Tokoh Sentral Tokoh dan Penokohan

terhadap pemerintah untuk menutup pabrik Rayon i Toba yang menjadi akar permasalahan kerusakan sungai. 26 Rahma Boru Saragi alias Molek, duduk di kursi terdakwa. Pengunjung yang bersimpati memadati ruang sidang, sampai- sampai melimpah ke pekarangan. Molek dituduh menghasut penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun Aleida, 2004:234. 27 Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk Aleida, 2004:238. Pengarang menggambarkan watak Molek yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh lain menggunakan teknik dramatik. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Hurlang putranya. 28 Molek menuntun tangan anaknya itu. ketika mereka sama beranjak masuk, hatinya membusung berbunga-bunga. Karena pada langkah kaki anaknya itu tertumpang harapannya yang besar. Sangat besar. Dalam upaya menyelamatkan kota yang terancam karam. Hurlang tentulah akan bisa memberikan pandangan atau nasihat tentang apa yang harus dilakukan Aleida, 2004:40. 29 Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak- beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh, Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai, semisal Sabang Kiri, Si Jambi, Sungai Lendir, Sungai Lebah, Sarang Elang, dan bahkan Nantalu yang jauhnya hampir seratus kilometer … Aleida, 2004:85. 30 Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang mereka rencanakan berdua Aleida, 85. 31 Seorang terdakwa lagi duduk tak jauh dari sebelah Molek, adalah anaknya sendiri, Hurlang Jamangilak, yang dituduh berada di belakang kerusuhan, dijatuhi hukuman empat tahun. Aleida, 2004:234. 32 Sekali lagi perempuan kita itu merangkul terhukum yang bernama Hurlang. Ketika dekapan berurai, Molek sempat menunduk, dan ketika matanya kembali tertumbuk pada mata anaknya itu, terasa ada air yang agak hangat mendorong dari balik bola matanya dan tubuhnya sedikit bergetar dijalari darah yang mengalir lebih hangat, lebih kencang Aleida, 2004:236. 33 Hurlang memegang bahu ibunya dan katanya perlahan seakan berbisik: “Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka. Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka. Aleida, 2004:236. Jabosi adalah suami Molek, yang setiap hari menjadi saksi istrinya memunguti pasir dari tengah sungai dan melemparnya ke tepi. Suatu hari Jabosi berniat mencari peruntungan di tempat lain, karena sungai yang dulu menjadi andalannya tidak lagi dapat menolong pekerjaannya sebagai pedagang. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan Jabosi. 34 Mengapa suaminya itu yang diberi nama Jabosi, yang bermakna kuat seperti besi tak kuat memanggul namanya sendiri? Menjadi tanah liat yang lembek Aleida 2004:17-18. 35 Merasa kena sindir, Jabosi menimpali, “kan sudah berkali-kali kukatakan. Kita takkan bisa melawan pasir yang membikin tumpat sungai itu. Kalaupun ada kapal keruk, berapa tahun yang diperlukan besi raksasa itu untuk mengembalikan arus sungai seperti sediakala. Pemerintah saja tak bisa berbuat, apalagi kita. Dengan tangan telanjang seperti yang kau lakukan? Ah pekerjaan sia- sia…” Aleida 2004:18. 36 Jabosi, suami Molek menjadi pemikat dalam membujuk dukungan. Nama itu masih dikenal orang sebagai warga kota yang pantas jadi teladan yang memulai usahanya dari seorang penjual minyak kelapa dari kampung, kemudian menjadi pengusaha besar, yang bisa bersaing dengan para pedagang Tionghoa yang piawai. Hanya sungai yang mendangkal dan suasana politik yang berbau amis yang telah menghambat kemajuannya Aleida 2004:84. 37 Sementara itu, di perantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan padanya Aleida 2004:237. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan masyarakat yang terkena dampak dari rusaknya sungai. 38 Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal Aleida, 2004:84. 