Peranan Pasukan Kancil Merah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949.

(1)

PERANAN PASUKAN KANCIL MERAH PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN INDONESIA II DI CIREBON 1948-1949

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh: Riean Meiliadin

09407141029

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Untuk mencapai cita-cita yang tinggi manusia (pahlawan) melepaskan nyawanya pada tiang gantungan, mati dalam pembangun, tetapi senantiasa menyimpan

dalam hatinya yang luka wajah tanah air yang duka. (Bung Hatta)

Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita

sendiri.

(Mohammad Yamin)

Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

(Bung Tomo)

Panglima yang benar tidak gila perang Panglima yang sejati tidak suka marah Pemimpin yang benar selalu merendahkan diri

(Lao Tse)

Jika orang lain bisa dan mampu merubah dirinya, saja juga bisa. Mengapa tidak bisa jika kita mau berjuang


(6)

PERSEMBAHAN

Teriring ucapan syukur, karya ini kupersembahan untuk:

 Keluarga Besar Alm Hj. Imin dan Alm Moh. Jali, kalian pahlawanku.  Kedua orang tuaku yang selalu tulus memberikan doa, kasih

sayang,dukungan moral dan materil yang tidak terhingga.

 Kakakku Reni Agustina dan Rani Yulian Dini yang terus memberikan dorongan untuk menyelesaikan tulisan ini.

KUBINGKISKAN KEPADA

 Adikku Regia Agustiani yang selalu memberikan motivasi dan doa.  Novia Korfianingsih yang selalu menemaniku.


(7)

ABSTRAK

PERANAN PASUKAN KANCIL MERAH PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN INDONESIA II DI CIREBON 1948 - 1949

Oleh: Riean Meiliadin

09407141029

Penelitian ini mengkaji tentang peristiwa sejarah lokal yang pernah terjadi di Cirebon terutama pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II. Perang Kemerdekaan Indonesia II melibatkan semua komponen yang ada termasuk Pasukan Kancil Merah.Begitu penting peran dari Pasukan Kancil Merah, maka kehadirannya perlu diangkat.Penulis ingin mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di tingkat lokal khususnya menyoroti berbagai aksi yang dilakukan oleh Pasukan Kancil Merah yang ada di daerah Jawa Barat pada masa Perang Kemerdekaan Indoneisa II, khususnya di Cirebon dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan: 1) Keadaan umum Cirebon pasca proklamasi hingga terbentuknya Pasukan Kancil Merah; 2) Proses terbentuknya Pasukan kancil Merah; 3) Perjuangan Pasukan Kancil Merah dalam mempertahankan kemerdekaan di Cirebon 1948-1949.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah kritis meliputi heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Adapun tahapannya adalah; Pertama,heuristik, menghimpun jejak-jejak masa lampau yang dikenal dengan data sejarah. Kedua, kritik sumber, yaitu kegiatan meneliti sumber-sumber sejarah baik secara eksternal maupun internal.Ketiga, interpretasi, yaitu langkah menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkannya kritik intern dan ekstern dari data-data yang berhasil dikumpulkan.Keempat, historiografi, yaitu penyampaian sintesis yang diperoleh dalam bentuk karya sejarah.

Dari kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terbentuknya Pasukan Kancil Merah dilatarbelakangi Keadaan sosial masyarakat Cirebon setelah proklamasi kemerdekaan RI tidak jauh berbeda dengan keadaan sosial pada saat masih dijajah oleh Jepang.Setelah Persetujuan Renville ditandatangani, untuk sementara pasukan Divisi Siliwangi yang berada di Cirebon mengubah nama mereka menjadi Pasukan Kancil Merah.Pasukan Kancil Merah adalah nama samaran Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di wilayah Cirebon dengan komandannya yang bernama Letnan Abdoel Kadir yang masuk dalam Pasukan Divisi Siliwangi.Abdoel Kadir dan teman-temannya yang tergabung dalam Pasukan Kancil Merah berkeinginan untuk mempertahankan Cirebon agar tidak jatuh kembali ke tangan Belanda.

Kata Kunci: Pasukan Kancil Merah, Perang Kemerdekaan Indonesia II, Cirebon


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Peranan Pasukan Kancil Merah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan skripsi yang berjudul “Peranan Pasukan Kancil Merah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949” dapat terselesaikan tidak terlepas dari petunjuk, bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak HY. Agus Murdiyastomo, M.Hum.selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah.

3. Bapak Drs. Djumarwan selaku Dosen pembimbing skripsi. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan saran, dan motivasi yang membangun untuk penulisan skripsi ini.

4. Ibu Ririn Darini, M.Hum selaku pembimbing akademik yang selalu memotivasiuntuk melaksanakan kegiatan akademik dengan baik.


(9)

5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Sejarah. Terimakasih telah membimbing, mengajar, mendidik dengan sepenuh hati, selalu memberikan dukungan dan motivasi.

6. Seluruh jajaran Sub Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan yang telah membantu dan melayani urusan administrasi.

7. Keluargaku (Pa Heri, Kaka Dian, Om Yoga, Om Yogi, Om Budi, Tante Elly, Tante Yuyun,Mba Sri, Mba Dewi) yang telah memotivasi agar menjadi orang sukses.

8. Sahabat-sahabatku (Aliyus, Andika, Dhuby, Yurida,Richodok, Abie, Nanda, Galih, Reza, Zimen, Febriyawan, Bayu, Zaki, Wiwid, Gumay, Latief, Rizal, Aufa, Kuntir, Suryo, Rihan, Haris, Komeng, Rio Padang, Beni, Sugiarto,Misbek, Otong, Mas Riri dan Mba Upie) yang selalu ada serta tidak pernah lelah memberikan semangat dan bersedia menjadi tempat berbagi cerita.

9. Teman-teman Ilmu Sejarah angkatan 2009 yang telah memberikan banyak kenangan dan pengalaman yang tak terlupakan.

10.Keluarga Besar Ilmu Sejarah UNYterimakasih untuk kebersamaannya. 11.Teman-teman Bengkel Leter S yang selalu ada untuk membantu.

12.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritikan, masukan, saran dari pembaca sangat


(10)

diharapkan untuk perbaikan.Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan memberikan sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan. Amin.

Yogyakarta, Desember 2015 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR ISTILAH ... xv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penulisan... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Kajian Pustaka ... 10

F. Historiografi yang Relevan... 15

G. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 17

H. Sistematika Pembahasan... 24

BAB II : KEADAAN UMUM CIREBON ... 26

A. Keadaan Umum Cirebon Pasca Proklamasi Kemerdekaan ... 26

1. Keadaan Umum Kota Cirebon ... 26

2. Keadaan Sosial Masyarakat Cirebon ... 30


(12)

B. Keadaan Umum Cirebon Pasca Perang Kemerdekaan II ... 34

1. Keadaan Pemerintahan Cirebon ... 34

2. Masuknya Tentara Belanda ke Kota Cirebon ... 36

BAB III : TERBENTUKNYA PASUKAN KANCIL MERAH DI CIREBON ... 42

A. Awal Tentara Belanda di Cirebon ... 42

1. Perang Gerilya Masyarakat Cirebon dengan tentara Belanda ... 48

2. Pertempuran di Laut Cirebon ... 53

B. Terbentuknya pasukan Kancil Merah ... 59

C. Arti dari Nama Kancil Merah ... 65

BAB IV : PERANAN PASUKAN KANCIL MERAH DALAM MENGUSIR PASUKAN BELANDA DI CIREBON ... 67

A. Penyusunan Persenjataan Pasukan Kancil Merah ... 67

B. Tertangkapnya Para Pemimpin Pasukan dan Abdoel Kadir oleh Tentara Belanda ... 74

C. Serangan Balasan Pasukan Kancil Merah terhadap PasukanBelanda ke Kota Cirebon ... 78

BAB V. KESIMPULAN ……….. 90

DAFTAR PUSTAKA ………. 96


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Jawa Barat Tahun 1945 ... 101

2. Peta Karesidenan Cirebon Tahun 1946 ... 102

3. Monumen Perjuangan Pasukan Kancil Merah di Cirebon ... 103

4. Kantor Polisi Kesambi Cirebon di masa kedudukan tentara

Belanda ... 104

5. Pertemuan Resmi yang diselenggarakan antara TNI yang diwakili oleh Pimpinan Pasukan Kancil Abdoel Kadir dengan wakil tentara Belanda Kapten De Boor dan Kapten Vermeulen di

Sunyaragi no. 47 ... 105

6. Pasukan Kancil Merah saat dihubungi Komandan I.D Pasman di

Sunyaragi pada Awal September 1949 ... 106

7. Jalan Samadikun Cirebon... 107

8. Pada 28 Juli 1949 Sebagian Pasukan Kancil merah yang sedang bersantai di Kampung Majasem ... 108


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ALRI : Angkatan Laut Republik Indonesia API : Angkatan Pemuda Indonesia BKR : Barisan Keamanan Rakyat BPD : Badan Perwakilan Daerah

Det : Detasemen

ID : Inlichtingen Dienst KMB : Konferensi Meja Bundar

KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah

KNIL : Koninklijke Nederlandsche Indische Leger KPRM : Kesatuan Pemberontak Rakyat Merdeka KGRM : Kesatuan Gerilya Rakyat Merdeka NICA : Nederlandsch Indie Civil Administratie PETA : Pembela Tanah Air

PPM : Pasukan Polisi Militer PSI : Partai Sosialis Indonesia RRI : Radio Republik Indonesia SPT : Sekolah Pelayaran Tinggi TKR : Tentara Keamanan Rakyat TNI : Tentara Nasional Indonesia

TP : Tentara Pelajar

TRI : Tentara Republik Indonesia


(15)

DAFTAR ISTILAH

Artileri : Sebutan untuk kesenjataan, pengetahuan kesenjataan, pasukan serta persenjataanya sendiri yang berupa senjata-senjata berat jarak jauh.

Batalyon : Satuan militer yang terdiri dari dua sampai enam kompi, yang biasa dipimpinoleh seorang Letnan Kolonel.

Brigade : Satuan angkatan bersenjata yang terdiri atas dua, tiga, atau empat resimen, merepakan bagian dari divisi.

Demarkasi : Batas pemisah, biasanya ditetapkan oleh pihak yang sedang berperang (bersengketa) yang tidak boleh dilanggar selama gencatan senjata berlangsung untuk memisahkan kedua pasukan yang saling berlawanan di medan pertempuran; perbatasan; tanda batas. Detasemen : Satuan Tentara yang ditempatkan untuk menjalankan

tugas yang bersifat sementara.

