Disparitas pemidanaan kasus korupsi dalam pandangan hukum islam dan hukum positif Indonesia : studi pemidanaan terhadap kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

(1)

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

(Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)

Disusun oleh : HAVIZAL WENDRA

NIM: 104043101275

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA (Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Ciputat, 23 Juni 2010 M 10 Rajab 1431 H Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH,M.A.,M.M. NIP. 1955 0505 1982 031012

PANITIA UJIAN

Ketua : Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH,M.A.,M.M. ( ...)

NIP. 195505051982031012

Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ...)

NIP. 196511191998031002

Pembimbing I : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A. ( ...)

NIP. 195811281994031001

Pembimbing II : Drs. Abu Tamrin, SH, M. Hum. ( ...)

NIP. 196509081995031001

Penguji I : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. ( ...)

NIP. 196912161996031001

Penguji II : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. ( ...)


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Kripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya menerima sanksi yang berlaku di Universitan Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Juni 2010


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur yang mendalam penulis ucapakan kepada Allah SWT, sumber segala kehidupan yang tiada henti-hentinya mengalirkan limpahan rahmat, hidayah dan kasih sayangNya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengajarkan pentingnya arti kehidupan dalam kebaikan dan jalan keselamatan.

Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak menemui kendala dan hambatan. Namun berkat dorongan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kedapa semua pihak yang telah banyak membantu dan menolong penulis, secara khusus penulis haturkan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. K. H. Ahmad Mukri Aji, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.


(5)

3. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A dan Bapak Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang senantiasa meluangkan waktunya ditengah-tengah kesibukan beliau, untuk memberikan arahan dan bimbingan serta saran-sarannya bagi penulis selama penyusunan skripsi.

4. Bapak Kamarusdiana, MH., Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, yang telah banyak membantu penulis dalam hal proses perkuliahan dan administrasi.

5. Para dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang berkompeten dalam bidang ini, baik secara langsung meupun tidak langsung telah membantu pemahaman penulis.

6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh staf yang telah banyak memberikan bantuan dan kemudahan dalam pengumpulan bahan skripsi.

7. Pimpinan dan jajaran staf Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan kemudahan dan kesempatan kepada penulis dalam rangka penyusunan skripsi ini.

8. Ayahanda Emrizal dan Ibunda Guswendri, terimakasih atas segala kesabaran, keikhlasan dan kasih sayang yang tak pernah habis dan doa-doa tulusnya, semoga Allah selalu memberi rahmat dan kesehatan serta membalas atas jasa dan ketulusan mereka. Dan juga adik-adik (M. Mirza


(6)

perjalanan menuntut ilmu.

9. Kepada Amylia Yarshinta, yang selalu sabar menghadapi penulis dan memberi motivasi dalam penulisan skripsi ini.

10.Segenap Keluarga Besar Mahasiswa Minang Kabau Ciputat (Da Desmi, Rany, ricky, Al, Rino, Boy, Oky), rombongan KKS dan Baksos ke Painan, semoga persahabatan yang terjalin selama ini tidak terputus sampai disini.

11.Rekan-rekan Perbandingan Mazhab Fikih ’04 , dan kepada Muadz, Paul, Welvis, Ray, terima kasih dukunganya.

Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah swt, semoga berkenan menerima segala amal kebaikan dan ketulusan mereka sera memberikan mereka sebaik-baik balasan atas amal baik mereka.

Demikian sepatah dua patah kata dari penulis, besar harapan karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan khasanah ilmu pengetahuan umumnya. Amin.

Jakarta, 26 Mei 2010

Havizal Wendra


(7)

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Review Kajian Terdahulu ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM A. Korupsi ... 14

1. Pengertian Korupsi... 14

2. Jenis-jenis Korupsi ... 18

3. Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi... 22

4. Penanggulangan Terhadap Korupsi ... 25

B. Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam ... 26

C. Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan ... 28


(8)

1. Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi dan KUHP ... 28

2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi ... 31

BAB III DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM HUKUM A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan... 38

1. Pengertian Pemidanaan... 38

2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan... 39

B. Disparitas Pemidanaan ... 47

1. Pengertian Disparitas Pemidanaan ... 47

2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pemidanaan... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Kondisi Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 53

1. Identifikasi Perkara... 53

2. Analisis ... 55

B. Dampak Disparitas Pemidanaan ... 59

C. Upaya-upaya Mengurangi Disparitas Pemidanaan... 60

D. Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Tinjauan Hukum Islam ... 63


(9)

vi

A. Kesimpulan ... 72 B. Saran-Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini Indonesia sedang menghadapi sebuah masalah besar dan paling krusial terjadi dalam sebuah Negara, yaitu korupsi. Persoalan ini tidak saja menjadi permasalahan struktural, namun lebih dari itu. Karena korupsi itu sudah menjadi masalah struktural menyebabkan korupsi tersebut menjadi semacam budaya nasional, dan bagian yang tidak bisa terlepaskan dari realitas birokrasi masyarakat. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat kata korupsi terdengar dan terlontarkan baik itu dari media massa ataupun elektronik. Bahkan seseorang rela menanggalkan title keimanannya demi mendapatkan kekayaan dan kepuasan materi, walaupun korupsi sudah terjadi sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan yang tersebar dari ujung Sabang sampai Merauke.1 Oleh karena itu, pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan tanpa rasa lelah dan manusia selalu ingin menghapuskan korupsi, walaupun ada yang mengatakan “korupsi hanya bisa dihapus di surga”.2

Korupsi sangatlah erat kaitannya dengan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada penguasa ataupun pemerintah setempat. Mengutip pendapat Lord Action “power tend to corrupt”, adanya kekuasaan yang dimiliki oleh para

1 Syed Husain Alatas, Korupsi; Sifat, Sebab dan fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 64. 2 Munawar Foad Noeh, Islam dan Gerakan Anti Korupsi, (Jakarta: Zikrul Hikam, 1997), h. 49.


(11)

penguasa memberikan kecenderungan untuk berbuat korupsi dan bahkan tindakan korupsi dapat terjadi didalam tubuh organisasi atau diluar organisasi. Korupsi ada yang dilakukan oleh pejabat sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap ataupun memungut uang yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk tujuan yang tidak sah atau lebih dikenal dengan istilah free lance.3

Kekuasaan sangatlah memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan korupsi, dilihat dari beberapa kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia para pemegang kekuasaan dan wewenang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tindak pidana korupsi, baik itu untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok.

Hukuman yang patut diberikan kepada para pelaku tindak pidana harus sesuai dengan tujuan dari pemidanaan tersebut. Oleh karena itu hukuman yang diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemashlahatan bagi individu dan masyarakat.

Dengan demikian, hukuman yang baik adalah: 1. Harus dapat mencegah seseorang dari berbuat maksiat.

2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemashlahatan masyarakat.

3

Robert Klitgaard, dkk, Terjemah: Teten Masduki, penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 3.


(12)

3. Memberikan hukuman bukan berarti balas dendam, melainkan semata-mata untuk kemashlahatan.

4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh kedalam perbuatan maksiat.4

Dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana, sejak dulu sampai sekarang masalah penjatuhan vonis terhadap pelaku kejahatan marak diperbincangkan dan diperdebatkan, terutama terkait dengan penerapan sanksi hukuman pidana. Menurut Alf Ross dalam bukunya “On Guil Responsibility and punishment” ada dua tujuan pemidanaan, pertama ditujukan pada pembalasan penderitaan terhadap pelaku dan kedua terhadap perbuatan para pelaku.5

Alf Ross6 menggambarkan bahwa pemidanaan (apa pun bentuknya) lebih ditujukan pada sifat melawan hukum pelaku. Jika pun berimbas, hal itu merupakan sebuah konsekuensi. Diharapkan nantinya (paling tidak), pelaku bisa menyadari perbuatannya yang salah dan tidak akan mengulanginya lagi serta mencegah orang lain meniru perbuatan orang tersebut.

Sementara Leo Polak7 menilai bahwa penjatuhan pidana lebih ditujukan untuk menjaga keseimbangan tertib hukum. Itulah sebabnya pemidanaan harus diefektifkan untuk menjaga keseimbangan tata tertib hukum dalam masyarakat agar tidak terganggu.