39 Molek mengatakan kepada massa yang membanjir seperti air sungai di sekelilingnya itu bahwa hari itu di seluruh dunia di rayakan sebagai Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan manusia pada kenyataan sudah begitu rapuhnya lingkungan hidup mereka Aleida, 2004:95. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan penjaga rumah Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak. 40 “Saya mau bertemu dengan Bupati,” ucapnya tegas kepada seseorang yang muncul menyambut ketukannya di pintu rumah besar yang dia intai kemarin. “Keperluan?” “Saya mau mempertanyakan kemana pajak yang kami bayarkan selama puluhan tahun,” cepat dia menyambut. Laki-laki yang tegak di depannya itu tersentak, dan menjawab sekenanya, “itu urusan kantor. Silahkan ke kantor saja. Bapak ada di kabupaten.” Aleida, 2004: 32. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan sekretaris Bupati, ketika berniat bertemu Bupati untuk mengadukan keadaan sungai yang rusak. 41 Ketika dipertemukan dengan sekretaris Bupati, Molek mengulangi lagi alasannya untuk bertemu dengan penguasa kecil dari kota kecil itu. “Apa maksud ibu dengan mempermasalahkan pajak?” “Berpuluh tahun suami saya dan para pedagang di kota ini, kecil maupun besar menyerahkan pajak kepada pemerintah. Ke mana saja uang itu? Mengapa tidak dipergunakan untuk mengeruk sungai? Kalau kota ini mati, dan orang-orang semua pergi, apakah Bupati juga mau terbenam? Kan ti dak?” Aleida 2004:33. Kutipan berikut adalah bukti hubungan Molek dengan aparat keamanan, ketika diinterogasi karena melaksanakan rapat di Padang Bundar untuk melakukan protes terhadap pemerintah atas terbengkalainya sungai yang mendangkal dan tercemar. 42 Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini juga. Ya di sini ini. Bersama-sama aku juga. Masalahnya, dia menjual barang dagangan dengan harga di atas ketentuan. Dia ditangkap kawanmu, ya, orang seperti kau inilah. Aku sempat mendekam di kamar rombeng yang dulu terletak di sini. Tapi ketahuilah, waktu itu kami dengan mudahnya bebas setelah suamiku menyogok. Masalahnya waktu itu adalah pelanggaran ketentuan harga. Sekarang, kesalahan apa yang telah kami lakukan? Mencuri? Merusak? Tau kau, tak sejumput tanah pun yang terkelupas di Padang Bundar. Tak sehelai daunpun yang kan mati selamanya. Apakah kami tak punya hak bersuara untuk menyelamatkan sungai yang mengancam kami, mengancam kau juga?” Aleida, 2004:109. Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam tema, menggunakan teknik dramatik. Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengangkat tema penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan. Kutipan berikut adalah bukti bahwa Molek terlibat dalam tema. 43 Selama dua tahun, sebatang sungai yang teraniaya harus menunda perubahan nasib yang telah diserahkannya kepada seorang perempuan yang bersumpah akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Selama itu pula, ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk Aleida, 2004:238. 44 Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal Aleida, 2004:84. Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam konflik, menggunakan teknik dramatik. Konflik diawali dengan Molek dan Hurlang yang diinterogasi oleh petugas keamanan karena dicurigai menghasut penduduk, diperintah oleh orang lain untuk melakukan kekacauan, dan melakukan pemufakatan jahat dengan Gerwani dan beberapa sanak keluarga dari tahanan politik tahun 1965 yang sudah meninggal. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan di atas. 45 “Koé jangan macam-macam, ya Dipanggil lu sudah bagus. Tukang hasut minta penghormatan segala lagi Hah… lekaslah, kasi tau siapa yang memerintahkan lu datang ke sini?” “Mak lu sendiri bilang, kota ini sudah mati. Mampus. Di pusat, di Jakarta, hidup lebih enak. Lantas kalau bukan membawa perintah untuk mengacau, tak mungkin lu datang kemari.” Aleida, 2004:103. 