Divisi : Satuan militer yang besar (jumlahnya sampai puluhan ribu) yang biasanya lengkap dengan peralatannya, dipimpin oleh perwira tinggi (biasanya Mayor jendral).


(16)

Infanteri : Satuan tertinggi taktis dan administratif yang terbesar di TNI AD yang terdiri atas suatu cabang tertentu, secara tetap digabungkan dengan unsur infanteri sebagai intinya, dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari komando lebih besar lagi. Intelijen : Informasi yang dihargai atas ketepatan waktu, bukan

detail dan keakuratannya, berbeda dengan data, yang berupa informasi yang akurat, atau fakta yang merupakan informasi yang telah diverifikasi.

Komandan : Pejabat militer dalam suatu komando/ satuanyang mendapat kekuasaan pimpinan terhadap satuan tersebut.

Kompi : Bagian Batalyon yang terdiri atas 150-200 orang dipimpin oleh seorang Kapten.

Osamu Seirei : Undang-undang yang dikeluarkan oleh panglima ke enam, tentara pendudukan Jepang.

Pasukan : Kelompok prajurit atau laskar. Po An Toei : Polisi Belanda dari keturunan Cina.

Resimen : Pasukan tentara yang terdiri atas beberapa Batalyon dan dikepalai oleh seorang Perwira Menengah.


(17)

Sersan : Pangkat bintara di atas kopral

Shyu : Menetakan peraturan Pemerintah Karisidenan.

Teritorial : Mengenai bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara.

Titisara : Tanah desa yang hasilnya untuk membiayai keperluan desa, atau disebut dengan istilah tanah Bengkok.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, oleh Ir. Soekarno dan M. Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Pidato Proklamasi Kemerdekaan di seluruh penjuru tanah air dan dunia. Sejak itu bangsa Indonesia telah menyatakan Kemerdekaannya dan telah bebas dari segala penjajahan. Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka. Di lain pihak Jepang mendapat perintah dari Sekutu agar tetap memelihara status quo di Indonesia sampai pihak Sekutu datang.1 Sehari setelah Indonesia merdeka pihak

Jepang melucuti senjata tentara PETA. Pristiwa ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pemuda termasuk pelajar Gakkototai. Para pemuda eks anggota PETA yang tergabung dalam barisan-barisan pejuang lainya menyerbu markas tentara Jepang sehingga terjadi insiden-insiden di kota Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya.2

Dalam usaha menjaga ketertiban dan keamanan di daerah-daerah, maka pada 22 Agustus 1945 panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membentuk Komite Nasional dan Badan Keamanan Rakyat. Komite Nasional dibentuk untuk membantu Pemerintahan dan merupakan badan Perwakilan rakyat sementara,

1

Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Dipenogoro, Sejarah Rumpun Dipenogoro dan Pengabdiannya (Sirnaning Yakso Katon Gapuraning Ratu). (Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Dipenogoro kerjasama dengan Borobudur Megah, 1978), hlm. 209.

2


(19)

Badan Keamanan Rakyat dibentuk untuk bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.3 Badan Keamanan Rakyat dibentuk karena pemerintah beranggapan belum waktunya membuat tentara nasional. Hal ini di pertimbangkan untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan dari pihak Jepang dan Sekutu. sedangkan tentara Inggris pada waktu itu telah ada di Indonesia.4

Kehadiran tentara Sekutu Inggris yang merupakan tugas awal mereka adalah melucuti senjata tentara Jepang yang kalah perang di Indonesia sebagai tawanan perang, justru diboncengi tentara Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia. Pemerintahan Belanda masih merasa memiliki Hindia Belanda. Kehadiran tentara Belanda tersebut berniat utuk menjajah kembali Indonesia meskipun Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya.

Pertempuran hebat terjadi di mana-mana antara pejuang kemerdekaan melawan tentara Sekutu dan Tentara Belanda. Daerah pertempuran yang terkenal, antara lain front Surabaya, Front Ambarawa, front Bekasi, front Tambun, front Karawang, Front Bandung Timur, front Bandung Barat, front Jakarta, serta banyak lagi daerah lain, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Indonesia belum memiliki tentara yang resmi sebagaimana layaknya negara merdeka. Untuk menjaga keamanan dan mempertahankan kemerdekaan secara spontan rakyat

3.

Asmadi, Pelajar Pejuang, (Jakarta: PT. Upima Usama Indonesia, 1985), hlm. 22.

4


(20)

Indonesia, terutama para pemudanya, membentuk laskar dengan bersenjatakan seadanya.5

Andaikan tentara Sekutu tidak membonceng tentara Belanda, tidak akan terjadi pertempuran antara para pejuang kemerdekaan bersama rakyat melawan tentara Sekutu.6 Akibat perlawanan dari para pejuang bersama rakyat cinta kemerdekaan, Inggris terpaksa mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia. Inggris pun memaksa pihak Belanda untuk melakukan perundingan dengan pihak RI. Belanda yang tergantung kepada Inggris dengan berat hati melakukan perundingan demi perundingan. Tetapi pihak Belanda tidak memiliki niat baik untuk menghormati kedaulatan RI, tidak ada perundingan yang menghasilkan kesepakatan.

Perundingan yang berarti, hanyalah perundingan Linggarjati meskipun hasilnya amatlah merugikan pihak RI . Pada 10 November 1946, di Linggarjati, sebuah desa sebelah selatan Kota Cirebon, di lereng Gunung Ciremai, diadakan perundingan antara wakil Pemerintah RI dengan Komisi Umum Belanda. Perundingan ini dipimpin oleh Lord Killearn dari Inggris.7 Hasil persetujuan Linggarjati tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 November 1946.

5

Bambang Suwondo. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), (Jakarta: Depdikbud. 1979). hlm. 59.

6

Poliman. B.A, Keterlibatan Tentara Pelajar di Sala Dalam Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949, (Yogyakarta: Depdikbud.1995), hlm. 6-7.

7


(21)

Naskah perundingan Linggajati selanjutnya ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 25 Maret 1947. Setelah penandatanganan naskah perundingan, pemerintah Inggris mengumumkan pengakuannya secara de facto terhadap RI. Pemerintah Amerika Serikat juga menyusul mengakui RI secara de facto yang daerahnya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Dengan adanya perjanjian Linggajati, Belanda sudah menerima politik dekolonasi, namun dekolonasi yang dikehendaki Belanda ialah dekolonasi dengan kepentingan-kepentingan Belanda tetap terjamin dalam negara Indonesia di masa depan. Kemerdekaan dan kedaulatan yang akan diserahkannya kepada Indonesia harus mempunyai pembatasan-pembatasan guna menjamin kepentingan mereka.

Pada 21 Juli 1947, Belanda melanggar persetujuan Linggarjati.8 Belanda mengadakan aksi militer ke Wilayah RI, tidak terkecuali ke daerah Cirebon karena Cirebon dianggap daerah yang amat strategis. Pada senin 21 Juli 1947, bertepatan dengan bulan Puasa, serangan udara dilancarkan oleh pihak Belanda, tanda dimulainya Agresi Belanda ke Cirebon. Belanda sendiri masih terkait oleh perjanjian Linggarjati. Kota Cirebon diserang dari udara dengan Pesawat pemburu dan pembom Tang melepaskan tembakan senapan mesin, roket, dan bom yang terdiri dari bom-bom seberat 10 kg, 25 kg, dan 100 kg.9

Pada 22 juli 1947, 25 bom besar dan kecil dijatuhkan di kota Cirebon, setelah tembakan dari kapal laut yang terus-menerus menembaki kota, baik siang

8

Pierre, Heijboer, a.b. W. S. Karnera. Agresi Militer Belanda. (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 42.

9

Marhayono. Semuanya untuk Cirebon: Kisah Heroik Pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala. (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), hlm. 8.


(22)

hari maupun malam hari. Daerah sasaran penembakan dan pemboman dari udara antara lain terdapat disekitar jembatan kereta api Krian, Segara Rampak, Kampung Kutagara dan persimpangan jalan Parujakan – Pagongan. Penembakan ini menghancurkan sebuah mobil serta menewaskan semua penumpangnya. Stasiun Kereta Api Cirebon (Kejaksan) dan sepanjang rel kereta api ke arah jalan Kartini hingga ke asrama TNI Kesambi dan Rumah Penjara Kesambi juga tidak luput dari tembakan senapan mesin serta roket yang di luncurkan dari udara.10

Serangan rumah penjara Kesambi membawa 50 korban tewas dan seorang pegawai penjara juga ikut tewas. Mayat korban dari rumah penjara dimakamkan di pemakaman Sicemplung (yang sekarang menjadi toko swalayan di jalan Dr. Ciptomangunkusumo). Pesawat terbang Belanda juga menembaki rakyat dengan senapan mesin sehingga banyak yang menjadi korban di antaranya 9 wanita tewas mengenaskan. Pinggir rel kerata api di jalan Warnasari, seorang tukang bambu yang melintas di jalan tersebut ikut tewas tertembak karena peluru senapan mesin dari pesawat terbang Belanda.11

Korban lain adalah seorang laki-laki yang tewas di pinggir rel kereta api di daerah Pekalipan Selatan, karena terkena pecahan bom. Mayatnya tergeletak begitu saja beberapa hari dikarenakan takut bila serangan datang dengan tiba-tiba. Serangan dari udara dan tembakan meriam yang diluncurkan dari kapal laut yang terjadi siang hari dan malam hari, penduduk sekitar mulai panik. Awalnya, penduduk hanya berlindung bila terjadi serangan, akan tetapi setelah 3 hari

10

Ibid.

11


(23)

diserang dari udara dan laut yang tidak henti-henti, penduduk mulai mengungsi ke luar kota.

