Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pemilu dan Proses Penyelesaian Perkaranya dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO.

10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DEDY J.R MANALU 040200032

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO.

10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

040200032 DEDY J.R MANALU

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 196107021989031001 (Abul Khair, SH.M.Hum)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum)

NIP. 197302202002121001 NIP. 195810071986011002 (Armansyah,SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gerakan sebagai Tuhan yang hidup yang telah mencurahkan berkat dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, sebagai slah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studinya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul yang dipilih adalah “Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pemilu dan

Proses Penyelesaian Perkaranya dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.

Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH, M. Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Abdul Khair, SH, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum selaku Sekretaris Departemen hukum Pidana yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Armansyah, SH, MH selaku Dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini sampai dengan selesai.

5. Erna Herlinda, SH M.Hum selaku dosen wali penulis yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Segenap dosen serta seluruh Civitas Akademik dan seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Yang teristimewa dan penulis cintai Ayahanda G. Manalu dan Ibunda E. Hutagalung, SPd yang telah sabar dalam mengasuh dan mendidik serta memberi dorongan kepada penulis dengan iringan doa yang tak henti-hentinya serta kerja keras, kesabaran, nasehat dan kasih sayang dari ayahanda dan ibunda, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat ayahanda dan ibunda tercinta. Semua hal yang ayahanda dan ibunda berikan tidak mungkin dapat tergantikan. Aku akan selalu berusaha membuat ayahanda dan ibunda bangga.


(5)

9. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan seluruh civitasnya yang telah memberikan pembelajaran yang tak ternilai bagi penulis.

Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak terkhusus pembaca.

Medan, Juli 2010 Hormat Penulis,

NIM: 040200032 DEDY J.R MANALU


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ...i

DAFTAR ISI ... .vi

ABSTRAKSI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah……….3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….4

D. Keaslian Penulisan………...5

E. Tinjauan Kepustakaan………..5

F. Metode Penelitian………...15

G. Sistematika Penulisan………`16

BAB II BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA A. Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP...19

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum...26

BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA A. Sistem Pemilihan Umum...40

B. Kasus Tindak Pidana Pemilu...45

C. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan KUHP...51

D. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum...58


(7)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...88

B. Saran………..90


(8)

ABSTRAKSI

Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum* Armansyah,SH, MH**

Dedy J.R Manalu***

Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.

Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih.


(9)

ABSTRAKSI

Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum* Armansyah,SH, MH**

Dedy J.R Manalu***

Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.

Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilu 2009 adalah pemilu yang di awal persiapan perhelatannya telah melahirkan banyak kontroversi di publik. Banyak fenomena yang mengusik atau mungkin bisa dikatakan anomali. Tidak berhenti sampai di situ, produk calon legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak kritikan dan cercaan. Proses rekruitmen bakal calon yang tidak jelas, jumlah partai politik yang banyak (44 partai politik), kurang matangnya persiapan pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemilu serta minimnya sosialisasi tentang tata cara dan aturan Pemilu, adanya peraturan mengenai parliament threshold, menjadikan banyaknya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi di pemilu 20091

Banyaknya fenomena pelanggaran yang terjadi di dalam Pemilu 2009, misalnya penggelembungan suara caleg salah satu partai politik, pencontrengan yang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali sampai money politic yang dilakukan salah satu caleg untuk mencari simpati rakyat. Diantara sekian banyak kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, yang sangat urgent dan menjadi pembahasan apalagi untuk persiapan Pemilu Presiden yang akan dating adalah masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap). Masalah DPT ini menjadikan Pemilu 2009 sebagai Pemilu paling buruk dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004. Itu karena angka golput mencatat rekor tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Angka golput diperkirakan mencapai 30% dan angka pemilih yang tidak masuk DPT sekitar 10-12%, sehingga jika ditotal, angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 40% lebih.

.

1


(11)

DPT tidak akurat, buruknya persiapan, serta rendahnya sosialiasi merupakan factor penyebab melambungnya angka golput2

Kisruh masalah DPT akhirnya masuk ke wilayah politik DPR. Hak angket digunakan untuk membedah kesemrawutan daftar tersebut. Sebanyak 22 anggota DPR dari enam fraksi menggunakan hak konstitusional mereka untuk mempersoalkan kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Mereka menilai bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab atas hilangnya hak pilih warga negara dalam pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu. Langkah politik DPR ini sangat masuk akal manakala langkah hukum atas hilangnya hak pilih warga negara belum menemukan salurannya. Pengaduan warga negara ke kepolisian belum mendapatkan tanggapan memadai. Padahal, hilangnya hak pilih warga negara adalah pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

.

3

Kecurangan Pemilu melalui manipulasi DPT atau electoral fraud merupakan pelanggaran HAM Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Hal ini adalah indikasi pengurangan integritas masyarakat. Suatu hal kritis yang telah memaksa BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) menyatakan perlunya suatu

.

Adalah suatu kenyataan bahwa hingga kini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Komisi Pemilihan Umum yang kewenangannya turun dari konstitusi menolak untuk bertanggung jawab, sementara Departemen Dalam Negeri menimpakan tanggung jawab kepada KPU. Pada akhirnya, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang ikut bersalah karena tidak mau mengecek Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta aktif mendaftarkan diri.

2

Khofifah Indar Parawansa, Pencerdasan Demokrasi, Harian Seputar Indonesia, Edisi Senin, 27 April 2009, hal. 4.

3

Isu DPT Masuk Parlemen, Tajuk Rencana, Harian Kompas, Edisi Rabu, 29 April 2009, hal.


