai kelas tiga saja.
Soegija kembali melanjutkan pendidikannya di Hollandsch Indlandsche School
HIS di daerah Lempuyangan yang terletak di sebelah utara daerah Wirogunan. Hollandsch Indlandsche School merupakan sekolah tingkat pendidikan
dasar yang memperkenalkan bahasa Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di HIS, Soegija melanjutkan pendidikannya di Kolose Xaverius, Muntilan.
Masuknya Soegija kecil di sekolah yang dipimpin langsung oleh Van Lith, tidak lain dan tidak bukan merupakan jasa dari Van Lith sendiri. Van Lith sering melakukan
kunjungan ke sekolah-sekolah rakyat di daerah Yogyakarta. Van Lith juga sering melakukan kunjungan ke rumah-rumah keluarga petani di sekitar Muntilan, hal
tersebut dilakukan Van Lith untuk berbincang kepada para petaniakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Van Lith bertemu dengan Soegija kecil saat
melakukan kunjungan di SR Wirogunan. Pada tahun 1910, Soegija mulai mengenyam pendidikan di Kolose Xaverius.
Muntilan di bawah pengajaran Van Lith sendiri. Saat masuk ke Kolose Xaverius, Muntilan, Soegija mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk menjadi seorang
Katolik.Hal tersebut dikatakannya langsung kepada ayahnya dan Martens, yang merupakan seorang imam yang menjadi salah satu pamongnya di Muntilan. Bahkan
Soegija mengejek para imam Belanda datang ke Jawa hanya untuk mengeruk kekayaan, setelah itu akan pulang ke negeri Belanda
1
. Namun rupanya Soegija tidak dapat memegang perkataannya untuk tidak
menjadi seorang Katolik. Di asrama Soegija sering berdiskusi dengan beberapa imam yang juga merupakan guru di Kolose Xaverius, Muntilan. Hasil diskusi tersebu yang
membuat Soegija merenung saat mengetahui para imam tersebut cukup senang mendapat kesempatan mengabdikan diri bagi sesama dengan mengajar dan
mempersiapkan tunas-tunas masa depan walaupun tidak digaji. Hal tersebut merupakan tugas mulia sekaligus cerminan pengabdian kepada Tuhan. Mengetahui
kenyataan tersebutSoegija menjadi berpikir bahwa sangatlah mulia tujuan dari para imam tersebut. Dari situ sempat terbersit di benak Soegija untuk menjadi seorang
imam. Menurut Soegija bila menjadi seorang imam, Soegija dapat mengabi kepada bangsanya, membantu bangsanya yang selama ini jiwanya terluka akibat penjajahan
dan bagi Soegija menjadi iman dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada permasalahan kemanusiaan sekaligus mengabdi kepada Tuhan.
Kekeluargaan dan keakraban yang terjalin antara guru dan murid serta pelatihan siswa menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam kehidupan di
asrama pun ikut mempengaruhi dalam pembentukan karakter dan cara pandang Soegija. Lambat laun Soegija mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya
terutama cara hidup dan doanya. Perubahan yang semakin membuat Soegija merasa
1
G. Budi Subanar, SJ, Soegija, Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan
, Yogyakarta : Galang Press, 2012
menjadi manusia yang lebih baik itu membuat Soegija pada akhirnya memberanikan diri untuk meminta ijin kepada pengajarnya yang merupakan seorang imam untuk
mengikuti pelajaran Katolik di sekolah.Pada awalnya permintaan Soegija tidak diijinkan oleh romo.Setelah setahun tinggal di Muntilan, Soegija kemudian mengikuti
pelajaran magang agama Katolik, mulanya lebih didorong oleh keingintahuannya. Namun kemudian ia minta untuk dibaptis
2
. Tepatnya Pada 24 Desember 1910, Soegija memantapkan hati mendapat sakramen baptisan dengan memilih nama baptis
Albertus. Soegija sangat bersyukur karena kedua orangtuanya bisa menerima pilihannya untuk berpindah keyakinan, asalkan dia bisa hidup selaras dengan
keyakinan baru yang dipilihnya walaupun hal tersebut bertentangan dengan keinginan kedua orangtuanya.
Soegija berhasil menyelesaikan studinya di Kolose Xaverius, Muntilan pada tahun 1915. Setelah lulus Soegija menjalani praktik selama satu tahun sebagai guru di
almamaternya. Seusai menjalani praktik sebagai guru, Soegija menyatakan niatnya untuk menjadi seorang imam. Setelah menyatakan ingin menjadi seorang imam, pada
tahun 1916 Soegija memulai pendidikannya di Seminari Menengah di Kolose Xaverius Muntilan.Oleh sebab itu selama tiga tahun lamanya Soegija mendalami
pelajaran bahasa Yunani, Latin, dan Perancis. Selain itu Soegija juga harus mendalami hal-hal yang berhubungan dengan kesusastraan dan filsafat untuk
mempersiapkan diri memasuki jenjang pendidikan selanjutnya untuk menjadi seorang
2
G. Budi Subanar, SJ, Kilasan Kisah Soegijapranata,2012. Hlm
imam. Hasil belajar Soegija tersebut pada nantinya membuat Soegija memiliki keahlian dalam bidang menulis, salah satunya adalah ketika Soegija menjadi redaktur
di Majalah Swaratama. Setelah menempuh pendidikan di Seminari Menengah Kolose Xaverius,
Muntilan selama tiga tahun, pada tahun 1919 bertepatan dengan berakhirnya Perang Dunia I, Soegija berangkat ke Negeri Belanda untuk mempersiapkan dirinya sebagai
imam. Untuk persiapan ke arah itu Soegija harus menjalani sejumlah tahapan pembinaan rohani dan pendidikan formal
3
. Adapun hal-hal yang harus dijalani oleh Soegija sesaat setiba di Belanda adalah menambah pengetahuan dan penguasaan
terhadap bahasa-bahasa asing, terutama bahasa Yunani dan bahasa Latin. Di Belanda Soegija belajar di sebuah asrama milik Ordo Salib Suci di Kota Uden, yang terletak
di Belanda bagian Utara. Setelah satu tahun menjalani persiapan di Belanda untuk menjadi seorang
imam maka pada tanggal 27 September 1920, Soegija menjalani masa novisiat selama dua tahun di Novisiat Serikat Yesus, Mariendaal, Grave, yang letaknya tidak
jauh dari Kota Uden.Pada masa novisiat selama dua tahun Soegija dibekali dengan pengenalan terhadap semangat-semangat visi-misi dari Serikat Yesus. Selain itu
selama masa novisiat, Soegija juga digembleng kerohaniannya dengan mengolah pengalaman untuk merasakan bagaimana mengandalkan kasih Tuhan dan merespon
kasih tersebut dengan penuh kesungguhan, penyerahan diri dan kerendahan hati.
3
G. Budi Subanar
,
op. cit .,Hlm. 12.
Seusai menjalani masa novisiat selama dua tahun, Soegija mengucapkan kaul prasetyanya di dalam Serikat Yesus untuk hidup miskin murni dan taat sesuai dengan
nasihat injil. Sesudah itu Soegija menjalani masa yang disebut masa yuniorat untuk kembali menekuni dan mengembangkan wawasan humaniora sebelum kemudian
memasuki jenjang studi formal di bidang filsafat
4
. Soegija belajar dan mendalami filsafat terlebih dahulu di Mariendaal, Belanda.
Tahun 1923-1926 Soegija melanjutkan studi filsafatnya di Kolose Berchman, di Kota Oudenbosch, Belanda.Kolose Berchman merupakan salah satu kolose milik
Serikat Yesus. Di sana Soegija belajar filsafat dengan mendalami kerangkan pemikiran dari St. Thomas Aquinas, sesuai dengan titah dari Paus Leo IXII. Dalam
suratnya Aeterni Patris ditulis pada bulan Agustus 1879, Paus Leo IXII menganjurkan pengajaran filsafat di Seminari perlu kembali mempelajari filsafat
thomistik
5
. Setelah selesai menjalani masa pendidikannya di Negeri Belanda, maka pada
bulan September 1926 Soegija kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru di tempat dirinya dulu menimba ilmu yaitu di Kolose Xaverius, Muntilan, selama dua tahun.
Sayangnya, beberapa bulan sebelum kepulangan Soegija ke Yogyakarta, sang guru yaitu Frans Van Lith, SJ meninggal dunia. Oleh karena itu Soegija beserta beberapa
4
Ibid., hlm,.13.
