Seputar Bencana Merapi KAJIAN PUSTAKA

Apa penampakannya? Menurut warga setempat, pagi hari sebelum Gunung itu meletus, seorang penduduk melihat awan yang menyembul dari Gunung Merapi tersebut menyerupai bentuk kepala Mbah Petruk, lelaki berhidung panjang. Sugiharto 40 warga Dusun Sudimoro, Desa Pucang Anom, Kecamatan Srumbung melihat kejadian unik tersebut. Diceritakan, saat ia melihat Gunung Merapi, betapa kagetnya ia menyaksikan gumpalan awan yang menyumbul di atas Gunung itu menyerupai Mbah Petruk. Menggunakan camera poket, ia potret gambar awan yang menyerupai kepala petruk. Munculnya gumpalan awan yang menyerupai bentuk kepala tersebut, semakin meyakinkan warga bahwa letusan Gunung Merapi akan besar. Kemunculan awan tersebut mereka maknai sebagai pertanda dan peringatan agar warga berhati-hati. Mereka menganggap letusan Merapi ini menandakan peringatan Tuhan pada manusia. Sifat manusia yang selalu ingin mengusai dan serakah. Terlepas benar atau tidak, tetapi mitos tersebut masih ada, sarat pesan agar warga waspada senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan. b. Puncak Gunung Merapi tertutup kabut terdengar suara gemuruh Warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi, Desa Balerante dan Sidorejo Kecamatan, Kemalang Klaten Senin 111010 mendengar suara gemuruh. Karena sudah terbiasa mendengar suara seperti itu, warga tidak terkejut. Suara gemuruh diperkirakan berasal dari guguran material Gunung Merapi. Ny Jainu, warga Desa Balerante Senin 111010 mengemukakan, sekitar pukul 10.00 WIB mendengar suara gemuruh, namun ia tidak melihat adanya luncuran lava pijar “kira-kira pukul sepuluh terdengar suara gemuruh,” jelas Ny Jainu. Belajar dari bencana Merapi 2006, kondisi dari Balerante cukup memprihatinkan, tidak tersentuh oleh pemerintah setempat. Bahkan untuk transportasi, warga harus mengadakan secara swadaya. Hal itu diharapkan sebagai referensi bagi pemerintah Kabupaten Klaten dalam antisipasi bencana Gunung Merapi sekarang ini dan selanjutnya. “tahun 2006, pengungsi dari Balenrante kurang tersentuh. Warga Balerante bahkan harus swadaya transportasi, belum lagi kendala administrasi saat akan berada di pengungsian Manisrenggo,” jelasnya Kedaulatan Rakyat, 12 Des 2010. Lain halnya pengakuan dari Sugini 46 yang tinggal di Balong Pakembinangun Pakem Sleman, ia menuturkan suara gemuruh Gunung Merapi terdengar seminggu sebelum letusan pertama terjadi. Suara gemuruh terdengar siang malam sampai pada puncaknya Gunung Merapi meletus. “saya setiap saat ditelepon anak saya yang bekerja di luar kota menanyakan keadaan saya, ngungsi ti dak, mengungsi dimana bu?”. Suara gemuruh dibarengi tanah yang bergetar seperti gempa, bahkan 2 hari sebelum meletus besar tanah bergetar sangat terasa sampai isi rumah semua bergetar, jelasnya sambil menangis. c. Saat Merapi meletus malam Sabtu tanah bergetar, api menyembur Saat Merapi meletus Sabtu 301010 dini hari,warga di beberapa kawasan kaki Gunung Merapi melihat kilatan api saat terjadi letusan kemudian awan hitam sudah menggantung di atas desanya. Wargapun langsung mengungsi dengan sepeda motornya, dan kendaraan lain, sehingga arus lalu lintas Blabak-Sawangan padat, kata Kapolsek Sawangan AKP Sugimin. Jumlah pengungsipun mendadak bertambah di setiap tempat pengungsian. Warga Selo, Boyolali, juga melihat semburan api membumbung tinggi dari puncak Merapi kemudian api menyembur ke segala arah, termasuk Selo. Sebelum api menyembur, tanah dan rumah bergetar keras. Sehingga banyak warga Kecamatan Selo, Boyolali, ketakutan dan mengungsi Kedaulatan Rakyat, 30 Okt 2010. Hal yang sama juga terjadi di Desa Balerante Kecamatan Kemalang Klaten yang termasuk Kawasan Rawan Bencana KRB III, di mana warga yang pulang ke rumah langsung lari turun dengan kendaraan bak terbuka dan roda dua ke lokasi pengungsian. Hampir semua daerah yang hanya berjarak sekitar enam kilometer dari puncak Merapi itu tertutup abu vulkanik dengan ketebalan satu sentimeter. Meski demikian, ada beberapa warga pulang untuk mengurusi ternak. “ Sekarang tidak berani lama-lama di rumah. Kalau ternak sudah diberi makan, saya ditemani anak langsu ng turun”, kata seorang warga di pengungsian. Kepala Desa Balerante Sukono mengatakan, puluhan warga di tempatnya pulang untuk memberi makan ternak. Setidaknya ada 1.300 ternak di Desa Balerante. 