(12)

pemungutan suara ulang. Kecuarangan tersebut sudah tidak mungkin dipermaklumkan sebagai kesalahan yang tidak bisa dihindari. Kelemahan administrasi penyelenggaraan Pemilu sudah semakin terlihat sebagai bentuk lain dari strategi pemenangan dengan medium pemilu.4

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi, khususnya pertanggungjawaban pidana kasus-kasus pidana yang terjadi dalam proses Pemilihan Umum, baik berdasarkan KUHP maupun UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Sebagaimana diketahui, beberapa kasus yang terjadi di Pemilu khususnya masalah DPT, seakan membawa kita masuk dalam kehidupan tanpa negara (stateless). KPU dan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas DPT tidak mau mengakui DPT bermasalah itu. Bahkan, mereka saling lempar tanggung jawab satu ama lian. Sama dengan kasus Pilgub Jatim, kasus DPT Pemilu 2009 juga tak ditangani serius oleh pihak kepolisian. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal undang-undang juga tidak mampu berbuat apa-apa.

B. Rumusan Permasalahan

Rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP.

2. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

4


(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP.

2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga dapat memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Sehingga untuk pemilu selanjutnya tidak akan ada lagi terjadi berbagai pelanggaran yang menimbulkan kerugian masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.


(14)

D. Keaslian Penulisan.

Pembahasan skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar, dimana seringkali terjadi berbagai pelanggaran yang terindikasi sebagai tindak pidana di dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu, padahal keseluruhan mekanisme pada dasarnya sudah diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pemilu.

Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pemilihan Umum

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5


(15)

Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,6 bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPRD tingkat propinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). 7

Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Adapun t ahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi : 8

Peserta Pemilu adalah Partai Politik.

a). pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; b). pendaftaran Peserta Pemilu;

c). penetapan Peserta Pemilu;

d). penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;

e). pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; f). masa kampanye;

g). masa tenang;

h). pemungutan dan penghitungan suara; i). penetapan hasil Pemilu; dan

j). pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

9

Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan :10

c). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

a). berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;

6

Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

7

Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

8

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

9

Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

10


(16)

d). menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

e). memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f). mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

g) . mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

2. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum

Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil


(17)

tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.

Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.

Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara


(18)

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.

Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara


(19)

Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.

3. Pengertian Tindak Pidana

Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III.

Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-delichten).

Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.


(20)

Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena :

a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan

b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.

Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.

Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran.


(21)

Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.

Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana.

Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti :

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain 11

Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang

: a. Rumusan Simon

11

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 117.


(22)

berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.

b. Rumusan Van Hammel

Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

c. Rumusan VOS

VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Rumusan Pompe

Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu 12

Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua

:

a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum. b. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.

d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.


(23)

suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 13

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Sedangkan pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan

.

14 .

13

Ibid, Hal. 209. 14


(24)

F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

2. D a t a

Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja.

b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat


(25)

kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analissi data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tindak pidana Pemilihan Umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum


(26)

BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilihan umum di Indonesia baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, serta diakhiri dengan kasus-kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi di Indonesia.

Pada bab ini juga akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisa mengenai tindak pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.


(27)

BAB II

BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Terjadinya pelanggaran Pemilu seperti dalam pelaksanaan Pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi.

Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :15

2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye.

1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya.

3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor; 5. Pemantau dalam negeri maupun asing;

15

Abdul Fickar Hajar, Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs : 2009, hal. 2.


(28)

6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.

Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:

(1) pelanggaran administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) perselisihan hasil pemilu.

Berikut ini akan kita lihat peraturan perundang-undangan yaitu KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 memandang hal tersebut.

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP

Dalam KUHP Inonesia yang merupakan kitab undang-undang warisan dari masa penjajahan Belanda terdapat lima pasal yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lima pasal yang terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana ”Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan”, adalah Pasal 148, 149, 150, 151, 152 KUHP. Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.

1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih

Pasal 148 KUHP menyatakan :

”Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja merintangi seseorang memakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak terganggu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”


(29)

Berdasarkan Pasal 148 KUHP ini seseorang akan dinyatakan melakukan perbuatan pidana apabila merintangi orang lain dalam memberikan hak pilihnya pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum. Perintangan ini dapat dilakukan dengan kekerasan atau ancaman, bisa juga dengan intimidasi sehingga orang tidak memberikan suaranya pada saat pemilu. Hukuman untuk tindak pidana ini paling lama adalah satu tahun empat bulan penjara.

2. Penyuapan

Pasal 149 KUHP menyatakan :

” (1) Barang siapa waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya, atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap supaya memakai atau tidak memakai haknya seperti di atas”.

Pasal 149 ini mengatur bahwa dikenakan tindak pidana bagi seseorang yang melakukan penyuapan sehingga orang menggunakan hak pilihnya menurut cara tertentu atau sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu. Hukuman untuk tindak pidana ini adalah paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Hal ini berlaku bagi orang yang menerima suap. Pemilu 2009 yang lalu, kita banyak menemukan kasus-kasus yang bermotif ”money politic” yang sebenarnya bisa dikenakan pasal ini, misalnya pemberian uang, sembako-sembako, sumbangan dan sebagainya agar memilih


(30)

Partai A, B dan sebagainya. Namun, seperti diketahui, sangat sedikit sekali kasus-kasus yang bisa diperoses secara pidana.

3. Perbuatan Tipu Muslihat

Pasal 150 KUHP menyatakan :

”Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, melakukan tipu muslihat sehingga suara orang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih itu menjadi terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Pasal 150 KUHP ini mengatur bahwa barangsiapa yang melakukan tipu muslihat agar suara tidak berharga, misalnya pada kasus-kasus pemilu 2009 banyak sekali kertas-kertas suara yang sudah dipilih dinyatakan rusak sehingga tidak bisa dihitung. Selanjutnya pasal ini juga mengatur bahwa termasuk tindak pidana apabila menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih itu menjadi terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pada kasus-kasus Pemilu 2009 beberapa ditemukakan adanya surat suara yang sangat berlebih yang dikhawatirkan sudah dicontreng yang bertujuan untuk memenangkan calon tertentu.

