c. Latar
Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan 1988:44 berpendapat bahwa cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa
orang tokoh. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu
tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang
dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro 2012:216 latar
atau setting disebut juga sebagai landasan pada pengertian, tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Hudson dalam Sudjiman 1988:44 membedakan latar atas dua
macam yaitu latar sosial dan latar fisik material, sedangkan Nurgiyantoro membedakan latar dalam tiga unsur pokok yaitu tempat,
waktu, dan sosial.
1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Menurut Sudjiman, 1988:44 Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.
Dalam penggambaran
latar fisik,
tidak semata-mata
menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil,
misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati pembaca tentang suasananya, sifat tokoh-tokohnya dan sebagainya. Latar
fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi 2012:218-219, Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual.
Latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau
dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual
2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa
sejarah.
3 Latar Sosial
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara
hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu bangunan,
daerah, dan sebagainya. Dalam penggambaran latar fisik, tidak semata-mata menggambarkan fisik alam sekitar tanpa menyaran
sesuatu. Jika sebuah cerita dinyatakan berlangsung di sebuah kota kecil, misalnya, pasti timbul dugaan-dugaan tertentu dalam hati
pembaca tentang
suasananya, sifat
tokoh-tokohnya dan
sebagainya. Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual.
Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi 2012:218-219, Nurgiyantoro membahas latar fisik dan spiritual.
Latar tempat secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dapat disebut sebagai latar fisik. Nilai-nilai yang melingkupi atau
dimiliki oleh latar fisik disebut latar spiritual.
d. Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu. Adanya tema membuat karya sastra lebih
penting dari sekedar bacaan hiburan. Sudjiman, 1988:50. Menurut
Hartoko dan Rahmanto Nurgiyantoro, 2012: 68 tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di alam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. Tema disaring dari
motif-motif yng terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.
2. Ekokritik
Menurut Glotfelty 1996 Ecocriticism is the study of the relationship
between literatur
and the
physical environment:
Ekokritisisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Harsono 2008: 1 berpendapat bahwa istilah ekokritik
berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata criticism. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian
ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat
diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami
sebagai kritik sastra berwawasan lingkungan. Menurut Endraswara 2016, ekokritik adalah kajian yang
menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan
cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air dan tanah di muka bumi ini. Ekokritik memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik
antara karya sastra dengan lingkungan hidup termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik yang biasanya menjadi perhatian ekologi.
Ekokritik juga merupakan perspektif kajian yang berusaha menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya
mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan teknis, ilmiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait
dengan fenomena sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah merepresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan
dalam sastra. Dalam bukunya yang berjudul Ekokritik Sastra, 2016
Endraswara mengungkapkan bahwa ekokritisisme adalah kemampuan untuk mengkritik wacana yang ada, artefak budaya, bentuk dan genre, dan
mengeksplorasi alternatif lingkungan sastra. Lingkungan yang mengitari sastra menjadi fokus pengkajian ekokritisisme. Ada materi pokok kajian
ekokritisisme sastra, yaitu: 1 penelitian ekokritik dan pedagogi sastra dalam kaitannya dengan lingkungan, 2 bagaimana prinsip-prinsip utama
yang seharusnya diajarkan lewat sastra terhadap lingkungan untuk menyelamatkan bumi Endraswara 2016: 2.
Ekokritisisme muncul dari abad ke-20 dan di awal dekade pertama abad ke 21. Sejak saat itu di Indonesia mulai mencium aroma ekokritik
sastra. Ekokritisisme adalah salah satu dari beberapa perspektif baru teori pemahaman sastra untuk meneliti sebuah atau sepotong sastra dengan
kriteria eko-ilmiah memang sudah saaatnya. Perspektif ekokrtik sastra merupakan jalur alternatif studi analisis sastra dan lingkungan dari
perspektif interdisipliner. Dalam pandangan ini, semua disiplin datang bersama-sama untuk menganalisis lingkungan dan mencari tahu
kemungkinan solusi untuk masalah lingkungan saat ini terkait dengan sastra Endraswara 2016: 10.
Ekokritik menggunakan teori sastra dan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang multidisiplin begitu pula teori ekologi. Dalam sudut
pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki
keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi yang
kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori universe-nya Endraswara 2016: 12.
Paus Paulus VI dalam Ensiklik Laudato Si ’ yang diserukan Paus
Fransiskus 2016: 8 berbicara tentang masalah ekologi disebabkan akibat tragis dari aktivitas manusia yang tidak terkendali: “Karena eksploitasi
alam yang sembarangan, manusia mengambil resiko merusak alam dan pada giliranya menjadi korban degradasi ini
”. Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang setiap hari.
Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini.
Orang jatuh sakit, misalnya karena terus menghirup asap bahan bakar tingkat tinggi yang digunakan untuk memasak atau memanaskan rumah.