4

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 26-27.

5

Marwan Mas, Konfigurasi Penjatuhan Pidana, Hukum Online, h.1 6

Marwan Mas, Ibid. 7


(13)

Polemik dalam masyarakat akan muncul, ketika hakim menjatuhkan pidana yang berbeda. Kondisi ini dipersepsikan publik sebagai bukti tidak adanya keadilan sosial (social justice) di dalam sebuah Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri. Hal ini disebabkan karena putusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Dari sini akan nampak suatu persoalan serius, apakah hakim telah melaksanakan tugasnya sebagai penegakkan hukum dan keadilan?

Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi peraturan perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun ekstra yuridis. Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah.8

Disparitas pidana akan berakibat fatal bilamana dikaitkan dengan

correction administration, yaitu terpidana setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban the judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Bahkan dapat

8

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1999), cet. Ke-2, h.53.


(14)

menimbulkan demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat dari pada yang lain dalam kasus yang sebanding.

Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji dalam karya tulis ini, berjudul “DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA;

Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan Skripsi ini adalah pada disparitas pemidanaan atau perbedaan dalam (vonis) kasus korupsi dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia, dan pembahasan skripsi ini difokuskan pada putusan kasus korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Agar pembahasan skripsi ini terarah, tidak meluas secara tidak menentu, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Hukum Islam dibatasi pada hukum yang bersumber dari wahyu Allah, Sunnah Rasul dan Ijtihad.

2. Hukum positif dibatasi pada keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku di Indonesia.


(15)

3. Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasan pada disparitas pemidanaan kasus korupsi yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor perkara No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel.

Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi disparitas pemidanaan pada kasus korupsi yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan?

2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya disparitas pemidanaan terhadap kasus korupsi?

3. Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi disparitas pemidanaan ?

4. Bagaimana disparitas pemidanaan dalam tinjauan hukum Islam?

C. Tujuan dan manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui kondisi disparitas pemidanaan korupsi dalam kasus korupsi yang yang dijatuhkan pada Drs. Tri Witjaksono S., M.Si yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya disparitas pemidanaan terhadap kasus korupsi.

c. Untuk mengetahui Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi disparitas pemidanaan.


(16)

d. Untuk mengetahui dan menguraikan Bagaimana disparitas pemidanaan dalam tinjauan hukum Islam.

2. Manfaat penelitian

a. secara teoritis, yakni untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan dan juga menambah wawasan tentang bagaimana hukum Islam memandang tindak pidana korupsi dan segala hal yang terkait dengan itu.

b. Secara praktis, agar tulisan ini dapat direalisasikan dan diaplikasikan dengan baik, sehingga hukum di Indonesia dapat ditegakkan dan tidak dipandang sebelah mata dan tulisan ini akan memberikan pencerahan terhadap penegakan hukum di Indonesia.

c. Sebagai penambah bahan ataupun literatur perpustakaan dalam kajian hukum Islam.

D. Metode Penelitian

1. Metode dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis dan historis, yaitu kajian yuridis terhadap putusan majelis hakim setelah vonis dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penelitian ini didasarkan pada praktek (law in action) dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia.


(17)

2. Jenis Penelitian

Berdasarkan data yang dikumpulkan, maka penelitian ini digolongkan kepada penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur atau menilai praktek hukum (law in action) terhadap peraturan perundang-undangan korupsi di Jakarta Selatan dengan sebuah pemaparan dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga akhirnya akan membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan yang ada.

3. Kriteria Data

a. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim yang pernah menangani perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

b. Data sekunder yaitu data yang berasal dari kepustakaan, yang terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah, buku-buku, dan literatur-lileratur yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dokumen dan artikel.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik untuk mengumpulkan data, yakni studi pustaka dan studi dokumentasi tentang salah satu putusan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.


(18)

Sebelum penulisan dimulai penulis telah melakukan observasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bertujuan untuk mendapatkan data-data sebagai pendukung pada saat penulisan skripsi ini.

b. Studi Kepustakaan (library research)

Dilakukan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep, pendapat para ahli hukum pidana dari buku-buku, makalah-makalah seminar dan artikel, media cetak maupun diambil melalui internet

(website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok

masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. c. Studi Dokumenter

Data dokumenter yang akan diteliti pada penelitian ini adalah vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel tentang korupsi.

d. Wawancara Tak Terstruktur

Dilakukan terhadap seorang hakim yang pernah menangani perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hakim pada saat akan menjatuhkan vonis pidana. Hasil wawancara akan dianalisis secara

interpretatif.


(19)

Putusan atau pandangan hakim akan dianalisis secara deskriptif analitis. Pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas, sistematis, objektif, kritis dan analitis mengenai fakta-fakta yang bersifat yuridis normatif. Data yang diperoleh dipaparkan kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan komparatif dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung.

6. Teknik Penulisan

Secara teknis, penulisan skripsi ini mengacu pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum”, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, sehingga penulisan ini tidak melenceng dari aturan teknik penulisan yang ada.

E. Review Kajian Terdahulu

Dalam studi pendahuluan, penulis meneliti hasil dari skripsi yang ada, yakni skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum: 1. Disparitas Pemidanaan Narkoba dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum

Positif Indonesia, pada Tahun 2004, oleh Fauzul Aliwarman, PMH.

Dalam skripsi yang pertama ini, spesifikasi penulisannya lebih cenderung pada studi pemidanaan terhadap kasus narkotika dan mengangkat dari dua putusan dari dua Pengadilan yang berbeda, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tingkat Tinggi.


(20)

2. Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dan sanksinya menurut hukum Islam dan hukum positif (studi analisis putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan). Pada tahun 2006, oleh Raudlatun, PMH

Dalam penulisan skripsi yang kedua ini, penulis menjelaskan bagaimana tindak pidana korupsi dan sanksi yang harus diberikan kepada para pelaku korupsi, dan penulis menggunakan studi analisis putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

3. Disparitas Putusan Hakim dalam Memutuskan Sebuah Perkara Tindak Pidana Narkoba (Studi Perbandingan Mazhab Fiqih dan Hukum Pidana Positif Tentang Putusan Kasasi di Mahkamah Agung), pada tahun 2006, oleh Asep Maulana, PMH.

Pada skripsi ini penulisnya menganalisis studi perbandingan yang labih spesifik pada pendapat para mazhab dan putusan yang dianalisis adalah putusan Kasasi di Mahkamah Agung.

4. Dalam penulisan skripsi yang ketiga ini, penulis menjelaskan bagaimana putusan hakim dan mengungkap adakah disparitas putusan hakim Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana narkotika dan obat-obatan (narkoba). 5. Disparitas Putusan Hakim Terhadap Perkara Hadanah di Pengadilan Agama

Jakarta Timur, pada tahun 2007, oleh Syamsul Bahri.

Pada skripsi ini penulis mengemukakan tentang perbedaan yang terjadi dalam memutuskan perkara hadanah oleh hakim.


(21)

Dalam penulisan skripsi, penulis mengambil judul “Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia” (Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan). Disini penulis menjelaskan bagaimana disparitas pemidanaan kasus korupsi dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Spesifikasi skripsi ini adalah dari sekian penelitian yang berkaitan dengan masalah korupsi, belum ada yang membahas bagaimana disparitas pemidanaan kasus korupsi dalam pandangan hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Dalam skripsi ini penulis melakukan telaah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jak.Sel. untuk mengetahui bagaimana disparitas pemidanaan dalam kasus korupsi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman dan adanya keteraturan dalam penulisan ini penulis membagi materi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. dimulai dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan kajian terdahulu, sistematika penulisan.

BAB II Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pengertian korupsi, jenis-jenis korupsi, faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, penanggulangan


(22)

terhadap korupsi, korupsi dalam pandangan hukum islam; pengertian korupsi dalam pandangan hukum islam.

BAB III Pada bab ini menjalaskan tentang tujuan serta fungsi pemidanaan, pengertian disparitas pemidanaan dan faktor-faktor penyebab disparitas pemidanaan baik secara yuridis maupun ekstra yuridis.