4. Mengaku sebagai orang lain.

Pasal 151 KUHP menyatakan :

”Barangsiapa dengan sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam pemlihan berdasarkan aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.


(31)

Pasal 151 KUHP ini mengatur bahwa merupakan tindak pidana bagi orang yang sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam pemilihan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pada pemilu 2009, ada beberapa kasus yang dapat dikenakan tindak pidana ini, misalnya kasus yang terjadi pada Cahyadi salah seorang dari tiga orang yang pada hari pencoblosan, diamankan Panwaslu Jakarta Utara, karena mencoblos dengan kartu milik orang lain. Mereka telah ditetapkan Polres Metro Jakarta Utara sebagai tersangka karena melanggar pasal 139 Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003.

Mereka yang ditangkap adalah Cahyadi, Ramhot Rumihar Butar-butar dan Simon Siahaan, diamankan petugas Panwaslu Jakarta Utara, Senin siang. Cahyadi tertangkap tangan saat mencoblos di TPS 06 Kelurahan Sungai Bambu, Tanjung Priok dengan menggunakan kartu atas nama Erikson. Saat diinterogasi, Cahyadi mengaku aksinya tersebut atas suruhan Ramhot yang juga menantu salah seorang caleg nomor 1 dari Partai Pariot Pancasila, Posman Siahaan. Mendengar pengakuan Cahyadi, warga sekitar TPS tersebut, sempat emosional. Petugas Panwaslu pun sempat mengamankan Simon Siahaan anak dari caleg tersebut karena pada saat kejadian ada disekitar lokasi.

Menurut ketua Panwaslu Jakarta Utara Amir Rudianata, masalah tersebut tidak bisa diselesaikan di tempat, sehingga ketiganya perlu dibawa ke Panwaslu Kodya Jakarta Utara. "Saat itu warga emosional, kami takut terjadi apa-apa. Namun Panwaslu kemudian hanya menyerahkan Cahyadi karena yang bersangkutan jelas-jelas dan tertangkap tangan melakukan pencoblosan dengan kartu atas nama orang lain. Dari tersangka, diperoleh barang bukti sebuah kartu pemilih atas nama orang lain dan sebotol cairan bahan pemutih yang diduga untuk menghilangkan bekas tinta di tangan Cahyadi. Dikantong saku tersangka juga ditemukan sebuah stiker


(32)

gambar caleg Partai Patriot Pancasila Posman Siahaan. Dari keterangan warga, Cahyadi adalah salah satu dari sekitar 50 orang bayaran yang disebar ke sejumlah TPS untuk mencoblos nama salah satu caleg partai tertentu. Namun, pihak Panwaslu mengaku masih menyelidiki kebenaran masalah ini. Sedangkan terhadap dua orang lainnya, Panwaslu melepaskan mereka.16

Pasal 152 ini mengatur bahwa barang siapa yang menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain dari yang seharusnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pasal ini juga banyak terjadi pada Pemilu 2004 yang lalu. Pada Pemilu 2004 yang lalu, ditengarai ada paku tersembunyi di tengah-tengah bantal pencoblosan sehingga begitu surat suara mau ditusuk ternyata sudah tertusuk lebih daulu. Bila pemilih mencoblos yang kiri atau kanan maka kartu itu akan termasuk kategori rusak atau tidak sah. Kemudian ada lagi penyalahgunaan kartu AB. Seringkali terjadi pada waktu pemindahan berkas

5. Menggagalkan Pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat.

Pasal 152 KUHP menyatakan :

”Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan secara sah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.

16

Memakai Kartu Orang Lain ditangkap, diakses dari situs


(33)

daftar pemilih yang menggunakan kartu AB, nama pemilih di tempat pertama mendaftar tidak dicoret sehingga namanya masih tercantum. Dengan demikian hal itu dimanfaatkan oleh yang bersangkutan atau petugas TPS setempat atau orang lain untuk suara Golkar. Jadi satu orang memberikan suara dua tempat berbeda atau lebih. Selanjutnya masalah sisa surat suara. Sangat boleh jadi sisa surat suara ditusuki oleh petugas TPS untuk kepentingan Golkar. Hal itu pernah terjadi di kantor perwakilan Indonesia di Kinabalu, Malaysia. Pemilihannya hanya berjumlah 1,2 juta tetapi jumlah suaranya lebih dari itu. Padahal untuk mencapai 100 persen suara saja sulit karena para pemilih terbesar diberbagai tempat yang sulit, seperti buruh-buruh di perkebunan pedalaman.17

Secara umum KUHP (lex generalis) telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP, yang antara lain mengatur : 18

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat diuraikan bahwa pasal ini terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif a). Dengan kekerasan/ancaman sengaja merintangi orang menggunakan hak pilih; b). Menjanjikan/menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih;

c). Menerima janji / menerima suap;

d). Melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain;

1). memakai nama orang lain supaya dapat memilih;

2). menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil pemilihan lain dari yang seharusnya.

17

Titik-Titik Rawan Kecurangan dalam Pemilu, diakses dari situs : diakses dari situs :

18

Pasal 148 KUHP, lihat R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1996, hal. 128.


