BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………...88
B. Saran…………………………………………………………..90
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum
Armansyah,SH, MH Dedy J.R Manalu
Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan
dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa.
Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau
sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang
terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga
peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam
Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan
peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan
permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.
Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang- undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan
pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif
diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.
Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus lex specialis karena mengatur tindak pidana
yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP lex generalis juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU
Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatantindakan dalam setiap
tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.
Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP lex
generalis namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme hukum acaranya sendiri lex specialis mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu
temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan
secara demokratis dan bersih.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum
Armansyah,SH, MH Dedy J.R Manalu
Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan
dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa.
Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau
sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang
terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga
peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam
Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan
peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan
permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.
Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang- undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan
pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif
diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.
Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus lex specialis karena mengatur tindak pidana
yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP lex generalis juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU
Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatantindakan dalam setiap
tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.
Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP lex
generalis namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme hukum acaranya sendiri lex specialis mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu
temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan
secara demokratis dan bersih.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN