Proses Pelaksanaan Putusan Mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu 1 Proses Penyidikan

Setelah 7 hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 032008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07A2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkanmenunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu. Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.

b. Proses Pelaksanaan Putusan

Setelah 3 hari putusan pengadilan dibacakan, PNPT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Universitas Sumatera Utara Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU KabupatenKota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10 tahun 2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 122003 yang memakan waktu 121 hari. PROSES PENUNTUTAN PERSIDANGAN Dalam taliannya dengan UU 10 Tahun 2008, ternyata jauh lebih banyak mengatur ketentuan pidana untuk mencegah perbuatan curang dari peserta Pemilu. Kendatipun demikian, ini tidak mencegah orang untuk berbuat curang, yang potensi- potensi pelanggaran menganga dalam praktiknya di lapangan. Sebagai contoh, PERKARA KE PN 1 2 3 4 5 6 7 11 12 13 14 15 16 17 18 19 .... 24 25 26 27 28 BP II DITERIMA JPU …. PUTUSAN PN Terdakwa pikir-pikir BANDING KE PT PUTUSAN PT PUTUSAN DIKIRIM KE JPU 29 30 31 Eksekusi oleh JPU …….. TP PEMILU YG MEMPENGARUHI PEROLEHAN SUARA TAP HSL PEMILU SCR NAS 1 2 3 4 5 Universitas Sumatera Utara perbuatan seseorang yang pada masa tenang memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan maksud agar pemilih tersebut memilih calon atau peserta pemilu tertentu. Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara UU 10 Tahun 2008 mengatur sanksi pidana terhadap KPPS yang secara sengaja tidak memberikan salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu danatau Pengawas Pemilu. Namun, UU ini tidak secara jelas mengatur sanksi bagi PPK, KPU kabupatenkota, KPU provinsi, dan KPU, bila pada akhirnya mereka tidak memberikan berita acara dan sertifikat rekapitulasi perolehan suara kepada saksi peserta Pemilu dan pengawas Pemilu. Beberapa penafsiran yang berbeda mengenai UU No. 10 Tahun 2008 terkait dengan penegakan hukum dalam pemilu adalah : 58 a. Asimetris penafsiran terhadap penanganan pelanggaran Penegakan hukum Pemilu sering terhambat karena perbedaan penafsiran Penyidik Polri atas tugas dan fungsi jajaran Pengawas Pemilu terkait ketentuan Pasal 247 ayat 6 jo ayat 9 yang pada pokoknya menyatakan dalam hal laporan pelanggaran terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupatenkota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjutinya dengan meneruskan laporan pelanggaran pidana Pemilu kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagian aparat penyidik Polri berpendapat bahwa Pengawas Pemilu harus dapat mengumpulkan bukti- bukti untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pidana Pemilu. Dengan keterbatasan waktu hanya 5 hari untuk menindak-lanjuti sebuah laporan sejak diterima dari pelapor, mustahil bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk 58 Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs : http:nurhidayatsardini.dagdigdug.com20090523penanganan-pelanggaran-tindak-pidana-pemilu, tanggal 4 Agustus 2009. Universitas Sumatera Utara mengumpulkan bukti-bukti untuk memastikan bahwa laporan tersebut memenuhi unsur pidana Pemilu, apalagi sumber daya manusia yang tersedia sangat sedikit serta kewenangan yang sangat terbatas. b. Perbedaan penafsiran atas ketentuan Pasal 257 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 257 mengatur bahwa putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut UU ini dapat memengaruhi perolehan suara peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Akan tetapi dari pasal yang semula dimaksudkan untuk mempercepat proses penanganan pelanggaran tersebut sehingga tidak mempengaruhi proses penyelesaian penanganan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya justru menjadi persoalan tersendiri bagi pengawas pemilu dalam menindaklanjuti temuan dan laporan kepada penyidik polri. Laporan dari pengawas pemilu di daerah menyatakan mereka kesulitan untuk meneruskan laporan dan temuan kepada penyidik, terutama sejak 15 April 2009. Dilaporkan pula bahwa kasus-kasus dugaan tindak pidana pemilu selepas tanggal tersebut dinilai sudah melampaui batas