Kemajuan dari gerakan tentara Belanda yang menggunakan pralatan modern dalam Perang Kemerdekaan I secara psikologis telah memukul moril prajurit-prajurit RI. Setelah meraka bergerilya sementara mereka saling bahu membahu dengan rakyat. Prajurit Siliwangi telah berhasil menguasai keadaan ini diakui oleh pihak Belanda bahwa perlawanan pasukan-pasukan RI di Jawa Barat makin meningkat. 12

Disaat perjuangan perlawanan terhadap Belanda di Jawa Barat sedang memuncak dan inisiatif serangan berada di pihak pasukan Siliwangi, pihak Belanda berupaya memaksa dilakukannya perundingan “RENVILLE” (Perundingan yang dilakukan diatas Kapal Renville). Persetujuan yang ditanda tangani 17 Januari 1948 sangat merugikan pihak RI, salah satu isinya memutuskan tentara RI harus meninggalkan kantong-kantong Gerilya, termasuk didalamnya pasukan Siliwangi harus meninggalkan kampung halamannya Jawa Barat dan segera melakukan hijrah ke Jawa Tengah sebagai satu-satunya daerah yang masih dikuasai Pemerintah RI.13 Pada 22 Februari 1948 sekitar 29.000 orang pasukan Siliwangi terpaksa meninggalkan kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat. Pelaksanaan perpindahan ke Jawa Tengah dilakukan dengan cara sebagian

12

A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 5: Agresi Militer Belanda I, (Bandung: Disjarah-AD, 1993), hlm. 232.

13

A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 6: Perang Gerilya Semesta I, (Bandung: Disjarah-AD,1994), hlm. 279.


(24)

diangkut dengan Kereta api dan sebagian lagi menggunakan Kapal laut dan diturunkan di daerah Rembang Jawa Tengah.

Pasukan Kancil Merah adalah nama samaran Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di wilayah Cirebon dengan komandannya yang bernama Letnan Abdoel Kadir. Pasukan Kancil Merah, merupakan salah satu pasukan gerilya yang memiliki persenjataan yang lengkap dengan jumlah personil yang cukup banyak serta dikenal dengan kedisiplinan dan keberaniannya. Pasukan Kancil Merah mengalami beberapa kali kontak senjata dengan Belanda serta melakukan tindakan sabotese untuk memperlambat gerak pasukan Belanda. Arti nama Pasukan Kancil Merah sendiri dari binatang kancil merupakan binatang yang cerdik begitu pula dengan Pasukan Siliwangi yang Cerdik, sedangkan Merah berartikan berani dalam artian berani melawan Belanda.

Pada Perang kemerdekaan II Pihak Belanda ternyata sudah menyiapkan strategi yang tepat dan jitu dalam usaha menguasai RI, serta banyak belajar dari kegagalan-kegagalan pada perang kemerdekaan pertamanya. Usaha-usaha yang dilakukan Belanda antara lain dengan blockade ekonomi yang semakin menyengsarakan rakyat dengan tujuan supaya para pemimpin RI cepat menyerah. Pemimpin-pemimpin RI pun dipecah-belah menjadi dua golonngan, yaitu kaum federalis dan kaum republik.14Kaum federalis adalah mereka yang tunduk pada

Belanda dengan negara-negara bonekanya, sedangkan kaum Republik adalah golongan nasionalis yang masih setia kepada RI. Pihak Belanda juga telah

14

A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia IX, (Bandung: Angkasa, 1979), hlm. 165.


(25)

menentukan waktu yang tepat untuk agresinya, yaitu disaat TNI masih sibuk dalam penumpasan pembrontakan PKI Madiun yang meletus pada 18 september 1948. Perang Kemerdekaan Indonesia II ini berhasil menguasai kota Yogyakarta, yang pada saat itu menjadi ibukota RI. Pihak Belanda juga berhasil menawan para pemimpin dan tokoh RI.

Dalam pemerintahan ini tenaga-tenaga militer membantu rakyat dan sebaliknya rakyat juga membantu keamanan militer. Oleh karena itu masyarakat pedesaan ikut mengambil peranan dalam sistem ini, sebab selain merupakan basis gerilya, pedesaan juga mempunyai potensi ekonomi, sosial, dan geografi yang sangat mendukung perang gerilya tersebut. Bahkan Koentjaraningrat menyebut bahwa pada hakekatnya sebagian revolusi di Indonesia berlangsung di pedesaan.15

Dalam penulisan skripsi ini mengambil judul “Peranan Pasukan Kancil Merah pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949”. Merupakan sebagian kecil suatu peristiwa sejarah yang terjadi di Cirebon, terutama dalam bidang kemiliteran yaitu tentang Pasukan Kancil Merah atau nama Samaran Divisi Siliwangi untuk melawan Belanda. Penulis berpendapat bahwa Perang Kemerdekaan Indonesia II tidak lepas dari peranan Pasukan Kancil Merah yang dengan gagah berani mempertahankan kota Cirebon dan sekitarnya dari serangan Belanda. Perjuangan Pasukan Kancil Merah tidak dapat diabaikan begitu saja.

15

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 95.


(26)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana Keadaan umum Cirebon setelah Kemerdekaan RI ? 2. Bagaimana proses terbentuknya Pasukan Kancil Merah?

3. Bagaimana peranan Pasukan Kancil Merah pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum :

a. Belajar menerapkan metodologi sejarah kritis, sehingga dapat menghasilkan karya sejarah yang berkualitas.

b. Menerapkan teori dan metodologi yang telah didapat selama di bangku perkuliahan.

c. Untuk menambah ragam tulisan sejarah terutama sejarah lokal. 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui keadaan umum kota Cirebon paska proklamasi hingga lahirnya Pasukan Kancil Merah.

b. Mengetahui latar belakang dan proses terbentuknya Pasukan Kancil Merah di Cirebon.

c. Memahami peranan Pasukan Kancil Merah pada Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949.


(27)

D. Manfaat Penelitian : 1. Bagi pembaca

a. Pembaca dapat mengetahui kondisi umum kota Cirebon 1948-1949. b. Pembaca dapat mengetahui latar belakang dibentuknya Pasukan Kancil

Merah di Cirebon.

c. Pembaca dapat mengetahui gambaran yang jelas dan objektif tentang peranan Pasukan Kancil Merah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949.

2. Bagi Penulis

a. Sebagai tolak ukur kemampuan penulis dalam meneliti, menganalisa, membaca sumber-sumber sejarah dan merekontruksinya sebagai karya sejarah.

b. Memperluas pengetahuan penulis terutama mengenai sejarah masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

c. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah lokal, khususnya tentang peranan Pasukan Kancil Merah pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon 1948-1949.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka akan menguraikan beberapa buku yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini. Adapun hal yang dilakukan dalam kajian


(28)

pustaka adalah dengan mengklasifikasi buku berdasarkan permasalahan yang diangkat.

Kajian pustaka memiliki peranan penting dalam proses penelitian sejarah sebagai sarana untuk menelaah literatur yang dilandasi pemikiran dan penelitian. Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka-pustaka yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian dan acuan dalam mengambil jawaban sementara dari rumusan masalah.

Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun penandatanganan penyerahan secara resmi baru dilaksanakan pada 2 September 1945 di Tokyo. Sementara itu bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan negara Republik Indonesia.16 Tetapi pasukan Jepang masih berada di Indonesia dan merupakan kekuatan yang nyata. Pada 18 Agustus Jepang mengeluarkan perintah untuk membubarkan tentara PETA dan mengumpulkan senjatanya. Semua anggota PETA diperintahkan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing dan diberi pesangon enam bulan gaji.

Pada masa penjajahan Jepang, divisi Ketigapuluh Delapan yang dipimpin oleh Mayor Jendral Sano Todayoshi memperoleh tugas ganda. Sebagian pasukan harus dapat menguasai Palembang dan Cirebon yang ternyata kemudian berhasil munguasai lapangan udara Kalijati.17 Dikarenakan didudukinya lapangan udara kalijati beberapa tokoh pejuang kemerdekaan di Kota Cirebon, ataupun di

16

Tanu Suherly, Sedjarah Perang Kemerdekaan Indonesia , (Djakarta: Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI, 1971), hlm. 1.

17

Atim Supomo, Djumarwan, Masqudori, Brimob Polri Jateng dan DIY dalam lintasan sejarah, (Semarang: Brigade Mobil Polri Polda Jateng,1996), hlm. 15.


(29)

Kabupaten Cirebon, senantiasa berhubungan dengan pimpinan di Jakarta. Beberapa minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, para pejuang di Cirebon telah mempersiapkan dengan matang pemberontakan terhadap Penjajah Jepang, akan tetapi, pemerintah pusat atau Jakarta tidak mengijinkan sehingga pemberontakan ditangguhkan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, para pemuda berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri menjadi Badan Keamanan Rakyat.18

Ketika Belanda mengadakan Agresi Militer ke Cirebon, rakyat bersama TNI bangkit untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda. Sekian banyak pasukan dan laskar pejuang ada satu pasukan bersenjata yang tersusun rapi yang kemudian bergabung dengan Kompi Machmoed Pasha. Ditariknya TNI Divisi Siliwangi dari kantong-kantong gerilya di Jawa Barat bukan berarti perjuangan kemerdekaan hilang atau tentara Belanda aman. Penyerangan dan penyergapan terhadap markas serta konvoi tentara Belanda terjadi terus-menerus dimana-mana. Pada saat TNI Siliwangi hijrah, ada beberapa kelompok pejuang yang sengaja tidak ikut hijrah. Mereka bermaksud membina rakyat selama ditinggal hijrah. Polisi Militer di Cirebon pimpinan Kapten Koestowo juga tidak semuanya ikut hijrah, begitu pula dengan satu regu pimpinan Kopral Abdoel Kadir, namun Kopral Abdoel Kadir sendiri hijrah ke Yogyakarta. Pasukan Abdoel Kadir bersama pasukan dari Kapten Koestowo melakukan kegiatan gerilya di daerah Kota Cirebon dan sekitarnya.

