Uji Klinis Acak Tersamar Ganda Gabungan Sulfadoksin-Pirimetamin Dengan Klorokuin Pada Malaria

(1)

UJI KLINIS ACAK TERSAMAR GANDA GABUNGAN SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN DENGAN KLOROKUIN PADA MALARIA

EMIL AZLIN

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria adalah penyakit infeksi parasit pada manusia dan menjadi masalah

kesehatan masyarakat,terutama di daerah endemis malaria, karena angka kesakitan

dan kematiannya masih tinggi. Lebih dari 90 negara di dunia merupakan daerah endemis malaria yang didiami lebih kurang 2,4 milyar orang atau 40% dari penduduk dunia. Malaria menyebabkan 300 hingga 500 juta kasus dengan kematian 500 ribu hingga 2,4 juta orang setiap tahun, sebagian besar (> 90%) terjadi di Afrika.1-3

Di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir ini kasus malaria malah meningkat, bahkan menjadi penyebab kematian nomor tiga di beberapa daerah endemis. Peningkatan kasus malaria disebabkan oleh mobilitas penduduk yang cukup tinggi, perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat perindukan nyamuk

penular malaria, perubahan iklim, dan resistensi obat. Survei Kesehatan Rumah

Tangga 1995 memperkirakan ada 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria. Dari jumlah itu, 30 ribu diantaranya meninggal dunia.4

Malaria merupakan salah satu penyakit yang re-emerging. Kurang lebih 35 % penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Pada tahun 2000 tercatat kasus malaria lebih dari 2 juta kasus. Di pulau Jawa dari 12 kasus per 10.000 penduduk pada tahun 1997 meningkat menjadi 81 kasus per 10.000 penduduk pada tahun 2000.

Di luar Jawa, angka kesakitan malaria dari 1600 kasus tahun 1997 meningkat

menjadi 3.100 kasus per 10.000 penduduk pada tahun 2000.4

Di Indonesia penyakit ini tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian 1800

meter diatas permukaan laut.5 Di Sumatera Utara, penyebaran malaria terutama

dijumpai di sepanjang pantai Timur dan Barat, daerah perbukitan , dan daerah yang berdekatan dengan hutan lebat. Dari hasil survai yang dilakukan dari tahun 1989 hingga tahun 1993 di sebelas kabupaten telah ditemukan dua spesies yaitu

Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax dengan angka parasite rate ( PR ) rata-rata sebesar 2,7%. Kecamatan dengan PR yang tinggi ditemukan di kabupaten Tapanuli Selatan, Asahan, Nias , Tanah Karo, dan Labuhan Batu.6

Mandailing Natal adalah kabupaten yang baru terbentuk pada tanggal 23

November 1998 dan merupakan pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan.7 Sejak

terbentuknya, kabupaten ini langsung menduduki urutan tertinggi insiden malaria di

Sumatera Utara dengan angka PR pada tahun 1999/2000 sebesar 10,65 %.8

Sebelumnya sewaktu masih bersatu dalam kabupaten Tapanuli Selatan,di daerah ini

sudah pernah terjadi Kejadian Luar Biasa ( KLB ) malaria yaitu di kecamatan Siabu pada tahun 1985 dengan jumlah penderita 86 orang dan meninggal 2 orang, dan di kecamatan Panyabungan pada tahun 1992 dengan jumlah penderita 194 orang dan meninggal 32 orang.6


(2)

Gambar 1. Peta Kabupaten Mandailing Natal 7

Kabupaten Mandailing Natal terletak diantara 00.10’ - 10050’ Lintang Utara dan 98050’ - 100010’Bujur Timur dengan luas daerah sebesar 662.070 Ha. Terbagi atas 8 kecamatan dan 277 desa dengan kondisi geografis yang luas terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai-sungai, dan persawahan. Kabupaten Mandailing Natal berbatasan di sebelah utara dengan kabupaten Tapanuli Selatan, sebelah selatan dengan Propinsi Sumatera Barat, sebelah barat dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur dengan Propinsi Riau (gambar 1)7. Jumlah penduduk di kabupaten ini

adalah 343.715 jiwa dengan mata pencaharian mayoritas sebagai petani dan nelayan. Jenis penyakit yang terbanyak adalah malaria klinis sebesar 17,53%.9

Penggunaan obat anti malaria merupakan salah satu upaya penting dalam pengobatan malaria. Masalah yang sering timbul adalah resistensi terhadap obat yang disebabkan oleh kemampuan parasit untuk melakukan mutasi gen, sehingga resisten terhadap obat anti malaria yang digunakan. Resistensi juga disebabkan oleh penggunaan obat yang tidak tepat, perpindahan penduduk dari suatu daerah endemis ke daerah endemis lainnya, serta banyaknya penggunaan antibiotika golongan sulfa.10-11

Salah satu upaya untuk mengurangi cepatnya perkembangan resistensi adalah dengan penggunaan obat secara kombinasi. Penelitian terhadap efektifitas pengobatan secara kombinasi antara obat dari golongan 4-aminokuinolin (seperti klorokuin dan amodiakuin) dengan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan peningkatan efektifitas dari tiap obat tersebut. Penggunaan kombinasi obat lain juga telah banyak dilakukan sesuai kondisi resistensi suatu daerah seperti kombinasi


(3)

antara amodiakuin, meflokuin, atau sulfadoksin-pirimetamin dengan obat dari turunan artemisin.2