(34)

adalah adanya orang perorang atau kelompok yang dengan sengaja melakukan perbuatan. Perbuatan yang dimaksud adalah merupakan unsur objektif dari pasal ini, yaitu bertujuan untuk menghalangi orang memberikan haknya dalam pemilu atau menyebabkan suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain , dengan melakukan:

a) tindakan kekerasan/ancaraman

b) Memberikan janji/melakukan penyuapan c) Menerima janji / menerima suap

d) Melakukan tipu muslihat.

Pasal 148-153 merupakan pasal-pasal yang berasal dari KUHP, yang pada umumnya menjamin agar supaya setiap warga negera dapat menentukan pilihannya dengan bebas terhadap wakil-wakil untuk duduk dalam Dewan pemerintahan/Dewan Perwakilan Rakyat dan agar Pemilu dapat dilakukan dengan bersih, jujur dan bebas dari segala macam kecurangan.19

KUHP memberikan penjelasan bahwa penyuapan itu harus dilakukan dengan “pemberian” atau “perjanjian” yang berupa apa saja. Kemudian yang dihukum menurut pasal ini bukan saja orang yang menyuap, akan tetapi juga orang menerima suap itu, misalnya A berkata pada B, jika kamu memilih tanda gambar partai X, maka saya akan memberikan uang Rp. 50,-. Apabila Pemilih (B) menerima pemberian atau perjanjian itu, dan ia memilih apa yang dikehendaki oleh A, maka A dan B kedua-duanya dihukum. Seorang dari partai politik yang menganjurkan supaya memilih

Selanjutnya di dalam KUHP dijelaskan pula bahwa Pemilihan Umum anggota Badan Permusyawartan/Perwakilan Rakyat dengan khusus diatur dalam UU No. 1969 No. 15 (LN. 1969 No. 58 Tahun 1980) dan UU No. 1 Tahun 1985.


(35)

partainya dengan tidak memakai pemberian atau perjanjian suatu apa itu tidak diancam hukuman. Menurut yurisprudensi, maka menawarkan suatu pemberian atau perjanjian itu merupakan permulaan dari pelaksanaan kejahatan tersebut sehingga sudah dapat dipandang sebagai “percobaan” dari kejahatan dalam pasal ini.

Dimuatnya ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum di dalam KUHP adalah menarik, karena ketika Wetbook van Strafrecht mulai berlaku di tahun 1917, pasal-pasal tersebut sudah ada, padahal Indonesia masih dijajah oleh Belanda sehingga pemilihan umum belum ada. Tampaknya ketentuan WvS Belanda diambil begitu saja untuk Hindia Belanda. Di negeri Belanda, pemilihan umum memang sudah dilaksanakan pada masa itu. Di negara yang memiliki system bicameral itu, Konstitusi1815 menentukan adanya pemilihan langsung yang dilakukan untuk memilih Second Chamber. Sementara the Chamber dipilih secara tidak langsung. Adapun di Indonesia sendiri meskipun di masa penjajahan Belanda sudah ada wakil-wakil bangsa Indonesia di lembaga perwakilan saat itu (Volksraad), khususnya sejak 1918-1942, namun pemilihan masih dilakukan oleh pemilih yang sangat terbatas.20

Bila berbicara tentang Pemilu tanggal 9 April 2009 yang lalu, maka akan ada 2 (dua) peristiwa menarik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum tersebut. Pertama diajukannya judicial review terhadap UU No. 10 Tahun 2008 Pemilihan umum nasional barulah dilaksanakan sesudah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1955 yang merupakan pemilu nasional pertama.

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

20

Herberth Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Topo Santoso, dalam Tindak Pidana


(36)

tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Mahkamah konstitusi. Kedua, terjadinya pendaftaran peserta pemilihan umum partai politik dengan kepengurusan ganda. Kedua peristiwa itu berkaitan erat dengan aspek penegakan hukum, baik dalam artian penegakan aturan oleh institusi pelaksana pemilihan umum maupun penegakkan hukum dalam pengertian timbulnya sengketa yang harus diputuskan oleh kekuasan peradilan, termasuk didalamnya Mahkamah Konstitusi. Pada peristiwa uji materi terhadap UU No. 10 Tahun 2008 sesungguhnya telah terjadi silang sengketa antara regulator dengan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dalam hal ini berkisar pada permasalahan ketentuan persyaratan menjadi anggota DPD yang tidak membatasi hanya pada penduduk yang bertempat tinggal di suatu provinsi saja, sehingga substansi pengertian “perwakilan daerah” harus orang yang bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan sebagaimana diamanatkan UUD 45 tidak terpenuhi, ketentuan itu dianggap telah menjadi norma sendiri yang justru bertentangan dengan norma dasarnya. 21

Komisi Pemilihan Umum dalam menentukan kepengurusan partai yang sah menjadi peserta pemilihan umum bagi partai yang berpengurus ganda, akan mendasarkan pada kepengurusan yang tercatat pada partai yang sudah berstatus badan hukum di Departemen Hukum dan HAM. Dalam konteks partai berpengurus ganda Departemen Hukum dan HAM dalam mencatat kepengurusan yang sah sebagai badan hukum akan mengacu kepada putusan pengadilan. 22

Dua peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa penyelengaran pemilihan umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan

21

Abdul Fickar Hajar, Op.cit, hal. 4.

22

Pidana Pemilu Capai 138 Kasus, diakses dari situs:


(37)

penegakan hukum, begitu banyak ketentuan dalam perundangan pemilihan umum yang mengatur tindak pidana pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana UU No. 10 Tahun 2008 mengakomodir kepentingan ketepatan pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu.

Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Pemilu 2009 dinyatakan sebagai Pemilu dengan masalah terbanyak. Masalah-masalah tersebut membuat hasil dari pemilu tanggal 9 April 2009 yang lalu banyak diragukan legitimasinya. Persoalan yang mencuat banyak yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilu Legislatif sudah banyak diatur tentang penyelesaian sengketa pidana dalam pemilu, antara lain money politics, indikasi penggelembungan suara, jual beli suara, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tercatat sudah mencapai angka ratusan pelanggaran pidana dalam pemilu kali ini. Hal ini mengejutkan, karena tentu dapat mengurangi kredibilitas dari para peserta pemilu terutama yang mendapat suara besar. Sebab itulah perlu dicarikan solusinya.23

23 Ibid.


(38)

Jika kita petakan persoalan tindak pidana pemilu ini, sebenarnya UU No. 10 Tahun 2008 sudah mengakomodasi banyak hal bila terjadi tindak pidana. Artinya, dengan menggunakan UU Nomor 10 tahun 2008 sudah bisa menjerat banyak tindak pidana yang terjadi dengan upaya pidana (penal).

Meskipun dalam UU No. 10 Tahun 2008 tidak mencantumkan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan untuk tindak pidana pemilu ini, tapi UU ini tetap diharapkan bisa berfungsi sebegaimana mestinya, yakni memberikan keadilan pada masyarakat. Pentingnya tujuan dan pedoman pemidanaan ini, menurut Prof. Barda Nawawi Arief yakni sebagai pemberi arah agar digunakannya sarana penal ini dapat bermanfaat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, serta memberikan landasan filosofis mengapa dan bagaimana pidana itu diberikan.

Beberapa jenis tindak pidana yang disinyalemen banyak terjadi antara lain adalah money politics (politik uang). Dalam Pasal 286 UU No. 10 Tahun 2008 disebut sebagai tindakan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Pidananya adalah penjara selama minimal 12 bulan dan maksimal 36 bulan dan denda minimal 6 juta rupiah dan maksimal 36 juta rupiah. Mestinya pidana yang diberikan bukan penjara, melainkan kurungan. Hal ini terkait sebutan dalam UU No. 10 Tahun 2008 bahwa tindak pidana pemilu adalah pelanggaran. Sedangkan pembagian dalam KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lain menyatakan bahwa tindak pidana yang termasuk kategori pelanggaran pidananya adalah kurungan.


(39)

Sedangkan pidana penjara adalah untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan24

Bila memperhatikan sanksinya saja, dengan membandingkan Pasal 286 dan 288, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ini terlihat tidak jelas pola pemidanaannya. Pola pemidanaan ini menurut Prof. Barda Nawawi Arief dipedomani agar ketentuan pidana yang sudah ditetapkan jelas bentuknya dan memberikan koridor yang sama untuk

.

Dikhawatirkan hal inilah yang membuat UU No. 10 Tahun 2008 sebagai aturan normatif dari penyelenggaran pemilu menjadi fungsinya terhambat karena tidak bersinergi dengan KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lainnya. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa pembuat UU pemilu hendak memberikan aturan yang sulit dioperasionalkan dalam pelaksanaan pemilu ini. Mestinya ketentuan pidana dalam UU Pemilu ini tetap mengacu pada KUHP sebagai ketentuan induk. Yakni membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, serta memberikan jenis sanksi pidana yang berbeda pula dengan pidana penjara untuk kejahatan dan pidana kurungan untuk pelanggaran. Kondisi UU yang seperti ini akan menjadi persoalan saat terjadi hal-hal lain dalam proses pemilu ini, misalnya percobaan, atau perbarengan, dll, karena tidak bisa serta merta mengacu pada KUHP. Inilah masalah yuridis dalam bentuk tindak pidana yang ada dalam UU No. 10 Tahun 2008.

Pasal lain yang mengatur pidana lainnya adalah Pasal 288 yang menyatakan bahwa: Tindakan sengaja yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang. Pasal 288 ini memberikan sanksi pidana paling singkat 12 bulan dan maksimal 36 bulan penjara dan denda paling sedikit 12 juta rupiah dan paling banyak 36 juta rupiah.

24

Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs : tanggal 4 Agustus 2009.


(40)

jenis pidana yang sama pula. Pola pemidanaan ini hendaknya menjadi pedoman bagi lembaga legislatif sebagai pembuat UU agar dapat merumuskan ketentuan pidana dengan lebih baik. Mestinya jika melihat pola pemidanaan Pasal 286 yang memberikan penjara 12 dan 36 bulan serta denda 6 dan 36 juta rupiah, dengan pola yang sama mestinya berpola 12 dan 36 bulan penjara dan 6 dan 36 juta rupiah juga. Hal ini menunjukan bahwa pembuat UU No. 10 Tahun 2008 ini tidak mempunyai konsep yang baik dalam membuat UU tersebut.

Dalam Pasal 260 UU ini diatur tentang setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit 12 juta rupiah dan paling banyak 24 juta. Ini adalah masalah yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan pemilu kali ini. Namun ada permasalahan dalam rumusan ketentuan tersebut, yakni tidak diaturnya bila yang menyebabkan kehilangan hak pilih masyarakat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri. Tentu ini menjadi masalah yuridis di mana tidak ada pertanggungjawaban terhadap KPU bila ternyata terbukti KPU yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak pilihnya. Ketiga pasal tersebut saja banyak menunjukan bahwa UU No. 10 Tahun 2008 ini banyak mengandung kelemahan. Jadi, dalam kebijakan hukum pidana yang akan ditegakkan nantinya jelas akan menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan akan terjadi in efisiensi dalam aturan yang ada. Sebab itulah penting untuk mereformulasi UU Pemilu ini agar lebih baik dan kebijakan hukum pidana dapat efektif sehingga pelaksanaan pemilu ke depan akan lebih baik25

Begitu ketatnya UU No. 10 tahun 2008 mengatur prihal tindak pidana Pemilu, hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/

.