18


(30)

Sekitar bulan Maret 1948, Abdoel Kadir kembali dari Yogyakarta, lalu mengadakan kontak dengan rekan-rekan seperjuangannya yang berada di sekitar kota. Diantaranya adalah Edi Hamzah, Edi Joesoef, M.S. Djanaka, Abdullah, Maksoedi, Soeta, Misnen, Tadi, Ahmad Koelili. Kemis, Kaim, dan Rais. Mereka semuanya kumpul di Sunyaragi dan berusaha untuk merumuskan pengorganisasian kembali kegiatan gerilya di Kota Cirebon dan sekitarnya. Pasukan mereka diberi nama “Kancil Merah”. Mereka sepakat untuk mengangkat Abdoel Kadir sebagai Komandan Pasukan.19

Pasukan Kancil Merah memiliki senjata yang terdiri dari 1 pucuk Pistol FN 9 mm, 2 pucuk pistol Colt 38, 1 pucuk pistol Vickrers, 1 pucuk pistol Buldog, 1 pucuk pistol PM, 1 pistol Owegun, 2 Steyer, 3 pucuk Karibin Jepang, 2 pucuk Lee Enfield dan 9 Granat tangan. Selanjutnya, pasukan Kancil Merah melalui Madradji dan Waratna Soetarjo mengadakan kontak dengan Kesatuan Pemberontak Rakyat Merdeka (KPRM) pimpinan Imam Soedrajat, untuk masuk kedalam susunan organisasi KPMR Cirebon IV.20

Pada bulan Oktober 1948, pasukan Kancil Merah mengadakan kontak dengan Kapten Datoek Mahmoed Pasha, Komandan Kompi II, Batalion Roekman di Pamulihan, Kuningan, yang baru datang dari Yogyakarta. Batalion ini tidak menggunakan Pengenal TNI , tetapi nama pengenalnya menjadi Kesatuan Gerilya Rakyat Merdeka (KGRM).21 Setelah diadakan koordinasi, Pasukan Kancil Merah dimasukan ke dalam Formasi Divisi Siliwangi, Seksi III, Kompi II Mahmoed

19

Ibid., hlm. 22.

20

Ibid., hlm. 19.

21


(31)

Pasha Batalion Roekman. Pasukan Kancil Merah telah mempunyai Pengenal TNI AD, tetapi mereka tidak menggunakan pengenal tersebut dan tetap menggunakan Pasukan Kancil Merah.

Awal November 1948, pasukan Kancil Merah melakukan Sabotase pemutusan jembatan Kalitanjung dan Situgangga. Ketika patroli Belanda dari Markas pengguna datang mereka disergap oleh pasukan regu Kusen dan terjadilah pertempuran diantara mereka. Pertempuran tersebut meluas ke daerah Majasem. Dari pihak Belanda 2 orang mati, sedangkan dari pasukan Kancil Merah tidak ada yang mati melainkan mereka melarikan diri ke arah Kudungdawa, Kecamatan Cirebon barat.

Pada 11 Agustus 1949, pasukan Kancil Merah mendapat perintah Gencatan Senjata yang dimulai pada 11-15 Agustus 1949. Sebelum pertemuan dimulai, utusan Belanda dan pasukan Kancil Merah sepakat untuk mingibarkan bendera putih tanda gencatan senjata. Pada 10 September 1949 pertemuan resmi diselenggarakan antara TNI yang diwakili Pasukan Kancil Merah Letnan Abdoel Kadir dengan wakil Belanda Kapten De Boor Komandan BIVO dan Kapten Vermeulen Komandan Batalyon KNIL .

Para pemuda dan masyarakat Cirebon berkumpul untuk mengadakan apel dalam rangka menyambut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. Rakyat seolah tumpah ruah ke jalan, berbaur dengan masyarakat yang datang dari luar kota. Teriakan merdeka menggema di mana-mana ketika beberapa rombongan papas an atau melewati kelompok yang menyambutnya di pinggir jalan. Suasana Kota Cirebon betul-betul meriah.


(32)

F. Historiografi yang Relevan

Penulisan sejarah membutuhkan adanya sumber-sumber sejarah yang relevan. Sumber-sumber tersebut berisikan data dan informasi seputar peristiwa terkait. Menurut Louis Gottschalk, historiografi adalah rekonstruksi yang imajinatif melalui proses pengkajian dan menganalisis secara kritis dan peninggalan masa lampau. Penggunaan histroriografi yang relevan merupakan salah satu pokok dalam penulisan karya sejarah. Histeriografi ini dapat berbentuk buku-buku sejarah, artikel, skripsi, tesis dan karya-karya lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara valid, sehingga suatu karya sejarah bersifat objektif.

Tujuan historiografi yang relevan adalah untuk membandingkan tulisan penulis dengan tulisan yang ditulis oleh pengarang dalam setiap literature yang dipakai sebagai sumber dalam penulisan skripsi. Penulisan skripsi yang berjudul Peranan Pasukan Kancil Merah pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon, menggunakan beberapa tulisan yang berhubungan dengan skripsi. untuk membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan yang sudah ada. Selain itu juga untuk acuan dalam penulisan. Adapun historiografi yang relevan dalam penulisan ini sebagai berikut.

Pertama, Febryawan (2001) dari Fakultas Sejarah Budaya Universitas Pendidikan Indonesia yang berjudul “Revolusi Fisik di Desa Mandala Cirebon tahun 1947 dan 1949”. Skripsi ini membahas tentang peristiwa pertempuran antara gerilyawan TNI Pasukan Seksi Karnadi bersama pasukan Seksi Boedhi Hardjo melawan pasukan tentara Belanda di Desa Mandala, Kabupaten Cirebon,


(33)

peristiwa gugurnya Kapten Hendrik, hingga pemakaman para grilyawan. Skripsi tersebut berbeda dengan skripsi ini. Di skripsi tersebut tidak membahas tentang Peranan Pasukan Kancil Merah di Cirebon. Karya tersebut jelas sangat akan membantu dalam penulisan ini.

Kedua, “pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1813”, skripsi Siti Aisah (2004) berisi tentang Pemberontakan Rakyat Cirebon terhadap Belanda yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat kecil. Dalam skripsi tersebut juga membahas tentang letak geografis Cirebon yang strategis dalam melakukan perekonomian, terutama dalam hal pesatnya kemajuan pelabuhannya. Skripsi tersebut berbeda dengan pembahasan penulis, akan tetapi memiliki kesamaan yaitu membahas tentang Cirebon, sehingga skripsi ini sangat membantu dalam penulisan ini.

Ketiga, “Cirebon masa pendudukan Jepang (1942 – 1945)”, buku Mumuh Muhsin Z (2009) berisi tentang pendudukan Jepang di Cirebon dan propaganda Jepang yang berhasil mengusai daerah Cirebon dan sekitarnya. Skripsi ini sangat membantu untuk penyajian skripsi yang di buat ini. Dilihat dari segi waktu dan masa yang tidak terlalu lama denga nskripsi yang di buat ini, namun buku ini tidak menjelaskan tentang bagaimana proses masuknya Jepang ke Cirebon, tidak adanya peranan TNI/Divisi Siliwangi.

Keempat, “Kapten Samadikun Pahlawan Pertempuran Laut di Cirebon”, skripsi Wibisana Ranggajati (2001) berisi tentang pertempuran kapal Gajah Mada melawan kapal Belanda dilaut Cirebon pada 5 Januari 1947, pertempuran ini merupakan dampak dari perjanjian Linggarjati. ALRI yang mendapatkan tugas


(34)

dari RI untuk menjaga keamanan laut pada saat perundingan Linggarjati. Dalam upaya mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan di tempuh melalui jalur diplomasi dan kronfrontasi serta kepemimpinan Kapten Samadikun sebagai pemimpin perang. Skripsi tersebut berbeda dengan pembahasan penulis, akan tetapi memiliki kesamaan yaitu membahas tentang Cirebon pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II.

G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, dapat digunakan berbagai macam metode sesuai dengan rencana penelitiannya. Metode penelitian yang akan digunakan tergantung pada tujuan penelitian. Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian historis. Tujuan penelitian historis adalah untuk merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Menurut Louis Gottschalk ada 4 prosedur dalam proses penelitian sejarah yang memuat langkah-langkah penulisan sejarah, sebagai berikut.

a. Heuristik

Heuristik yaitu kegiatan mencari atau mengumpulkan jejak-jejak masa lampau yang dikenal sebagai sumber sejarah, pengumpulan sumber-sumber sejarah berkaitan dengan tema yang dikaji. Tanpa adanya sumber, karya sejarah


(35)

tidak akan dapat direkonstruksi menjadi sebuah kisah.22 Pengumpulan sumber-sumber dilakukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Kanisius, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Kantor Arsip Daerah Cirebon, dan Dinas Sejarah Angkatan Darat.

Menurut Helius Syamsudin, sumber sejarah adalah sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan suatu kenyataan atau kegiatan manusia di dalam penelitian sejarah , yaitu sumber primer (primer sources) dan sumber sekunder ( secondary sources).23

1) Sumber Primer

Sumber Primer adalah sumber yang secara langsung ditulis atau didapat melalui orang pertama atau orang yang mengetahui peristiwa itu sendiri. Pada umumnya yang dimaksud dengan sumber primer adalah bukti yang kontemporer atau sejaman dengan peristiwa yang terjadi. Dalam penulisan skripsi ini, sumber-sumber yang relevan antara lain:

Peta Kota Cirebon

Foto Monumen Perjuangan Pasukan Kancil Merah di Cirebon Foto Pasukan Kancil Merah

22

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 23.

23

Helius Syamsudin dan Ismaun, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 153.


(36)

2) Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber dari seseorang yang diperoleh dari orang lain, baik dalam bentuk turunan, salinan, atau bahan yang dimiliki bukan dari tangan pertama. Nugroho Notosusanto, mendefinisikan sumber sekunder sebagai sumber yang diperoleh dari cerita/penuturan atau catatan mengenai suatu peristiwa masa lampau yang tidak disaksikan oleh pelapor, dimana pelapor tidak hadir pada waktu peristiwa itu terjadi. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sumber sekunder adalah sumber yang tidak sejaman, yakni sumber yang diperoleh atau sumber yang diperoleh atau ditulis oleh orang yang tidak mengalami sendiri peristiwa yang dilukiskan. Penulisan ini menggunakan sumber-sumber sekunder sebagai berikut.

A. H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia I, Bandung: NV Ganaco, 1963. Bambang Suwondo, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Jakarta:

Depdikbud, 1979.

Dinas Sejarah TNI-AD, Sejarah TNI-AD 1948-1973, Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat, 1978.

Heijboer, Pierre a.b. W. S. Karnera, Agresi Militer Belanda, Jakarta: Gramedia, 1998.

Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah Heroik Pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala, Jakarta: PT. Grasindo, 2003.

Nurdin M. Nur, dkk, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon. Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2011.

Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon, “ Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kotamadya Cirebon”, Cirebon: Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon, 1976.

Tanu Suherly, Sedjarah Perang Kemerdekaan Indonesia, Djakarta: Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI, 1971.