BAB IV Merupakan inti pembahasan. Pada bab ini akan membahas apa saja yang menjadi perumusan masalah, akan diungkap bagaimana disparitas pemidanaan yang terjadi pada PN Jakarta Selatan dalam kasus korupsi, dampak disparitas pemidanaan dan upaya mengurangi disparitas pemidanaan. disparitas pemidanaan dalam kasus korupsi dalam tinjauan hukum islam, upaya-upaya mengurangi disparitas pemidanaan.

BAB V Merupakan rangkaian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya memuat kesimpulan disertai saran-saran yang bersifat membangun.


(23)

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA

DAN HUKUM ISLAM

A.

Pengertian Korupsi

1. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan gejala sosial yang sangat subur, dan merupakan parasit terhadap pembangunan nasional, sehingga tindakan pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasannya tidak bisa diabaikan.1

Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin, yakni Corruptio atau Corruptus yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis

Corruptio dalam bahasa Belanda korruptie dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia Korupsi.2 Secara harfiah korupsi adalah segala macam perbuatan yang tidak baik seperti kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.3

Korupsi dalam prakteknya memiliki beragam pengertian. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu bersilang pendapat untuk merumuskan

1

Juniadi Soewartoyo, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan dan Penanggulangannya, (Jakarta, Restu Agung,1992), h. 45.

2Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar

Grafika 1985) h. 78

3

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang, Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005), Cet ke-2 h. 1


(24)

pengertian yang paling memadai. Menurut Wetheim seorang pejabat dikatakan melakukan korupsi apabila ia menerima hadiah dari seseorang agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan pemberi hadiah. Meminta hadiah atau balas jasa karena terlaksananya suatu tugas yang padahal sebenarnya adalah kewajiban, bagi Wetheim juga dapat digolongkan tindakan korupsi, dan tindakan korupsi juga dikenakan kepada pejabat yang mengunakan uang Negara yang berada dibawah pengawasannya untuk kepentingan pribadi.4

Secara harfiah dapat diartikan bahwa korupsi memiliki arti yang sangat luas:5

a. Penyelewengan dan penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b. Korupsi dapat berarti busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang

dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.

Dalam analisis fenomenologis, menurut Syed Hussen Alatas, korupsi mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Bila bentuknya pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan korban. Apabila bentuknya penyuapan terhadap pejabat, ini berarti membantu terjadinya

4

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta: Zikrul Hakim, 1997), Cet I, h. 77


(25)

pencurian. Jika terjadi dalam bentuk kontrak, korupsi berarti pencurian keputusan sekaligus pencurian uang hasil keputusan.6

Menurut Baharuddin Lopa, pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang Tindak Pidana Korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai Negeri.7

Di dalam The Lexicon Webster Dictionary, dimuat arti kata corrupt

antara lain adalah: ajakan dari seorang pejabat politik dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya melakukan pelanggaran tugas.8

6

Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3S) h. 129

7

Artikel di Akses Pada 5 juni 2009.

http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-filsafat-ilmu


(26)

Max Weber mengatakan,9 orang tidak boleh membuat definisi sebelum membuat derivasi dari definisi tersebut, yang berupa ciri-ciri dari korupsi. Syed Hussen Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut:10 a. Suatu penghianatan terhadap kepercayaan.

b. Penipuan terhadap daban pemerintah, lembaga swasta dan masyarakat

umum.

c. Dengan sengaja melalaikan kepercayaan umum untuk kepentingan

khusus.

d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang

berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu. e. Melibatkan lebih dari satu pihak atau orang.

f. Adanya kewajiban atau keuntungan bersama dalam bentuk uang atau

barang.

g. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki

keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhi.

h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk

pengesahan hukum.

i. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang

melakukan korupsi.

9

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, h. 31

10

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya (jakarta: Gramedia 1984), h. 9


(27)

Melihat dari ciri-ciri di atas korupsi dapat diartikan Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, keluarga sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan berupa tingkah laku.

Karena luasnya tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, maka definisinya selalu berkembang, baik secara normatif maupun secara empiris. Dalam hal ini, istilah dari Bank dunia cukup mewakili, korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi (The abuse of public office for privat gain).11

2. Jenis-jenis Korupsi

Benveniste dalam bukunya Bureaucrary (1991), membagi korupsi dalam 4 jenis, yakni: discretionary corruption, illegal corruption, Mercenery

corruption, dan ideological corruption. Piers Beirne dan James

Messerschmidt dalam criminology (1995) membagi korupsi dalam 4 jenis, yaitu: political Bribery, political Kickbacks, Election Fraud dan corrupt Campaign Practice.12

11Sudirman Said dan Nizar Suhendra, korupsi dan Masyarakat Indonedsia dalam Hamid

Basyaib, mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Aksara 2002) h. 99

12

Arya Maheka, (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi (Mengenali dan Memberantas Korupsi), h. 16


(28)

Menurut Suara Karya ada tujuh macam korupsi yaitu :

a. Korupsi transaksional yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak, keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan dan mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.

b. Korupsi yang bersifat memeras yaitu apabila pihak pertama harus

melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.

c. Korupsi yang bersifat ontogenik yaitu hanya melibatkan orang yang

bersangkutan.

d. Korupsi depensif yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk

membela dirinya.

e. Korupsi yang bersifat investasi (memberikan pelayanan barang dan jasa

agar nanti mendapatkan uang terima kasih.

f. Korupsi yang bersifat nepotisme yaitu penunjukkan “orang-orang saya”

untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa “keluarga” sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.

Korupsi suportif yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang dan jasa atau pemberian apapun.13

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

13

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi (Jakarta: Zikrul Hakim, 1997), h. 44.


(29)

a. Perbuatan melawan hukum.

b. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:

a. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); b. Penggelapan dalam jabatan;

c. Pemerasan dalam jabatan;

d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara); e. Menerima gratifikasi (bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara).

Di dalam pasal 1 Peraturan Penguasa Perang Pusat AD tersebut perbuatan korupsi dibedakan menjadi dua, yakni (1) perbuatan korupsi pidana dan (2) perbuatan korupsi lainnya. Menurut pasal 2, perbuatan korupsi pidana ada tiga macam, yakni sebagai berikut.

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan

atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.


(30)

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan

Penguasa Perang Pusat ini dan dalam pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.

Dari tiga macam perbuatan korupsi pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana korupsi terjadi dalam hal apabila si pembuat melakukan kejahatan atau pelanggaran yang (1) merugikan Negara, atau (2) yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau (3) tindak pidana pasal 41 sampai dengan 50 Peraturan Penguasa Perang pusat ini, dan (4) pasal: 209, 210, 418,419, dan 420 KUHP.

Sedangkan perbuatan korupsi lainnya (pasal 3) dibedakan menjadi dua macam yakni, pertama Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. Kedua Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan


(31)

hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi

Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi itu sendiri sebagai pemegang amanah berupa jabatan dan wewenang yang diembannya, dan bisa juga berasal dari eksternal berupa sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga membuka

peluang untuk melakukan korupsi14 dan situasi lingkungan yang kondusif

bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

Sarlito W. Sarwono, ada dua hal yang mendorong terjadinya korupsi: faktor dorongan dari dalam diri sendiri dan faktor rangsangan dari luar.

AS Harris Sumadiria mengatakan bahwa korupsi lahir karena memburuknya nilai-nilai sosial, korupsi kambuh karena adanya penyalahgunaan tujuan wewenang dan kekuasaan, dan korupsi hidup karena sikap dan mental para pejabat yang semakin memburuk, baik pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.15

14Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah disertasi, (Sekolah Pascasarjana, UIN Syahid Jakarta, 2008), h.40.

15

Juniadi Soewartoyo, Korupsi Pola Kegiatan dan Pendekatannya Serta Peran Pengawasannya dalam Penanggulangannya (Jakarta: Restu Agung 1992), h. 30.


(32)

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :

a. Penegakan hukum yang tidak konsisten : penegakan hukum hanya

sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.

b. Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, takut dianggap bodoh kalau

tidak menggunakan kesempatan.

c. Langkanya lingkungan yang anti korup : sistem dan pedoman anti korupsi

hanya dilakukan sebatas formalitas.

d. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh

harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

e. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi

karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

f. Budaya member upeti, imablan jasa dan hadiah.

g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi :

saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.


