Teori – Teori Kekerasan Kekerasan 1. Definisi Kekerasan

Sitohang 2004 melihat ketiga hal tersebut adalah situasi awal atau kondisi pencetus munculnya kekerasan pada anak. Pada gilirannya kondisi tersebut berlanjut pada perilaku yang salah orang tua terhadap anaknya. Contohnya, penganiayaan dan teror mental. Unicef 1986 mengemukakan ada 2 faktor yang melatar belakangi munculnya kekerasan anak oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak sendiri. 2 faktor tersebut antara lain; a Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian. b Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

2.1.2.4. Teori – Teori Kekerasan

1. Teori Katharsis Katharsis dalam bahasa Yunani berarti “pencucian” atau “pembersihan”. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan meskipun hanya tipuan kamerafiksi atau tindakan brutal dalam acara TV atau film memberikan efek positif bagi penonton. Ketika penonton melihat tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam TVfilm, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan “happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada di bawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam TVfilm memberikan efek positif pada tingkah laku real penonton. Jadi, menurut teori ini, kekerasan dalam TVfim tidak membawa efek negative merusak , sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton. 2. Teori Imitasi Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TVfilm mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniruSebagai contoh, apabila para aktor Smack Down menjadi idola anakremaja, ada kecenderungan anakremaja terdorong untuk mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermainan Smack Down Happy endingnya adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah ia berjuang sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah dengan kekerasan ala para tokoh idola itu menjadi model bagi anak remaja tidak jarang juga bagi orang tua dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar pelajar bukan tidak mungkin dipicu , meniru gerakan para aktor tsb. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu. Dan permainan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut teori imitasi adalah, bahwa seringkali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. oleh keinginan tampil sebagai hero membela almamater atau teman, seperti tindakan heroik para tokoh film yang dijadikan idola bagi anakremaja. 3. Teori Kekerasan Struktural Dari semua teori kekerasan, teori kekerasan struktural dari Johann Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut, saya sampai pada kesimpulan bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan sobural. Dengan sobural saya maksudkan suatu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat. Dengan kekerasan struktural dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas. Teori kekerasan struktural jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto Orde Baru melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi bersenjata yang berbeda. Baca buku Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002. Pada dasarnya hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki dan mempraktekkan kekerasan struktural melalui subkultur kekerasan masing- masing. Jadi manusia dengan pemilikan kekuasaan tak terbatas dan tak seimbang akan selalu cenderung melakukan kekerasan struktural. Dalam konteks yang demikian, melihat nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat tertentu, teori kekerasan struktural adalah setali tiga uang dengan teori kekerasan sobural. J.E. Sahetapy : 2006 . Dengan melakukan stigmatisasi dan kekuasaan yang tanpa check and balances, maka kekerasan struktural akan berkembang tanpa hambatan melanggar HAM, kecuali bila dihambat oleh rule of law, demokratisasi dalam suatu civil society.Kekerasan struktural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan perbuatan fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu dengan menggunakan secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang non-fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib berkuasa secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi. Turpin dan Kurtz, 1997 : 91. Secara logika mungkin sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya adalah kekerasan. Atau dari optik viktimologi, implikasi atau konsekuensi akhir adalah dapat berwujud pada kristalisasi penggunaan kekerasan yang dibanding dengan di zaman Hindia Belanda, kekerasan struktural selama merdeka jauh lebih besar. Herman Bianchi : 2002 . Kekerasan struktural sudah dikenal sejak permulaan peradaban atau sejak permulaan penciptaan. Dan sebelum agama-agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan bersumber pada agama dengan berdalih secara falasi, demi dan melalui serta oleh agama-agama itu sendiri, kekerasan struktural sudah dikenal dan menggunakan kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal Tuhan Allah yang memiliki sifat dan hakekat serta berwujud segala maha serta rahmani dan rahimi, belum tentu mengizinkan atau membenarkan kekerasan untuk sang chalik serta untuk dan atas nama agama. Kini dengan berdalih kerusakan moral, orang ingin memperbaiki moral melalui berdandan dengan mewajibkan anak-anak sekolah berbusana tertentu. Suatu kekerasan struktural yang sangat naif dan terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis. Menurut Turpin dan Kurtz 1997 : 2 : Understanding human violence is one of the central tasks of our time, yet we still know very little about it oleh karena ... we have neglected the search for fundamental causes...” Tetapi sesungguhnya, dengan mengingat apa yang telah disinggung di atas, kalau anatomi kekerasan boleh dibelah dan dianalisis, tidak selamanya bentuk atau wujud kekerasan selalu harus selalu secara fisik. Secara teoritik akademik dikenal berbagai bentuk kekerasan, antara lain : symbolic violence Elias, 1993, workplace violence Solomon and King, 1993, structural violence, bureaucratised violence Turpin dan Kurtz, 1997, anarchic violence Hobbes, 1928, juvenile violence, religious violence, cultural violence. James Gilligan dengan mengutip dari James Q. Wilson menulis bahwa ... there is no such thing as `underlying causes of crime; that we should abandon the attempt to discover and ameliorate or eradicate those so called causes, and simply continue with our customary approach to crime, namely imprisonment and punishment. Jhering pernah menulis bahwa law without force is an empty name. Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan. Herman Bianchi 1980 menulis Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol. Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan. Robert Elias memang benar. Setelah membahas panjang lebar tentang A culture of Violent Solutions yang menyangkut berbagai perspektif dan membuat masyarakat pada akhirnya menggunakan violence is the solution of choice mengakhiri tulisannya dengan menulis : We are a culture of violent solutions, but violence will not solve our problems and is itself a problem and the root of most of our other social ills Robert Elias, 1997 : 143. Jhering pernah menulis bahwa law without force is an empty name. Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan. Tetapi kekerasan yang bagaimana? Orang lalu sampai pada suatu kesimpulan : apakah mungkin penanggulangan kekerasan -- yang lazimnya dikualifikasi sebagai kejahatan, apakah mungkin dilakukan tanpa kekerasan. Herman Bianchi 1980 menulis Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol. Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan. JE Sahetapy ketua Komisi Hukum Nasional : 2006 . Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka overt atau tertutup covert, menyerang offensive atau bertahan defensive , yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi : 1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang bisa dilihat, seperti perkelahian. 2. Kekerasan tertutup, kekrasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam. 3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan. 4. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka maupun tertutup. Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, 2002 Galtung mencoba menggabungkan analisis yang berorientasi aktor dengan analisis yang berorientasi struktur Windhu, 1992:xxii-xxiii . Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya Windhu, 1992:64 Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membedakan acts of violence tindakan – tindakan kekerasan Windhu, 1992:65 . Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu sebagai berikut : 1. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adlah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak. 2. Pengaruh positif dan negative. Sistem orientasi imbalan reward oriented yang sebenarnya terdapat “pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulative, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria. 3. Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia. 4. Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu strukturnya jelek dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. 5. Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan. 6. Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata manifest , baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan latent , tetapi bisa dengan mudah meledak. Windhu, 1992:72. Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, 2002:169 . Akiko menggunakan berbegai pendekatan, yaitu : Pertama, psychological theory of vioelence teori psikologi tentang kekerasan yang mendiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social identity theory. Sebagian peneliti menganggap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan rasa kecewa atau deprivasi , baik absolute alasan material maupun relative alasan psikologis . Karena itu, beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas diriinya dan identitas kelompok. Kedua, human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau komunitas dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal civic engagement , danhubungan antar kelompok masyarakat sipil. Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behavior dari Durkheim, grievance and frustration model yang dikembangkan dari teori deprivasinya Ted Gurr, rational choice dari Olson, dan resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori – teori tersebut digunakan untuk melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi. Thomas Santoso, Teori – Teori Kekerasan, 2002 : 62 – 66