(37)

Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.

b. Kritik Sumber

Kritik Sumber (Verifikasi) yaitu suatu proses pengujian dan menganalisa secara kritis mengenai keotentikan sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan. Verifikasi ada dua macam yaitu kritik ekstern dan kritik intern.24 Kritik ekstern adalah mengkaji sumber sejarah dari luar, mengenai keaslian dari kertas yang dipakai, ejaan tulisan, gaya tulisan, jenis tinta dan semua penampilan luarnya untuk mengetahui autentisitasnya. Kritik intern adalah penilaian terhadap sumber sejarah dari isi sumber dokumen tersebut, jadi keaslian dokumen dianalisis berdasarkan isinya.

Verifikasi sangat diperlukan dalam penulisan sejarah, karena semakin kritis dalam menilai suatu sumber sejarah, semakin otentik penelitian sejarah yang dilakukan. Kritik sumber akan sangat diperlukan oleh penulis, terutama untuk menentukan otentisitas pustaka tentang Pasukan Kancil Merah di Cirebon pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon. Isi dalam sumber yang digunakan dalam penulisan penelitian harus melalui kritik intern, sehingga diperoleh fakta sejarah.

c. Interpretasi

Interpretasi adalah menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh dan ditetapkan kritik ekstern dan intern. Fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh perlu dihubungkan dan dikaitkan satu

24

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2005), hlm. 100.


(38)

sama lain sehingga antara fakta yang satu dengan fakta yang lain terlihat sebagai suatu rangkaian yang masuk akal, dalam arti menunjukkan kecocokan satu sama lainnya.

Penelitian sejarah yang dilakukan selama proses penulisan akan dimaknai secara utuh hanya jika sumber yang diperoleh sudah dianggap cukup mewakili kebenaran, otentisitas, kredibilitas dan reliabilitas. Ketergantungan interpretasi terhadap kritik ekstern-intern pustaka yang berhubungan dengan Peranan Pasukan Kancil Merah pada masa Perang Kemerdekaan II di Cirebon 1948-1949 akan menentukan objektif atau tidaknya hasil pemaknaan.

d. Penulisan

Penulisan sejarah adalah tingkat akhir dari kegiatan penelitian sejarah. Fakta-fakta sejarah dari berbagai sumber yang telah diinterpretasikan kemudian dituangkan dalam cerita sejarah dan disajikan menjadi suatu karya sejarah. Penulisan karya sejarah mempunyai dua sifat, yaitu tulisan sejarah naratif dan non-naratif.25 Sejarah naratif ingin membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekonstruksi apa yang terjadi serta diuraikan sebagai cerita menurut proses waktu. Sementara itu sejarah non-naratif merupakan karya sejarah yang berpusat pada masalah. Sedangkan penelitian sejarah ini merupakan penulisan sejarah naratif.

25

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 54.


(39)

2. Pendekatan Penelitian

Sebagaimana permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah masalah pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan. Seperti segi mana yang dipandang, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan.26

Penulisan sejarah sebagai kesatuan yang koherensi, diperlukan teori-teori dari disiplin-disiplin lain yang mempunyai daya penjelasan lebih baik untuk menganalisis fenomena sejarah, sehingga jawaban yang akan diperoleh menjadi penjelasan yang lebih luas dan memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis dalam penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut. a. Pendekatan Sosiologi

Dalam kerangka konseptualnya, sosiologi banyak mencakup konsep dan teori sosiologi. Pendekatan sosiologi membantu mengungkap unsur-unsur sosial, antara lain berkaitan dengan struktur sosial, sistem politik, jaringan interaksi, struktur organisasi, dan pola kekuasaan. Pendekatan ini berguna untuk mengetahui struktur sosial masyarakat Cirebon paska Agresi Militer Belanda II, mengetahui jaringan yang di jalin Pasukan Kancil Merah dengan TNI, Kesatuan Gerilya Rakyat Merdeka (KGRM) , dan masyarakat sekitar.

26


(40)

b. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi adalah penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi, dan konsumsi yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasi yang dapat mengungkap peristiwa atau fakta dalam keadaan ekonomi sehingga dapat dipastikan hukum kaidahnya.27 Pendekatan ekonomi digunakan untuk mengungkap masalah-masalah ekonomi sesuai dengan prinsip dasar ilmu ekonomi. Melalui pendekatan ini, dapat diketahui keadaan ekonomi rakyat dan tentara Pasukan Kancil Merah pada saat itu. Selain keadaan ekonomi rakyat Cirebon sendiri, dengan pendekatan ini keadaan ekonomi pasukan Belanda pun dapat diketahui. Ilmu ekonomi tidak hanya menitikberatkan terhadap masalah-masalah ekonomi penduduk lokal saja tetapi juga melihat ekonomi para pendatang.

c. Pendekatan Politik

Pendekatan politik adalah segala usaha, tindakan atau suatu kegiatan manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan suatu negara yang bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat. Pendekatan politik mengarah pada struktur kekuasaan, hierarki sosial, jenis kepemimpinan, dan pertentangan kekuasaan dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengubah bentuk susunan masyarakat kenegaraan.

Pendekatan politik akan menyoroti tentang struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki serta pertentangan kekuasaan.28 Pendekatan ini digunakan

27

Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, (Jakarta: Bhatara, 1996), hlm. 32.


(41)

untuk memahami politik yang digunakan Belanda dalam pendudukannya di Indonesia, menganalisis pengaruh politik pada masa penjajahan Belanda terhadap Pasukan Kancil Merah sebagai salah satu pasukan perjuangan untuk melindungi tanah air dari campur tangan negara asing.

d. Pendekatan Militer

Pendekatan Militer bertujuan untuk mengetahui adanya sekelompok orang yang diorganisir dengan disiplin militer dengan tujuan utama untuk bertempur dan memenangkan pertempuran guna mempertahankan kemerdekaan. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis proses terbentuknya Pasukan Kancil Merah dan strategi apa yang digunakan Pasukan Kancil Merah, dalam menghadapi Belanda, karena jika dilihat dari jumlah pasukan, persenjataan, dan strategi bertempur masih kalah dengan Belanda.

H. Sistematikan Pembahasan

Untuk memudahkan dan memahami mengenai isi, maka penulis memberikan gambaran singkat dari isi materi yang akan dibahas. Adapun garis besar dari isi adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode penelitian, pendekatan penelitian dan sistematika pembahasan.

28


(42)

BAB II KEADAAN UMUM CIREBON

Bab ini berisi tentang kondisi umum Cirebon pasca proklamasi, situasi Cirebon pada saat pendudukan Belanda dari ekonomi, pemerintahan, keadaan sosial masyarakat hingga dampak pendudukan pada masa pemerintahan Belanda. BAB III TERBENTUKNYA PASUKAN KANCIL MERAH DI CIREBON

Bab ini membahas tentang situasi kota Cirebon pasca Perang Kemerdekaan II, terbentuknya Pasukan Kancil Merah dan datangnya Pasukan Belanda dari daerah Pelabuhan hingga perlawanan rakyat Cirebon dan sekitarnya. BAB IV PERANAN PASUKAN KANCIL MERAH DALAM MENGUSIR PASUKAN BELANDA DI CIREBON

Bab ini membahas tentang Penyusunan Persenjataan Kancil Merah. Penangkapan para Pimpinan Pasukan dan Abdoel Kadir oleh tentara Belanda. Serta Serangan balasan Pasukan Kancil Merah terhadap tentara Belanda pada saat Perang Kemerdekaan Indonesia II di Cirebon.

BAB V KESIMPULAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari semua pemaparan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang diperoleh merupakan jawaban atas rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab pertama.


(43)

BAB II

KEADAAN UMUM CIREBON

A.Keadaan Umum Cirebon Pasca Proklamasi Kemerdekaan

1. Keadaan Umum Kota Cirebon

Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.29 Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada awalnya Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu).30 Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. Kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.31

Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut

29

Lihat lampiran 1, hlm. 101.

30

Arya Carbon, Purwaka Caruban Nagari: Asal mula berdirinya negara Cerbon, (Cirebon: Penyalur Tunggal Pustaka Nasional Sudiam, 1978), hlm. 3.

31


(44)

(belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.32

Kota Cirebon secara geografis terletak di tepian pantai utara Jawa, yang dilengkapi dengan sungai-sungai yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi pedalaman yang letaknya di sekitar pelabuhan Cirebon yaitu, sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean, dan Cilosari. Kondisi alam yang demikian sebenarnya berpotensi untuk menjadi pusat berkembangnya peradaban, karena dengan keadaanya yang strategis. Cirebon yang dahulunya dikenal dengan nama Caruban Nagari, menampilkan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa.33

Kota-kota pesisir yang mengalami perkembangan pesat pada zamannya adalah Cirebon.34 Kota Cirebon pernah menjadi pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Lokasimya terletak di antara bibir pantai di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuatnya berperan penting sebagai jembatan antar kebudayaan Jawa Tengah dan Sunda sehingga tercipta

32

Hariwijaya, M, Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 21.

33

Lihat lampiran 2, hlm. 102.

34

Cirebon mengalami perkembangan yang pesat (sebagai contoh) karena manusia dalam melakukan perjalanan manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti alur lalulintas (laut) yang sudah lazim digunakan oleh orang lain. Cabang yang memiliki kesempatan untuk berkembangmenjadi pusat konsentrasi adalah yang jumlah pelalu lintasnya cukup besar (termasuk barang) dan tempat ini digunakan untuk tempat transit. Pelalu lintas merasa perlu untuk beristirahat, menginap, atau tinggal beberapa hari di tempat tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian kota-kota besar di Indonesia berada di dekat Pantai. Lihat, Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 12.