25

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pemilu, Position Paper, Berdasarkan Hasil Kajian Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Dengan dukungan


(41)

tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Tidak hanya ketat dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindalk pidana Pemilu, UU No. 10 tahun 2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 Pasal.

Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan ketingkat Desa, hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU No. 10 tahun 2008 penyelenggara pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara pemilu. Dengan demikian keseluruhan ketentuan/ pasal tindak pidana pemilu dapat di jatuhkan terhadap penyelenggara pemilu dari tingkat pusat (KPU) sampai ke tingkat desa (PPS).

Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil ketua/Ketua Muda/Hakim agung pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.

Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan tahapan pelaksanaan Pemilu antara lain26

26

Ibid, hal. 6.

:

a. Tahapan pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih 1). Sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilih;


(42)

3). Menghalangi orang mendaftar sebagai pemilih;

4). Panitia Pemilihan Suara /PPLN tidak memperbaiki daftar pemilih; 5). Merugikan WNI dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap;

b. Pendaftaran peserta Pemilu/ Penetapan Peserta Pemilu/ Penetapan jumlah Kursi/ pencalonan DPR, DPD, DPRD;

1). Perbuatan curang memperoleh dukungan pencalonan DPD;

2). Membuat dan menggunakan dokumen palsu untuk menjadi calon angota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;

1). Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik;

2). Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik dan verifikasi adninistratif calon DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;

c. Tahapan Masa Kampanye;

1). Kampanye diluar jadwal waktu ang dtentukan;

2). Melanggar larangan isi kampanye (mempersoalkan dasar negara/UUD 45, disintegrasi, menghasut agama, ketertiban umum, kekerasan, merusak dan menggunakan fasilitas pemerintah);

3). Larangan kampanye bagi pejabat negara Hakim, BPK dan BI, PNS/TNI Polri; 4). Menyuap untuk memilih peserta tertentu atau tidak memilih (golput);

5). Menerima suap;

6). Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing, tiidak jelas identitas, pemerintah;

7). Mengacaukan kampanye;


(43)

9). Keterangan tidak benar laporan Dana Kampanye; d. Tahapan masa Tenang;

1) Orang / lembaga survei dilarang mengumumkan hasil suevey pada masa tenang;

e. Tahap pemungutan dan Penghitungan Suara;

1). KPU sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditentukan (Pasal l 145);

2). Perusahaan pencetak suara mencetak melebihi jumlah yang ditetapkan dalam Pasal 146 ayat (1);

3). Perusahaan pencetak tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat suara;

4). Menjanjikan atau menyuap/memberi uang agar tidak memilih atau memilih peserta pemilu tertentu;

5). Dengan kekerasan menghalangi orang menggunakan hak pilihnya;

6). Sengaja melakukan erbuatan yang menyebabkan suara pemilih tak bernilai; 7). Mengaku orang lain pada saat pemungutan suara;

8). Memberikan suara lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS; 9). Sengaja mengagalkan pemungutan suara;

10).Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan suaranya;

11).Merusak hasil pemungutan suara;

12).KPPS tidak memberikan surat suara pengganti surat suara yang rusak; 13).Memberitahu pilihan pemilih kepada orang lain;


(44)

15).KPPS tidak melaksanakan ketetapan KPU untuk melakukan pungutan suara ulang;

f. Penetapan Hasil pemilu

1). lalai menyebabkan rusak/hilangnya hasil pemungutan suara; 2). mengubah Berita Acara hasil pemungutan suara;

3). KPU karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya/berubahnya berita acara hasil rekapitulasi;

4). Sengaja merusak / mengganggu / mendistorsi sistim informasi perhitungan suara;

5). KPPS sengaja tidak membuat/menandatangani berita acara perolehan suarapeserta pemilu;

6). KPPS sengaja tidak memberikan salinan berita acara pemungutan suara, sertifikat hasil penghitungan suara ;

7). KPPS/KPPSLN tidak menjaga , mengamankan keutuhan kotak suara;

8). Pengawas Pemilu lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel;

9). PPS yang tidak mengumumkan hasil perhitungan suara;

10).KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD; 11).Orang / lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang mengumumkan

hasil perhitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara;

12).Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang tidak mengumumkan bahwa hasil perhitungannya bukan merupakan hasil pemilu resmi;


(45)

13).Bawaslu /Panwaslu yang tidak menindak lanjuti temuan/laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU) dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU No. 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan / tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung


(46)

pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik Negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.27

Pada tingkat laporan di Bawaslu/Panwaslu, laporan dari masyarakat, pemantau atau peserta Pemilu, paling lama 3 (tiga) hari sejak kejadian perkara; laporan ditindak lanjuti paling lama 3 sampai dengan 5 (lima) hari, untuk kemudian ditentukan apakah pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana Pemilu. Dalam hal pelanggaran administrasi diteruskan kepada KPU dan pelanggaran pidana pemilu diserahkan kepada Penyidik/Kepolisian. Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 menentukan batasan penyelesaian perkara pidana pemilu dari sejak diterimanya laporan kejadian oleh Badan Pengawas Pemilu atau Panwaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupaten/Kota atau Panwaslu Kecamatan dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan sampai dengan putusan pengadilan dan eksekusinya paling lama 59 hari.

27

Abdul Fickar Hadjar, Jerat Hukum Pidana Pemilu, diakses dari situs : tanggal 19 Agustus 2009.