Dalam 30 tahun terakhir , P. falciparum telah resisten terhadap obat anti malaria yang ada. Di Asia, resistensi terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin makin meluas, manfaat dari kina makin berkurang, dan pada beberapa negara meflokuin mengalami 50 % kegagalan pengobatan. Akibatnya , pengobatan malaria haruslah disesuaikan dengan kondisi geografis tiap daerah.12

Salah satu faktor yang memperburuk masalah resistensi adalah tersedianya obat anti malaria secara bebas di toko obat terutama di daerah endemis, seperti klorokuin dan kina. Disisi lain masyarakat tidak sepenuhnya mengetahui cara pemakaian obat yang benar. Pemakaian obat dengan dosis yang tidak adekuat akan memperbesar kemungkinan timbulnya resistensi.13

Di Indonesia, kasus P. falciparum resisten klorokuin dilaporkan pertama kali pada tahun 1973 dari Kalimantan Timur, yang diikuti oleh propinsi lain di Indonesia. Hingga tahun 1992 kasus malaria falsiparum resisten klorokuin sudah dijumpai di seluruh wilayah Indonesia dengan derajat R I – R III.14 Kasus P. falciparum resisten terhadap sulfadoksin-pirimetamin dijumpai pertama kali pada tahun 1978.15 Hingga

tahun 1992 sudah dijumpai di 10 propinsi di Indonesia yaitu propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Papua dengan derajat resistensi R I – R II.16

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hal diatas, dimana Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan prevalensi malaria tertinggi di Sumatera Utara. Diperlukan upaya yang terarah untuk menanggulangi tingginya angka kesakitan malaria di daerah tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengobatan yang adekuat, dimana obat anti malaria yang digunakan masih sensitif terhadap parasit malaria di daerah tersebut .

Penelitian resistensi obat anti malaria sudah pernah dilakukan di daerah kabupaten Mandailing Natal yaitu pada tahun 1983 – 1986 di kecamatan Siabu. Pada

penelitian tersebut belum dijumpai adanya kasus P falciparum resisten terhadap

klorokuin maupun terhadap kombinasi sulfadoksin-pirimetamin.17 Namun mengingat

cepatnya peningkatan resistensi P. falciparum terhadap obat anti malaria diperlukan evaluasi untuk mengetahui efektifitas obat anti malaria yang digunakan saat ini.


(4)

1.3 Kerangka Konsep

Malaria Falsiparum

-Demam (+) -Anemia (+) -Parasitemia (+) -Hepato-Splenomegali

Pengobatan

Fansidar Klorokuin

-Efikasi -Resistensi

Hasil Pengobatan

Klinis :

-Demam (-) -Parasitemia (-)

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Pengobatan Malaria Falsiparum 1.4 Tujuan Penelitian

Untuk menentukan efektifitas dan membandingkan tingkat resistensi obat anti

malaria yaitu sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar ®) dan klorokuin terhadap

infeksi malaria falsiparum di kabupaten Mandailing Natal .

1.5 Hipotesis

Efektifitas dan tingkat resistensi obat sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar ®) dibandingkan dengan klorokuin pada malaria falsiparum di kabupaten Mandailing Natal tidak berbeda bermakna.

.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu parameter dalam menentukan kebijakan penyediaan obat untuk pengobatan penyakit malaria falsiparum di kabupaten Mandailing Natal.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Malaria falsiparum adalah jenis malaria yang paling banyak menyebabkan kesakitan dan kematian diantara jenis parasit malaria. Jenis ini menyebabkan penyakit dengan bentuk yang paling berat, dan biasanya di daerah tropis. Infeksi akibat parasit ini dapat berakibat fatal bila penyakit dan komplikasinya tidak segera dikenali dan dilakukan penatalaksanaan yang aktif dan sesuai.18

Gejala klinis yang timbul pada infeksi malaria pada umumnya adalah demam, menggigil dan berkeringat. Namun gejala ini tidak selalu dijumpai terutama pada anak dan orang tua di daerah endemis malaria, dimana gejalanya bisa sangat bervariasi dan berubah sangat cepat.1 Seperti yang di dapati di Papua dimana dari satu penelitian menunjukkan hanya 41% penderita yang terinfeksi parasit malaria

falsiparum tanpa komplikasi yang mengalami demam.19

Dalam siklus hidupnya Plasmodium falciparum mempunyai dua hospes yaitu

vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual dalam tubuh hospes penderita disebut skizogoni, dan siklus seksual di tubuh nyamuk disebut sporogoni.3,14

Pada siklus aseksual, sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk anopheles betina masuk kedalam tubuh hospes (manusia) melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu 30 menit, jasad yang langsing dan lincah ini memasuki sel parenkim hati dan memulai stadium eksoeritrositik dari daur hidupnya. Dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas dan sebagian difagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium preeritrositik atau eksoeritrositik.

Siklus eritrositik dimulai pada saat merozoit memasuki sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit. Tropozoit berkembang menjadi skizon muda kemudian matang dan membelah diri menjadi banyak merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut, sel darah merah pecah, merozoit, pigmen, dan sisa sel keluar memasuki plasma darah. Sebagian merozoit memasuki sel darah merah lain untuk mengulangi siklus skizogoni dan yang lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual. (gambar 3)3

Siklus seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk, gametosit yang masuk bersama darah tidak dicernakan bersama sel-sel darah lain. Pada mikrogamet (jantan) kromatin membagi diri menjadi 6-8 inti yang bergerak kepinggir parasit dan terbentuk beberapa filamen seperti cambuk sehingga dapat bergerak aktif, didesak keluar dan lepas dari sel induk. Proses ini disebut eksflagelasi. Sementara itu makrogamet (betina) menjadi matang terdiri atas sebuah badan dari sitoplasma yang berbentuk bulat dengan sekelompok kromatin ditengah.