2.1.2.5. Kategori Kekerasan

Dokumen yang terkait

Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Dialog Film ―Alangkah Lucunya Negeri Ini‖ Karya Deddy Mizwar

4 76 12

PESAN KRITIK SOSIAL DALAM FILM( Analisis Isi Dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” Karya Deddy Mizwar)

0 10 2

WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 14

PENDAHULUAN WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 9

KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DIALOG FILM ”ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI” KARYA MUSFAR YASIN KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DIALOG FILM ”ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI” KARYA MUSFAR YASIN (Sebuah Tinjauan Pragmatik).

0 0 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF DALAM DIALOG FILM ―ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI‖ KARYA DEDDY MIZWAR Dina Mariana br Tarigan dinamarianabrtariganyahoo.com Abstract - Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Dialog Film ―Alangkah Lucunya Negeri Ini‖ Kar

0 0 12

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI KARYA DEDDY MIZWAR

0 1 17

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI KARYA DEDDY MIZWAR SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 191

REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM FILM ” ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI ” ( Studi Semiotik Mengenai Represe ntasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film ” Alangkah Lucunya Negeri Ini ” karya Deddy Mizwar )

0 1 18

Tindak tutur dalam film Alangkah Lucunya (Negeri ini) karya Deddy Mizwar - USD Repository

0 0 144