5
Thomistik meliputi teologi bukti keberadaan Tuhan dan Sifat-Nya, metafisika, teori kejahatan, hukum keabadian, akhirat, alam, dan manusia, teori
pengetahuan, etika, psikologi dan politik
murid yang dahulu berada di bawah pengajaran Van Lith menulis sebuah obitari guna mengenang jasa-jasa Van Lith. Hal tersebut dilakukan Soegija beserta kawan-
kawannya untuk tetap bisa meneruskan kembali semangar dari ajaran Van Lith. Pelajaran dan praktik hidup dari Van Lith yang berusaha diteruskan oleh Soegija
adalah menanamkan kekristenan, patriotisme dan nasionalisme dalam diri orang- orang muda Jawa yang dilayaninya. Selain menjadi guru di alamamaternya, Soegija
juga menjadi editor di majalah Swaratama, yang merupakan majalah menggunakan bahasa Jawa.Majalah ini merupakan majalah yang dikelola oleh para alumni Kolose
Xaverius, yang di dalamnya tertulis berbagai macam artikel dengan berbagai tema seperti permasalahan sosial, budaya dan agama.Soegija pernah menulis kursus
singkat marxisme dalam bahasa Jawa
6
. Baru dua tahun kembali ke almamaternya, pada tahun 1928 Soegija harus
kembali ke Negeri Belanda untuk menjalani tugas studi teologi. Soegija harus menjalani studi teologi selama empat tahun lamanya. Satu tahun sebelum studi
teologinya selesai, tepatnya pada 15 Agustus 1931 Soegija ditahbiskan sebagai imam. Semenjak menerima tahbisan, Soegija menambahkan sebuah kata yang lain sehingga
namanya menjadi Albertus. Soegijapranata atau biasa disebut A, Soegijapranata. Hal tersebut dapat dilacak melalui tulisan-tulisannya di majalah St. Claverbond, Berichten
uit Java. Sebelum ditahbiskan imam, karangan-karangan Rm. Soegija ditandai
dengan nama A. Soegija, SJ, atau dengan inisial AS, setelah menjadi imam,
6
Ibid., hlm14.
karangan-karangannya di majalah St. Claverbond ditandai dengan nama A. Soegijapranata, SJ
7
. Perubahan nama dari Soegija menjadi Albertus. Soegijapranata, tidak
dilakukan Soegija tanpa alasan. Nama Pranata ditambahkan Soegija di belakang namanya memiliki makna yang dipercayai oleh Soegija sendiri. Pranata dalam bahasa
Jawa sendiri mengandung arti menyembah, mengabdi, tatanan atau aturan. Sedangkan nama Soegija yang diberikan oleh orangtuanya bermakna orang yang
kaya, dengan pendidikan bahasa, sopan santun dan budi pekerti. Sementara inisial A, yang ditambahkan di depan namanya merupakan inisial nama yang diambil dari
Santo Albertus Magnus yang dipilih Soegija sebagai Santo pelindungnya. Santo Albertus Magnus merupakan tokoh pemikir abad IXI. Selain dipilih sebagai
pelindungnya, Soegija memilih Santo Albertus karena Soegija ingin menjadikan teladan hidup Santo Albertus sebagai teladan hidupnya. Yang mana Santo Albertus
merupakan sosok yang gemar menimba ilmu. Seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya yang percaya akan doa di balik setiap nama yang disandang seseorang,
demikian pula Soegija. Perubahan namanya dijadikan acuan bagi dirinya untuk membantu mengarahkan hidupnya di masa-masa yang akan datang.
Setelah ditahbiskan sebagai seorang imam, baru pada akhir tahun 1933 Soegija kembali ke Indonesia. Sekembalinya di Indonesia, Soegija ditugaskan untuk
menjadi imam di Gereja Katolik Kidul Loji, Yogyakarta bersama Van Driesche.
7
Ibid ., hlm 15
Setahun melayani di Gereja Kidul Loji, Soegija dipindahtugaskan ke Gereja Bintaran, Yogyakarta yang merupakan Gereja khusus bagi kaum pribumi. Baru pada tahun
1940 Soegija diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang atau setara kedudukannya dengan uskup. Penunjukkan Soegija sebagai seorang uskup tak pelak
atas permintaan dari Williens yang merupakan Vikaris Apostolik Batavia yang mengirimkan sebuah telegram kepada Paus Pius IXII yang meminta agar dibentuk
sebuah Vikaris Apostolik Semarang dengan pemimpin yang terpisah dengan Vikaris Apostolik di Batavia karena melihat kondisi dunia yang tengah menghadapi Perang
Dunia II PD II. Pertimbangannya adalah bahwa perlu adanya seorang uskup pribumi untuk memimpin para umat. Selain itu Williens juga meminta agar Vikaris
Apostolik Semarang dipilih dari Serikat Yesus karena wilayah tersebut adalah wilayah karya misi dari Serikat Yesus. Telegram dari Williens disambut positif oleh
pihak Vatikan dengan dikirimkannya telegram balasan yang mempersilahkan Williens untuk mengangkat Vikaris Apostolik yang baru tanpa menunggu surat
perintah dari Vatikan. Tepatnya pada 1 Agustus 1940, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ diangkat untuk menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Yang secara resmi menjadi
pemimpin Gereja Katolik yang meliputi Karesidenan di Jawa Tengah, seperti Semarang, Jepara dan Rembang, serta Karesidenan Kedu Magelang dan
Temanggung, dan juga seluruh wilayah Surakarta dan Yogyakarta.