Pembuahan terjadi karena masuknya satu mikrogamet kedalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk. Bila nyamuk menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk kedalam darah dan mulailah siklus preeritrositik.


(6)

Gambar 3. Siklus Hidup Malaria3

Pengobatan pada infeksi oleh P. falciparum berbeda dengan yang disebabkan oleh parasit jenis lain. Hal ini tergantung pada beratnya infeksi, kondisi penderita dan pola sensitifitas obat anti malaria di daerah tersebut. Pemilihan obat yang tepat


(7)

sangat diperlukan pada awal pengobatan. Mengganti ataupun menambah obat anti malaria ditengah pengobatan bisa menimbulkan komplikasi dan meningkatkan efek

samping obat.10,18 Secara umum obat anti malaria yang dapat digunakan pada

pengobatan malaria falsiparum dan cara kerjanya dapat dilihat pada gambar 4.20

PROFILAKSIS KAUSAL

- Pirimetamin

SP

PE

NYAMUK

E

SPORONTOSIDA

- Pirimetamin

- Kloroguanid

SKIZONTOSIDA

- Klorokuin

- Amodiakuin

- Kuinin

- Meflokuin

- Halofantrin

- Proguanil

- Tetrasiklin

MANUSIA

GAMETOSITOSIDA

- Pirimetamin

Gambar 4. Kerja dari Obat yang Digunakan pada Malaria Falsiparum20

Resistensi terhadap obat anti malaria merupakan masalah yang paling sering dijumpai pada infeksi oleh malaria falsiparum. 18 Resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria ialah kemampuan parasit untuk hidup atau berkembang biak, setelah diberi obat dengan dosis standar atau lebih tinggi, tetapi masih dalam batas toleransi penderita, dalam waktu yang dibutuhkan untuk kerja normal obat .2,18

Secara umum, mekanisme resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria, disebabkan oleh mutasi spontan dari gen parasit. Keadaan ini menyebabkan penurunan sensitifitas parasit terhadap obat atau kelompok obat yang digunakan. Mutasi ini tidak menyebabkan peningkatan kemampuan hidup atau perkembangbiakan parasit, tetapi menekan pengaruh obat terhadap parasit sehingga terjadi resistensi. Mekanisme ini secara biokimiawi telah dapat dijelaskan pada klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin.2

Klorokuin merupakan obat anti malaria kelompok 4-amionokuinolin dengan rumus molekul C18 H26 ClN3 bersifat sebagai skizontosida darah terhadap semua jenis


(8)

plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan anti malaria standar dan paling banyak digunakan dalam pengobatan malaria dengan harga murah dan telah terbukti sebagai obat anti malaria yang aman.18 (gambar 5)

Gambar 5. Struktur Kimia Klorokuin10

Mekanisme kerja obat ini belum jelas. Karena bersifat alkalis obat ini dapat mencapai konsentrasi yang tinggi dalam vakuola makanan dari parasit dan meningkatkan pH-nya. Obat ini menyebabkan pembentukan pigmen lebih cepat . Klorokuin menekan enzim heme-polimerase dari parasit yang berfungsi merubah heme toksin menjadi hemazoin non-toksik yang dihasilkan dari penumpukan heme toksik didalam tubuh parasit. Klorokuin juga menghambat proses biosintesis asam-nukleat.18

Obat ini diserap 90% dari saluran cerna dan secara cepat diabsorbsi pada pemberian intramuskular dan subkutan. Obat ini mempunyai volume distribusi yang luas oleh karena pemisahan yang besar di hati, limpa, ginjal, paru, dll, sehingga pada pemberian awal diperlukan dosis yang besar. Kadar terapi di darah menetap selama 6 – 10 hari dan waktu paruh adalah 1-2 minggu. Setengah dari obat diekskresi utuh oleh ginjal dan sisanya dirubah menjadi metabolit aktif di hati.18

Obat ini sangat efektif terhadap bentuk eritrosit dari P. vivax, ovale, malariae, dan falciparum serta gametosit dari P. vivax dan malariae. Secara cepat mengontrol serangan akut dari malaria dan menjadikan penderita tidak demam lagi dalam waktu 24 – 48 jam. Obat ini lebih efektif dan lebih aman dibandingkan kina pada kasus

yang sensitif.18 Mekanisme terjadinya resistensi obat, berhubungan dengan

peningkatan kemampuan parasit untuk menghalangi konsentrasi klorokuin yang tinggi di vakuola makanan parasit, sehingga penekanan enzim heme-polimerase tidak terjadi.2,21

Efek samping yang ditemukan adalah ringan seperti pusing, vertigo, diplopia, mual, muntah, dan sakit perut. Klorokuin tersedia sebagai tablet Klorokuin fosfat, dimana setiap 250 mg tablet mengandung 150 mg basa. Klorokuin diberikan pada hari pertama dengan dosis awal 10 mg/kg berat badan dan diikuti 6 jam kemudian dengan dosis 5 mg/kg berat badan dan pada hari kedua dan ketiga dengan dosis 5 mg/kg berat badan.11,22 Angka kesembuhan yang dilaporkan sangat bervariasi antara 10 - 100% dengan derajat resistensi yang beragam antara R I – R III.16