(33)

h. Budaya permisif atau serba membolehkan : tidak mau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.

i. Gagalnya pendidikan agama dan etika : Agama menjadi pembendung

moral bangsa dalam mencegah perbuatan yang tidak baik.16.

Menurut Andi Hamzah, tentang kuasa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, berbagai pendapat telah dilontarkan. Ditambah dengan pengalaman-pengalaman selama ini, kita dapat membuat asumsi atau hipotesa misalnya sebagai berikut:17

a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai Negeri dibandingkan dengan

kebutuhan sehari-hari semakin meningkat.

b. Ada juga yang menunjuk latar belakang ke budayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

c. Management yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan

efisien.

d. Penyebab korupsi adalah modernisasi.

Dari beberapa pendapat yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab utama terjadinya korupsi adalah budaya matrealistik yang sudah sangat melekat pada jiwa seseorang, sehingga cara

16

Arya Maheka, KPK komisi pemberantasan korupsi, h. 23

17Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, h.13.


(34)

apapun akan dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya walaupun itu sangat merugikan masyarakat ataupun Negara.

4. Penanggulangan Korupsi

Baharuddin Lopa menyatakan, mencegah korupsi dan kolusi tidak begitu sulit, kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) diatas kepentingan pribadi atau golongan. Sebab, betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada dihati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan tetap terjadi.18

Pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan dengan berbagai upaya preventif yang dapat mencegah timbulnya korupsi kembali maupun perilaku koruptif dimasa yang akan datang. Korupsi bukanlah sesuatu yang harus dipelihara namun korupsi harus diberantas dengan cara yang tepat dan cepat, seperti dengan Langkah preventif, langkah yang paling tepat dan efektif, karena menghindari jauh lebih baik dari pada mengobati penyakit itu

(korupsi). Untuk mencegah terjadinya korupsi.19 Penanggulangannya lebih

dititik beratkan pada kekuatan mental dan sistem manajemen yang professional, pertama.

18Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,(Jakarta: PT. Kompas

Media Nusantara 2002), cet ke-I, h.85.

19 Baharuddin Lopa, permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta: Bulan


(35)

Kedua, Langkah represif, yakni yang sangat penting juga dilakukan asalkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, menindak tanpa pandang bulu bagi siapa saja yang melakukan korupsi, baik itu pejabat ataupun rakyat biasa yang melakukan korupsi harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

B.

Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam

Berdasarkan makna leksikal dan pengertiannya, prinsip anti korupsi dalam etika Islam banyak sekali.20 Dalam khazanah atau literatur klasik Islam, secara umum tidak ditemukan terminolog yang mengandung makna korupsi secara menyeluruh,21 namun istilah korupsi dapat disebandingkan dengan melihat dari pengaruh yang ditimbulkannya, dan karena tindakan korupsi setidaknya

mengandung unsur-unsur seperti risywah (suap), saraqah (pencurian),

al-ghasysy (penipuan), dan khinayah (pengkhianatan,22 ghulul (penggelapan hak

milik publik), dan hirabah (memerangi Allah dan RasulNya, merusak tatanan

publik).23

20Chaider S. bamualim dan JM. Muslimin, ed., Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi Islam, h.71.

21

Mashuri Na’im, Nur Rofiah, dan Imdadun Rahmar, NU melawan korupsi: kajian tafsir dan fiqih, (Jakarta: PB Nahdhatul Ulama, 2006), h. 107 Kutipan: Supriyadi Ahmad, Surga Dunia Bernama Korupsi: perspektif Hukum Islam dan Hukum positif Indonesia.

22

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, h. 87.

23

Mashuri na’im, nur rofiah, dan Imdadun Rahmar, NU melawan korupsi, Kutipan: Supriyadi Ahmad, Surga Dunia Bernama Korupsi 107-112


(36)

Dalam kajian hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits

tindakan korupsi termasuk dalam masalah mu’amalah maaliyah (Persoalaan

ekonomi keuangan). Dari aspek normatif jelas bahwa korupsi “diharamkan” oleh agama. Misalnya oleh Nabi Muhammad SAW. Dipandang sebagai perbuatan terlaknat dan terkutuk. Dan juga didalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 dijelaskan:

Artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sekali-kali memakan harta sesama dengan jalan yang bathil (tidak sah), kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh bangsamu sendiri. Sesungguhnya Allah itu penyayang padamu”. (Q.S. an-Nisa’/ 4: 29).

Kemudian dijelaskan lagi oleh ayat berikutnya:

Artinya: “barang siapa yang melakukan hal itu (memakan harta secara tidak sah) dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami (Allah) akan memasukkannya kedalam neraka”. (Q.S. an-Nisa’/ 4: 30).


(37)

Ayat-ayat yang mempunyai arti kemiripan terhadap perbuatan korupsi

(risywah), misalnya dalam surat al-Maidah ayat 42 yang berbunyi:

Artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bihing, banyak memakan yang haram”. (Q.S. al-Maidah/ 5: 42).

Menurut istilah Syar’I, al-suht (

ﺖﺤّﺳ

) adalah: 24

1. Setiap keharaman yang disebutnya hasil penjualan anjing. Khamr atau miras, dan babi.

2. Hasil pekerjaan haram yang berdampak menghilangkan nilai moral (harga

diri dan kebersihan jiwa).

3. Sesuatu yang haram yang tidak boleh dinikmati hasilnya karena menggerogoti keberkahan rizki. Disebut haram karena menghilangkan nilai ketaatan atau

menggerogoti nilai muru’ah. Jika komitmen agama melayang, maka hilang

pula nilai muru’ah, dan orang tidak akan merasa memiliki muru’ah jika

agamanya hilang.

4. Bermakna suap

Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan korupsi dalam tulisan ini adalah korupsi dalam pengertian tiga tingkat. Yaitu tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust), sebagai tindak korupsi yang paling

24 Wahbah Al Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh (Damsyiq: Dar al Fikr, 1989),


(38)

rendah; tindakan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), walaupun tidak mendapatkan keuntungan material, sebagai tindak korupsi tingkat menengah; dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material yang bukan haknya (material benefit), baik untuk diri sendiri, keluarga, atau suatu korporasi, sebagai tindak korupsi yang paling kuat yang telah melewati korupsi tingkat pertama dan tingkat kedua.

C.

Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan

1. Tindak Pidana Korupsi dalam UU Korupsi

Sejak negara Indonesia merdeka, sekitar tahun 1945-1950an, belum dikenal istilah korupsi namun bukan berarti pada waktu itu belum ada yang melakukan tindak korupsi. Istilah korupsi itu secara yuridis baru dikenal sekitar tahun 1957.

Peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi

merupakan salah satu sarana represif, yang tidak dapat dilepaskan dari

tindakan-tindakan lain, seperti perbaikan ekonomi masyarakat, pembinaan aparatur Negara, pengawasan dan lain sebagainyayang merupakan sarana

preventif.

Pengertian korupsi menurut Hukum Pidana Positif:

Pertama : Melakukan perbuatan untuk pemperkaya diri atau orang lain, atau suatu badan, perbuatan memperkaya diri diartikan apa saja seperti


(39)

mengambil, memindah bukukan, menandatangani kontrak dan lain sebagainya.

Kedua : Perbuatan melawan hukum, maksud hukum disini secara formil

dan materiil, dan harus dibuktikan karena dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik.

Ketiga : Perbuatan yang secara langsung, maupun tidak langsung merugikan Negara dan atau perekonimian Negara.25

Peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi selain KUHP yaitu:

Pertama, peraturan penguasa militer No PRT/PM/06/1957. Peraturan ini lahir disebabkan karena peraturan yang telah ada tentang pemberantasan korupsi itu tidak efektif. Disamping peraturan yang ada di KUHP yang berlaku umum tidak mampu memberantas korupsi. Adapun wewenang dari peraturan ini adalah untuk mengadakan pemilikan terhadap benda setiap orang atau badan didalam daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan merugikan.

Kedua, peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.

PRT/PERPU/013/1958 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan pidana korupsi dan penilaian harta benda.

25Hermain Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), cet ke-I, h. 62.


(40)

Dalam peraturan ini masih nampak mempertahankan ide pokok untuk memudahkan orang-orang untuk melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan pidana tetapi yang dianggap bertentangan dengan rasa kewajaran, yaitu perbuatan tercela.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24

Tahun 1960. Dalam peraturan ini tidak disebut lagi ketentuan tentang korupsi tercela, akan tetapi lengkapnya peraturan tersebut adalah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang tentang pengasutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dimuat dalam L.N. Nomor. 72 Tahun 1960. Seperti diketahui bentuk PERPU ini dikeluarkan dalam keadaan mendesak oelh pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan bahwa harus diminta persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya, dan kalau tidak disetujui maka harus dicabut.

Keempat, undang-undang No. 3 Tanhun 1971 (L.N. 1971, T.L.N. No. 2958 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Undang-undang ini dilahirkan atau dibentuk karena keinginan masyarakat sejak tahun 1950-an untuk memberantas korupsi yang sudah meluas.

Kelima, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lahirnya undang-undang ini sebenarnya merupakan person atas ketidakpuasan terhadap undang-undang anti korupsi lama.


(41)

Undang-undang lama dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum di masyarakat, dan kurang efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.

Keenam, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK yang termaktub dalam undang-undang ini adalah menyelidiki kasus korupsi yang nilainya diatas Rp. 1 M dan menarik perhatian masyarakat, melakukan koordinasi dan melakukan upaya pencegahan korupsi.

Pembahasan korupsi menurut ketentuan KUHP sebagaimana yang termaktub dalam pasal 415, 426, 417, dan 418 dari pasal 418 adalah merupakan tindakan korupsi dari segi penerimaan suap bagi pejabat atau pegawai negeri.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi dijelaskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001:

Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, secara melawan hukum atau menentang ketetapan pemerintahan yang berarti menggambarkan suatu pengertian tentang perbuatan tercelanya atau sifat terlarangnya suatu perbuatan dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan dan sarana yang telah diberikan kepercayaan kepadanya.


(42)

Tindak pidana korupsi memiliki ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari hukum pidana umum. Dalam hukum pidana umum (KUHP) yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Dalam hukum pidana korupsi, mengenai jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP, mengenai jenis pidana tambahan dimuat dalam pasal 18 ayat (1):

1. Perampasan barang yang berwujud atau tidak berwujud, bergerak

atau tidak bergerak yang diperolah dari tindak pidana korupsi.

2. Pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan nilai yang

diperoleh dari hasil korupsi.

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan paling lama 1 tahun.

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak yang diberikan oleh

negara kepada terpidana.

2. Subjek Hukum Tindak Pidana dalam UU Korupsi

Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan


(43)

pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 20 jo 01 dan 3 UU No. 31/1999, subjek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:

a. Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas pada sistem pembebanan tanggung jawab pidana yang dianut yang dalam hukum pidana umum (sumber pokoknya KUHP) adalah pribadi orang. Hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana. Pertanggungjawaban bersifat pribadi artinya orang yang dibebani tanggug jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi sipembuatnya. Hukum pidana kita yang menganut azas concordantie dari hukum pidana belanda menganut sistem hukum pertanggungjawaban pribadi.

Sistem pertanggungjawaban pribadi sesuai dengan kodrat manusia yang berfikir, berakal dan berperasaan, dengan itu seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila perbuatan bersifat tercela atau bertentangan dengan hukum, maka orang itu yang dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Kemampuan berfikir dan kemampuan menggunakan akal dalam berbuat dijadikan dasar untuk menetapkan orang sebagai subjek hukum tindak pidana.


(44)

Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, subjek hukum orang ini ditentukan melalui dua cara:

1) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya,

artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana menyebutkan subjek hukum tindak

pidana orang pada umumnya, yang in casu tindak pidana korupsi

disebutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya pasal 2, 3, 21, 22) dan juga diletakkan ditengah rumusan (misalnya pasal 5 dan 6).

2) Cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang

tersebut, yang in casu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain (1) pegawai negeri; penyelenggara Negara (misalnya pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i); (2) pemborong ahli bangunan (pasal 7 ayat 1 huruf a); (3) hakim (pasal 12 huruf c); (4) advokat (pasal 12 huruf d); (5) saksi (pasal 24), (6) tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (pasal 22 jo 28).

b. Subjek Korporasi

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita telah

menganut sistem pertanggungjawaban strict liability (pembebanan


(45)

(pembebanan tanggung jawab pidana pada selain sipembuat) dangan menarik badan atau korporasi kedalam pertanggungjawaban pidana.

Mardjono Reksodiputro (1989:9) dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana.

1) Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi

yang bertanggung jawab.

2) Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung

jawab.

3) Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab Dalam pasal 20 ada tiga hal yang harus dipahami oleh para praktisi hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu:

1) Indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi ialah bila korupsi dilakukan oleh orang-orang (yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain) bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama (ayat 2)

2) Secara sumir mengatur hukum acaranya dan memberikan sedikit

keterangan yakni dalam hal tindak pidana korupsi oleh korporasi, maka tuntutan dan penjatuahan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi dan pengurusnya (ayat 1). Apabila tuntutan dilakukan terhadap korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya


(46)

(ayat 3). Pengurus juga dapat diwakilkan pada orang lain ( ayat 4). Dalam hal menyidangkan korporasi (yang tidak bernyawa dan tidak berfikir dan berperasaan) tersebut dilakukan terhadap pengurusnya (ayat 5) dan kepada pengurusnyalah tuntutan dan panggilan dilakukan (ayat 6). Jadi intinya pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai subjek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap dan dapat memberi keterangan.

Penjelasan mengenai pasal 20 ayat 2 pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

1) Mengenai pembebasan tanggung jawab pidananya terhadap korporasi

dalam ayat 7 hanya dapat dijatuhkan pidana pokok denda yang dapat diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman maksimum denda pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut, karena badan tidak mungkin dipidana yang intinya hilang kemerdekaan (sanksi dalam hukum pidana).

Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi diterangkan dalam pasal 1 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan


(47)

badan hukum maupun bukan badan hukum. Suatu korporasi yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorganisasi secara baik dan teratur, ada perangkat aturan yang mengatur interen dengan ditentukannya jabatan yang akan menggerakkan roda organisasi dengan sedikit atau banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut.26

26

. Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing 2005), Cet ke-2 h. 341-351


(48)

BAB III

DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM HUKUM

A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan 1. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama menyangkut kepentingan benda hukum yang berharga, seperti nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.

Pidana atau pemidanaan adalah istilah hukum yang akrab diartikan sebagai penghukuman dalam perkara pidana.1 Menurut prof. Mulyatno, pidana berasal dari kata “straf” yang artinya hasil atau akibat dari penerapan hukum itu sendiri. Sementara prof. Sudarto menyatakan pemidanaan (penghukuman dalam perkara pidana) sebagai menetapkan atau menentukan hukuman untuk suatu peristiwa.2

Secara terminologi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh prof. Sudarto.3 Rupert Cross yang dikutip Muladi dalam bukunya mendefinisikan pidana

1

Joko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet ke-2 h. 13.

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005), Cet ke-3, h. 1.

3

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 2.


(49)

sebagai pengenaan penderitaan oleh Negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan.

Dari beberapa definisi, para ahli hukum pidana mengelompokkan tiga ciri-ciri umum pidana:

a. Hakekat dari pidana adalah pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (kewenangan).

c. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.4

2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kalangan ahli hukum, tersimpul adanya pandangan, perkembangan teori pemidanaan cenderung mengalami perubahan paradigma.5 Bergesernya paradigma dalam pemidanaan ini dapat dengan mudah dipahami karena adanya perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini dinamika selalu kearah yang lebih baik dan lebih beradab.6 Oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga

4

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana h. 4. 5

Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), Cet ke-1 h. 31.