46 ”Lu mau ngaku atau nggak? Lu datang dan berdiskusi mengenai rencana rapat umum di Padang Bundar itu dengan Idham Margolang, Tiar Eden, Kaman Rahman, kutu-kutu yang semestinya ikut mampus tahun 1965-66. Kami sudah tau semua tentang permufakatan jahatmu.” Aleida, 2004:104. 47 Molek tak kuat mempertahankan kesabaran menghadapi sikap dan kata-kata kasar yang dilontarkan interrogator yang duduk ongkang-ongkang di depannya. Melonjor. Mengepulkan asap rokok sesukanya Aleida, 2004:106. 48 “Ya, kami tahu, kami juga menyaksikan ibu sendiri yang melempar-lemparkan pasir ke tepi sungai. tapi, menyelenggarakan rapat raksasa seperti itu, mana mungkin ibu lakukan seorang diri. Hatta dengan bantuan anak ib u sekalipun.” Interrogator itu diam sejenak untuk kemudian melanjutkan, “Kami tahu ada orang-orang Gerwani yang masih hidup. Yang bernasib baik, yang luput dari penghakiman rakyat. Ibu, katakanlah sejujurnya, siapa saja yang membantu.” Aleida, 2004:106. 49 Merasa seperti burung layang-layang mandi disongsong angin buritan, Molek Melihat kesempatan dan dia mendesak. “Aku sudah mengenal benar orang-orang seperti kau ini. Kau tahu, ketika anakku masih berusia tujuh belas, dia pernah ditahan di markas ini juga. Ya di sini ini. Bersama- sama aku juga… Aleida, 2004:109. Pengarang menggambarkan Molek yang terlibat dalam klimaks, menggunakan teknik dramatik. Klimaks terjadi ketika Molek kembali tampil berpidato di depan masyarakat yang terkena dampak dari limbah pabrik yang berdiri di hulu sungai. Setelah berpidato, Molek memimpin massa untuk menyampaikan aspirasi pada pemerintah, supaya pabrik yang menjadi akar masalah kerusakan sungai segera ditutup. 50 Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai kemarin, penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekian kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup Aleida, 2004: 211. 51 “Karena sungai mendangkal, kota menjadi mati, suami saya meninggalkan saya karena tak percaya bahwa kemauan yang baik pasti bisa mengatasi beting-beting yang dengan ganas memakani alur sungai. Dia memang tak salah. Saya coba menahannya, mengajaknya mengikuti cara saya sendiri dengan mengangkuti pasir dari dasar sungai dengan tangan. Tapi, sungai yang sepanjang dan selebar itu mana mungkin diselamatkan hanya dengan tangan telanjang… Aleida 2004:218. 52 Molek memang sudah pernah menyelenggarakan pertemuan dengan dihadiri ribuan manusia. Tetapi inilah untuk pertama kalinya dia berjalan paling depan mengiringi teman-temannya dalam kesepakatan untuk menyampaikan protes ke kantor pemerintah dan di negeri orang, jauh dari kotanya Aleida, 2004:227. 53 ….Berikan kami hak bertanya, ada apa sebenarnya di belakang Rayon i Toba, sehingga dia dibiarkan terus mencemari lingkungan kami, mengancam jiwa anak- anak kami,”sambungnya lagi di depan hidung polisi yang tetap diam melongo Aleida, 2004:228. Kriteria tokoh utama yang lain adalah dilahirkan sebagai pemenang dalam cerita. Kemenangan Molek digambarkan dengan keberhasilannya menyadarkan masyarakat bahwa kerusakan sungai hanya bisa diatasi dengan berjuang. Molek dan Hurlang berhasil mengumpulkan masyarakat yang terkena dampak kerusakan sungai untuk melakukan rapat besar membahas usaha menyelamatkan sungai, dan melakukan aksi protes agar pabrik bubur kayu yang menjadi akar permasalahan segera ditutup. Berikut kutipan yang membuktikan pernyataan di atas. 54 Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal Aleida, 2004:84. 55 …. ribuan orang yang bermukim di kedua tepi sungai itu harus menanti pulangnya orang yang telah menggerakkan dan meyakinkan mereka bahwa kota yang terancam tenggelam itu akan bisa ditolong dengan kehendak memperjuangkannya dalam niat yang padu, yang muncul dalam pikiran dan hati seluruh penduduk Aleida, 2004:238. 