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria kombinasi

sulfonamida/sulfon dan diaminopirimidin. Obat ini bersifat skizontosida jaringan

terhadap P.falciparum dan skizontosida darah serta sporontosida untuk keempat

jenis plasmodium manusia (gambar 6).Kombinasi obat ini digunakan secara selektif


(9)

Gambar 6. Struktur Kimia Sulfadoksin-Pirimetamin3

Disebut juga kelompok obat anti folat karena bekerja dengan menghalangi 2 jalur pembentukan folat pada tubuh parasit. Sulfadoksin menghalangi penggunaan

para-aminobenzoic acid (PABA) dengan menghambat enzim dihydropteroate synthase (DHPS). Pirimetamin menghambat enzim dihydrofolat reductase (DHFR) dari plasmodium sehingga menghalangi sintesa dari timin dan purin yang merupakan bahan penting untuk sintesa DNA dan multiplikasi sel. Efek ini menghancurkan bagian inti pada waktu pembentukan skizon di dalam eritrosit dan hati.3 Mekanisme terjadinya resistensi pada kombinasi obat ini disebabkan mutasi gen spesifik yang membuat parasit resisten terhadap kedua enzim tersebut.21,22 (gambar 7)

PABA + DIHIDROPTERIDIN

ASAM HIDROFOLAT

RNA DNA

SINTESA TIMIN & PURIN ASAM TETRAHIDROFOLAT

SULFADOKSIN

DIHIDROPTEROAT SINTASE

PIRIMETAMIN

DIHIDROFOLAT REDUKTASE

Gambar 7. Mekanisme Kerja Sulfadoksin-Pirimetamin22

Pirimetamin secara lambat tetapi utuh diabsorbsi setelah pemberian oral dan dieliminasi dengan lambat. Waktu paruhnya adalah 80 - 95 jam. Konsentrasi yang efektif bisa dijumpai dalam plasma selama lebih dari 2 minggu. Obat ini bisa


(10)

diekskresikan melalui ASI. Sulfadoksin secara cepat diabsorbsi dari usus dan berikatan dengan plasma protein dan kemudian dimetabolisir di hati dan diekskresikan melalui urin. Obat ini dapat melewati plasenta secara bebas dan merupakan sulfonamida jangka panjang dengan waktu paruh berkisar 7 - 9 hari.18

Pirimetamin dapat menyebabkan ruam dan menekan hematopoesis. Dosis yang berlebihan dapat menimbulkan anemia megaloblastik. Sulfonamida dapat menimbulkan efek samping yang banyak seperti : agranulositosis, aplastik anemia, reaksi hipersensitifitas seperti ruam, erupsi obat, eritema multiform seperti sindroma

Steven Johnson, Dermatitis eksfoliatifa, Serum sickness, gangguan fungsi hati;

anoreksia , muntah dan anemia hemolitik. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang diketahui hipersensitif terhadap sulfa, bayi dibawah usia 2 bulan, penderita dengan gagal ginjal kronik, dan pada wanita hamil. 18

Sulfadoksin-Pirimetamin tersedia dalam bentuk tablet kombinasi berisi 25 mg Pirimetamin dan 500 mg Sulfadoksin setiap tablet. Dosis yang diberikan untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin adalah untuk sulfadoksin 25 mg/kg berat badan dan pirimetamin 1,25/kg berat badan dosis tunggal. Angka kesembuhan yang dilaporkan adalah antara 92 – 100% dengan derajat resistensi R I – R II.16

Untuk mendapatkan dosis obat anti malaria pada anak dapat disesuaikan dengan tabel di bawah ini. (tabel 1)208

BB (Kg) Umur Body Surface (m2) % Dosis Dewasa

3,2 new born 0,21 12 ( 1 / 8 )

4,5 2 bulan 0,26 15 ( 1 / 6 )

6,5 4 bulan 0,34 20 ( 1 / 5 )

10,0 1 tahun 0,42 25 ( 1 / 4 )

15,0 3 tahun 0,56 33 ( 1 / 3 )

23,0 7 tahun 0,85 50 ( 1 / 2 )

40,0 12 tahun 1,28 75 ( 1 / 6 )

Tabel 1. Dosis Obat Anti Malaria Berdasarkan Berat Badan /Usia 20 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Disain Penelitian

Metode yang digunakan adalah uji klinis acak tersamar ganda dengan disain paralel tanpa pasangan serasi dan dibagi pada dua kelompok dengan menggunakan metode acak sederhana yaitu :

3.1.1 Kelompok pertama mendapat pengobatan standar dengan klorokuin selama 3 hari berturur-turut dengan 4 kali pemberian dengan dosis 10

mg/kg berat badan pada hari I dan diikuti 6 jam kemudian dengan dosis 5 mg/kg berat badan dan pada hari kedua dan ketiga dengan dosis 5 mg/kg berat badan.23

3.1.2 Kelompok kedua mendapat pengobatan dengan sulfadoksin - pirimetamin


(11)

sulfadoksin atau 1,25 mg/kg berat badan untuk pirimetamin atau disesuaikan berdasarkan kelompok usia. 23

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di daerah Kabupaten Mandailing Natal Kecamatan Panyabungan pada 3 Puskesmas yaitu :

3.2.1 Puskesmas Panyabungan Jae

3.2.2 Puskesmas Mompang

3.2.3 Puskesmas Siabu

Waktu Penelitian : tanggal 9 April – 7 Mei 2001.