(47)

dituntut adanya koordinasi antara lembaga penyelenggara Pemilu dengan instansi-instansi terkait penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan dam Mahkamah Agung. Hal ini dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana Pemilu tidak akan mengganggu jadwal pelaksanaan Pemilu itu sendiri. 28

Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana Pemilu pasca Pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum tindak pidana ini tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153. Karena pada prinsipnya ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam UU Nomor 10/2008 masih dapat diakomodir oleh ketentuan-ketentuan pidana Pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang Ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana Pemilu paling lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana Pemilu yang baru diketahui setelah melewati batas waktu tiga hari. UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 tidak menjelaskan mengenai hal ini, padahal pada realitasnya banyak kecurangan-kecurangan baru diketahui setelah Pemilu selesai dilaksanakan.

Pertanyaannya, bagaimana penyelesaian terhadap tindak pidana Pemilu yang diketahui setelah Pemilu selesai. Jika mengacu pada UU Pemilu No. 10 Tahun 2008, maka konsekwensi dari pemberlakuannya sebagai lex specialis, tindak pidana Pemilu yang diketahui pasca Pemilu selesai menjadi kadaluarsa. Hasil putusannya menjadi tidak relevan, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi bagi putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara akan gugur pasca ditetapkannya hasil Pemilu nasional oleh KPU.

28 Ibid.


(48)

mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu akan dimasukkan pada wilayah pelanggaran lain yaitu sengketa hasil Pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi.

Persoalan lain, potensi konflik antara lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Dari 51 pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam penyelennggara Pemilu sampai ke tingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK (Kecamatan), PPS (Desa/Kelurahan) dan PPLN (Luar Negeri) jika lalai dalam melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi Bawaslu/ Panitia Pengawas, maka jerat hukum membentang di hadapan mereka.


(49)

BAB III

MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

A. Sistem Pemilihan Umum

Istilah "Sistem Pemilihan Umum" sudah sering didengar dan dibaca di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Tidak jarang pula dalam media massa, setiap hal yang berhubungan dengan pemilihan umum disebut sebagai "sistem pemilu", mulai dari hak pilih, penyelenggaraan pemilu dan berbagai hal lain.Sesungguhnya istilah "sistem pemilu" memiliki definisi yang lebih sempit dan ketat. "Sistem Pemilihan Umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih mengekspresikan preferensi politik mereka, dan (2) suara dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi." Definisi ini mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik, serta penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting berada di luar lingkup pembahasan sistem pemilihan umum. 29

Tidak diragukan lagi bahwa sistem pemilihan umum memainkan peranan penting dalam sebuah sistem politik, walaupun tidak terdapat kesepakatan mengenai seberapa penting sistem pemilihan umum dalam membangun struktur sebuah sistem politik. Giovanni Sartori menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum adalah "sebuah bagian yang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilihan umum bukan hanya instrumen politik yang paling mudah dimanipulasi; ia juga membentuk sistem kepartaian dan mempengaruhi spektrum representasi". Tekanan juga diberikan oleh

29

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Yayasan TIFA, Pelanggaran Pemilu 2009 dan


(50)

Arend Lijphart yang mengatakan "sistem pemilihan umum adalah elemen paling mendasar dari demokrasi perwakilan". Dapat kita katakan bahwa "Sistem pemilihan umum mempengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu, sehingga sistem pemilu juga mempengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian". Seperti telah disebutkan sebelumnya, elemen dari sistem pemilihan umum adalah :30

1. Besar distrik

Distrik adalah wilayah geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah distrik dapat sama besar dengan besar wilayah administrasi pemerintahan, dapat pula berbeda. Yang dimaksud dengan besar distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik bukan berarti berapa jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut. Berdasarkan definisi tersebut maka kita dapat membedakan distrik menjadi distrik beranggota tunggal (single member district) dan distrik beranggota jamak (multi member district).

Selanjutnya distrik beranggota jamak dapat dikelompokkan menjadi, sebagai berikut :31

Tabel : 1

Tabel Distrik Beranggota Jamak

No. Jumlah Kursi yang diperebutkan Sub Kategori

1. 2 – 5 Distrik kecil

2. 6 – 10 Distrik Sedang

3. > 10 Distrik Besar

30

The International IDEA Handbook of Electoral System Design, (Stockholm, Swedia,


(51)

2. Struktur kertas suara

Struktur kertas suara adalah cara penyajian pilihan di atas kertas suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan bagaimana pemilih kemudian memberikan suara. Jadi, jenis pilihan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kategorikal dimana pemilih hanya memilih satu partai atau calon, dan ordinal dimana pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari keduanya. Tabel di bawah menunjukkan contoh pembagian sistem pemilu berdasarkan struktur kertas suara.

Tabel : 2

Tabel Pembagian Sistem Pemilu Berdasarkan Struktur Kertas Suara

NO. KANDIDAT PARTAI KEDUANYA

1. KATEGORIKAL FPTP (kanada) SNTV (Jordania) Proporsional Daftar Terbuka (Finlandia) Party Block (Singapore) Proporsional Daftar Tertutup (Namibia) Parallel Vote (Jepang) Proporsional Daftar Terbuka (Denmark) MMP (Jerman) 2. ORDINAL AV (Australia)

SDP (Perancis) Block Vote (Maladewa)

STV (Irlandia)

SDP (Mali) SDP (Ukraina) Proporsional

Daftar Bebas (Swiss)

3. KEDUANYA STV (Senat

Australia)

3. Electoral formula

Electoral Formula adalah bagian dari sistem pemilihan umum yang membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk di dalamnya adalah rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi, serta batas ambang pemilihan (electoral threshold). Ada berbagai macam rumus dan cara


(52)

yang dapat digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi. Mengingat kompleksitas pembahasannya, maka akan dibahas tersendiri.

