Pandangan Kebangsaan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ

akan ajaran Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menajadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” 14 . Semangat nasionalisme yang dimiliki Soegija dapat diketahui dari motivasi ketika Soegija memutuskan untuk menjadi seorang imam. Sebelum kepindahannya ke Semarang tahun 1947 sebagai uskup, Soegija menungkapkan motivasinya untuk menjadi imam. “Keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa.Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus mengabdi bangsa selain menjadi imam” 15 . Sikap patriotisme dalam membela bangsa dan negara, rasa kemanusiaan yang besar dan berani membela kaum yang tertindas, yang ada dalam diri Soegija tidak muncul begitu saja. Semua itu tumbuh akibat dari perjalanan hidup yang dialami Soegija sewaktu masih kanak-kanak hingga ketika Soegija menjadi seorang calon imam. Dalam kehidupannya Soegija menyaksikan langsung bagaimana bangsanya berada di bawah kekuasaan asing yang merendahkan harkat dan martabat bangsanya, Soegija juga melihat langsung bagaimana peperangan menghancurkan masa depan orang banyak dan menimbulkan kerugian yang besar. Pengalaman tersebut yang 14 Budi Subanar, G, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta : Sanata Dharma, 2012. Hlm 21 15 Ibid , Hlm 15 kemudian membangun karakter Soegija sebagai pembela kemanusiaan dan ikut berjuang demi mewujudkan kemerdekaan bangsanya. Pada saat masih duduk di HIS Soegija dan kawan-kawannya yang merupakan kaum pribumi pernah berkelahi dengan anak-anak Belanda atau anak-anak Indo yang sering mengejek dan menganggap remeh anal-anak pribumi. Bukan hanya berkelahi secara fisik ataupun berdebat, tak jarang Soegija dan kawan-kawannya menantang anak-anak Belanda dan anak-anak Indo untuk bertanding sepak bola, guna menunjukkan siapa yang lebih hebat diantara mereka. Hal-hal tersebut merupakan cara Soegija dan anak-anak pribumi pada umumnya untuk membela diri mereka. Karena pada masa itu bila terjadi perkelahian antara anak-anak pribumi dengan anak- anak Belanda ataupun Indo, pihak anak-anak pribumilah yang akan dipersalahkan. Tidak ada yang memihak anak-anak pribumi walaupun mereka benar sekalipun. Dari pengalaman itulah Soegija belajar untuk terus membela harkat dan martabat kaum pribumi hingga dirinya menjadi seorang imam. Seperti yang dikemukakan di atas bahwa sejak kecil Soegija sudah melihat penderitaan bangsanya yang dijajah dan menerima perlakuan diskriminatif dari kalangan orang-orang non pribumi. Dalam hidupnya Soegija tidak hanya melihat langsung penderitaan yang dialami bangsanya, namun Soegija juga melihat langsung penderitaan masyarakat dunia terutama Eropa yang diakibatkan oleh Perang Dunia I yang berakhir pada tahun 1919. Bertepatan saat Soegija harus pergi ke Belanda untuk menyelesaikan studi filsafatnya. Di sepanjang perjalanan hingga sampai ke negeri Belanda, Soegija melihat dampak buruk yang ditimbulkan karena adanya peperangan di Eropa. Di mana banyak bangunan-bangunan yang hancur, perekonomian yang hancur dan bagaimana susahnya masyarakat Eropa berusaha bangkit dari keterpurukannya pasca Perang Dunia I. Tak hanya itu Soegija juga melihat orang- orang yang harus menderita secara fisik maupun mental, setelah mengalami langsung peperangan yang telah menelan banyak korban jiwa. Dari pengalaman tersebut pula batin Soegija semakin terusik, Soegija kembali memikirkan nasib bangsanya yang sudah dijajah terlalu lama. Dari sana Soegija mula berfikir mengenai kemerdekaan, bagaiman harusnya sebuah bangsa dan negara itu harus merdeka agar hidup dengan tenang dan sejahtera. Setelah menyelesaikan studi filsafatnya, Soegija semakin giat menyuarakan impiannya