2 Antagonis Tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali, Sudjiman, 1988. Pihak pabrik Rayon i Toba, sumber masalah kerusakan sungai dan lingkungan digambarkan pengarang sebagai tokoh antagonis yang tidak terlihat. Pihak pabrik bersikap acuh tak acuh pada keadaan sungai yang merana karena limbah pabrik dibuang ke sungai. Selama dua puluh tahun berdiri, selama itu juga masyarakat berteriak-teriak agar pabrik yang membawa masalah bagi kehidupan makhluk hidup itu ditutup, namun, tidak membawa hasil. Pabrik itu tetap berdiri, dan terus membuang limbah ke sungai. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan pabrik Rayon i Toba sebagai tokoh antagonis dalam cerita. 56 Selama dua puluh tahun keberadaannya, selama itu pula Rayon i Toba ditantang supaya tutup, tetapi dia tetap saja berdiri mengepulkan gas dan mencurahkan limbah yang mencemaskan Aleida, 2004: 234. 57 … begitu derasnya pasir meluru dari hulu, hendak membikin tumpat sungai yang menghidupi itu dalam itungan beberpa purnama saja Aleida, 2004:3. 3 Wirawanwirawati Wirawan pada umumnya punya keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia. Tokoh wirawan yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah Hurlang, Jabosi, Jamangilak, peserta rapat di Lapangan Padang Bundar, penduduk Porsea dan Pastor. a Hurlang Hurlang adalah anak bungsu Molek dan Jabosi. Setelah pergi bertahun-tahun meninggalkan keluarganya, Hurlang kembali ke tepi Sungai Asahan dan membantu ibunya menyelamatkan kota yang hampir karam karena sungai yang mendangkal. Hurlang lahir di tepi sungai asahan. Dalam masa pertumbuhannnya ia pernah merasakan kebaikan sungai Asahan. Pengarang menggambarkan Hurlang dengan teknik dramatik. Berikut buktinya dalam kutipan. 58 Molek dan anaknya beranggapan penduduk wilayah hutan itu musti dibujuk supaya turut serta dalam aksi penyelamatan yang mereka rencanakan berdua. Karena kalau wilayah hutan itu tandus, maka air akan dengan leluasa menggenangi tanah-tanah yang luas membentang sampai ketepi Selat Malaka Aleida,2004: 85. 59 Untuk membangun dukungan sebesar dukungan yang diberikan orang-orang yang tumpah di lapangan Padang Bundar itu, anak- beranak tersebut mengunjungi sekolah, madrasah, mengimbau dukungan bagi penyelamatan sungai. Setiap hari setelah subuh, Molek dan Hurlang berangkat, berjalan kaki jauh-jauh, terkadang disambung dengan sampan; mengetuk pintu orang-orang kampung yang berdiam di berbagai pelosok yang dilalui sungai Aleida, 2004: 85. b Jabosi Jabosi adalah suami Molek. Seorang pedang minyak kelapa dari kampung yang kemudian menjadi pedagang sukses selama berpuluh-puluh tahun, dan mampu bersaing dengan pedagang Tionghoa. Karena sungai yang mendangkal, kegiatan perdagangan menjadi mati. Karena merasa tidak ada yang mampu menyelamatkan sungai yang menjadi andalan kegiatan dagangnya, Jabosi memilih pergi dari tepi Sungai Asahan dan meninggalkan Molek sendiri untuk mencari peruntungan di tempat lain. Setelah kepergiannya, Molek dijatuhi hukuman penjara karena berusaha menyelamatkan sungai. Kabar itu sampai ke telinga Jabosi. Dia kembali dan menunggu Molek bebas dan berjanji akan berjuang bersama menyelamatkan sungai. Pengarang menggambarkan Jabosi dengan teknik dramatik. Berikut ini adalah bukti dalam bentuk kutipan: 60 Sementara itu, diperantauannya yang jauh, Jabosi mengikuti kabar mengenai sepak terjang istrinya dalam menyelamatkan kota yang dia tinggalkan melalui berita-berita di koran. Juga tentang ditangkapnya Molek dan tuduhan penghasut yang dikenakan padanya Aleida 2004:237. 61 “Aku menunggumu. Sudah kuputuskan untuk pulang. Aku akan menjaga rumah. Dan kalau kau sudah pulang nanti, aku akan ikut. Bertiga kita akan lebih berhasil, apalagi dengan dukungan ribuan orang,” kata Jabosi Aleida 2004:237. c Jamangilak Jamangilak adalah kakek dari Jabosi, suami Molek. Jamangilak adalah perantauan dari selatan Danau Toba ke pesisir Selat Malaka. Dia adalah sosok petani yang mengajarkan pada masyarakat tepi Sungai Asahan, bagaimana bertani dan bagaimana mengelola sumber daya sungai dengan baik. Pengarang menggambarkan Jamangilak dengan teknik diskursif. 