Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan
Maridjan menjadi “tokoh nasional” yang lebih dipercaya daripada pemerintah. Ketika sebuah perusahaan jamu tradisional Sido Muncul, produsen sejenis
minuman kesehatan yang menjanjikan keperkasaan, Kuku Bima EnerG, memanfaatkan Mbah Maridjan sebagai bintang iklannya lengkaplah sudah
supremasi spiritual Mbah Maridjan di masyarakat, terutama di kalangan menengah bawah hingga lapisan akar rumput. Penampilan bintang dunia
olahraga yang berotot dalam iklan minuman berenergi tersebut yang selalu diminum dengan cara tertentu yang membuat minuman tumpah-tumpah menjadi
lambang kekuatan fisik, sementara Mbah Maridjan yang sebenarnya secara fisik sudah menuju renta dalam usia 83 tahun menjadi simbol kekuatan spiritual.
Suatu pola pencitraan yang bagi sebagian orang dianggap cenderung sesat, dan sama sekali tidak ikut mencerdaskan, tetapi itulah realita dunia periklanan yang
lebih mengutamakan bagaimana “mencuci” otak dalam rangka memperdagangkan kesan demi kepentingan keuntungan dunia usaha komersial.
Pengetahuan Mbah Maridjan lebih jauh, dibangun bukan dalam pandangan positivisme. “Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya
dengan cara positivisme”. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan kata-kata, simbol-
simbol nyata, atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam “pengetahuan yang tak
terungkapkan”. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara kegiatan intelektual dengan unsur-unsur pengalaman personal ke dalam satu
pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang
keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun
oleh kelompok positivisme ahli gunung berapi ditambah dengan pengetahuan yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung
Merapi yang lain. “Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan yang khas”.
Kenapa pada akhirnya Mbah Maridjan menjadi korban atau tumbal Gunung Merapi? Hingga saat-saat terakhir pertemuannya dengan beberapa saksi hidup,
Mbah Maridjan tet ap mengatakan belum akan “turun” meninggalkan Merapi.
Bersama dengan dirinya, sejumlah anggota masyarakat yang penuh kepercayaan, ikut menjadi korban letusan Merapi. Sepertinya hingga detik-detik terakhir Mbah
Maridjan sebagai pemegang setitik peran kecil dalam paham kesemestaan Jawa belum juga
mendapat isyarat dari “penguasa” yang bertahta di Gunung Merapi. Atau, bila kita mencoba meminjam cara berpikir di luar alam positivisme,
mungkinkah kepekaan Mbah Maridjan telah menumpul karena keterlibatannya dengan berbagai kegiatan duniawi yang komersial empat tahun terakhir?
Kembali berpikir dalam jalur positivisme secara rasional, tewasnya Mbah Maridjan di Gunung Merapi yang telah dijaganya dalam separuh hidupnya, bisa
menjadi pembelajaran bersama bagi banyak pihak, termasuk mengenai kegagalan sosiologis kita dalam pencerdasan bangsa.