(45)

kebudayaan yang khas. Disamping itu Cirebon sarat dengan peninggalan-peninggalan purbakala, kesenian, maupun warisan non fisik yang merupakan bukti masuknya aneka ragam kebudayaan dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, Eropa, sehingga wajar Cirebon mendapat sebutan sebagai bagian Bandar Jalur Sutra.35

Pemerintahan Kota Cirebon dibentuk 1 April 1906. Daerah-daerah yang didiami penduduknya antara lain, Lemawungkuk, Panjunan, Pekiringan, Kali Sukalila, Kali Sipadu, dan Kali Kesunean. Dengan luas 225 hektar dan banyak tanah yang masih kosong dan di penuhi alang-alang. Sistem Pemerintahan pada jajahan Belanda mempunyai corak otokratis 36 suatu pemerintahan yang sentralistis yang resminya dilaksanakan sejak 1854. Menurut garis-garis yang berada dalam Regirings Reglement 1854.37 Cirebon berdasarkan undang-undang lama, setiap distrik dan desa memiliki bagian tanahnya sendiri. Berdeda dengan

35 Kata “Sutra” diambil sebagai metafora dari kelembutan dan kehalusan

jalinan-jalinan hubungan antara manusia dan antar budaya yang membawa serta melalui rute-rute perdagangan yang bersejarah. Sutra memang merupakan salah satu komuditi terpenting selain rempah-rempah dari Timur yang memaju pedagang Eropa untu mencarinya. Lihat, A.B. Lapian dan Edi Sedyawati, Kajian Cirebon dan Kajian Jalur Sutra dalam “ Cirebon Sebagai Bandar jalur Sutra” (Jakarta: Departemen P&K, 1995), hlm. 1.

36

Otakratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuasaan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta memotifasi bawahan dengan cara paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lihat, Nurdin M. Noer, dkk, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Dearah Kota Cirebon, 2011), hlm. 2.

37

Nurdin M. Noer, dkk, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Dearah Kota Cirebon, 2011), hlm. 19.


(46)

Kabupaten tanah menjadi milik desa/perorangan. Provinsi sendiri desa dan tanah menjadi milik penguasa/ keluarga dan kepercayaan Sultan, kecuali sebagian kecil diperuntukan bagi masyarakat.

Pada 8 maret 1942, Gubernur Jendral Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer Ter Poorten atas nama pemerintah Belanda menandatangani Kapitulasi di Kalijati Subang Jawa Barat yang menyatakan kekalahan tanpa syarat kepada Jepang. Pihak Jepang sendiri semula menduga akan memerlukan waktu dua sampai tiga bulan untuk menaklukkan Belanda, mengingat wilayah itu di pertahankan oleh KNIL ditambah kesatuan-kesatuan sekutu lainya. Berbagai aturan dikeluarkan, diantaranya Osamu Seirei no 27 tahun 1942 yang mengatur susunan pemerintahan daerah dan Osamu Seirei no 28 tahun 1942 yang menetapkan peraturan pemerintah Karisidenan atau Shyu.38

Pemerintahan di luar daerah Cirebon terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Jepang yang berlangsung dengan tentram, hanya disana-sini banyak pembunuhan terhadap Komandan kesatuan Jepang dari daerah Cirebon yang bermarkas di Kedungbunder beserta beberapa orang perwiranya yang sedang mengendarai mobil di desa Weru jurusan Cirebon- Palimanan. Penghadangan dan pembunuhan tersebut dilakukan oleh rakyat dengan bambu runcing, golok, dan batu. Dengan cara tersebut maka rakyat dapat memperoleh senjata Jepang.39

38

Ibid., hlm. 20.

39


(47)

2. Keadaan Sosial Masyarakat Cirebon

Keadaan sosial masyarakat Cirebon setelah proklamasi kemerdekaan RI tidak jauh berbeda dengan keadaan sosial pada saat masih dijajah oleh Jepang. Hal ini dapat terlihat dari jenis pakaian yang dikenakan dan tingkat status sosial di masyarakat. Pada umumnya jenis pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang terbuat dari kain lena. Mutu kainnya masih rendah. Untuk para pekerja kasar yang tergolong masyarakat ekonomi rendah mereka terpaksa memakai celana karung dan sarung karena tidak bisa membeli pakaian kain.40

Suasana menjelang proklamasi disambut dengan gembira oleh masyarakat Cirebon. Dr . Soedarsono, sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Proklamasi yang dibacakan dr. Soedarsono pada 15 Agustus 1945, pristiwa ini disaksikan oleh 50 orang. Soedarsono melakukan hal itu setelah menerima berita dari Sjahril, bahwa Radio BBC (London) memberitakan Jepang telah menyarah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.41 Proklamasi yang dilaksanakan di Cirebon tidak diakui secara luas oleh masyarakat, hanya sebagian masyarakat yang mengakui, kurang lebihnya sekitar 50 orang. Kekalahan Jepang dari Sekutu menjadi motivasi kuat untuk dilaksanakannya proklamasi sesegera mungkin.

Angkatan muda yang menjadi penggerak dilaksanakannya proklamasi tersebut, dikarenakan angkatan muda tersebut telah menyusun kekuatan sejak

40

Sulendraningrat. P.S, Sejarah Cerbon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hlm. 32.

41

M. Halwi Dahlan, dkk, Cirebon Dalam Kajian Sejarah dan Budaya, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005), hlm. 192.


(48)

setahun sebelumnya ditandai dengan dilaksanakannya rapat umum di Gedung Rex di kawasan Cangkol.

Dalam rapat tersebut hadir sebagai pembicara Dr. Mohamad Toha yang menyerukan merdeka sekarang juga. Dalam perjuangan sebelum proklamasi angkatan muda terus menerus menjalin hubungan dangan Jakarta, diantaranya Soedarsono dan Suroto yang menjadi penghubung informasi. Menjelang pecahnya proklamasi atau setelah adanya berita positif kekalahan Jepang, maka secara spontan pemuda dan rakyat Cirebon melakukan penyerbuan ke kantor-kantor pemerintahan Jepang untuk merebut dan menyerahkan kekuasaan Jepang kepada RI dengan aparat pemerintah Jepang saat itu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada RI. Berita proklamasi di Jakarta pada 17 Agustus 1945 baru di terima oleh masyarakat Cirebon pada 18 Agustus malam hari. Setelah diterimanya informasi tersebut diadakan rapat umum di Alun-alun Kejaksan dan diteruskan dengan pawai keliling kota dan malam harinya langsung dibentuk Karisidenan Cirebon yang bertempat di Perguruan Tinggi Taman Siswa yang dimulai pukul 20.00 dan baru berakhir pukul 05.00.42

3. Keadaan Ekonomi Cirebon

Pada umumnya bahwa ekonomi pedesaan di Indonesia, khususnya di Jawa, didasarkan atas usaha pertanian. Termasuk rakyat Cirebon sendiri yang bermata pencaharian sebagai petani, selain bertani mata pencaharian dari sektor lain, yaitu sebagai pengrajin dan nelayan. namun dari segi kepemilikan tanah,

42


(49)

jumlah rumah tangga tanpa tanah sawah milik desa-desa cukup besar. Keadaan desa-desa di Cirebon sangat memprihatinkan, pemerintahan Sultan-sultan yang buruk dengan memberikan penyewaan atas tanah-tanah kepada Belanda dan Saudagar Cina menikmati kedudukan yang menentukan di pedesaan merebut kegiatan monopoli masyarakat Cirebon.

Petani banyak yang kehilangan lahan sawah sekaligus garapan untuk menopang kehidupannya. Sementara di sisi lain lapangan kerja non pertanian belum banyak digarap dan diberdayakan oleh dua pemerintahan ini. Akhirnya yang muncul adalah pemberontakan-pemberontakan yang terus berlangsung. Perlawanan yang lazim dilakukan para petani menghadapi kenyataan ini adalah dengan meninggalkan desa mereka untuk sementara dan tidak akan pulang kembali sebelum musim tanam padi tiba. Imigrasi sementara merupakan cara untuk menghindari cacah jiwa setempat. Selain itu, petani dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan.43

Struktur sosial penduduk Cirebon tersusun secara Herarki Vertikal,44 pelapisan sosial berdasarkan kedudukan atau peran seseorang atau sekelompok orang di dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi ini, penduduk Cirebon dapat

43 Zaenal Musduqi,”

Cirebon: Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011), hlm. 100.

44

Herarki Vertikal adalah suatu garis kekuasaan yang menunjukan tingkatan dari paling atas ke paling bawah. Lihat, M. Halwi Dahlan, dkk, Cirebon Dalam Kajian Sejarah dan Budaya, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005), hlm. 154.


(50)

dikelompokan ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah.45

Golongan pertama, yaitu kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi (tradisional) juga sekaligus merupakan elit agama. Golongan ini terdiri atas sultan atau raja beserta keluarganya dan para pejabat tinggi kerajaan. Kedudukan sultan atau raja menempati posisi tertinggi dalam status sosialnya, karena penguasa tertinggi daripada lapisan masyarakat lainya. Raja secara langsung atau tidak langsung menentukan nasib kehidupan ekonomi dan perdagangan melalui segala peraturan yang dikeluarkannya.

Golongan kedua, yaitu kaum golongan menengah seperti birokrat pemerintah, kalangan pengusaha/ pedagang biasanya dari mereka kebanyakan (Cina) yang telah mengalami keberhasilan dalam usahanya, dan petani yang memiliki lahan/tanahnya sendiri, sehingga secara ekonomi mereka menempati posisi menengah. Golongan ketiga, yaitu kaum golongan bawah yang mana di tempatkan pada penduduk/masyarakat kelas kecil dalam artian mereka yang bekerja pada seseorang untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari, yaitu seperti halnya, buruh tani dan nelayan.46

Sementara di sisi lain lapangan pekerjaan non pertanian belum banyak yang dapat di lakukan di karenakan adanya campur tangan Belanda. Akibatnya muncul perlawanan dari para Petani dan rakyat untuk melawan Belanda,

45

Adeng, dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998), hlm. 40.

46


(51)

perlawanan yang dilakukan oleh para petani dengan meninggalkan desa mereka untuk sementara dan tidak akan pulang kembali sebelum musim tanam padi tiba. Imigrasi sementara yang dilakukan petani dan rakyat ini untuk menghindari sakit hati dari para petani, petani dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak bisa berjalan.47

B. Keadaan Umum Cirebon Pasca Perang Kemerdekaan II

1. Keadaan Pemerintahan Cirebon

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Otonomi yang tadinya hilang, di gunakan kembali dan Komite-Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dengan badan-badan eksekutifnya dijelmakan.48 Undang-undang Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah merupakan Undang-undang pertama dalam suasana kemerdekaan mengenai pemerintahan daerah. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi lebih kecil lagi dengan daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah (BPD) oleh karena itu di daerah pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.49

47

Ibid., hlm. 49 .

48

Udin Koswara, Sejarah pemerintahan Karesidenan Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2000), hlm. 27.