62 Dialah yang memperkenalkan kepada masyarakat setempat bagaimana memetik buah kelapa dengan aman. Jamangilak juga yang memperkenalkan kepada penduduk bagaimana membuka lahan untuk tambak ikan mas, sepat siam dan lele yang di daerah ini disebut dengan sebuah nama yang terdengar mewakili bentuk fisik sejenis makhluk air yang licin berlendir, limbat Aleida, 2004:11. 63 … Jamangilak, Tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka.” Aleida, 2004: 236. d Peserta rapat di Lapangan Padang Bundar Peserta rapat di Padang Bundar adalah masyarakat yang berhasil dihimpun oleh Molek dan Hurlang untuk membicarakan usaha menyelamatkan sungai yang bertahun- tahun tidak lagi mampu menghidupi manusia dan makhluk hidup lain. Mereka mendukung usaha Molek dengan hadir dalam rapat dan membawa buah tangan untuk Molek. Berikut kutipan yang membuktikan pernyataan di atas. 64 Manusia yang menyemut, tumpah-ruah, itulah hasil kerja Molek dan anaknya selama berminggu-minggu. Mengumpulkan penduduk untuk mendukung cita-citanya menyelamatkan kota yang sedang terancam oleh sungai yang mendangkal Aleida, 2004:84. 65 “… Katakan yang ingin kau katakan, Kami akan mengikutimu Molek…” Suara itu, kata-kata pujian itu, membahana dari pojok- pojok lapangan, menyusul salam yang dilafalkan pembicara di podium itu Aleida, 2004:94. 66 Orang itu berkata: “Kami tak punya apa-apa. Cuma inilah yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih untuk apa yang kau lakukan untuk sungai kita. Sungai diraja. Terimalah pemberian kami ini,” katanya sambil menyerahkan selempit tikar pandan sebagai tanda penyerahan diri pada rencana baik yang telah diuraikan Molek Aleida, 2004:100. e Penduduk Porsea Kabar tentang rapat besar yang diadakan Molek di Padang Bundar tersiar hingga ke luar daerah, hingga ke tepi Danau Toba. Masyarakat tepi danau itu menemui Molek dan memintanya membantu usaha mereka menutup pabrik yang telah menghancur kehidupan di sana dan juga kehidupan sungai yang sedang diperjuangkan keselamatannya oleh Molek. Molek pun berangkat ke Porsea untuk berjuang bersama penduduk Porsea dalam rangka menyelamatkan sungai. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan diatas. 67 … Utusan dari masyarakat di tepi Danau Toba telah datang menemui Molek dan memohon pada perempuan kita itu supaya berkenan diundang untuk datang ke daerah mereka dan membantu perjuangan menutup pabrik yang telah menghancurkan kehidupan di sana Aleida, 2004: 179. 68 Kemarin, sesampainya di Siraituruk, Molek di tempatkan di rumah seorang petani paling makmur. Perempuan-perempuan desa, terutama mereka yang aktif dalam gerakan menuntut penutupan pabrik pulp, atau pabrik bubur kayu, itu menemaninya menjelang tidur sambil martarombo Aleida, 2004: 186. 69 Percakapan berlanjut sampai menjelang dini hari. Dari perempuan- perempua itu, Molek mengetahui bagaimana pabrik bubur kayu Rayon i Toba, yang berdiri pada tahun 1986, telah membawa kesengsaraan, merusak Danau Toba dan lingkungan sekitarnya Aleida, 2004: 187. 70 … Penduduk yang berhimpun dalam kelompok perempuan dan laki-laki, dari seluruh desa yang terhampar di daratan Porsea, berjalan kaki menuju Simpang Sigura-gura untuk kesekin kalinya berdemonstrasi menuntut Rayon i Toba supaya segera ditutup Aleida, 2004: 211. f Pastor Demostrasi di Porsea dengan tuntutan agar pabrik Rayon i Toba ditutup, diikuti oleh tiga orang pastor. Mereka menjadi pelindung jika ada peserta demonstran yang menjadi korban kekerasan. Namun, di akhir kegiatan demonstrasi, tiga pastor itu terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui. Berikut ini kutipan yang membuktikan pernyataan di atas. 71 Ada tiga orang pastor yang mengenakan juba berat, seperti mau menyapu tanah, berwarnah coklat tua, yang terus mondar-mandir mangawasi keadaan. Ini pula dalam sejarah perlawanan di tanah batak yang Protestan Aleida, 2004: 214. 