3.3 Populasi Penelitian

Sampel diambil dari pasien yang berkunjung ke Puskesmas di daerah kabupaten Mandailing Natal.

Umur sampel yang diambil : semua golongan umur.

3.4 Besar Sampel

Besar sampel ditentukan : 24

2 n1 = n2 =

n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok I

1,96

2

π

(1-

π

) + 1,645

π

1

(1-

π

1

) +

π

2

(1-

π

2

)

π

1

-

π

2

n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok II

π = proporsi = ½ ( π1 + π2 )

π1 = proporsi sembuh untuk kelompok I ( diuji )

π2 = proporsi sembuh untuk kelompok II ( kontrol )

Pada penelitian ini ditetapkan bahwa : α = 0,05 ( tingkat kepercayaan 95% ) Dari tabel distribusi normal diperoleh nilai konversi batas penolakan 0,05 atau 5% ialah 1,96 sebagai batas bawah dan 1,645 sebagai batas atasnya.

Perbedaan proporsi sembuh yang diharapkan adalah 0.40, maka : π1 = 0.95 dan π2 = 0,55

Æ π = ½ ( 0,95 + 0,55 ) = 0,75

Dengan memakai rumus diatas maka diperoleh jumlah minimum sampel untuk masing-masing kelompok adalah : 25 orang.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1 Kriteria inklusi : 10,25

3.5.1.1 Positif malaria falsiparum dengan kepadatan parasit ≥ 1000/uL 3.5.1.2 Dalam 2 bulan terakhir tidak minum obat antimalaria

3.5.1.3 Tidak ada riwayat hipersensitif terhadap obat anti malaria 3.5.1.4 Tidak menderita penyakit lain

3.5.2 Kriteria eksklusi : 10,25

3.5.2.1 Penderita dengan gejala klinik berat

3.5.2.2 Penderita dengan infeksi selain P falsiparum yaitu infeksi P. vivax, ovale dan malariae

3.5.2.3 Penderita yang muntah-muntah 3.5.2.4 Penderita wanita hamil

3.6 Izin Subyek Penelitian

Dengan mengisi formulir yang diberikan petugas serta ditandatangani oleh Subyek / orang tua Subyek.( lampiran 1 )


(12)

3.7 Cara Kerja

Pasien yang datang ke Puskesmas dengan keluhan demam, pucat, menceret, atau sakit kepala dilakukan pendataan dan pemeriksaan fisik, suhu tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi pernafasan. ( lampiran 2 ).

Untuk melihat adanya pembesaran hepar dilakukan pemeriksaan dengan metode palpasi dan pembesaran diukur berdasarkan jarak vertikal dari tepi hepar dengan arcus costae ( skala : cm bawah arcus costae ).

Pembesaran limpa dilakukan dengan metode Hacket dengan interpretasi sebagai berikut :26

H.0 : tidak teraba pada inspirasi maksimal H.1 : teraba pada inspirasi maksimal

H.2 : teraba tetapi proyeksinya tidak melebihi garis horizontal yang ditarik melalui pertengahan arcus costae dan umbilicus pada garis mamilaris

kiri

H.3 : teraba di bawah garis horizontal melalui umbilicus

H.4 : teraba di bawah garis horizontal pertengahan umbilicus-symphisis pubis H.5 : teraba di bawah garis H.4

Setiap pasien diambil darah untuk pemeriksaan darah rutin dan parasit malaria serta tingkat parasitemianya dengan sediaan darah tebal dan tipis yang diwarnai dengan metode pewarnaan Giemsa dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya.27

Pasien yang memenuhi kriteria dimasukkan sebagai sampel penelitian setelah menyatakan kesediaannya dengan menandatangani formulir izin subyek

3.7.1 Diagnosis Malaria Falsiparum Berdasarkan pada :

3.7.1.1 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

3.7.1.2 Hasil pemeriksaan parasitologis dengan sediaan darah tebal dan tipis untuk melihat adanya parasit serta tingkat parasitemianya.

3.7.1.3 Laboratorium darah rutin untuk hemoglobin, eritrosit, hematokrit, trombosit, dan hitung jenis sel darah.

3.7.2 Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan prosedur tes in vivo standar lapangan yang diperpanjang ( extended field test ) dimana pengambilan dan pemeriksaan darah penderita dilakukan pada hari 0, 2, 7, dan 28 dengan interpretasi sebagai berikut :10,25

3.7.2.1 Bila parasit aseksual tidak ditemukan pada hari 7 dan tetap negatif pada hari 28, maka parasit itu sensitif (S).

3.7.2.2 Bila parasit aseksual menghilang pada hari 7, tetapi tampak lagi dalam jangka waktu 28 hari, sedangkan kemungkinan reinfeksi dapat disingkirkan maka parasit ini resisten R I

3.7.2.3 Bila parasit tidak menghilang pada hari 7 tetapi jelas menurun, parasit ini disebut resisten R II.

3.7.2.4 Bila parasitemia aseksual menurun hanya sedikit pada hari 2, atau bahkan meningkat, parasit ini adalah resisten R III.

3.8 Analisis Data :

- Perhitungan nilai rerata hasil pengukuran sampel menggunakan uji Non

Parametrik Kolmogorov-Smirnov.

- Untuk membandingkan kepadatan parasit dan penurunannya pada kedua

kelompok penelitian, digunakan uji T independen, dengan tingkat kepercayaan 95% ( p < 0,05 ).