waktu; sementara batas waktu yang ditentukan tersebut adalah 5 lima hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional, yang jatuhnya paling lambat harus selesai pada 4 Mei 2009 karena hasil Pemilu harus sudah ditetapkan secara nasional pada 9 Mei 2009. Untuk menjamin pemilihan umum yang bebas dan adil diperlukan perlindungan bagi pemilih, bagi para pihak yang mengikuti pemilu, maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penuipuan dan praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Jika Universitas Sumatera Utara pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang malpractices, sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan wakil- wakil rakyat. Guna melindungi kemurnian pemilihan umum yang sangat penting bagi demokrasi, para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang dalam pemilihan umum sebagai suatu tindak pidana. Dengan demikian, undang-undang pemilu di samping mengatur tentang bagaimana pemilu dilaksanakan juga melarang sejumlah perbuatan yang dapat menghancurkan hakikat free and fair election serta mengancam pelakunya dengan hukuman. Dari sudut politik hukum khususnya politik hukum pidana, kita melihat terjadinya perkembangan dalam tindak pidana pemilu. Perkembangan itu mencakup semakin luasnya cakupan tindak pidana pemilu, peningkatan jenis tindak pidana, dan peningkatan sanksi pidana. Untuk pemilu 2009, sebagian pengamat politik mengatakan bahwa pemilu 2009 adalah pemilu terburuk. Jika Pemilu 2009 disebut sebagai pemilu terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia, hal ini sebetulnya tidak lepas dari buruknya kinerja lembaga pengawas pemilu. Badan Pengawas Pemilu Bawaslu dan jajarannya tidak mampu memanfaatkan secara maksimal keterbatasan kewenangan yang dimilikinya.Dalam berbagai kesempatan, mereka justru meminta masyarakat memaklumi bahwa mereka memang tidak berdaya di antara kepandiran penyelenggara dan kecongkakan penegak hukum serta kenaifan peserta pemilu. Layaknya peserta pemilu, Bawaslu berkampanye mencitrakan diri sebagai lembaga yang “dianiaya”undang-undang di tengah kegagalannya menangani kasus- kasus pelanggaran. Bawaslu seakan tidak menyadari bahwa harapan yang dibebankan masyarakat kepada mereka begitu tinggi karena keberadaannya ditopang oleh Universitas Sumatera Utara Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu UU No. 22 Tahun 2007 yang telah memperkuat lembaga pengawas pemilu lebih daripada lembaga pengawas pemilu pada periode mana pun. Bawaslu juga pura-pura tidak tahu bahwa dalam masa kerjanya selama dua tahun telah disokong anggaran sebesar Rp2,1 triliun sehingga mereka pun merasa tidak melakukan pemborosan dana negara yang ditarik dari pajak rakyat. Akibatnya, upaya untuk mencitrakan diri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan terbatas tidak mengundang simpati, malah mendatangkan antipati. Ironisnya, sementara sejumlah partai politik dan pemantau menyimpulkan bahwa lembaga pengawas pemilu tidak diperlukan lagi pada masa-masa yang akan datang, Bawaslu justru berusaha meyakinkan diri agar pengawas pemilu di provinsi dan kabupatenkota dipermanenkan. Belakangan, sehubungan dengan munculnya ketegangan internal, orang-orang Bawaslu berkasak-kusuk mengembangkan teori konspirasi bahwa pihaknya telah diintervensi oleh kekuatan politik besar, seakan penampilannya telah membahayakan kekuatan politik tertentu di tengah pertarungan politik pascapenghitungan suara. Politik pencitraan diri ini semakin meneguhkan kesimpulan bahwa lembaga ini lebih sibuk mengurus diri sendiri daripada mengurus pelanggaran pemilu. 59 Cara termudah untuk menilai kinerja Bawaslu adalah membandingkannya dengan kinerja lembaga serupa pada pemilu-pemilu sebelumnya. Perbandingan ini dilakukan karena fungsi pengawas pemilu,antara Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, sesungguhnya sama, yakni melakukan pengawasan setiap tahapan, menerima laporan pelanggaran, dan menangani pelanggaran administrasi dan pidana. 