D. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana tersebut sebagai Toerekenbaarheid, Criminal responsibility, Criminal Liability.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana atau
Crime yang terjadi atau tidak.
17
Menurut Van Hamel, sebagaimana yang dikutip oleh Martiman, pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tentang macam kemampuan untuk dipahami arti dan akibat perbuatannya sendiri. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan
atau dilarang oleh masyarakat menentukan kemampuan terhadap perbuatan- perbuatan itu.
18
Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan kelanjutan dari perbuatan pidana yang merupakan suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Ia juga berpendapat bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya atas
perbuatannya jika :
17
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya
, Jakarta: Alumni Ahaem Pathaem, 1996, h. 245.
18
Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, Cet.Ke-1, h. 32.
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti
atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya.
2. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menekan
kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. 3.
Orang itu harus sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum,
masyarakat maupun tata susila.
19
Dari tiga hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab atau tidak pada dua faktor. Pertama, faktor
akal, yaitu seseorang dengan akalnya dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kedua, faktor kehendak, yaitu
seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “Orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”.
20
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama tergantung dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan
19
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I, h. 224
20
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, h. 155
terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada
orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak
ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan demikian, tidak mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana,
jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana seorang dapat dimintai pertanggungjawaban.
21
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak. Jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang diharuskan, seseorang dapat dipertanggung-jawab-pidanakan
atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan-tindakan tersebut bersifat melawan hukum dan tiadak ada sifat peniadaan melawan hukum atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar untuk itu. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang ”mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab pidana kan. Dikatakan
seseorang mampu bertanggungjawab toerekeningsvaatbaar, bilamana pada umumnya :
1. Keadaan jiwanya :
21
Chairul Huda, Dari : ”Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet.Ke-1, h.19
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
temporair; b.
Tidak cacat dalam pertumbuhan gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya; c.
Tidak terganggu karena terkejut, seperti hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, menindur, menggigau karena demam
dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 2.
Kemampuan jiwanya : a.
Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya; b.
Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;
c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
22
Dalam hukum pidana untuk dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukannya, harus disandarkan pada kemampuan
bertanggungjawab. Karena pada dasarnya hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab sajalah yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya.
Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana ini kemampuan tidak didasarkan pada keadaan dan kemampuan berfikir
seseorang, melainkan didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa orang tersebut.
Penentuan kemampuan bertanggungjawab pidana ini lebih ditujukan pada subyek tindak pidana yang harus sesuai dengan ketentuan undang-undang
sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemidanaan terhadap pelaku selain memperhatikan adanya unsur kesalahan pada pelaku tindakan
pelaku tersebut bersifat melawan hukum baik secara formil maupun materiil
22
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
h.224.
dan dilakukan sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan lain yang ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 44 KUHP mengatur bahwa seseorang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya karena keadaan jiwanya yang cacat
dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.
23
Sementara Ruslan Saleh mengemukakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi tiga unsur, yaitu :
1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya;
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat; 3.
Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Seseorang yang dianggap memiliki keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya apabila orang tersebut meski sudah dewasa namun masih
berkelakuan seperti anak-anak. Hal ini diakibatkan oleh lambatnya pertumbuhan jiwa orang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan
jiwa yang terganggu karena penyakit adalah kondisi jiwa seseorang yang semula sehat atau baik-baik saja namun kemudian dihinggapi penyakit kejiwaan
tertentu. Kondisi lazim ini disebut ”gila” pathologische ziektetoestand. Dalam KUHP sebenarnya tidak diberikan batasan-batasan yang jelas,
namun dalam pasal 44 KUHP digambarkan bahwa keadaan pelaku atau
23
Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet.Ke-1, h.19.
seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Kurang sempurna akalnya
Kurang sempurna akal ini dapat dijelaskan sebagai jiwa yang pertumbuhannya terlambat atau terbelakang atau dapat pula kurang
sempurna kecerdasan otaknya. Orang semacam ini bila dilihat keadaan fisiknya sebenarnya tidak sakit, tetapi keadaan jiwa masih seperti anak-
anak. Hal itu disebabkan oleh pikirannya yang tidak dapat berkembang maju sehingga tidak mempunyai pikiran yang normal untuk dapat membedakan
baik dan buruknya suatu perbuatan. Biasanya orang demikian dalam keadaan sehari-hari disebut idiot. Keadaan seperti ini juga terkadang
keadaan yang sejak lahir : a.
Pembelaan diri; b.
Menjalankan ketentuan undang-undang; c.
Menjalankan perintah jabatan; d.
Pengajaran dan pengobatan. 2.
Sakit berubah akal atau ingatan Yaitu orang yang jiwanya sakit atau terganggu oleh suatu penyakit,
sehingga ia tidak dapat berfikir secara normal. Orang yang menderita sakit ingatan ini pada waktu lahir mungkin keadaannya baik-baik saja dan
pikirannya dapat berkembang maju. Namun karena suatu hal yang menganggu pikirannya sehingga menjadi berubah akal.
Adapun dalam teori hukum pidana, terdapat alasan-alasan yang menghapuskan hukuman, yaitu :
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan hukuman, sehingga apa
yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pembenar disebut juga ”fait D’justificatif” yang bertalian dengan
perbuatan itu sendiri karena adanya suatu sifat pada perbuatannya, sehingga perbuatan itu tidak dilarang.
2. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana karena tidak ada kesalahan. Alasan
pembenar disebut juga ”fait D’execuse” atau hal yang dimaafkan karena si pelaku oleh undang-undang hukum pidana :
a. Belum dewasa;
b. Daya paksa;
c. Kurang sempurna akal.
BAB III PENGHINAAN DAN KEBEBASAN PERS