(13)

- Untuk mengetahui perbedaan efektifitas obat antara kedua kelompok dilakukan uji Kai kuadrat, dengan tingkat kepercayaan 95% ( p < 0,05 ).

- Data diolah memakai program komputer perangkat lunak SPSS versi 10.0.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Dari 255 orang yang dilakukan pemeriksaan darah tepi dengan metoda Giemsa , 104 diantaranya positif menderita malaria falsiparum. Selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok studi yakni kelompok Klorokuin (1) dan Fansidar (2). Jumlah ini berkurang sebanyak 4 orang dari kelompok Fansidar karena tidak bersedia untuk pemeriksaan darah lanjutan. Pada kelompok Klorokuin, 14 orang tidak mengikuti penelitian dengan alasan yang sama dan 3 orang lainnya karena mengalami muntah dan sakit kepala setelah minum klorokuin.

Akhirnya didapati sebanyak 48 sampel dari kelompok Fansidar dan 35 sampel dari kelompok Klorokuin dengan karakteristik seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Dari Dua Kelompok Studi

Klorokuin Fansidar

(Kelompok 1) (Kelompok 2)

P

Jumlah Kasus 35 48

Kelamin :

-Laki-laki 17 (49%) 22 (46%)

-Perempuan 18 (51%) 26 (54%)

Usia (tahun) 25,8 (21,9)* 18,9 (21,9)*

Berat Badan (kg) 32,2 (15,9)* 25,5 (17,7)* 0.490

0.725 0.698

* Rerata ( deviasi standar )

Dari tabel 2 terlihat perbandingan penderita laki-laki dan perempuan pada kedua kelompok dimana penderita perempuan lebih banyak dari pada laki-laki (54% : 46%). Usia rata-rata penderita terlihat lebih banyak pada usia dewasa dengan usia rata-rata (dalam tahun) yaitu 25,8 (21,9) dan 18,9 (21,9). Berat badan rata-rata sampel (dalam kg) menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok klorokuin dari pada kelompok fansidar yaitu 32,2 (15,9) : 25,5 (17,7). Tetapi, dari ketiga karakteristik antara kedua kelompok ini secara statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 )

Dari pemeriksaan fisik gejala yang paling banyak adalah demam yakni sebanyak 33 (94%) pada kelompok klorokuin dan 46 (96%) pada kelompok Fansidar. Gejala klinis lain adalah pucat dimana terdapat sebanyak 19 (54%) pada kelompok klorokuin dan 31 (65%) dari kelompok fansidar. Splenomegali, hepatomegali, dan ikterik merupakan gejala klinis lain yang dijumpai pada penderita seperti terlihat pada tabel 3. Dari lima gejala klinis yang dijumpai pada kedua kelompok tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0,05 )


(14)

Tabel 3. Gejala Klinis

Klorokuin (Kelompok 1)

Fansidar (Kelompok 2)

p

Demam 33 94 % 46 96 % 0,565

Pucat 19 54 % 31 65 % 0,238

Ikterik 2 6 % 3 6 % -

Hepatomegali 3 9 % 6 13 % 0,368

Splenomegali 11 31 % 18 38 % 0,075

Pada pemeriksaan laboratorium, diperoleh nilai hemoglobin yang lebih rendah dari normal, nilai rata-rata hemoglobin penderita pada kedua kelompok adalah 10,7 g/dL dan 10,28 g/dL. Hasil pemeriksaan laboratorium yang lebih rendah dari normal juga dijumpai pada nilai rata-rata dari eritrosit (3,77 dan 3,41 .106/mm3) dan nilai rata-rata dari hematokrit (35 dan 30 %) pada kedua kelompok

studi. Namun dari nilai rata-rata trombosit penderita dijumpai hasil yang masih normal (221 dan 227 . 103/mm3). Dari empat jenis pemeriksaan laboratorium pada

kedua kelompok diatas, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistk (p

> 0,05). (tabel 4)

Pada pemeriksaan sediaan apusan darah tipis dengan metode Giemsa pada hari 0 didapati nilai rata-rata parasitemia P falciparum dari kedua kelompok sebesar 3309 (1449)/µ L dan 2929 (835)/µ L. Disini terlihat perbedaan yang bermakna dari nilai rata-rata parasitemia pada hari 0 antara kedua kelompok ( p < 0,05 ). (tabel 4)

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Klorokuin (Kelompok 1)

Fansidar (Kelompok 2)

p

Hemoglobin (g/dL) 10,7 (1,49)* n = 15 10,28 (1,62)* n = 32 0,979

Eritrosit (106/mm3 ) 3,77 (0,49)* n = 15 3,41 (0,54)* n = 26 0,846

Hematokrit (%) 34,9 (7,02)* n = 15 30,2 (4,62)* n = 26 0,172

Trombosit (103/mm3)

221 (64,11)* n = 31 227 (54,51)* n = 43 0,659

Parasitemia ( /µL) 3309 (1449)** n =

35

2920 (835)** n = 48

0,014

Rerata ( simpang baku ) ** Rerata ( standard error )

Dari pemeriksaan parasitemia penderita, pada kelompok 1 (Klorokuin) dijumpai penderita malaria falsiparum yang masih sensitif dengan klorokuin sebanyak 24 orang