49


(52)

Adapun tugas dari KNID adalah:

a) Menyatakan kehendak rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

b) Mempersatukan barbagai lapisan masyarakat Indonesia sehingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

c) Membantu keselamatan dan ketentraman rakyat.

d) Membantu pimpinan dalam meyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia dan kesejahteraan umum.50

Dalam hal ini KND menjadi badan legeslatif dengan dipimpin oleh Kepala Daerah. Sebagai kelanjutan dari undang-undang ini ditetapkan pembagian daerah dalam pemerintahan daerah tingkat lebih rendah yaitu: Karesidenan, Kota dan Kabupaten. Provinsi Jawa Barat terbagi dalam lima Karesidenan, yaitu Karesidenan Banten, Karesidenan Jakarta, Karesidenan Priangan, dan Karesidenan Cirebon. Kota dan Kabupaten yang termasuk dalam Karesidenan Cirebon adalah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan kota Cirebon.51

Pada awal bulan Juli 1947 disusunlah Pemerintahan RI dari pusat sampai desa-desa. Pusat Pemerintahan karisidenan Cirebon, berada di Ciwaru, Kabupaten Kuningan, sedangkan Pemerintahan Kabupaten Cirebon sampai ke desa-desa selalu berpindah-pindah tempat yang dianggap aman dari sasaran Militer Belanda.

50

M. Halwi Dahlan,Op.cit.,196.

51

Ekadjati, Dr. Edi S, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm. 85.


(53)

Dengan disusunannya roda Pemerintahan Cirebon sampai ke desa-desa yang para pejabatnya diambil dari daerah sekitar.

Roda pemerintahan dijalankan secara sembunyi-sembunyi, meskipun sembunyi-sembunyi pemerintahan kota Cirebon dapat berjalan dengan baik, uang pajak bumi bisa dipungut dan diatur oleh pemerintahan, jika pemerintah belanda menanyakan, Kepala Desa menjawab bahwa mereka tidak berani memungut pajak, takut menjadi korban tindakan kaum gerilya. Sawah Titisara52 Desa bisa dilelangkan sebagai biasa dan uangnya digunakan oleh Desa, jika ditanyakan Pemerintahan Belanda, mereka tidak berani melelangkan. Uang pajak dan hasil Titisara pada umumnya digunakan untuk perbekalan para pejuang.

2. Masuknya Tentara Belanda ke Kota Cirebon

Pemerintah Belanda berniat untuk menjajah kembali Indonesia pada 1943 saat perang di Pasifik Jepang dan Jerman sudah mulai terdesak oleh pasukan Sekutu. Pemerintah Belanda yang sudah kembali ke negerinya mengadakan wajib militer dan memanggil sukarelawan guna membentuk pasukan untuk keperluan pertahanan Eropa, pertahanan Jerman, dan mengirim pasukan ke Australia untuk ikut melawan Jepang. Tentara tersebut dilatih di Inggris. Amerika Serikat pun ikut membantu dengan perlengkapannya.

Keengganan pemerintah Partai Buruh Australia untuk melatih tentara Belanda dalam jumlah banyak, ditambah dengan menyerahnya Jepang pada

52

Titisara adalah Tanah desa yang hasilnya untuk membiayai keperluan desa, atau disebut dengan istilah tanah Bengkok.


(54)

tanggal 15 Agustus 1945 kemudian disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mengacaukan rencana Belanda untuk kembali ke Indonesia dengan tentaranya sendiri sebagai pihak yang menang. Tentara yang tersedia baru 2 batalyon KNIL pada awal Oktober 1945. Batalyon pertama dibentuk di Australia dari sekitar 1000 anggota eks-KNIL yang dulu menyingkir ke Australia bersama dengan pembesar-pembesar Belanda setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.

Batalyon ini ikut tentara Australia menggempur Jepang di Balikpapan dan Tarakan. Kemudian mereka datang ke Jakarta sebagai kesatuan Sekutu. Batalyon lainnya terdiri dari kesatuan yang dulu dikirim ke Australia dari Inggris, sukarelawan Suriname dan bekas KNIL. Kemudian di tahun-tahun berikutnya kekuatan tentara Belanda berangsur-angsur bertambah setelah kesatuan-kesatuan wajib militer dan sukarelawan di bawah komando Jenderal Spoor datang ke Indonesia.53

Pemerintah Belanda berniat untuk berkuasa kembali mendekati kenyataan setelah tentaranya mengambil alih kota-kota dan daerah yang dikuasai tentara Sekutu. Selanjutnya proses perundingan dan pertempuran berlangsung antara Belanda dan Indonesia untuk menentukan nasib bangsa Indonesia. Sepanjang waktu tersebut tidak ada satu hari pun berlalu tanpa adanya tembak-menembak antara kedua belah pihak atau korban yang mati meskipun dalam periode gencatan senjata.

53

Nugroho Notosusanto, Ichtisar Sedjarah Republik Indonesia (1945-sekarang) (Djakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI,1971), hlm. 123.


(55)

Cara menyelesaikan pertikaian melalui perundingan pemerintah Belanda dan Indonesia mendasarkannya pada dua pola pemikiran yang bertolak belakang. Apabila kesepakatan perundingan tidak tercapai sesuai dengan ajaran politik, maka pihak yang merasa kuat cenderung memaksakan kehendaknya terhadap yang lemah. Belanda merasa mempunyai tentara yang kuat, selain itu keadaan keuangan yang saat itu hampir kosong sehingga Belanda merasa perlu menduduki daerah Indonesia yang kaya akan perkebunan di Jawa dan ladang minyak di Sumatera untuk memperoleh devisa.54

Perang Kemerdekaan Indonesia I Belanda dimulai pada Minggu 20 Juli 1947 dengan menangkap pembesar-pembesar RI di Jakarta dan pengambilalihan kantor-kantor serta gedung-gedung penting RI oleh pasukan-pasukan Belanda. Sebelum tanggal 21 Juli 1947 kegiatan tentara Belanda disemua sektor pertempuran meningkat dengan tajam. Pada hari Minggu semua unsur pasukan Belanda sudah siap di pintu-pintu keluar di seluruh garis demarkasi, dan paginya tanggal 21 Juli 1947 semua pasukan Belanda melintasi garis demarkasi menyerbu masuk ke daerah-daerah RI.

Serangan tentara Belanda ke Desa Mandala Kabupaten Cirebon, untuk pertama kalinya dilakukan pada 29 Juli 1947, dengan korban dan pasukan Seksi Karnadi, dua orang sersan muda gugur, yaitu Sersan Haroen dan Sersan Rasioen. Kedua jenazah pahlawan bangsa yang gugur dalam usia yang masih muda belia tersebut dimakamkan di Blok Bubulak Malem, tempat mereka gugur. Dengan rasa

54


(56)

duka yang amat mendalam, upaya pemakaman sederhana tetapi penuh khikmat tanpa dihadiri oleh anggota keluarganya.55

Pasukan Belanda menyerbu dengan peralatan yang lebih modern. Setelah pesawat tempur menghujani kubu-kubu pasukan-pasukan RI dengan tembakan-tembakan, Batalyon pelopor lalu menyerbu ke depan. Seluruh gerakan tersebut dilindungi oleh pesawat-pesawat udara. Penerobosan Brigade V pimpinan Kolonel Meijer di Bandung Timur diawali dengan tembakan yang gencar terhadap garis pertahanan Divisi II Gunungjati. Tanpa banyak korban mereka mencapai Tanjungsari pada hari itu juga, dan hari berikutnya Sumedang jatuh ke tangan mereka.56

Tentara Indonesia yang telah terusir dari kota-kota, menyusun tenaga dan kekuatan kembali kepedalaman desa-desa, kampung-kampung, dibukit-bukit, dan di pegunungan. Kesatuan tentara dibawah para opsir dapat diatur kembali, lengkap dengan persenjataannya, kelompok-kelompok tentara yang sudah tersusun kembali itu dengan dibantu oleh rakyat mengedakan serangan secara terus menerus terhadap kedudukan Belanda di kota-kota. pembakaran tempat-tempat kediaman tentara Belanda berjalan secara teratur. Pada malam hari tentara dan rakyat melakukan penyerangan dan pembakaran, dan pagi harinya mereka kembali ke induk pasukannya . 57

55 Ike Pustakaningrat,Cirebon di Masa Revolusi: Dari Linggarjati Hingga Masa Pengakuan Kedaulatan, Skripsi, (Fakultas Sastra, Jakarta: UI, 1987), hlm. 68.

56

Nugroho Notosusanto,op.cit., hlm. 124.

57


(57)

Strategi lainnya yang digunakan pemerintahan Belanda adalah dengan jalan kekerasan yaitu agresi militer. Dengan dalih menjaga keamanan dari kaum pengacau atau adanya tuduhan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama, pasukan Belanda melakukan serangan terhadap wilayah yang masih di kuasai oleh pemerintah RI. Akan tetapi, berbagai upaya dan taktik Belanda tersebut mengalami kegagalan, karena rakyat RI tetap bersatu padu mempertahankan keutuhan negara kesatuan RI.

Brigade V Belanda yang bergerak dari Bandung dalam dua hari telah mencapai Sumedang, kemudian pada hari ketiga telah sampai Cirebon. Perlawanan kesatuan-kesatuan RI, ranjau-ranjau darat, rintangan jalan, dan taktik bumi hangus tidak banyak menghambat gerak maju pasukan Belanda. Setiap jembatan yang hancur dengan segera dapat mereka ganti dengan jembatan darurat. Ada juga jembatan-jembatan penting yang tidak sempat dibumihanguskan karena kedatangan pasukan Belanda secara mendadak.58

Masyarakat di daerah pendudukan baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan khususnya laki-laki yang sudah cukup dewasa setiap saat merasa gelisah karena sering melihat orang yang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh oleh tentara Belanda. Situasi mencekam ini biasanya terjadi setelah Belanda merasa terganggu oleh adanya gerilya dari para pejuang.

Dalam operasi penggeledahan ke daerah-daerah perdesaan, setiap laki-laki yang dijumpai pasti ditangkap untuk dikumpulkan di suatu tempat guna pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat telapak tangan dan

58


(58)

kaki. Jika tangan dan kakinya halus, tidak kasar ataupun pecah-pecah maka diidentifikasi sebagai TNI atau pejuang. Tetapi jika tangan dan kakinya kasar maka diidentifikasi sebagai petani. Orang-orang yang teridentifikasi sebagai pejuang biasanya ditangkap, bahkan banyak diantaranya yang dibunuh. Akan tetapi orang yang teridentifikasi sebagai petani akan dilepaskan kembali.