6

Pergeseran Paradigma dalam pemidanaan ini terlihat dari munculnya berbagai teori tentang tujuan pemidanaan yang disebabkan oleh banyak faktor. Teori tersebut dibagi dalam tiga golongan, yaitu teori pembalasan yang dikenal dengan teori absolut/ retributif, teori tujuan atau dikenal dengan teori relatif. Utilitarian dan teori gabungan atau dikenal dengan teori behavioral/ retributivis teologis.


(50)

berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut.

Perkembangan yang dimaksud, pertama berkenaan dengan aliran yang berkembang dalam hukum pidana itu sendiri yang melatarbelakangi pemunculan konsep pemidanaan dan kedua pergulatan teoritis (konseptual) mengenai pemidanaan yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lainnya.Aliran dalam hukum pidana dibagi atas:

a. Aliran hukum pidana Klasik (Daad Strafrecht)

Aliran ini lahir sekitar abad ke-18 dan merupakan aliran yang sangat kental bernuansa legisme. Dilihat dari sejarahnya, aliran klasik merupakan respons terhadap adanya kesewenang-wenangan penguasa yang terjadi di Prancis dan Inggris pada abad ke-18.

Sebagai respons terhadap kesewenang-wenangan penguasa, aliran ini menghendaki agar setiap orang dapat memperoleh kepastian secara hukum, khususnya dalam hukum pidana. Karenanya hukum pidana harus dikembangkan sebagai norma tertulis yang sistematis.7

Sesuai dengan paradigma yang melatar belakangi, yaitu aliran legisme, aliran klasik menghendaki adanya pidana yang seimbang. Pidana dijatuhkan sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukan.8

7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.25 8


(51)

Dalam konteks pemidanaan, rumusan yang pasti juga diberlakukan. Dalam aliran klasik, pidana yang dirumuskan dalam Undang-undang bersifat pasti (definite sentence).9 Pidana harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang, artinya bobot pidana sudah ditentukan dalam undang-undang dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana lain selain yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Dengan paradigma tersebut dikatakan bahwa aliran klasik merupakan aliran dalam hukum pidana yang hanya berorientasi kebelakang (backward-looking) yaitu hanya berorientasi pada perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku.

Tokoh yang sangat popular yang menjadi pelopor aliran ini antara lain Cesare Beccaria yang terkenal melalui karyanya yang monumental

Dei delliti a delle pene. Melalui pemikiran Beccaria lahirlah doktrin “pidana harus sesuai dengan kejahatan”. Yang kemudian dipahami sebagai dasar lahirnya aliran klasik dalam hukum pidana.10

b. Aliran hukum pidana Modern (Daader Strafrecht)

Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran modern memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:

9

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana h.26. 10


(52)

a. Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannnya dalam aliran ini adalah pada diri si pelaku kejahatan. Jadi, ketika terjadi suatu tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana tertentu sesuai dengan ketentuan hukum. Karena dalam ini harus diselidiki/ dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya menjadi latar belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan tindak pidana tersebut.

b. Timbulnya konsep Daader Strafrecht diatas, secara teoritik adalah akibat adanya pengaruh kuat dari paham “Determinisme”, yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya adalah sama sekali tidak otonom. Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar dirinya. Dalam perkembangannya Determinisme ini pun kemudian sampai pada gagasan perlunya mengganti konsep pemberian sanksi pidana (yang cenderung bersifat punishment/ hukuman, menjadi pengenakan tindakan (yang lebih bersifat treatment/ pembinaan).

c. Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang kedua (yaitu melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari setiap individu warga Negara). Hal ini


(53)

terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki aspek kondisional dalam diri pelaku tujuannya ialah agar individu pelaku kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap terjamin perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami kesewenag-wenangan penguasa.11

Dalam konteks tersebut para penganut aliran modern mengemukakan pemikiran agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada pelaku tindak pidana. Penjatuhan pidana harus didasarkan pada sifat-sifat dan keadaan pribadi dari pelaku.

Aliran modern juga disebut dengan aliran positif, karena di dalam mencari sebab kejahatan didasarkan pada ilmu alam. Selain itu aliran ini bermaksud mendekati para pelaku kejahatan kearah yang lebih positif sepanjang masih dimungkinkan.

Dengan paradigma yang demikian itu, aliran ini sering dianggap sebagai aliran yang berorientasi kedepan (forwardlooking). Aliran modern juga menolak pandangan, bahwa pidana dijatuhkan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Penolakan ini didasarkan pada pemahaman aliran modern, bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada kesalahan subjektif pelaku harus diganti dengan sifat berbahaya pelaku

11

. M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta: 2002), hlm.20


(54)

kejahatan. Kalaupun digunakan istilah pidana, maka pidana yang dijatuhkan harus didasarkan serta berorientasi pada sifat-sifat sipelaku itu sendiri.12 Setelah perang dunia II aliran modern berubah menjadi aliran /gerakan perlindungan masyarakat.13 Setelah tahun 1949 diadakan The second International Sosial Defence, aliran perlindungan msyarakat pecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dan tokohnya Fillipo Gramatika dan aliran moderat dengan tokohnya Mrc Ancel.14

Konsepsi radikal dengan tokohnya Gramatika menghendaki agar hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya, pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perubahan anti sosial. Dengan demikian, Gramatika secara prinsipil menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.15

Sementara Marc Ancel dengan konsepsi yang moderat menghendaki agar ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat diintegrasikan ke dalam konsepsi baru hukum pidana.16 Marc Ancel dengan gerakannya defence sosiale nourelle (New Sosial defence)

menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan masyarakat tersebut

12

Tongat, Pidana Kerja Sosial, h.35. 13

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 34 14

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), cet. Ke-1, h.38 15

Ibid., h.26 16


(55)

tidak menghapus hukum pidana. Menurutnya, konsepsi perlindungan masyarakat tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan tercipta konsep baru hukum pidana tanpa menghilangkan esensi hukum pidananya.

Secara konseptual, gagasan atau ide-ide yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru adalah:

1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana. Bertolak dari konsep tersebut, maka sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus dipertahankan. Walaupun demikian harus menjadi catatan, bahwa penggunaan atas semua itu tidak dilakukan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yang yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

2) Kejahatan merupakan merupakan masalah kemanusiaan dan sosial (a human and sosial problem) yang tidak begitu saja dipaksakan ke dalam perundang-undangan.

3) Kebijakan pidana bertolak dari konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban


(56)

17

Apabila mengacu pada dua aliran di atas yaitu, aliran klasik dan aliran modern, dengan karakteristik yang ada pada masing-masing aliran, maka hanya pada aliran modernlah terdapat pembenaran disparitas pemidanan.

c. Aliran neo-klasik (Daad-Daader Strafrecht)

Aliran neo klasik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas aliran klasik. Aliran ini pada dasarnya juga berasal dari aliran klasik.

Sebagaimana aliran klasik, aliran neo-klasik juga bertolak dari paham kebebasan kehendak atau pandangan indeterminisme. Sekalipun demikian aliran ini berusaha memberikan koreksi terhadap aliran klasik yang dianggap kurang manusiawi.

Kritik aliran neo-klasik terhadap pendahulunya ini terlihat pada pandangan terhadap pidana yagn dijatuhkan oleh aliran klasik. Menurut aliran neo-klasik, pidana yang dijatuhkan/ yang dihasilkan oleh aliran klasik sangat berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat ini.

Dalam upayanya mengatasi sistem pemidanaan yang berlaku saat itu, aliran neo-klasik mencoba menawarkan system pidana yang lebih manusiawi. Untuk kebutuhan tersebut aliran klasik merumuskan pidana

17


(57)

dengan system pidana minimum dan maksimum. Selain adanyanya system pidana minimum dan maksimum dalam pemidanaan, aliran ini juga mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan.

Dengan denikian tampak disini bahwa aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan hal-hal yang bersifat individual dalam kaitannya dengan penjatuhn pidana. Artinya pemidanaan tidak saja dijatuhkan berdasarkan pada perbuatan, tetapi juga berdasarkn pada pertimbangan individu pelaku tindak pidana.