72 Anjing-anjing itu merubung berkelompok. Di sisi mereka terbujur tiga sosok manusia yang masih mengenakan pakaian kebesaran duniawi mereka, jubah yang berwarna cokelat tua. Bdan mereka dibiarkan menengkurap mencium aspal, sehingga Rosario meraka yang terbuat dari perak tertindih di bawah dada mereka, tak tampak Aleida, 2004: 231. 4 Antiwirawanantiwirawati Antiwirawan adalah tokoh yang tidak memiliki nilai-nilai tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh kegagalan. Tokoh antiwirawan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah pemerintah, interogator, provokator dan aparat keamanan. Tokoh-tokoh ini tidak memiliki keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakan yang mulia. Pemerintah acuh terhadap keadaan sungai yang tidak tertolong. Para aparat keamanan yang juga merupakan interogator diceritakan bertindak kasar dan kejam, provokator menimbulkan kekacauan dalam aksi damai yang dilakukan oleh Molek dan penduduk yang lain. Berikut kutipan yang membuktikan pernyataan di atas:

a. Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dewan Parwakilan Rakyat, bersikap acuh terhadap aduan masyarakat mengenai keadaan sungai yang mengancam lingkungan hidup. Sejak berdirinya pabrik yang mencemari sungai itu, masyarakat telah berulang kali menolak, namun pemerintah seolah diam saja. 73 Benar-benar suntuk pikirannya mempertanyakan bagaimana mungkin Dewan yang dipilih rakyat itu begitu mempersulit keinginan seorang warga masyarakat yang ingin mengadukan nasib Aleida, 2004: 34. 74 … Simpang tiga itu menjadi simbol perlawanan terhadap perlakuan sebuah pabrik yang terus mencemari dengan restu kekuasaan Aleida, 2004: 195.

b. Aparat Keamanan

Para aparat keamanan yang juga merupakan interogator diceritakan bertindak kasar dan kejam. Setelah melakukan rapat besar di Padang Bundar, Hurlang dan Molek di interogasi secara kasar, Hurlang ditahan dan disiksa. Usaha protes masyarakat terhadap pabrik yang mencemari sungai, ditanggapi aparat keamanan dengan kekerasan. Kutipan berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas. 75 “Baik, kalau lu hanya mau bicara kalo di-strum, ditenggelamkan ke dalam sumur. Dan mulutmu dijejali sambal merah, maka saya kan melakukannya. Akan ku matikan kepekaan dengan sebotol ciu, dan koé takkan bisa sembunyi Aleida, 2004: 104. 76 Di seberang meja, duduk interogator dengan kaki yang dijulurkan nyaris meyenggol kaki perempuan yang ingin dilumpuhkan. Asap rokok seenaknya disemburkan tak peduli apakah Molek terganggu atau tidak oleh nikotin bercampur bau busuk yang dihantarkan uap mulutnya Aleida, 2004: 105. 77 “Mereka tahu, kalau tali manila kurang menyiksa. Mereka gunakan ekor pari yang dikeringkan. Kalau ekor pari itu kebetuan lengket tertancap, mereka masukkan pula arus listrik ke cambuk itu Aleida, 2004:117. 78 Dan, acapkali, perlawanan damai itu dihadapi pasukan keamanan dengan kekerasan, dengan tembakan peringatan ataupun letusan peluru yang langsung diarahkan kepada massa, membuat peristiwa itu menjadi peristiwa yang penuh luka dan malahan membawa kematian Aleida, 2004:194. c. Provokator Demonstrasi yang direncakan akan berjalan damai dikacaukan oleh provokator yang menyusup dalam barisan demonstran. Aksi mereka menyebabkan beberapa peserta demonstrasi tertangkap dengan tuduhan menyerang dan merusak kantor kecamatan. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan di atas. 79 Sekelebat dari arah massa yang panik terlihat ada tangan dari satu- dua orang yang berdiri dengan kokoh, lain dari pada yang lain, dengan terburu-buru, tetapi dengan arah lemparan yang terukur, melayang batu bata yang menghantam dinding dan kaca-kaca jendela kecamatan Aleida, 2004: 28. 80 Menjelang senja itu, kaum perusuh yang menyusup masuk ke dalam barisan demonstran meyaksikan hasil dari kemauan jahat mereka. Molek dan tiga puluh perempuan yang menemaninya ditangkap, berikut belasan pelajar dan sejumlah lelaki yang terkepung tak bisa melepaskan diri dari jebakan polisi Aleida, 2004: 229.