akan sebuah negara yang merdeka, yang diperintah sendiri oleh kaum pribumi. Secara khusus Soegija menginginkan kemerdekaan untuk bangsanya, yang merupakan negeri yang terdiri dari beragam suku. Soegija menginginkan orang dari bangsanya sendirilah yang akan memimpin Indonesia demi terwujudnya kesejahteraan yang merata. Semangat mengabdi untuk Gereja, negara dan bangsa ditunjukkan sepanjang hidup Soegija. Salah satu contohnya adalah saat Pemerintah Republik Indonesia mendapatkan ancaman dari Belanda yang kembali dengan mengatasnamakan NICA, yang kemudian membuat para pemimpin negeri ini memutuskan untuk memindah pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Mengetahui hal tersebut Soegija berniat memindahkan pusat pemerintahan keuskupannya dari Semarang ke Daerah Bintaran, Yogyakarta. Selain itu dalam kesehariannya, Soegija tidak hanya bergaul dengan orang-orang Katolik. Perhatian dan aktivitasnya tidak hanya bersinggungan dengan hal-hal liturgi dan rohani saja. Berbagai aktivitas sosial juga dilakukan oleh Seogija, misalkan seperti memberi perhatian dalam bidang pendidikan, perhatian pada mereka yang memikul tanggung jawab, atau mereka yang bermasalah, dan juga perhatian pada mereka yang menjadi pengungsi pada masa pemerintahan Jepang ataupun juga pada masa perang kemerdekaan. Di samping itu, Soegija juga sering mengadakan pertemuan dan pembicaraan berdiskusi dengan pihak-pihak non-Katolik. Bagi Soegija, Indonesia bukan hanya terdiri dari orang Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimanatan atau yang lainnya. Indonesia merupakan satu kesatuan ras, etnis, budaya dan bahasa, sehingga dalam kehidupannya Soegija juga menyetarakan kedudukan semua orang yang ia jumpai. Seperti gurunya Van Lith, Soegija juga memfokuskan dirinya untuk membela kaum tertindas, membela hak manusia yang dilanggar. Misalkan seperti yang dilakukan oleh Soegija saat membela Indonesia ketika menghadapi serangan militer Belanda I dan II pada tahun 1947 dan 1948. Pada masa perang pasca kemerdekaan RI Soegija tidak menggunakan senjata dalam menghadapi Belanda, namun menggunakan kuasanya sebagai seorang uskup dengan cara berdiplomasi untuk meminta militer Belanda menghentikan penyerangan terhadap Indonesia. Mgr. Albertus Soegijapranata merupakan pahlawan tanpa senjata. Karena bagaimanapun juga Soegija memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama pada masa perang revolusi pasca proklamasi kemerdekaan. Namun bedanya perjuangan Soegija dengan tentara Indonesia masa itu adalah cara untuk berjuang. Perjuangan Soegija dilakukan dengan cara diplomasi non resmi. Dengan kekuatan pena dan tulisan-tulisan Soegija, serta kemampuan Soegija dalam menjalin relasi dengan banyak pihak. Tak heran oleh Presiden Soekarno, Soegija diangkat menjadi salah satu penasehat Presiden pada tahun 1949. Bahkan peranan Soegija cukup kuat ketika mempengaruhi dunia internasional, ketika Soegija mengatakan bahwa Indonesia sudah siap merdeka dan penjajahan itu tidak bisa diterima 16 . Dari paparan panjang di atas dapat diketahui bahwa alasan Soegija melakukan usaha diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dikarenakan bela rasa yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya, serta pengabdiannya sebagai imam kepada Tuhan karena salah satu tugas dari gereja adalah membela kaum yang tertindas. Tumbuhnya bela rasa dalam diri Soegija tidak luput dari pengaruh para pengajar Soegija di Kolose Xaverius, Muntilan dan kedua orangtuanya, serta pengalaman Soegija yang melihat langsung bagaimana kehancuran akibat dari sebuah penjajahandan peperangan pada saat dirinya remaja, bahkan ketika Soegija telah menjadi seorang imam. 16 http:www.dnaberita.comberita-68582-relevansi-visi-soegijapranata- dalam- pluralisme.html 