59 Didik Supriyanto, Pengawasan dan Pengawas Pemilu 2009, diakses dari situs : http:www.seputar-indonesia.comedisicetakcontentview263902, tanggal 8 Desember 2009. Universitas Sumatera Utara Memang ada sedikit perbedaan,misalnya Panitia Pengawas Panwas Pemilu 1999 menangani kasus-kasus netralitas birokrasipejabat publik, demikian juga Bawaslu 2009 menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Namun dua hal yang berbeda tersebut sesungguhnya juga menjadi domain pekerjaan Panwas Pemilu 2004. Namun seperti dilaporkan media massa, jumlah vonis kasus pelanggaran pidana pemilu legislatif dalam kisaran 200-an, sementara pemilu presiden sekitar 30-an. Ribuan kasus pelanggaran administrasi telahdisampaikan oleh jajaran Bawaslu kepada KPU,KPU provinsi, dan KPU kabupatenkota, tapi hasilnya tidak jauh beda dengan Pemilu 2004. Padahal di lingkungan penyelenggara sudah diatur mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran administrasi pemilu dan disiapkan petugas khusus untuk menanganinya. 60 Ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana pengaturan eksistensi penyelenggara dan pengawas pemilu hanya ditempelkan dalam undangundang pemilu Sesuatu yang pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 tidak terjadi. Logikanya, sedikitnya kasus yang ditangani oleh Bawaslu dan jajarannya pada Pemilu 2009,boleh jadi,menunjukkan kualitas penyelenggaraan pemilu sudah membaik sehingga hanya terjadi sedikit pelanggaran. Namun spekulasi ini bertentangan dengan penilaian banyak kalangan bahwa kualitas Pemilu 2009 adalah yang terburuk dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan Bawaslu sendiri termasuk pihak yang menyimpulkan demikian. Meskipun dari pemilu ke pemilu tugas dan wewenang pengawas pemilu hampir sama, untuk Pemilu 2009 lembaga pengawas pemilu sudah diperkuat posisinya. Pertama,bersama KPU dan jajaran penyelenggara pemilu, eksistensi pengawas pemilu diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni UU No 222007. 60 Ibid. Universitas Sumatera Utara legislatif. Kedua, dari segi administrasi dan keuangan, lembaga pengawas pemilu kini mandiri.Dia bukan bagian dari KPU,seperti Pemilu 2004, dan bukan bagian dari Departemen Dalam Negeri, seperti Pemilu 1999. Ketiga, lembaga pengawas pemilu tingkat nasional dipermanenkan. Ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, lembaga pengawas pemilu hanya bersifat kepanitiaan. Keempat,pengawas pemilu kini mempunyai jaringan petugas sampai tingkat desakelurahan sehingga daya kerjanya berlipat. Ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana pengawas pemilu hanya sampai pada tingkat kecamatan. Namun penguatan posisi tersebut juga diikuti pelucutan kekuatan internal kelembagaan.Tiadanya unsur kepolisian dan kejaksaan sama dengan menghilangkan kekuatan pengawas pemilu sebagai lembaga penegak hukum. Kehadiran polisi dan jaksa tidak hanya menambah wibawa lembaga, tetapi juga menjamin adanya keterampilan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu. Tiadanya unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan pers sama dengan menghilangkan kekuatan pengawas pemilu sebagai mediator dan komunikator di tengah kompetisi pemilu yang ketat.Sementara pembatasan waktu penanganan pelanggaran yang diperpendek juga menjadi kendali tersendiri karena pengawas pemilu hanya memiliki sedikit waktu untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran. Kelemahan-kelemahan lembaga pengawas pemilu tersebut sebetulnya sudah diketahui Bawaslu dan jajarannya.Sayangnya,hal itu tidak dipelajari secara intensif dan dicari jalan keluarnya, tetapi justru dijadikan dalih untuk menepis kritik. Setiap kali gagal menangani kasus, Bawaslu mengembalikan pada wewenangnya yang terbatas. Kreativitas menghadapi keterbatasan wewenang tidak muncul, kecuali dalam bentuk “menampung laporan pelanggaran lewat SMS”. Meski setiap kali menyoal kinerja Universitas Sumatera Utara KPU, Bawaslu tidak menggunakan “kekuatan besarnya” untuk memidanakan KPU. Alihalih memidanakan KPU, kasuskasus besar yang ditangani dan muncul ke permukaan lebih sering karena inisiatif staf daripada keberanian ketuaanggota. Semua itu terjadi karena ketua anggota BawasluPanwaslu telanjur menempatkan dirinya sebagai pejabat negara dan menikmatinya. Dalam posisi demikian,tindak tanduk- nya harus sesuai dengan “tata krama”atau “lagak laku” pejabat: menjaga harmoni, padahal sebenarnya tidak mau ambil risiko; menyalahkan tugas dan wewenang, padahal tidak kreatif; mengaku banyak kerjaan,padahal minta tambahan pendapatan; memenuhi kelengkapan administrasi, padahal memakai dana tidak resmi. Padahal dari sisi fungsi, apa yang menjadi tugas pengawas pemilu, sebetulnya tidak jauh beda dengan tugas