Akibat dari peristiwa tersebut, maka setiap kali ada operasi tentara Belanda para laki-laki berusaha lari untuk menyelamatkan diri. Mereka tidak berani untuk tidur di rumah karena tentara Belanda sering mengadakan operasi pada malam hari. Para pemuda lebih merasa aman jika tidur di kebun karena apabila sewaktu-waktu Belanda melakukan operasi, mereka dapat langsung melarikan diri.

Keadaan yang semakin sulit menumbuhkan persatuan di masyarakat Cirebon semakin erat. Status sosial tidak menjadi jurang pemisah di antara mereka. Kepedulian dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin begitu besar. Sebagai contoh mereka sering memberikan makanan dan pakaian kepada orang yang tidak mampu, apalagi terhadap pengungsi mereka tidak segan-segan menjamu dengan makanan yang cukup enak.59

59


(59)

BAB III

TERBENTUKNYA PASUKAN KANCIL MERAH DI CIREBON

A. Awal Tentara Belanda di Cirebon

Persetujuan Renville yang di tandatangani pada 17 Januari 1948 dalam pelaksaannya menimbulkan permasalahan, yang pada pokoknya bersumber pada:

a. Mengenai pemerintahan federal sementara, Belanda berpendapat bahwa pemerintah itu harus dipimpin oleh wakil tinggi mahkota Belanda, sedangkan pihak RI berpendirian pemerintahan federal sementara harus bersifat nasional, jadi seluruhnya harus terdiri dari rakyat Indonesia.

b. Mengenai hubungan luar negeri dengan negara-negara lain, pihak Belanda menuntut agar pihak RI tidak melakukan hubungan langsung, dengan kata lain pihak RI harus menghapuskan hubungan dengan luar negeri .

c. Mengenai TNI, pemerintah RI tetap berpegang teguh pada pernyataan dari anggota-anggota komisi jasa-jasa baik diantaranya Graham, bahwa RI selama RIS belum dibentuk tetap berhak atas ketentraman, terkenallah kata-kata Graham kepada Delegasi RI “YOU ARE WHAT YOU ARE”, sedangkan pihak Belanda berpendirian bahwa TNI harus dibubarkan.60

60

Dinas Sejarah TNI-AD, Sejarah TNI-AD 1948-1973, (Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat,1978), hlm. 1.


(60)

Dengan demikian terjadilah ketegangan-ketegangan antara pihak RI dan pihak Belanda, kian hari ketegangan tersebut semakin memuncak menjelang Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke II, Belanda telah melakukan tindakan-tindakan biadab diantaranya: menangkap pejabat-pejabat yang pro terhadap Pemerintah RI, memberi ultimatum bahwa TNI harus segera dibubarkan, dengan jangka waktu 24 jam harus mendapatkan jawaban dari pihak RI.61

Kesepakatan Renville yang ditandatangani oleh pihak RI dengan pihak Belanda pada 17 Januari 1948 gagal menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi antara kedua bangsa tersebut. Perundingan lanjutan setelah Renville selalu menemui jalan buntu terutama dalam penetapan batas wilayah atau garis demarkasi dan rencana pembentukan Negara Federal. Sebagai batas demarkasi Belanda tetap berpegang teguh pada garis Van Mook.62

Adanya persetujuan Renville menyebabkan sebagian besar wilayah Jawa Barat diduduki oleh tentara Belanda, Oleh karena itu, pada 1 Februari 1948, di Cirebon, ribuan tentara dari Jawa Barat mulai bergerak meninggalkan daerah Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kepindahan besar-besaran ini disebut sebagai Hijrah Divisi Siliwangi. Selain Divisi Siliwangi, tentara Indonesia di daerah lain yang masuk garis van Mook juga harus pindah. Di Jawa Timur,

61

Ibid., hlm. 2.

62

Garis Van Mook adalah garis khayal yang ditarik dari batas terakhir pasukan berhenti. Penguasaan daerah-daerah itu bertujuan untuk memperluas posisi Belanda dalam perundingan selanjutnya. Jadi garis kedudukan yang dicapai oleh pasukan Belanda pada tanggal 28 Agustus 1947, merupakan garis batas wilayah kekuasaan RI yang baru, dan itu berarti dua pertiga dari wilayah Jawa harus diserahkan kepada Belanda. Lihat Tanu Suherly, Sejarah Perang

Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Departeman Pertahanan Keamanan Pusat


(61)

sekira 6000 tentara harus hijrah ke daerah Indonesia. Sementara di Sumatera tidak banyak yang harus dihijrahkan karena pasukan Indonesia yang berada di daerah van Mook tidaklah banyak.63

Pasukan Siliwangi menjadi pasukan hijrah terbanyak. Sebagian anggota

Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah melalui laut. Mereka diangkut dari pelabuhan Cirebon menuju pelabuhan Rembang. Sebagian lagi diangkut lewat kereta api. Anggota Siliwangi yang dikirim lewat kereta berkumpul lebih dulu di stasiun Parujakan (1 km sebelah selatan dari stasiun Cirebon sekarang) untuk diangkut ke Yogya. Pasukan Siliwangi yang diangkut dengan kereta api dan

kapal laut melalui embarkasi Cirebon. Menyedihkan, karena sebagai tentara mereka diangkut tanpa membawa senjata. Persenjataan dikirimkan terpisah untuk menghindarkan bentrokan dengan pihak Belanda. Serdadu yang naik kereta api berakhir di Gombong sedangkan yang menggunakan kapal laut, berakhir di Rembang.

Setelah mereka disebar ke daerah Solo, Yogyakarta dan Magelang dan ditetapkan sebagai pasukan cadangan. Namun semuanya bisa terangkut kereta api dan kapal laut, sebagian ada yang pergi berjalan kaki menuju daerah-daerah Jawa Tengah. “Itulah hijrah Siliwangi, mengalah untuk menang,” kata Presiden Soekarno tentang peristiwa pada Februari 1948 tersebut. Tentara Siliwangi tidak

63

Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 49.


(62)

disediakan asrama selayaknya anggota militer, tetapi ditempatkan di bekas pabrik-pabrik gula yang banyak terdapat di sana. 64

Keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya mempengaruhi sikap sehari-hari mereka. Namun, hal itu tidak dijadikan sebuah penghalang karena kedatangan mereka untuk mematuhi perintah para pemimpinnya, yang terpenting untuk menegakkan proklamasi Kemerdekaan yang sedang diusik kembali oleh Belanda. Demi kepentingan bersama maka, dipindahkan sementara pusat Pemerintahan kota Cirebon di daerah sekitar wilayah Sunyaragi yang pada waktu itu juga menjadi tempat kedudukan markas Divisi Siliwangi.65

Pada 25 April 1948 pemerintah RI menetapkan Undang-undang No.22 tahun 1948 yang berisikan tentang peraturan desentralisasi territorial pemerintahan kabupaten dan kota dengan memberi otonomi yang lebih luas pada zaman penjajahan dan seterusnya hendak membentuk provinsi otonom.66 Dalam undang-undang tersebut dinyatakan Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkat, yaitu:

1. Provinsi

2. Kabupaten/Kota Besar

3. Desa/Kota Besar. Negeri, Marga

Dengan demikian pada saat itu Kota Cirebon dinyatakan sebagai Kota Besar.

64

Ant. P. de Graaff, Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm. 56.

65

Nurdin M. Noer, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon, 1906-2008, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon), hlm. 30.

66


(63)

Tentara Nasional Indonesia yang berada diwilayah Cirebon adalah Brigade V Sunan Gunung Jati dari jajaran Divisi Siliwangi dengan Komandannya Letnan Kolonel Abimanjoe dan stafnya Mayor Koesna Oetomo. Pada saat kota Cirebon diserbu Brigade ini masih dalam rangka reorganisasi untuk masuk Divisi Siliwangi. Sebelumnya brigade ini merupakan pasukan Divisi Gatot Subroto di Porwokerto. Brigade V Sunan Gunung Jati terdiri dari lima Batalyon yang masing-masing dipimpin oleh Mayor Soerjana, Mayor Soewardi, Mayor Sangoen, Mayor Riboet, dan Mayor Roekman, sedangkan Mayor Riboet tetap di Divisi Gatot Subroto dan di gantikan oleh Mayor Pitajo.67

Menjelang Perang Kemerdekaan II Batalion Sujana sedang barada di front Bandung Timur, Batalion Soewardi membantu Batalion Brigade III di Purwakarta, Batalion Sangoen berada di Kabupaten Indramayu, dan Batalion Roekman berada di Kabupaten Kuningan. Komandan Brigade Letnan Kolonel Abimanjoe dan kepala stafnya Mayor Koesno Oetomo belum begitu memahami daerah Cirebon ketika perwira yang lain sedang latihan di Ngamplang, Garut. Pada saat yang bersamaan Belanda dengan kekuatan dua Brigade dan peralatannya yang lengkap mampu memasuki wilayah Cirebon yang pada saat itu hanya dipertahankan oleh beberapa orang pasukan Batalyon Soewardi dibawah pimpinan Letnan Moechajar Abidin dan Pasukan pengawal Brigade V Lettu

67

Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah Heroik Pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala, (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), hlm. 10.


(1)

Monumen Perjuangan Pasukan Kancil Merah di Cirebon.


(2)

Kantor Polisi Kesambi Cirebon di masa kedudukan tentara Belanda


(3)

Pertemuan Resmi yang diselenggarakan 10 September 1949 antara TNI yang diwakili oleh Pimpinan Pasukan Kancil Merah Abdoel Kadir dengan wakil tentara Belanda Kapten De Boor dan Kapten Vermeulendi Sunyaragi no.47

Sumber: Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon. (1976). “

Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kotamadya Cirebon”. Cirebon: Panitia


(4)

Pasukan Kancil Merah saat dihubungi Komandan I.D Pasman di Sunyaragi pada Awal September 1949

Sumber: Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon. (1976). “ Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kotamadya Cirebon”. Cirebon: Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon.


(5)

Jalan Samadikun. Cirebon


(6)

pada 28 Juli 1949 Sebagian Pasukan Kancil merah yang sedang bersantai di Kampung Majasem

Sumber: Panitia Penelitian Monumen Perjuangan Kotamadya Cirebon. (1976). “

Sekelumit Kisah Perjuangan Masyarakat Kotamadya Cirebon”. Cirebon: Panitia