menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika Budiman, 2005 : 33.
Logika, secara umum, adalah … sekedar nama lain dari semiotika …, suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda.
Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-
karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi … kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan
yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34.
Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure 1857-1913, sebagai
seorang sarjana linguistik di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam
masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya
beri nama semiologi dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’. Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-
kaidah apa yang mengendalikannya Saussure, 1996 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35
2.1.5. Pendekatan Semiotik Dalam Film Menurut Jhon Fiske
Jhon Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural and Communication Studies. Menurut John Fiske, dalam
bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama
melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua
melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.
Metode studinya yang utama adalah semiotika ilmu tentang tanda dan makna Fiske, 2006 : 9.
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali
menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin
dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya
ini dinamakan pendekatan semiotik. Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda
Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk
studi ini tidak hanya mengarah pada ‘tanda’ dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda
tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.
Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut
sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye,
konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda
dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode Chandler, 2002 :
www.aber.ac.uk .
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan Van Zoest, 1993 : 109,
dalam Sobur, 2004 : 128, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda- tanda itu termasuk berbagi sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk
mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film
menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128. Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang
ditunjuknya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya
mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan ditambah dengan suara-suara lain yang serentak
mengiringi gambar dan music film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu Sobur,2004 : 128. Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis
semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada
film ke dalam tiga kategori, yakni kode-kode sosial social codes, dan kode- kode teknis technical codes, dan kode-kode representasi representational
codes. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks Fiske, 1990 : 40, dalam Mawardhani, 2006 : 39. Analisis yang
dilakukan pada film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu :
1. Level Realitas reality
Pada level ini, realitas dapt berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan dialog , gesture, ekspresi,
suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis Fiske, 1990 : 40.
Kode – kode social yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :
a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh pemain utama dalam
film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Bang Jarot Tio Pakusadewo. Bagaimana
pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan
cultural. b.
Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisme.
c. Conflic adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau lebih dorongan
perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.
d. Expression atau ekspresi adalah merupakan pesan yang menggunakan air
muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh
kelompok makna. Yakni : Kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan , kesedihan, kekesalan, pengecaman, minat ketakjuban, dan tekat.
e. Gasture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang dilakukan oleh
seseorang dalam menyampaikan pesan yang mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gasture atau gerakan berhubungan dengan ekspresi
seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung
ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam
tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi.
Meski lebih cair dan kontinyu, gesture menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati Fiske, 1990 : 97 .
2. Level Representasi representation
Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi
meliputi :
a. Teknik Kamera
Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi : 1.
Long Shot LS, yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang
di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu Extreme Long Shot ELS, mulai dari sedikit ruang dibawah kaki
hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton mengenai penampilan tokoh termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak cara barjalan dan sebagainya dari
ujung rambut sampai kaki yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjdai pada adegan
tersebut.
2. Medium Shot MS, yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu
Wide Medium Shot WMS, gambar medium shot tetapi agak melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot
menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi
dibandingkan dengan long shot.
3. Close-Up CU, yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan
memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.
4. Eksterm Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi
pemain dari suatu peristiwa lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya.
b. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur
teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya.
Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyat fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi
waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan Biran,2006 : 43.
c. Penata Suara
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film
“Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Voice Over VO adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh
Effendy, 2002 : 155. Vioce Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.
d. Teknik Editing
e. Penataan Musik
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas labih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level
representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kekerasan terhadap anak – anak dalam
film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. 3.
Level Ideologi ideology Level ideologi diorganisasikan ke dalam kesatauan coherens dan
penerimaan sosial social acceptability seperti individualism, kelas patriarki, gender, ras, materialism, capitalism dan sebagainya. Kode
sosialnya antara lai, narrative narasi , conflict konflik , character karakter , action aksi , dialogue dialog , setting latar , casting
pemeran . Selain itu analisis semiotic yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar wide screen menurut Fiske disetarakan dengan analisis
film yang ditayangkan di televise. Sehingga analisis yang dilakukan, pada film.
Dialog atau ucapan adalah kata – kata atau kalimat yang menunjukkan percakapan antara individu dengan orang lain, maka dalam
penelitian ini meneliti dialog atau percakapan yang menunjukkan kekerasan terutama pada anak. Kekerasan dalam percakapan atau dialog
dalam film ini seperti penekanan suara atau disebut membentak untuk menimbulkan rasa ketakutan dan tertekan pada lawan bicara.
2.2 Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa untuk mengerti dan memahami beberapa bentuk visual yang
merepresentasikan kekerasan terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, peneliti menggunakan teori analisis semiotic film oleh John
Fiske, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise yang dikemukakan
oleh John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas dan level representasi Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan
analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukkan karakteristik kekerasan, Pertama Film akan di pilah penanda-penandanya ke
dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” scene – scene yang sudah dipilah tersebut akan
dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan kekerasan pada anak, menurut level realitas dan representasi menurut Jhon Fiske.
Fenomena tentang kekerasan terhadap anak – anak sangat menarik untuk divisualisasikan dalam bentuk karya seni berupa film, karena mengingat
banyaknya angka kekerasan pada anak – anak di Indonesia. Penelitian ini menggunakan studi semiotik Jhon Fiske, mengingat film ini terdiri dari yang
mendasari tanda-tanda yang perlu dimaknai. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan dalam film ini.