(68%), resisten R II sebanyak 10 orang (29%), dan resisten R III 1 orang (3%), penderita yang resisten R I tidak dijumpai. Pada kelompok 2 (Fansidar) dijumpai penderita yang sensitif terhadap fansidar sebanyak 34 orang (71%) dan resisten R II sebanyak 14 orang (29%), penderita yang resisten R I dan R III tidak dijumpai pada kelompok ini. Dari kedua kelompok pengobatan didapat tingkat sensitif dan


(15)

resistensi yang hampir sama pada kedua kelompok dan tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0.05 ). (tabel 5)

Tabel 5. Sensitifitas P. Falciparum Terhadap Pengobatan

Klorokuin (Kelompok 1)

Fansidar

(Kelompok 2) P

Sensitif (S) 24 (68 %) 34 (71 %)

Resisten I (RI) 0 (0 %) 0 (0 %) 0.494

Resisten II (RII) 10 (29 %) 14 (29 %)

Resisten III (RIII) 1 (3 %) 0 ( 0 %)

Pada gambar 8 dapat juga dilihat gambaran penurunan parasitemia penderita malaria Falsiparum pada kedua kelompok pengobatan dimana pada gambar terlihat penurunan parasitemia yang hampir sama pada kelompok klorokuin dan kelompok fansidar. Penurunan parasitemia ini dari kedua kelompok pengobatan juga tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0.05 )

Gambar 8. Parasitemia Setelah Pengobatan 0

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

H0 H2 H7 H28

Hari Pemeriksaan

Pa

r

a

s

ite

m

ia

Klorokuin Fansidar

P > 0,05 p > 0,05

Pada penelitian ini juga dicatat efek samping obat terhadap penderita dimana dijumpai efek samping pada 3 orang yakni 1 orang anak perempuan usia 4 tahun dengan keluhan mual muntah dan sakit perut setelah minum klorokuin dan 2 orang laki-laki usia 29 dan 35 tahun dengan keluhan muntah dan diare serta sakit kepala setelah minum klorokuin. Pada ketiga penderita tersebut pengobatan dengan klorokuin tidak bisa dilanjutkan. Sementara pada kelompok fansidar tidak dijumpai keluhan dari penderita setelah minum obat ( tabel 6 ).


(16)

Tabel 6. Efek Samping Pengobatan

Klorokuin Fansidar

( Kelompok 1 ) ( Kelompok 2 )

Sakit Kepala 2 (6%) 0

Mual & Muntah 3 (9%) 0

Diare 2 (6%) 0

Sakit Perut 1 (3%) 0

4.2 Pembahasan

Malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang paling sering menimbulkan kematian dan resisten terhadap obat anti malaria khususnya klorokuin dan bahkan

resisten terhadap beberapa macam obat.10 Penelitian ini dilakukan di lima desa,

kabupaten Mandailing Natal. Diperoleh hasil, 83 penderita malaria falsiparum yang mendapat pengobatan dengan klorokuin dan kombinasi sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar).

Dari 35 kasus yang diberi klorokuin, dijumpai resisten R II 10 orang (29%), resisten R III 1 orang (3%), sensitif 24 orang (68%). Dari 48 kasus yang mendapat fansidar, dijumpai resisten R II 14 orang (29%), sensitif 34 orang (71%), tidak dijumpai kasus yang resisten R III.

Hasil diatas berbeda dari laporan sebelumnya yang dilakukan oleh Panjaitan dan Simanjuntak di beberapa kecamatan di daerah propinsi Sumatera Utara pada tahun 1983 – 1986. Pada penelitian tersebut didapati kasus malaria falsiparum resisten klorokuin pada 4 kecamatan dengan derajat resisten R I – R III , namun

belum dijumpai adanya kasus yang resisten terhadap fansidar.17 Demikian juga

dengan hasil penelitian dari Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan pada tahun 1977 - 1981 oleh Wita Pribadi dan

kawan-kawan. Laporan ini menyebutkan bahwa Plasmodium falciparum yang resisten

klorokuin dari berbagai daerah di Indonesia masih sensitif terhadap fansidar. Hanya satu kasus yang resisten terhadap fansidar yang mendapat infeksi P. falciparum dari

Timor Timur. Kasus ini merupakan kasus pertama adanya resistensi P. falciparum

terhadap sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar) di Indonesia.15

Tuti dkk melaporkan, dari 17 orang penderita malaria falsiparum yang dites secara in vivo terhadap klorokuin didapatkan 1 resisten R III dan 3 resisten R II. Tidak dijumpai resistensi secara in vivo terhadap fansidar.28 Hal ini berbeda dengan laporan Mogi dan Rampengan yang memperoleh, pada kelompok penderita malaria falsiparum yang diobati dengan fansidar didapat kasus resisten dengan derajat R II sebanyak 2 kasus (6%).29

Tingkat resistensi yang lebih tinggi dilaporkan oleh Ompusunggu dkk, dimana pada penelitian tes resistensi Plasmodium falciparum secara in vitro didapati tingkat resistensi sebesar 76,7% terhadap klorokuin dan 70% terhadap kombinasi sulfadoksin-pirimetamin.30

Penelitian resistensi plasmodium falsiparum terhadap obat anti malaria telah banyak dilaporkan dari berbagai daerah di Indonesia. Untuk kabupaten Mandailing Natal, penelitian resistensi obat anti malaria ini merupakan yang pertama sejak ditetapkannya daerah ini sebagai kabupaten baru. Ternyata dari hasil yang didapat tingkat resistensi malaria falsiparum terhadap klorokuin dan Fansidar sudah cukup tinggi yaitu 32% untuk klorokuin dan 29% untuk fansidar.