2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum a. Diterjang banjir lahar, tiga jenazah hanyut Tiga kuburan di pemakaman umum Dusun Cepit Hargobinangun Pakem, hanyut terkena banjir lahar dingin di aliran sungai Boyong, Senin 291110 malam. Satu jenazah berhasil ditemukan setelah tersangkut batu nisan dan langsung dimaka mkan kembali oleh warga. “dua jenazah lainnya sampai saat ini masih dilakukan pencarian. Kami juga sudah berkoordinasi dengan polsek di bawahnya untuk melakukan pencarian,” kata kepolsek Pakem AKP Harijanto dikonfirmasi semalam. Dijelaskan, pemakaman dusun tersebut memang sangat dekat dengan aliran sungai Boyong. Sehingga saat banjir menerjang, tiga kuburan di pemakaman setempat tergerus dan hanyut. Satu jenazah ditemukan tidak jauh dari lokasi pemakaman. Kapolsek memperkirakan, dua jenazah lain yang belum ditemukan telah hanyut jauh dari lokasi kejadian Kedaulatan Rakyat, 30 Nov 2010. Banjir lahar juga menerjang sejumlah jembatan yang dilalui sungai yang berhulu Merapi. Air bercampur material vulkanik seperti pasir, batu serta batangan pohon ukuran besar yang ikut terbawa arus deras membuat beberapa jembatan terendam. Polisi dibantu SAR dan TNI langsung menutup ruas jalan yang menuju sejumlah jembatan-jembatan yang dilalui banjir lahar. b. Sekitar 3.600 warga Umbulharjo mengungsi di Wukirsari rentan terkena awan panas Sekitar 3.600 pengungsi di barak Umbulharjo, Sabtu 301010 dinihari, pindah ke barak pengungsian di Wukirsari, Cangkringan. Sebab, kondisi barak Umbulharjo tidak memungkinkan dan berbahaya terkena awan panas. Hamid, koordinator barak pengungsian Wukirsari mengatakan, lokasi barak pengungsian di Umbulharjo setelah letusan Gunung Merapi, Sabtu 301010 malam, tidak aman dan dikhawatirkan awan panas akan mancapai lokasi barak. Untuk itu, setelah kejadian semua warga langsung pindah mengungsi ke barak Wukirsari Kedaulatan Rakyat, 31 Okt 2010. Sementara barak pengungsian di Kepuharjo tidak pindah karena lokasinya memang telah lebih dari 10 km dari puncak Merapi. “kalau barak Kepuharjo ini jaraknya sudah lebih dari 10 km dari puncak Gunung Merapi, sedangkan untuk yang masalah warga di KRB I dan II juga harus turun, sampai saat itu belum ada perintah resmi,” kata Kepala Desa Kepuharjo, Heri Suprapto. 3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Merapi bagi para korban a. Sebanyak 79 Pengungsi Alami Gangguan jiwa Dari survey terhadap 227 pengungsi korban banjir lahar dingin di empat lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebanyak 79 pengungsi mengalami gangguan jiwa. Dua orang bahkan harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo Magelang. Penaggung jawab tim peduli tanggap bencana, Noviandy Radhika Budi, menuturkan, Rabu 261, survey dilakukan pada 17-20 Januari 2011 di Tempat Penampungan akhir TPA Tanjung Balai Desa Sriwedari, Lapangan Jumoyo, dan SD Sriwedari. Gejala yang ditunjukkan oleh pengungsi yang mengalami gangguan jiwa adalah tegang, cemas, dan khawatir menghadapi hari-hari selanjutnya. Sebagian besar pengungsi itu rumahnya rusak, bahkan ada yang hanyut terbawa banjir. Hal itu membuat mereka gelisah dan susah tidur. Untuk mengatasi dampak yang lebih berat, tim terus mendampingi dan memberikan konseling kepada 77 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan. Banjir lahar