50 BAB III Usaha-usaha Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ Dalam Melakukan Diplomasi 1946 -1949 - A. Keterlibatan dan Usaha-usaha Diplomasi Soegija Dalam Peristiwa- Peristiwa di Indonesia Pasca Proklamasi Kemerdekaan Tahun 1946-1947 Belanda kembali ke Indonesia bersama dengan NICA pada 16 September 1945, kurang dari satu bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. NICA yang diketuai oleh Jenderal van Mook, pada awalnya bertugas untuk menjaga kestabilitasan di Indonesia dan memastikan pemerintah dan pasukan Jepang benar-benar pergi dari Indonesia. Namun, rupanya van Mook memiliki niat lain yaitu ingin merebut Indonesia kembali untuk dijadikan salah satu wilayah pemerintah Belanda. Secara tegas van Mook menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia tidak pernah ada. Van Mook menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara boneka bentukan Jepang. Demikian pula dengan pemimpin-pemimpin Negara Indonesia. Tak perlu waktu lama bagi Belanda dan NICA untuk kembali menyerang Indonesia. Dibantu oleh bekas pasukan KNIL yang pernah ditawan pada masa pemerintahan Jepang, Belanda melakukan aksi terornya diberbagai wilayah Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Ambarawa, Semarang dan Medan. Bahkan Jakarta yang merupakan ibukota Negara Indonesia tak luput dari aksi teror pasukan Belanda KNIL dan NICA. Karena situasi ibukota negara yang semakin tidak kondusif, serta mengancam keselamatan para pemimpin negara, maka diputuskan pada 4 Januari 1946 ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta secara diam-diam. Kepindahan tersebut juga ditujukan sebagai strategi untuk mempertahankan kemerdekaan dan melindungi pemerintahan Indonesia. Berkaitan dengan pemindahan pusat pemerintahan ke Yogyakarta, maka Soegija yang pada saat itu telah menjadi seorang uskup memiliki niatan untuk ikut memindahkan Kantor Pusat Vikariat Apostolik Semarang ke Yogyakarta. Pemindahan tersebut bukan tanpa alasan dilakukan oleh Soegija. Keputusan Soegija untuk pindah didasari agar Soegija bisa memantau secara langsung situasi dan kondisi pemerintah Indonesia, serta dapat secara langsung berkomunikasi dengan para pemimpin negara. Namun keinginan Soegija tersebut baru dapat direalisasikan pada 13 Februari 1947. Pemilihan tanggal tersebut bukan tanpa alasan, sehari sebelumnya atau 12 Februari 1947, Presiden Soekarno menyerukan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda. Sehingga ketika situasi aman tersebut, Soegija segera bergegas untuk berangkat ke Yogyakarta. Namun sebulan sebelum pindah ke Yogyakarta, atau tepatnya pada 18 Januari 1947 Soegija melakukan usaha diplomasinya dengan mengirimkan surat kepada Ketua Kongregasi Propaganda Fide yang berada di Vatikan. Dalam surat tersebut ada tiga pokok masalah yang dituliskan oleh Soegija, pertama adalah pengalaman sikap militer Jepang terhadap karya misi di Indonesia. Kedua, situasi aktual yang berkaitan dengan usaha diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi pemerintah Belanda. Dan yang ketiga berkaitan dengan rencana penunjukkan nuntius untuk Indonesia 1 . Berkaitan dengan poin yang ketiga, Soegija memberikan masukan kepada pihak Vatikan agar nuntius yang akan ditunjuk bukan merupakan kebangsaan Amerika atau Belanda. Mengingat nuntius adalah wakil Paus, sehingga diharapkan nuntius yang ditunjuk tidak terlibat dalam kancah politik. Seperti mempertimbangkan masukan dari Soegija, maka pada akhirnya pihak Vatikan menunjuk Mgr. George de Jonge d’ Ardoya asal Finlandia menjadi nuntius untuk Indonesia. Dari hal tersebut dapat terlihat bagaimana usaha Soegija meyakinkan pihak Vatikan atas penunjukkan nuntius untuk Indonesia. Usul