Tabel di bawah memberikan gambaran ringkas mengenai beberapa jenis sistem pemilihan umum. 32

Tabel : 3

Tabel Jenis Sistem Pemilihan Umum NO

.

Sistem Ukuran

Distrik

Tipe Deskripsi

1. Single Member District Plurality

tunggal pluralitas kandidat yang memperoleh suara terbanyak yang terpilih, walaupun tidak mencapai mayoritas sederhana.

2. Sistem Dua Putaran

tunggal mayoritas Jika tidak ada kandidat

yang mencapai mayoritas sederhana, diadakan pemilihan pemilihan lanjutan diantara dua kandidat

dengan suara terbanyak. Pemenang

pemilihan lanjutan yang akan terpilih.

3. Majority Preferential Voti

tunggal mayoritas Pemilih menentukan pilihan sesuai urutan preferensi. Jika tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas berdasarkan preferensi pertama, maka calon dengan preferensi pertama paling sedikit disingkirkan dan didistribusikan sesuai pilihan keduanya. 32


(53)

Proses diulangi sampai ada calon dengan suara mayoritas.

4. Multi Member District Plurality

jamak pluralitas Pemilih memberikan pilihan sebanyak jumlah kursi tersedia. Jika tersedia n kursi, maka n orang kandidat dengan suara terbanyak yang terpilih.

5. Single Non

Transferable Vote

jamak semi

proporsio nal

Pemilih memberikan satu pilihan. Jika tersedia n kursi, maka n orang kandidat dengan suara terbanyak yang terpilih.

6. Single Transferable Vote

jamak proporsio nal

Pemilih menentukan pilihan sesuai urutan preferensi. Kandidat dengan pilihan pertama mencapai quota akan terpilih. Calon dengan preferensi pertama paling sedikit disingkirkan dan didistribusikan sesuai pilihan keduanya. Proses diulangi sampai diperoleh n calon yang mencapai quota.

7. campuran semi

proporsio nal

Legislatur terdiri dari mereka yang terpilih lewat pluralitas atau mayoritas dalam distrik beranggota tunggal ditambah mereka yang

terpilih secara proporsional dalam distrik beranggota banyak. Kursi proporsional diberikan terlepas dari hasil yang

dihasilkan dari pemilihan lewat distrik


(54)

beranggota tunggal. 8. Mixed Member

Proportional

campuran proporsio nal

Legislatur terdiri dari mereka yang terpilih lewat pluralitas atau mayoritas dalam distrik beranggota tunggal ditambah mereka yang

terpilih secara proporsional dalam distrik beranggota banyak. Kursi proporsional diberikan untuk mengkompensasi efek disproporsional yang timbul dari hasil distrik beranggota tunggal.

9. Party jamak proporsio

nal

Pemilih memilih dari daftar yang disediakan, kursi diberikan sesuai proporsi suara yang diterima oleh partai. Kandidat terpilih berdasarkan urutannya dalam daftar.

B. Kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum

1. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi

Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual.


(1)

(2) Hukuman itu juga dijatuhkan kepada si pemilih, yang menerima suap atau perjanjian akan berbuat sesuatu.

2. Mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu adalah dengan menyatakan bahwa Tindak Pidana Pemilihan Umum merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU No. 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan / tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event


(2)

organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik Negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.

B. Saran-Saran

Saran yang dapat dikemukakan adalah, sebagai berikut:

1. Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu.

2. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi pengawas,


(3)

penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU/MAKALAH

Charter Center, Laporan Paska Pemilu Nomer 2 – Pengaduan Pemilu dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Misi Pemantuan Pemilu Terbatas, tanggal 21 Mei 2009. Donald, Parulian, Menggugat Pemilu 1997, hal. 25 dalam Topo Santoso, Tindak

Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pemilu, Position Paper, Berdasarkan Hasil Kajian Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Dengan dukungan Yayasan TIFA, Jakarta, Desember 2008. Santoso, Topo, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1996. SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem

– Petehaem, Jakarta, 1996.

Sunny, Ismail, Beberapa catatan tentang Panitia Pengawas dan Sistem Penyelesaian Sengketa dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia”, disampaikan dalam seminar tentang “Pengalaman yang diperoleh dari Pemilu Juni 1999 : Menyelesaikan Pengaduan dan Perselisihan dalam Proses Pemilu, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Univesitas Indonesia dan International Foundation for Election System (IFES), Depok, 15 September 1999.

Syadat, Umar Hasibuan, Unsophisticated Politicians di Parlemen, harian Waspada, edisi Kamis 30 April 2009.

The International IDEA Handbook of Electoral System Design, (Stockholm, Swedia,


(5)

Agung Putri, Terulangnya Pemilu Manipulatif, diakses dari situs :

Didik Supriyanto, Pengawasan dan Pengawas Pemilu 2009, diakses dari situs : Desember 2009.

Hajar, Abdul Fickar, Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs :

---, Persfektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs:

Hendardi, Pelanggaran Pemilu, Siapa Perduli, diakses dari situs : 2009.

Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs :

Pidana Pemilu Capai 138 Kasus, diakses dari situs :


(6)

Theodore, Benjuino, Sistem Pemilihan Umum, Sebuah Perkenalan, diakses dari situs : pemilihan umum online, tanggal 20 Agustus 2009.

C. SURAT KABAR

Isu DPT Masuk Parlemen, Tajuk Rencana, Harian Kompas, Edisi Rabu, 29 April 2009.

Parawansa, Khofifah Indar, Pencerdasan Demokrasi, Harian Seputar Indonesia, Edisi Senin, 27 April 2009.

Putri, Agung, Terulangnya Pemilu Manipulatif, Harian Kompas, Edisi Sabtu, 18 April 2009.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

UU No. 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 1969

Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1980.