Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kehidupan di wilayah sekitar Merapi mengalami perubahan besar, di mana pada masa sebelumnya kehidupan masyarakat teratur, menjadi kacau dan berubah kontras. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, lahan pertanian, ternak, dan mata pencarian penduduk di daerah
tersebut, karena tersapu oleh sang wedus gembel. Sejak bencana itu melanda, masyarakat daerah Kinahrejo banyak bergantung
dari para donatur, bantuan pemerintah, dan juga para pengunjung atau wisatawan. Melihat situasi masyarakat yang seperti itu timbul rasa empati dari peneliti, sehingga
peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah dan masyarakat di sana. Begitu banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka diantaranya ayah, ibu,
dan saudara kandung mereka. Dalam situasi panik dan kehilangan daya bahkan ada salah satu keluarga yang akhirnya harus meninggalkan salah satu anggota
keluarganya tidak mau dibawa untuk mengungsi karena sesuatu hal. Di antara sekian banyak korban, ada seseorang yang sungguh sangat spesial di
mata peneliti, yaitu Ibu Ponirah. Ibu Ponirah sebagai sosok sentral dalam kajian ini berumur 74 tahun, beragama Islam adalah istri Mbah Marijan, Sang tokoh spiritual,
yang memiliki kemampuan khusus dan kesetiaannya pada pengabdian terhadap Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mbah Maridjan yang lahir 05
Februari 1927 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun yang diberi kepercayaan oleh Raja Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi turut menjadi
korban dan meninggal dunia pada saat mengemban tugas pada saat erupsi Merapi terjadi. Bu Ponirah merasakan hal sama seperti yang lain karena kehilangan orang
yang dicintai yang telah setia menemaninya selama ini. Beliau sangat terpukul sepeninggal suaminya yang rela berkorban karena pengabdian dan tanggung jawab
yang ia emban. Bencana itu membuat Bu Ponirah menjadi orang yang kesepian secara fisik dan batin, merasa terguncang, merasa kehilangan yang mendalam, hancur
dan sekurang-kurangnya beberapa saat merasa kehilangan makna hidup. Perasaan kehilangan yang mendalam inilah yang ingin peneliti jadikan fokus dalam penelitian
dengan judul “Perasaan kehilangan yang mendalam Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan”.
Semasa hidup bersama sang suami Mbah Maridjan, Bu Ponirah hidup dengan bahagia, namun setelah bencana erupsi Merapi pada hari Selasa tanggal 26
Oktober 2010 tersebut semua berubah dengan drastis. Hal itu membuat Ibu Ponirah stress, kecewa, hampa dan kehilangan makna yang begitu dalam. Hatinya terkoyak
karena beliau kehilangan sosok suami yang selalu setia menemani hidupnya sehari- hari. Sungguh berat bagi Ibu Ponirah untuk menghilangkan rasa traumanya,
menghilangkan rasa kehilangan yang begitu mendalam, luka batin yang begitu berat dihadapi. Ibu Ponirah merasakan hari-hari yang sepi tak bermakna dalam menghadapi
kehidupannya. Lantas seberapa dalam hatinya luka? Trauma seperti apa yang tampak dari perasan kehilangan yang mendalam? Bagaimana ia menyikapi saat-saat sepi dan
rasa kehilangan dalam kehidupannya? Lalu, bagaimana ia bangkit dari penderitaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin disorot dalam kajian ini.