Soegija agar Vatikan tidak memilih duta yang berkebangsaan Amerika dan Belanda, dimaksudkan Soegija agar kehadiran nuntius tersebut tidak menciptakan polemik baru dalam diri rakyat Indonesia, yang ditakutkan akan berujung pada penolakan dari rakyat apabila nuntius 1 G. Budi Subanar, SJ, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta : Penerbit USD, 2012, Hlm 42-43 yang ditunjuk adalah orang Belanda atau Amerika. Karena bagaimanapun juga pada saat itu masyarakat Indonesia sangat antipati terhadap orang Katolik terutama yang berkebangsaan Belanda. Ditahun yang sama, tepatnya pada bulan Juli 1947, Belanda melakukan serangan ke Yogyakarta atau lebih sering dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I. Serangan Belanda tersebut membuat situasi Yogyakarta yang semula kondusif menjadi mencekam, jam malampun diberlakukan. Tak hanya itu banyak orang yang pergi meinggalkan kota untuk mengungsi. Baku tembak antara pasukan Belanda yang berusaha menduduki kota, dengan pasukan Indonesia yang terus berusaha mempertahankan ibukota terus terjadi. Bahkan pada 30 Juli 1947 pasukan Belanda tidak segan-segan menembak jatuh Pesawat Dakota yang berisikan bantuan obat-obatan dari India. Akibat penembakan tersebut pilot Pesawat Dakota yaitu Adi Soetjipto pun tewas. Saat menerima kabar tewasnya Adi Soetjipto, Soegija sedang berada di Solo untuk menghadiri Misa peringatan hari Santo Ignatius. Dua hari setelah peristiwa tertembaknya Pesawat Dakota tersebut Soegija pada pukul 20.00 WIB berpidato di Studio Poerwosari 2 RRI Solo. Dalam pidato tersebut Soegija menghimbau agar baik pihak Belanda dan Indonesia mengupayakan adanya sebuah perundingan gencatan 2 G. Budi Subanar, SJ., Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup Di Masa Perang, Catatan Harian Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, 13 Februari 1947-17 Agustus 1949 , Yogyakarta : Galang Press, 2003, Hlm 48 senjata. Menurut Soegija, gencatan senjata amatlah penting untuk menjaga kehormatan kedua negara tersebut di mata dunia. Baru pada tanggal 4 Agustus 1947, Belanda dan Indonesia mengadakan gencatan senjata. Walau demikian pihak Belanda tetap terus melakukan penyerangan dan berusaha memperluas wilayah kekuasaannya di Indonesia. Menanggapi hal tersebut maka PBB segera bertindak dengan membentuk sebuah komisi jasa baik yang disebut dengan KTN Komisi Tiga Negara. KTN bertugas untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai dalam sebuah perundingan. Baru pada 8 Desember 1947, kedua belah pihak menyetujui adanya penghentian tembak menembak. Di mana persetujuan tersebut merupakan salah satu hasil dari perundingan Renville. Hasil dari perundingan tersebut baru resmi ditandatangani pada 17 Januari 1948.

A. Keterlibatan dan Usaha-usaha Diplomasi Soegija Dalam Peristiwa-

Peristiwa di Indonesia Pasca Proklamasi Kemerdekaan Tahun 1948-1949 Perundingan Renville yang digagas oleh KTN bentukan PBB, ternyata tidak memiliki kekuatan besar untuk mengurungkan niat Belanda untuk tidak kembali menyerang Indonesia. Terbukti pada Desember 1948, pihak Belanda secara sepihak mengingkari isi Perundingan Renville. Belanda kembali berusaha menyerang dan menduduki Yogyakarta yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Indonesia. Pada 19 Desember 1948, sebelum pasukan Belanda kembali menyerang, para pasukan Indonesia dan laskar-laskar yang terdiri dari rakyat Indonesia mengadakan latihan rutin. Latihan tersebut diadakan dengan tujuan mengasah kemampuan bertempur para pasukan tersebut. Bahkan orang-orang yang merupakan bagian dapur umum dan PMI Palang Merah Indonesia ikut berpartisipasi dalam laitihan tersebut. Sejak pagi hari semua orang yang terlibat dalam latihan tersebut berkumpul di Lapangan Maguwo Sekarang Bandara Adi Soetjipto. Lapangan Udara Maguwo, pada saat itu merupakan pusat militer Indonesia. Namun diluar dugaan banyak pihak, pada hari itu pula Pasukan Belanda kembali melakukan serangan di Lapangan Udara Maguwo. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Serangan tersebut dipimpin oleh Jenderal Spoor. Lapangan Udara Maguwo dipilih menjadi sasaran utama penyerangan Belanda, selain karena merupakan pusat militer Indonesia, Lapangan Udara Maguwo juga sering digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menembus blokade Belanda dan juga mendatangkan bantuan obat-obatan dari luar negeri bagi pasukan dan rakyat Indonesia. Tak hanya itu, Lapangan Udara Maguwo juga digunakan sebagai lalu lintas masuknya para diplomat asing untuk bertemu dengan para pemimpin negara 3 . Sehingga tak heran Jenderal Spoor menjadikan Lapangan Udara Maguwo sebagai pijakan bagi pasukan Belanda untuk mendobrak pertahanan Indonesia saat itu. Tidak siap menghadapi serangan asli dari Belanda dan kekuatan persenjataan yang tidak seimbang, maka dengan mudah pasukan Belanda untuk menguasai Lapangan Udara Maguwo. Setelah berhasil menguasai Lapangan Udara Maguwo, pasukan Belanda merangsek masuk ke arah pusat kota dan mengepung hampir seluruh wilayah Yogyakarta. Tentara Indonesia yang kalah jumlah, tidak dapat berbuat banyak selain menghambat pasukan Belanda agar tidak sampai ke pusat pemerintahan 4 . Situasi Yogyakarta kembali mencekam, pemerintah langsung mengadakan rapat untuk membahas langkah apa yang akan diambil untuk mengatasi situasi tersebut di Istana Negara Sekarang Gedung Agung yang berhadapan dengan Benteng Vredesburg. 3 Julius Pour, Doorstoor Naar Djokdja, Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer, Jakarta : Kompas, 2009, Hlm. 1-2 4 Atmakusumah, Takhta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwana IX , Jakarta : Gramedia, 1982, Hlm 69 Pada saat rapat sedang berlangsung terdengar bunyi ledakan dari luar, ternyata pasukan Belanda menjatuhkan bom di sekitar tempar tersebut. Pada Agresi Militer Belanda II ini pula, pihak Belanda berhasil menangkap beberapa pemimpin negara diantaranya Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Mereka bertiga ditangkap dan kemudian diasingkan ke Brastagi. Sementara Moh. Hatta, Moh. Roem dan Mr Ali Sastroamidjojo ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Sementara para pemimpin negara yang tidak tertangkap melarikan diri ke luar kota, dan sebagian bersembunyi di kota dan menjadi “manusia siluman” yang aktif pada gerakan bawah tanah. Sedangkan beberapa ikut dalam serangan gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman. Dalam peristiwa sekitar Agresi Militer Belanda II, Soegija juga menuliskan peristiwa tersebut dalam catatah hariannya. Pada catatan Soegija yang bertanggal 19 Desember 1948 tertulis : “R.K menerimakan sakramen tobat, menerimakan komuni dan Misa biasa jam 8. Jam 6 mulai gemuruh suara kapal terbang. Koster menghadap R.K. di tempat menerimakan sakramaen tobat, bertanya Misa meriah atau Misa biasa. R. K. memerintahkan Misa meriah seperti biasa, karena hanya mengira latihan biasa. Sesudah jam 9 mendengar bahwa Belanda mulai mendatangkan : Pesawat pemburu, pesawat pembom. Jam 10 pesawat pergi, tapi tidak lama datang 3 pesawat pembom. Sesudah berputar-putar jam 11 mulai mengebom kota bagian tengah. Bom-boman terus tidak ada redanya. Di mana- mana sudah terdengar suara pesawat, senapan, senapan mesin dan meriam. Sejumlah pengungsi minta tempat di pasturan Bintaran. Upacara gereja dibatalkan. Pastor v. Thiel dan Kunkels pergi ke Bintaran karena terjadi bom-boman di Beteng. Sesudah makan R.P. v. Thiel disarankan untuk terus tinggal di Bintaran, R. D . Kunkels