b. Tokoh Bawahan

Menurut Grimes dalam Sudjiman 1988: 19 yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh bawahan yang sebenarnya sulit disebut tokoh karena ia boleh dikatakan tidak memegang peranan di dalam cerita. Tohoh bawahan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis adalah Sibarani, Ali Badak, laki- laki di rumah Bupati, laki-laki di kantor Bupati, sekretaris Bupati, pejabat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Asmu, Lebi, Kristin, Emi Binti Madali, pengayuh sampan, penduduk tepi sungai, penduduk wilayah hutan, perempuan Siraituruk, Boru Sirait.

2. Alur

Sudjiman 1988:29 berpendapat bahwa alur adalah urutan peristiwa yang membangun tulang punggung cerita. Alur yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis terdiri atas paparan, rangsangan, gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian.

a. Paparan

Tahap paparan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis diawali dengan memaparkan kebiasaan aneh Molek yang tegak memaku di tengah sungai, hampir setiap hari, sejak subuh. Kebiasaan aneh itu sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan sungai yang tidak lagi dapat membantu perekonomian masyarakat, tidak lagi menjadi tempat hidup makhluk yang lain, dan tidak lagi seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika mertuanya Jumontam dan kakek-buyut mertuanya, Jamangilak tiba di kota itu. Kisah Jumontam dan kisah Jamangilak yang tak putus asa menyeberangi punggung Pulau Sumatera itu dihadirkan oleh pengarang sebagai sorot balik. Suatu hari, suaminya, Jabosi memutuskan pergi dari kota itu karena keadaan sungai sudah tidak mendukung usahanya sebagai pedagang. Tahap paparan diakhiri dengan sorot balik yang mengisahkan ingatan Molek tentang keaadan politik puluhan tahun yang lalu, ketika pecah revolusi sosial di Sumatera Timur, di mana ikan di sungai tidak dapat dikonsumsi karena banyaknya jenasah korban sembelih, dan pancung yang dibuang di sungai dan menjadi makanan ikan. Kutipan berikut adalah bukti dari pernyataan kebiasaan aneh Molek sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan sungai yang tidak lagi dapat membantu perekonomian masyarakat dan tidak lagi menjadi tempat hidup makhluk yang lain. 81 Sejak subuh tadi, sebelum matahari menyeruak dari pelepah- pelepah pohon kelapa untuk membangunkan kota, dia sudah tegak di tengah sungai itu, membiarkan arus yang mengalir berpendar- pendar seperti mau menyeret, menenggelamkan tubuhnya Aleida 2004: 1. 82 Hampir saban hari istrinya tegak memaku di tengah sungai. berjam-jam lamanya. Melamun kayak dipukau setan. Atau menggumamkan kata-kata, menyesal tiada ujung. Tak jarang pula ia mengambil sikap rukuk, sehingga rambutnya mencium arus, seperti bisik-bisik pada air yang lalu dan angin yang berkibas. Atau pada burung-burung walet, yang di daerah ini disebut layang- layang mandi, yang berkejaran di udara Aleida 2004: 3.