dingin merusak 442 rumah di tujuh kecamatan di Magelang. Tingkat kerusakannya dari ringan sampai berat. Sejumlah pengungsi di TPA Tanjung tampak kebingungan. “Saya tak bisa kemana-mana lagi. Rumah dan toko saya terbawa banjir,” kata Srini, warga Dusun Salakan, Desa Sirahan, Salam. Warga lain, Rahmat, mengaku pasrah. “Mau dipindahkan kemana saja saya manut menurut. Saya tidak punya pilihan. Rumah saya tinggal fondasi,” ujarnya Kompas, 27 Jan 2011. b. Perekonomian warga terpukul Letusan Gunung Merapi tak hanya merenggut korban manusia. Ratusan ekor sapi perah di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mati, dan bergelimpungan di kandang maupun halaman rumah warga setelah diterjang awan panas. Bangkai sapi tersebut sudah menebarkan aroma tak sedap dan berpotensi menjadi sumber penyakit. Tim yang terdiri atas relawan, petugas search and rescue, petugas lapangan Pemerintah Kabupaten Sleman, serta anggota TNI mulai bahu-membahu mengevakuasi bangkai sapi perah di Dusun kaliadem, Dusun Kinahrejo, Dusun Pelemsari, dan Dusun Ngrangkah. Proses evakuasi bangkai sapi diperkirakan berlangsung selama berhari-hari Kompas, 29 Okt 2010. Pada kamis 2810, tim evakuasi ternak sapi ini mulai bergerak untuk membersihkan bangkai sapi. Warga Dusun Kaliadem, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Adi Sihono, mengaku rugi puluhan juta rupiah karena tujuh ekor sapi perah mati seketika. Bangkai sapi tersebut bergelimpangan di kandang dan halaman rumah. Menurut Adi, seekor sapinya sempat ditawar Rp 16 juta sebelum erupsi terjadi. Dalam sehari, tiap ekor sapi bisa memproduksi 15 liter susu dengan harga per liter Rp 3000. Dengan demikian, setiap peternak sapi kehilangan sumber pendapatan utama keluarga. Warga Kaliadem, Surati, berharap, pemerintah bisa memberi bantuan ternak agar perekonomian bisa pulih. Sebagian ternak sapi yang hidup justru dalam kondisi memprihatinkan karena terluka parah disebabkan menghirup udara panas dan badan melepuh. Di Dusun Kaliadem saja setidaknya ada 80 sapi yang mati. Sebanyak 20 ternak yang berada di Pelemsari dan Ngrangkah, dua dusun di Desa Umbulharjo, Cangkringan, yang terletak paling atas dari puncak Merapi, bisa diselamatkan. Ternak yang mati, yakni 285 ekor, langsung dikubur di dekat kandang. Dengan truk tim membawa ternak- ternak yang masih selamat ini untuk dievakuasi menuju tanah kas Desa Umbulharjo. Sejauh ini, prioritas utama evakuasi ternak ialah pada sapi perah. Kondisi sapi-sapi itu memprihatinkan karena nyaris sekujur tubuhnya melepuh, terpanggang akibat terjangan awan panas. Beberapa bagian tubuh sapi juga terluka dan mengeluarkan darah segar. Seekor sapi bahkan tidak bisa berdiri, hanya bisa sesekali mengeluh pelan sembari sekuat tenaga mengejang-ngejangkan tubuh. Petugas menyemprotkan obat antiinfeksi dan antiseptik ke tubuh hewan-hewan itu. “Yang dievakuasi adalah ternak-ternak yang bisa kami anggap bisa diselamatkan. Ternak yang tak bisa lagi diselamatkan kami kubur sebisa mungkin di lokasi,” ujar Widya Nuswantoro, Koordinator Lapangan Evakuasi Ternak Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman. Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman Suwandi Azis menambahkan, ternak- ternak ini juga akan diberi obat anti stress. “Walau sudah selamat dievakuasi, ternak tetap bisa stress,” kata Azis, sembari menambahkan, fokus pencarian ternak adalah dusun-dusun di lereng Merapi yang terkena awan panas. Sebagian warga lainnya cukup beruntung karena ternak sapi mereka selamat. Warga Dusun Kopeng, Kepuharjo, Sleman, Wagiyem, bersyukur karena dua ekor sapi serta rumahnya selamat dari terjangan awan panas. Akan tetapi, ia mengaku kesulitan mencari pakan ternak segar setelah makanan ternak mati tersapu awan panas. c. Harapan di antara puing Nyaris tak ada yang tersisa di Dusun Srunen, Glagaharjo, Cangkringan. Semua “diambil” Merapi. Rumah Wawan 40 hancur berikut kandang sapinya. Namun, selasa 3011 pagi, Wawan masih mencangkuli pekarangn rumahnya. Ia sedang menanam ketela pohon di antara lapisan abu vulkanik setebal 10-an sentimeter. Tak disiram air karena tanah sudah basah dan memadat. Puluhan batang ditanam pagi itu, berjajar rapi di pekarangan depan dan samping. Sang kakak, Paijo 45, warga Dusun Jambu, Kepuharjo, pagi itu datang membantu. Setumpuk batang ketela dibawanya, lalu dipotong-potong kecil di halaman depan Kompas, 01 Des 2010. Mereka berdua lalu bahu-membahu menanam satu demi satu batang ketela. “Kakak saya ini rencananya mau tinggal di Srunen bersama saya. Lha ketimbang Jambu, masih mendingan Srunen. Itu kalau tidak dilarang pemerintah,” ujar Wawan tertawa seraya menunjukkan letak Dusun kakaknya. Dusun Srunen dan Jambu terpisah kali Gendol. Srunen di timur, sedangkan Jambu di sisi barat. Dua dusun itu tersapu awan panas, tetapi pernah ada dusun lebih tampak di Srunen. Dusun Jambu berubah jadi hamparan lahan abu vulkanik yang basah-memadat. Sebelum erupsi, kontur dusun yang subur tersebut sangat beragam. Wawan bercerita, dulu gampang sekali menumbuhkan pohon di dusunnya. Tanah di lereng sangat subur. “Ketela ini juga pasti akan tumbuh cepat tanpa perlu disiram air. Nanti kalau tumbuh, daunnya akan saya petik untuk dijadikan sayur,” ujarnya. Ia yakin bahwa suburnya tanah lereng gunung adalah berkah Merapi. Semua boleh tersapu awan panas, tetapi denyut kehidupan akan menggeliat sesudahnya. Hanya perlu waktu. Baginya, Merapi tidak akan mengambil semuanya dari warga. Setidaknya kini tunas-tunas pohon pisang menyembul di sana-sini. Itu sumber harapan baru. Di sela-sela reruntuhan pepohonan, rumah-rumah penduduk, kandang, dan pohon yang menjulang tapi kering terbakar, pohon-pohon genarasi baru tumbuh. Tunas pohon pisang yang muncul hampir di setiap jengkal pekarangan warga, menurut Wawan, nanti akan ada gunanya. Jika berbuah, bisa diambil warga jika mereka kekurangan uang. Begitulah Merapi menghidupi warga setelah “mengirim” bencana. Wawan masih yakin dusunnya bisa hijau seperti sebelum erupsi. Dusun-dusun di lereng Merapi seperti Srunen, Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, Kopeng, Jambu, Pelemsari, Kaliadem, bisa dibilang nyaris 100 persen dipulihkan. Anehnya, amukan awan panas Merapi tak menyentuh beberapa dusun sekitar. Seperti Dusun Singlar dan Gading di Glagaharjo yang masih “hijau”. Denyut kehidupan mulai berdetak di lereng Merapi setelah radius bahaya diturunkan dan aktivitas gunung melandai beberapa hari ini. Warga yang rumahnya masih utuh sudah kembali ke dusun. Selasa kemarin, beberapa truk juga melintas dengan penumpang di bak beberapa ekor sapi. Hewan-hewan itu pulang kandang setelah sekian hari menghuni kandang darurat di pengungsian. Keyakinan sebagian warga, seperti Wawan, tetap ada ruang walau secuil di dusun untuk ditinggali lagi. “Jika memang pemerintah pusat mau merelokasi, saya mau. Namun, shelter atau hunian permanen yang mungkin ada nanti semoga tidak jauh dari dusun. Secara hati, berat berpisah dengan dusun. Seperti penduduk di kota, tak gampang pindah rumah,” katanya. Keyakinan dan harapan Wawan mewakili ratusan, bahkan ribuan warga yang kehilangan harta benda. Di antara mereka masih ada yang berharap dapat kembali suatu saat nanti. Di antara puing kehancuran, harapan mereka sirami. 