Satu hal yang sangat tampak dari adanya pergeseran pandangan antara aliran klasik dan aliran neo-klasik dalam hal ini adalah ditinggalkannya system perumusan pidana secara pasti (definite sentence). Sebagi gantinya dikemukakan system pidana yang dirumuskan secara tidk pasti (indefinite sentence).

B. Disparitas Pemidanaan

1. Pengertian Disparitas Pemidanaan

Dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, vonis hakim menjadi bagian paling menentukan dari rangkaian hukum acara formiil. Karena mempunyai konsekuensi yang sangat luas terhadap diri terpidana maupun masyarakat secara umum.


(58)

Putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim berdasarkan pada keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan patut untuk dipidana, dan masyarakatlah yang nantinya memberikan penilaian adil tidak adilnya suatu putusan, sebab suatu putusan sangat relatif tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun ekstra yuridis.18

Disparitas pemidanan (disparity of sentencing) adalah penjatuhan yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap:19

a. Tindak-tindak pidana yang sama.

b. Tindak-tindak pidana yang berbahaya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah.

c. Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari satu orang.20

Disparitas pemidanaan korupsi sering kali melukai perasaan keadilan masyarakat, meskipun hakim mempunyai alasan yang kuat dalam menjatuhkan pidana yang ringan terhadap para pelaku korupsi. Hal itu disebabkan karena kasus korupsi merupakan organize crime yang dampak

18

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.52 19

Lihat Antara lain: Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga 1984), cet. Ke-2, h.27 dan Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet Ke-1, h.49

20


(59)

negatifnya luar biasa terhadap perekonomian, dan budaya bangsa juga sulit diberantas.

2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pemidanaan.

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pemidanaan yang bersumber dari hukum itu sendiri: a. Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih dan

menentukan berat dan jenis pidana.

Dalam hukum pidana positif Indonesia hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunakan system alternatif dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.21

Dari rumusan pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No.22/ 1997, dapat diketahui beberapa pidana pokok yang diancamkan kepada pelaku secara alternatif. Alternatif disini berarti, hanya satu diantara pidana-pidana pokok yang diancamkan tersebut, yang dapat dijatuhkan. Adanya kebebasan hakim dalam menentukan berat pidana karena yang ditetapkan oleh perundang-undangan hanya pidana minimal umum, maksimum umum dan maksimal khusus.

21


(60)

Pidana minimal umum (algemeen minimum) adalah batasan pidana terendah yang bersifat umum dan diatur didalam pasal 12 ayat (2) dan pasal (30) KUHP. Menurut ketentuan ini, batas minimal pidana adalah 1 hari penjara atau kurungan22 dan denda dua puluh lima sen.23

Pidana maksimal umum (algemeen maksimum) adalah batasan pidana tertinggi yang bersifat umum yang menurut ketentuan pasal 12 ayat (3) dan (4) adalah 15 (lima belas) tahun penjara dan bisa atau dapat ditambah menjadi 20 (dua puluh) tahun penjara.24

Untuk pidana maksimal khusus atau yang dikenal dengan “sistem indefinite” merupakan praktek legislatif tradisional untuk mendistribusikan kekuasaan pemidanaan dari badan legislatif kepada badan atau kekuasaan pemidanaan lainnya ditingkat bawah sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari Colin Howard. Masing-masing tindak pidana telah ditentukan batas setinggi-tingginya yang dapat dijatuhkan oleh hakim.25 Pidana maksimal khusus dalam pasal 81 ayat (1) huruf a 15 (lima belas) tahun dan denda Rp. 750.000.000,00 (tujuh

22

E. Utrecht dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), cet Ke-11, h.394.

23

Berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 18 tahun 1960 ditentukan, bahwa mulai 14 April 1960 besaran denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali.

24

R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional.1981), Cet ke-1, h.16. 25

Keuntungan dari sistem ini menurut Colin Howard, yaitu menunjukkan tingkat keseriusan tindak pidana kepada badan-badan atau kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah, memberikan fleksibilitas dan kebijakan (diskresi) kepada kekuasaan-kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah, melindungi kepentingn-kepentingan sipelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan ditingkat bawah.


(61)

ratus lima puluh juta rupiah), ayat (2) huruf a maksimal pidana khususnya 18 (delapan belas) tahun dan denda Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), ayat (3) huruf a maksimal pidana khususnya adalah pidana mati atau penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun penjara dan denda Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).

Jadi untuk sanksi pidana yang dijatuhakan pada pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagaimana yang dimuat dalam pasal 2 ayat 1 (satu) yang rumusannya adalah sebagai berikut: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.26

Dalam batasan-batasan minimal hingga maksimal tersebut, hakim bebas leluasa bergerak menjatuhkan pidana. Kondisi inilah yang bisa menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan karena bisa dipahami bahwa hakim tidak selalu menghasilkan pemidanaan yang seragam.

26

Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), cet ke-II, h. 26.


(62)

b. Secara teoritis, disparitas pemidanaan dapat dibenarkan sebagai pencerminan karakteristik aliran modern (positive school) yang berkembang pada abad 19.

Karakteristik aliran modern yakni, Let the punishment fit the criminal menghendaki pemidanaan yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu baik yang melekat pada diri pelaku maupun yang mempengaruhi perbuatan pelaku sebagai keadaan-keadaan yang dapat meringankan berat pidana.27

Adanya pembenaran terhadap disparitas pemidanaan dikemukakan pula oleh Cesare Lambroso (salah satu pelopor aliran modern) sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, different criminals have needs yaitu, sepanjang masing-masing pelaku mempunyai motif yang berbeda-beda saat melakukan kejahatan adalah suatu kebodohan bila menerapkan pidana yang sama kepada mereka.28 c. Pedoman Pemidanaan

Diaturnya ketentuan alternatif pidana, batas minimal dan maksimal pidana tanpa dibarengi dengan pengaturan pedoman pemidanaan yang dapat memberikan kemungkinan bagi hakim memperhitungkan seluruh fase-fase kejadian. Menurut Muladi, tanpa adanya pedoman pemidanaan, berat ringannya pidana yang dijatuhkan,

27

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h.58. 28


(63)

akan bergantung pada subyektifitas hakim. Di dalam prakteknya subyektifitan hakim sering menimbulakn disparitas pemidanaan,29 karena keadilan bukan sekedar menurut undang-undang semata tetapi juga keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

d. Undang-undang yang tidak proporsional dalam menempatkan batasan antara kejahatan yang dilakukan dengan pidana yang diancamkan, antara satu kejahatan dengan kejahatan lain.30

Ketidakjelasan pandangan legislatif (DPR) selama ini mengenai pemidanaan yang tidak dilandasi pada satu perangkat parameter yang konkret dalam menentukan ancaman pidana meyebabkan terjadinya inkonsistensi dalam penentuan keseriusan berbagai tindak pidana yang dirumuskan dalam Undang-undang, sehingga sanksinya pun sangat beragam, yang pada gilirannya menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana oleh pengadilan.

29

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pidana, h. 52. 30

Harkiatuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan; Suatu Gugatan Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, hukum Online, (Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada FH UI di Depok), h. 1.


(64)

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kondisi Disparitas Pemidanaan Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

1. Identifikasi Perkara.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1287/Pid.B/2008/PN. Jkt. Sel, dalam kasus korupsi. Duduk perkaranya sebagai berikut:

Bahwa terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si adalah ketua panitia pengadaan barang dan jasa tahun 2006 pada kantor Walikotamadya Jakarta Selatan berdasarkan surat keputusan Walikotamadya Jakarta Selatan Nomor 155 Tahun 2006 tanggal 16 April 2006 tentang Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Kotamadya Jakarta Selatan tahun anggaran 2006, melakukan perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, meyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya, yang dapat merugikan keuangan Negara. Pada waktu antara bulan Oktober 2006 sampai dengan Desember 2006.

Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, mengakibatkan terjadinya kemahalan harga pada pengadaan Multipurpose Filing Cabinet tahan Api di Setkodya Jakarta Selatan tersebut dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 970.000.000, sebagaimana hasil audit dan perhitungan


(65)

dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan DKI Jakarta No S-8644/PW09/5/2008 tanggal 2 Juni 2008.

Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara alternatif,1

mendakwakan:

Primair : Melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 KUHP.

Subsidar : Melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 KUHP.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya tanggal 1

Desember 2008, No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel,2 yang menyatakan bahwa

terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si bersalah telah melakukan tindak pidana: “korupsi”, sehingga pengadilan dalam diktumnya:

Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun.

a. Menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000.

b. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan

hukuman kurungan selama 2 bulan. 2. Analisis

Dalam putusannya tanggal 1 Desember 2008, No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan

1

Artinya, bila salah satu dari beberapa perbuatan tersebut telah terbukti, makan unsur yang dimaksud secara keseluruhan sudah terbukti menurut hukum.

2

Kopi salinan resmi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 1 Desember 2008 No. 1287/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel.


(66)

bahwa terdakwa Drs. Tri Witjaksono S., M.Si dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana “korupsi” telah menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 Tahun dan denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara pidana korupsi pada sistem hukum di Indonesia adalah merupakan kewenangan dari pengadilan, jadi apabila menginginkan antara sanksi yang diberikan dengan sanksi yang ada dalam undang-undang korupsi adalah sama, akan sangat bergantung pada majelis hakim yang menyidang perkara tersebut.

Di sisi lain, hakim juga memiliki kebebasan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, sesuai menurut sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia.

Para saksi dalam persidangan menyatakan kesaksian yang pada pokoknya membenarkan bahwa sejak tahun 2003 terdakwa menjabat sebagai Kasubag Pemeliharaan dan Perawatan pada Bagian Perlengkapan Setkodya Jakarta Selatan. Terdakwa ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dengan tugas yang telah ditetapkan berdasarkan SK Walikotamadya Jakarta Selatan Nomor 151 Tahun 2006 tanggal 19 April 2006.

Terdakwa juga terbukti telah melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara demi kepentingan pribadi, orang lain atau suatu korporasi.

Pada putusan tersebut di atas nampak jelas adanya disparitas yang tejadi terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa Drs. Tri Witjaksono


(1)

77

Said, Sudirman dan Nizar Suhendra, korupsi dan Masyarakat Indonedsia dalam Hamid Basyaib, mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Jakarta: Yayasan Aksara 2002

Santoso, Topo, menggagas Hukum Pidana Islam; penerapan pidana Islam dalam konteks modernitas, Bandung: Asy-Syamil, 2000, Cet. Ke-1

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Peneraannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem,1996, cet. Ke-4.

Soewartoyo, Juniadi Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan dan Penanggulangannya, Jakarta, Restu Agung,1992.

Sugandi, R., KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.1981, Cet ke-1. Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:

Djambatan, 2001

Utrecht, E. dan M. S Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, cet Ke-11

Wahbah Al Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh, Damsyiq: Dar al Fikr, 1989, h. 20

Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet ke-II

“Kejahatan Semakin Marak, Pemerintah Bingung”, KOMPAS, 24 September 2005, h.6.

Berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) Nomor 18 tahun 1960 ditentukan, bahwa mulai 14 April 1960 besaran denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali

Al-Qur’an karim dan terjemahan artinya, Yogyakarta, UII Press, 2000, cet ke-1 Harkrisnowo, Harkiatuti, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan; Suatu Gugatan Proses

Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, hukum Online, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada FH UI di Depok

Lihat Antara lain: Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga 1984, cet. Ke-2, h.27 dan Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet Ke-1


(2)

78

Achyar, Zein, Larangan Al-Qur’an Bersyubhat dengan Koruptor, http://masjidrayabatam.net, Senin 14 Agustus 2008

Artikel di Akses Pada 5 juni 2009. http: //serumpun kata selumbung cerita. blogspot. Com /2009 /03 /tafsir-ayat-korupsi .html


(3)

HASIL WAWANCARA

DISPARITAS PEMIDANAAN KASUS KORUPSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

(Studi Pemidanaan Terhadap Kasus Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) Nara Sumber : Ida Bagus Dwiyantara, SH. MH

Jabatan : Hakim Humas

Tempat : Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Hari/ Tanggal : Senin, 26 April 2010 pukul 15.00 WIB Petikan wawancara penulis:

1. Sejak kapan bapak ditugaskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? “Saya ditugaskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan SK kepindahan saya pada bulan Maret 2002. Baru mulai masuk kerja pada tanggal 25 Juni 2002”.

2. Sebagai seorang hakim, sudah berapa lama bapak menjalani propesi ini? “Sebagai seorang hakim, saya sudah cukup lama kira-kira saya sudah menjabat selama 17 tahun. Awalnya saya bertugas sebagai hakim di PN Manokwari dari tahun 1993-1996 dan setelah itu saya pernah bertugas di PN Sleman tahun 1997-2003”.

3. Bagaimana peran yang dimainkan PN Jakarta Selatan dalam menjaga kemandirian hakim dan menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa?


(4)

“Hakim mempunyai kewenangan untuk memutus perkara dan tidak boleh diitervensi oleh siapapun juga, termasuk Ketua Pengadilan sekalipun”.

4. Pada waktu akan memutus perkara khususnya perkara korupsi apakah bapak pernah merasa ditekan/ diintimidasi?

“Selama menangani perkara korupsi sampai sekarang, saya belum pernah diintimidasi secara fisik, tetapi saya pernah diintimidasi secara psikologi. Saya pernah menerima telepon gelap dari orang yang tak dikenal.

Namun sudah menjadi prinsip saya dan teman-teman haikm lainnya untuk tidak gentar dalam menghadapi resiko sebuah profesi yang mulia ini, sekalipun nyawa taruhannya kami tetap mengedepankan kebenaran”.

5. Indonesia menganut aliran hukum modern, yang berarti mengakui adanya disparitas pemidanaan, Ahli Hukum pidana mendefinisikannya Disparitas pemidanaan (disparity of sentencing) adalah penjatuhan pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh haki terhadap:

a. Tindak-tindak pidana yang sama

b. Tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat disebandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah

c. Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari seorang.

Bagaimana menurut bapak, setujukah bapak dengan adanya disparitas?

“Disparitas pemidanaan dalam sistem hukum kita tidak dapat dihindari”. 6. Bagaimana pendapat bapak tentang disparitas yang terjadi dalam sistem


(5)

“Disparitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana kita tidak dapat dihindari lagi, sehubungan aliran modern yang kita anut, namun suatu keharusan bagi hakim untuk selalu memutus perkara dengan seadil-adilnya karena setiap orang dipandang sama dihadapan hukum serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan adalah tempat para pencari keadilan, oleh karena itu wajar apabila dalam suatu putusan persidangan peradilan ada perkara yang dimenangkan dan ada pihak yang kalah. Yang menang berhak mendapatkan haknya dan yang salah harus dikanakan hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Pada prinsipnya setiap perkara yang diajukan akan diproses, dibuktikan dan diputus dengan berpedoman pada aturan hukum pidana yang berlaku”.

7. Berdasarkan kasus ini, menurut bapak apa yang menjadi penyebab timbulnya disparitas pemidanaan itu?

Disparitas pemidanaan tidak hanya terjadi untuk putusan pengadilan negeri saja, tetapi dapat juga terjadi pada putusan pengadilan tinggi. Karena di dalam hukum kita diatur bahwa yang membuat putusan bukan sebuah tim, namun adalah majelis hakim yang dpat terdiri dari 3 orang hakim atau untuk kasus yang lebih heboh/ berat bisa mencapai 5 orang hakim den gan syarat jumlahnya harus ganjil, sebagaimana yang dicontohkan dalam majelis hakim perkara Akbar Tanjung. Jadi sejauh mana pemahaman dan pengetahuan hakim terhadap perkara sejauh itulah nantinya nilai keadilan yang terkandung dalam putusan yang dihasilkan”.

8. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban seorang hakim terhadap putusan yang dibuatnya dalam persidangan?

“Setiap putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, namun kenyataannya ada juga hakim yang tersangkut


(6)

perkara suap. Semua itu kembali kepada diri hakim itu sendiri, tetapi kita tidak dapat menuduh mereka terlabih dahulu sebelum pengadilan menjatuhkan vonis kepada mereka”.