Adalagi polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh transportasi, asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada
pengasaman tanah dan air Fransiskus, 2015: 17. Perlu dipertimbangkan pencemaran yang disebabkan limbah,
termasuk limbah berbahaya yang ada di berbagai daerah. Setiap tahun dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak bisa diurai
oleh proses biologis: limbah domestik dan komersial, limbah pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah
yang sangat beracun dan bersifat radioaktif Fransiskus, 2016: 18. Sebuah masalah yang serius adalah kualitas air yang tersedia bagi
orang miskin, yang menyebabkan banyak kematian setiap hari. Penyakit yang berhubungan dengan air, banyak ditemukan di antara orang miskin,
termasuk yang disebabkan oleh mikro-organisme dan zat kimia. Disentri dan kolera yang terkait dengan layanan higienis dan persediaan air yang
tidak layak dikonsumsi, adalah penyebab signifikan penderitaan dan kematian bayi. Sumber air bawah tanah di banyak tempat terancam oleh
polusi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan, pertanian dan industri tertentu, terutama di negara-negara di mana tidak ada peraturan
atau pengawasan yang memadai. Hal ini tidak hanya disebabkan limbah industri. Banyak detergen dan produk kimia, yang masih lazim digunakan
oleh penduduk di banyak tempat di dunia terus mengalir ke sungai, danau dan laut Fransiskus, 2015: 22.
Menurunnya kualitas air juga menyebabkan kematian kegiatan ekonomi pedagang, nelayan dan petani. Sungai yang dialiri limbah
membunuh ikan-ikan dan makhluk air lainnya. Air yang tercemar tidak dapat membantu kelanjutan hidup tanaman, dan limbah industri
mengalirkan lumpur yang mendangkalkan sungai, menyebabkan ketidaklancaran lalulintas air yang banyak membantu kegiatan para
pedagang. Etika lingkungan hidup dipahami sebagai refleksi kritis tentang
apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan isu lingkungan. Termasuk, apa yang harus
diputuskan manusia dalam membuat pilihan moral dalam mememuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Juga, apa
yang harus diputuskan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan politiknya yang berdampak pada lingkungan hidup Keraf, 2010: 41.
Antroposentrisme adalah etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam,
baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap
alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada
diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi Keraf, 2010: 48. Biosentrisme menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup
mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua
makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara
moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak Keraf, 2010: 65.
Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan
benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu,
kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis Keraf, 2010:
92. Untuk melakukan analisis hubungan manusia dan lingkungannya
menggunakan pendekatan ekokritisisme, peneliti melakukan pemeriksaan bahasa yang digunakan untuk menggambarkan alam, khususnya kutipan-
kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya dengan alam, dan dengan melibatkan etika lingkungan yaitu biosentris, ekosentris dan
antroposentris, peneliti berharap dapat memaparkan hubungan antara manusia dan lingkungannya dalam novel Jamagilak Tak Pernah Menangis
karya Martin Aleida.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab 3 ini memuat jenis penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller Moleong 1989:3 penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
B. Sumber Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperi dokumen dan lain-lain.
Sumber data penelitian yang dipilih oleh penulis untuk meneliti adalah novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang diterbitkan pada
tahun 2004 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan ukuran buku
panjang 20,5cm dan lebar 13,5cm dan tebal 124 halaman. Data dari penelitian ini berupa kalimat dan paragraf yang diambil dari kutipan novel Jamangilak
Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida yang menggambarkan hubungan manusia dan lingkungannya.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan analisis deskriptif: penelitian ini berfokus pada sumber data berupa novel
yang berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, khususnya kutipan-kutipan tokoh Molek yang berkaitan dengan interaksinya
dengan alam. Studi pustaka pada novel ini dilakukan dengan membaca, mencatat, dan memberikan tanda pada kejadian atau tingkah laku Molek yang
berkaitan dengan interaksinya dengan alam menggunakan pedekatan ekokritik.
D. Instrumen Penelitian
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis,
penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Peneliti adalah instrumen penelitian ini sendiri. Penulis berhubungan langsung
dengan semua proses dalam melakukan penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data
Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis Ratna, 2013:53. Dalam penelitian ini, penulis menguraikan novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, dengan mengumpulkan data-data yang sudah diberi tanda, kemudian diuraikan
secara tepat melalui kajian struktural yaitu analisis tokoh, latar, alur, dan tema serta analisis ekokritik dalam novel, sehingga rumusan masalah
dapat terjawab dalam penelitian ini.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Dalam bab ini peneliti menganalisis empat unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema dalam novel Jamangilak Tak Pernah
Menangis karya Martin Aleida. Peneliti menganalisis tokoh dan penokohan untuk menemukan tokoh sebagai manusia yang memiliki hubungan dengan
lingkungan. Selanjutnya peneliti menganalisis latar yang membentuk hubungan antara manusia dan lingkungan. Latar yang dianalisis adalah latar
latar sosial dan fisik. Setelah itu peneliti menganalisis alur dan tema dari novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida.
Setelah menganalis unsur intrinsik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, peneliti mendeskripsikan hasil
analisis ekokritik dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida untuk memaparkan hubungan manusia dan lingkungan dalam
novel tersebut.
B. Kajian Unsur Intrinsik Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
Sebuah karya sastra merupakan suatu bentuk gambaran yang konkret dari pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan. Dalam
novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, terdapat empat unsur yang dapat
memberikan gambaran konkret. Keempat unsur tersebut adalah tokoh dan penokohan, alur, latar dan tema.
1. Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman 1988:16 yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Sedangkan menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 165, tokoh cerita character adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, dapatlah dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan dalam
Sudjiman, 1988:17-20. Menurut Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan
1988:23, tokoh-tokoh itu merupakan rekaan pengarang, maka hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh itu perlu
digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas
tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut
sebagai penokohan. Pengertian penokohan lebih luas dibanding pengertian