4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan” Tak heran Mbah Maridjan menjadi juru kunci waktu itu. Karena orang tuanya Ayah Mbah Maridjan adalah sebagai juru kunci pada masa sebelumnya yang diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Ayah Mbah Maridjan pada waktu itu bergelar sebagai penewu dalam istilah keraton yang artinya camat. Nama kecil atau nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah Maridjan. Beliau lahir 05 Februari tahun 1927. Beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara, yang tiga saudara lainnya dua perempuan anak ke dua dan ke empat, anak ke tiga adalah laki-laki. Beliau diangkat sebagai juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1982 dan langsung bergelar sebagai Mas Penewu Suraksohargo Surakso artinya menjaga, hargo artinya gunung. Sebelum diangkat sebagai juru kunci, beliau sempat “magang” di kraton Yogyakarta selama 4 tahun dari 1977-1982. Bersama istrinya Bu Ponirah, beliau memiliki lima orang anak yaitu tiga perempuan dan dua laki-laki, yang sekarang sebagai penerus juru kunci gunung Merapi adalah Pak Asih anak ketiga dari lima bersaudara anak dari Mbah Maridjan. 5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat. Mbah Maridjan adalah orang yang penuh tanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi sampai tidak mau turun walaupun dalam situasi yang sangat genting sekalipun sampai beliau meninggal dunia di rumahnya, karena memiliki prinsip yang beliau pegang teguh adalah warga masyarakat semua bisa selamat. Dengan begitu, warga masyarakat merasa sangat kehilangan beliau yang rela mati demi masyarakat dan tanggung jawab yang diembannya tersebut. Arti kematian Mbah Maridjan dalam keadaan sujud. Menurut Pak Asih juru kunci sekarang “Beliau meninggal dalam keadaan sujud itu karena dia pasrah. Dia tidak mau pergi atau turun karena mengemban amanah yang diberikan kepadanya. Beliau tidak lari dari tanggung jawab yang diberikan Sri Sultan ke IX”. 6. Dampak Kematian Mbah Maridjan terhadap Bu Ponirah dan keluarga Derasnya informasi yang memberitakan bahwa Mbah Maridjan meninggal membuat shock keluarga Mbah Maridjan, termasuk istrinya. Tidak hanya pihak keluarga yang shock, warga pun sedih. Bahkan, ada warga yang menangis mendengar kabar meninggalnya Juru Kunci Gunung Merapi itu. Meskipun demikian, keluarga dan masyarakat sudah ikhlas bila benar itu Mbah Maridjan, katanya. Sebelum meninggal dunia, Mbah Maridjan tidak memberikan pesan apa-apa kepada saya maupun anak- anak. “Bapak tidak memberikan pesan terakhir kapada saya maupun keluarga”. “Saya tidak mendapat firasat apa- apa sebelum ditinggal Bapa k untuk selamanya”. Ia mengatakan, meskipun dengan berat hati, dirinya dan anak-anak telah mengihklaskan kepergian Bapak, karena hal itu telah menjadi takdir Allah. “kami sangat kehilangan orang yang sangat kami sayangi, tetapi kami harus tabah dan tawakal ”. Adik kandung Mbah Maridjan, Wignyo Suprapto mengatakan, dirinya sangat kehilangan seorang kakak yang penuh perhatian. “Saya berencana mau bertemu kakak untuk mengobrol pada selasa malam. Tetapi wedhus gembel telah menyapu rumah kakak lebih dulu dan membuatnya meninggal”. Ia Wignyo mengatakan, beberapa hari sebelum meninggal, kakak tidak berada di rumah. Pada hari Jum’at pagi kakak pergi ke Bandung untuk ziarah ke tempat besannya, dan Sabtu hingga Minggu singgah ke Jakarta untuk menjenguk cucunya. “Kakak saya baru pulang ke rumahnya pada hari Minggu malam. Jadi, saya belum sempat mengobrol dengan kakak”. Menurut dia, selama hidup Mbah Maridjan selalu tampil sederhana dan prihatin. Mbah Maridjan juga dinilai sangat terampil memainkan berbagai jenis kesenian Jawa. “Kakak saya sangat mahir bermain kesenian Jawa seperti wandul, kethoprak, wayang, karawitan, dan shalawatan”. Mbah Maridjan meninggalkan satu istri Ny Ponirah dan lima anak, yakni Suradiyem, Sulastri, Asih, Sulami, dan Widodo. Mbah Maridjan meninggal dalam keadaan sujud. Sungguh sebuah kematian yang khusnul khatimah. Di saat banyak orang mengungsi, ia tetap pada tempatnya. Rupanya, ia merasa yakin bahwa jika ajalnya telah tiba, maka saat itu juga pasti akan tiba. Keyakinan spiritual inilah yang membuatnya kemudian meninggal dalam keadaan beribadah kepada Allah sujud.

C. Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan

Sepanjang Mbah Maridjan menjadi juru kunci Merapi selama puluhan tahun, diangkat Sultan Hamengku Buwono IX, yang bergelar Mas Penewu Suraksohargo, menggant ikan posisi ayahnya belum “turun” gunung, maka sebagian masyarakat juga belum akan turun. Selain menjadi bagian dalam suatu bangunan kepercayaan dalam suatu kosmologi Jawa, Mbah Maridjan juga telah mengisi kekosongan akibat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. “Reputasi” Mbah Maridjan makin melesat ke atas dalam peristiwa meningkatnya kegiatan Gunung Merapi pada tahun 2006 yang lalu. Kala itu, petugas pemerintah berdasarkan data teknis yang diperoleh berdasarkan catatan rekaman berbagai peralatan monitor, memutuskan untuk menyerukan evakuasi masyarakat dari zona-zona berbahaya. Tapi Mbah Maridjan setelah pulang dari semedi, entah di bagian mana Gunung Merapi berkata sebaliknya, bahwa Gunung Merapi belum akan membahayakan masyarakat. Sebagian besar masyarakat lebih percaya kepada sang juru kunci dan menolak untuk dievakuasi. Aparat pemerintah, dengan kawalan polisi, akhirnya menjemput paksa Mbah Maridjan untuk dibawa meninggalkan rumahnya. Ternyata, Gunung Merapi tak berlanjut erupsinya di tahun 2006 itu sehingga batal menjadi bencana besar. Ma kin sah pulalah “kesaktian” dan kekuatan spritual Mbah Maridjan, yang dianggap tahu persis kapan sang gunung akan meletus atau tidak, karena kemampuannya ber”komunikasi” dengan “kekuatan” tak kasat mata dari “penguasa” Merapi yang sesungguhnya. Tiba-tiba Mbah Maridjan menjadi “tokoh nasional” yang lebih dipercaya daripada pemerintah. Ketika sebuah perusahaan jamu tradisional Sido Muncul, produsen sejenis minuman kesehatan yang menjanjikan keperkasaan, Kuku Bima EnerG, memanfaatkan Mbah Maridjan sebagai bintang iklannya lengkaplah sudah supremasi spiritual Mbah Maridjan di masyarakat, terutama di kalangan menengah bawah hingga lapisan akar rumput. Penampilan bintang dunia olahraga yang berotot dalam iklan minuman berenergi tersebut yang selalu diminum dengan cara tertentu yang membuat minuman tumpah-tumpah menjadi lambang kekuatan fisik, sementara Mbah Maridjan yang sebenarnya secara fisik sudah menuju renta dalam usia 83 tahun menjadi simbol kekuatan spiritual. Suatu pola pencitraan yang bagi sebagian orang dianggap cenderung sesat, dan sama sekali tidak ikut mencerdaskan, tetapi itulah realita dunia periklanan yang lebih mengutamakan bagaimana “mencuci” otak dalam rangka memperdagangkan kesan demi kepentingan keuntungan dunia usaha komersial. Pengetahuan Mbah Maridjan lebih jauh, dibangun bukan dalam pandangan positivisme. “Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya dengan cara positivisme”. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan kata-kata, simbol- simbol nyata, atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam “pengetahuan yang tak terungkapkan”. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara kegiatan intelektual dengan unsur-unsur pengalaman personal ke dalam satu