pemantau pemilu. Oleh karena itu,ketika para ketua anggota Bawaslu dan Panwaslu lebih memerankan dirinya sebagai pejabat pemilu, pada saat itu juga mereka tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan atau pemantauan pemilu, yang secara hakikat memang berasal dari masyarakat yang bercirikan: informal,spontan, lugas,tanpa beban. Karena lembaga negara menjalankan fungsi pemantauan pemilu, keberadaan lembaga pengawas pemilu sesungguhnya mengambil peran masyarakat dalam mengurus pemilu.Inilah yang menjadi salah satu sebab partisipasi masyarakat dalam pemilu terus turun.Padahal,syarat pokok untuk penguatan demokrasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap proses politik. Di sisi lain, eksistensi lembaga pengawas pemilu juga menjadikan peserta pemilu partai politik, calon perseorangan, pasangan calon presiden kepala daerah dan tim pendukungnya tidak mau bekerja keras untuk mencermati dan membongkar kasuskasus pelanggaran karena mereka merasa hal itu sudah menjadi tanggung jawab lembaga pengawas pemilu. Yang terjadi adalah sebaliknya, mereka melakukan duplikasi pelanggaran Universitas Sumatera Utara pada saat mengetahui pengawas pemilu tidak berhasil menindak pelanggaran tersebut. Bayangkan saja, kalau dana negara yang dinikmati pengawas pemilu sebesar Rp 2,1 triliun, 10 saja diberikan kepada masyarakat untuk melakukan pemantauan pemilu,pasti KPU, polisi, dan jaksa akan kalang kabut karena setiap hari mendapatkan laporan pelanggaran dan selalu diteriaki oleh pemantau pemilu karena kinerja buruk. Sebaiknya fungsi penegakan hukum menempel di KPU sebagaimana dipraktikkan negara-negara lain, agar KPU tidak semena-mena terhadap lembaga pemantau, undang-undang pemilu perlu membentuk dewan ad hoc pemantau untuk menjaga standar kerja pemantauan, mengontrol penggunaan dana negara, sekaligus mengoordinasikan kerja pemantau secara nasional. Berikut ini akan dilihat hasil pemantauan dan tawaran pengaduan pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang ditawarkan oleh Carter Centre. 61 Seperti tercantum dalam Undang-Undang Pemilu tahun 20081, ada dua kategori utama dari pelanggaran-pelanggaran pemilu, yaitu: administratif dan pidana. Mereka yang berhak mengajukan pengaduan adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, pemantau pemilu, dan para kontestan pemilu. 62 61 The Carter Center didirikan pada tahun 1982 oleh mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dan istrinya, Rosalynn, bekerja sama dengan Universitas Emory, untuk meningkatkan perdamaian dan kesehatan di seluruh dunia. Sebuah organisasi non profit, non pemerintah, The Carter Center telah memberi bantuan guna memperbaiki kehidupan bagi rakyat di lebih dari 70 negara melalui penyelesaian konflik; memajukan demokrasi, hak asasi manusia, dan peluang ekonomi; mencegah berbagai penyakit; memperbaiki pusat kesehatan mental; dan mengajar para petani untuk meningkatkan produksi perrtaniannya. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai The Carter Center, silakan kunjungi: www.cartercenter.org. 62 Charter Center, Laporan Paska Pemilu Nomer 2 – Pengaduan Pemilu dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Misi Pemantuan Pemilu Terbatas, tanggal 21 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Pengaduan dapat dibuat pada setiap tahap proses pemilihan. Menurut undang- undang pemilu, dugaan pelanggaran harus dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu Bawaslu ditingkat nasional, kepada Panitia Pengawas Pemilu Panwaslu di tingkat propinsi dan kabupaten atau kepada pengawas pemilu di luar negeri bagi pemilih yang berada di luar negeri. Laporan lisan atau tertulis harus diberikan kepada Bawaslu pada tingkat yang sesuai tidak lebih dari tiga hari setelah kejadian Setelah me-review pengaduan, Bawaslu atau Panwaslu akan menentukan apakah kasus tersebut bersifat administratif atau pidana dan menyampaikan ke KPU untuk keputusan atau polisi untuk investigasi5. KPU harus me-review dan menentukan kasus administratif dalam kurun waktu tujuh hari sejak diterimanya pengaduan tersebut, sementara polisi memiliki 14 hari untuk melakukan investigasi dan membawa kasus kriminal ke Jaksa Penuntut Umum apabila mereka berhasil mengumpulkan bukti yang cukup. Jaksa kemudian harus menyerahkan berkas perkara yang sudah lengkap ke Pengadilan Negeri dalam kurun waktu lima hari sejak kasus diterima. Berdasarkan berbagai uraian di atas, penyelesaian tindak pidana pemilu semestinya dilakukan melalui proses yang digariskan dalam hukum acara pidana, yaitu melalui sistem peradilan pidana. Melalui proses ini maka hakimlah yang akan menyelesaikan sengketa pemilu yang berupa tindak pidana pemilihan umum melalui putusannya yang bisa berupa pembebasan, pelepasan dari segala tuntutan hukum, atau pemidanaan terhadap si pelaku. Hanya dengan inilah maka kepastian hukum akan lebih terjamin. Penyelesaian tindak pidana pemilu di Indonesia menunjukkan berbagai hal, antara lain jika dilihat dari legal framework-nya, penyelesaian tindak pidana pemilu mempersulit para penegak hukum, pertama karena diatur oleh banyak dokumen, seperti dari mulai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Mahkamah Agung, Keputusan KPU, hingga SKB. Padahal semua merujuk pada satu hal saja, yaitu bahwa Universitas Sumatera Utara penyelesaian tindak pidana pemilu diselesaikan sesuai peraturan perundang-undangan atau melalui sistem peradilan pidana Tidak adanya sistem inventarisasi, kategorisasi dan evaluasi yang jelas dan benar tentang kecurangan atau pelanggaran irregularities atau violations dalam pemilu. Berbagai inventarisasi yang dilakukan ternyata tidak membagi secara tepat berbagai praktik kecurangan. Buku Evaluasi Kecurangan dan Pelanggaran Pemilu 1999 dari KPU sebagai contoh, mencampuradukkan berbagai kecurangan pemilu yang bukan tindak pidana ke dalam kolom ”Tindak Pidana”. Buku Laporan Panwas sebagai contoh lain menyebutkan adanya tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh Partai Politik. Padahal, dalam UU Pemilu subjek tindak pidana hanya orang badan atau bahkan partai politik bukan subjek tindak pidana pemilu. Begitu pula dalam UU Partai Politik subjek tindak pidana di dalamnya hanyalah orang, sementara partai politik hanya dapat dijatuhi sanksi administratif saja bukan sanksi pidana. Dengan demikian, penyebutan partai politik sebagai pelaku tindak pdana pemilu adalah tidak tepat. Hal ini terbawa hingga ke pengadilan, yaitu adanya pembuktian untuk membuktikan bahwa sogokan pemilu berasal dari partai politik, dan bukan dari pribadi tersangka. Panwas ikut menyelesaikan tindak pidana pemilu, atau paling tidak telah melakukan ”penyaringan” atas kasus-kasus yang dilaporkan sebagai tindak pidana pemilu. Kasus yang tidak dapat diselesaikan baru ditindaklanjuti ke kepolisian. Padahal sesuai ketentuan laporan adanya tindak pidana pemilu ditangani oleh aparat penegak hukum, khususnya kepolisian. Banyaknya laporan tindak pidana pemilu yang ”tidak berhasil lolos saringan” untuk diajukan ke tahap-tahap selanjutnya atau tidak berhasil dibuktikan. Pihak kepolisian yang mau menerima laporan tindak pidana pemilu dalam melaksanakan tugas pengumpulan bukti-bukti mendapati kesulitan. Universitas Sumatera Utara Kurangnya perhatian dari masyarakat untuk memantau perjalanan kasus-kasus tindak pidana terutama setelah tahapan pemilu selesai, masyarakat tidak lagi menaruh perhatian. Pemantauan terhadap perjalanan kasus-kasus pemilu bahkan tidak lagi dilakukan oleh mereka yang melaporkan ke polisi, dengan alasan, pertama : karena Panwas sudah dibubarkan, kedua : bukan tugas KPU untuk melakukannya, ketiga : orang-orang dari kalangan partai yang melaporkan maupun yang jadi tersangka sudah tidak lagi berseteru, keempat : proses pengadilan yang sangat lama dan memakan waktu. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP diatur dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP, yang menyatakan bahwa: a Dengan kekerasan ancaman sengaja merintangi orang menggunakan hak pilih; b Menjanjikan menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih; c Menerima janji menerima suap; d Melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain; 1 memakai nama orang lain supaya dapat memilih; 2 menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil pemilihan lain dari yang seharusnya. Selanjutnya mengenai hukuman tindak pidana pemilu ini Pasal 149 mengatur : 1 Barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan pemberian atau perjanjian memberi suap kepada seseorang supaya ia tidak melakukan haknya memilih, atau supaya ia menjalankan hak itu dengan jalan yang tertentu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- Universitas Sumatera Utara