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab tingginya prevalensi penyakit malaria di daerah ini adalah disebabkan tingkat resistensi obat


(17)

yang sudah cukup tinggi. Sehingga perlu dipertimbangkan penyediaan obat anti malaria yang masih sensitif terhadap parasit malaria yang ada di daerah ini.

Menurut informasi dari Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, daerah dengan proporsi resistensi sebesar 25% hingga 30% bisa ditetapkan sebagai daerah resisten malaria. Untuk klorokuin keadaan ini baru dijumpai di daerah Bukit Menoreh (Jawa Tengah dan Yokyakarta) serta daerah Timika dan Jayapura (Papua).

Selain itu, Pemerintah juga sedang mengevaluasi tingkat resistensi fansidar di

beberapa daerah endemis malaria untuk mengetahui seberapa jauh tingkat resistensi obat anti malaria tersebut. Sehingga kebijakan terhadap obat anti malaria bisa diperbaiki.31

Hasil penelitian ini mungkin belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari resistensi obat anti malaria di daerah di kabupaten Mandailing Natal. Karena pelaksanaan penelitian yang dilakukan dengan prosedur standar lapangan memungkinkan terjadinya bias, disamping itu sampel yang didapat juga masih sedikit. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih akurat dan sampel yang lebih besar sehingga bisa didapat hasil yang lebih memuaskan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan :

5.1.1 Efektifitas klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar®) pada

pengobatan penderita malaria falsiparum di kabupaten Mandailing Natal tidak berbeda bermakna

5.1.2 Kasus resistensi malaria falsiparum terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar®) di kabupaten Mandailing Natal cukup tinggi.

5.2 Saran

5.2.1 Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan obat anti malaria baru dalam mengatasi kasus malaria falsiparum yang resisten terhadap klorokuin

atau kombinasi sulfadoksin-pirimetamin ( Fansidar ® )

5.1.3 Diperlukan penelitian lanjutan mengenai uji resistensi malaria falsiparum terhadap obat anti malaria yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki B. Besar Sampel. Dalam: Tjokronegoro A, Sudarsono S, penyunting. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999. h. 135-83.

Biro Pusat Statistik Sumatera Utara. Mandailing Natal Dalam Angka. BPS Sumatera Utara: Medan; 2001.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Pemeriksaan Parasit Malaria Secara Mikroskopik. Jakarta: Dit.Jen. PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Pengobatan. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Tes Resistensi Untuk P. Falciparum. Jakarta: Dit.Jen.PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001. h. 37-46.

Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal. Rencana Strategis Tahun 2001-2005. Panyabungan: Febuari 2001.

Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara. Data Prevalensi Malaria 1984 - 2000, Medan: Oktober 2000.


(18)

Guerin P, Nosten F, White NJ. Malaria: An Essential R&D Agenda. Drugs For Neglected Diseases Working Group, Geneva, Switzerland. September 2001. Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: ECG; 2000. h. 151-65.

Iptek. Malaria Sudah Resisten Obat Klorokuin. Harian Republika: 18 Januari 2002. Lubis CP. Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Bagian I. Medan: BP FK

USU; 1989. h. 35-45

Lubis CP. Sero-Epidemiologi Malaria. Majalah Kedokteran Nusantara 1990;3:135-46 Luxemburger C. Treatment of Malaria in Young Children. J Pediatr Obstet Gynecol

1999; 3: 5-9.

Mogi G, Rampengan TH. The Efficacy of Sulphate Quinine Compared to Fansidar in Treating Falciparum Malaria in Children 6 Months – 7 Years Old. Paediat Indon. 1991; 31:104-10.

Ompusunggu S, Arbani PR, Marwoto HA, Tuti S, Suwarni. Sensitivitas Plasmodium falsiparum Secara In Vitro Terhadap Beberapa Macam Obat di Sabang, Aceh. Cermin Dunia Kedok. 1989; 54:19-21.

Panjaitan W, Simanjuntak J. Tes resistensi in vivo dan in vitro-mikro untuk P. falsiparum terhadap beberapa jenis obat di Sumatera Utara periode 1983 – 1986. Simposium Malaria FK – USU. Medan, 17 Agustus 1987.

Pribadi W, Dakung LS, Adjung SA. Infeksi Plasmodium Falsiparum Resisten terhadap Klorokuin dari Beberapa Daerah di Indonesia. Medika. 1983; 8:689-93.

Pribadi W, Sungkar S. Malaria. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 1994. h. 15-24.

Siregar M. Epidemiologi Malaria. Disampaikan pada Simposium Recent Advances on Malaria, Medan,6 Desember 1994.

Sungkar S, Achmad MF. Masalah Yang Dihadapai Dalam Pengobatan Malaria. Maj. Kedokt. Indon. 1999; 1: 1-2

Taylor TE, Strickland GT. Malaria. Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases. Philadephia: W.B. Saunders Company; 2000. h. 614-43.

Tjitra E, Pribadi W, Raharjo K, Budiono W, Arbani PR, Naibaho P, dkk. Treatment of Uncomplicated In Vitro Chloroquine Resistant Falciparum Malaria with Artemether in Irian Jaya. Med J Indones. 1996; 1:33-41.

Tjitra E. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: ECG, 2000. h. 195-223.

Tjitra E. Obat-Obat Baru Anti Malaria. Cermin Dunia Kedok. 1994; 94:16-22. Tjitra E. Pengobatan Malaria. Maj. Kedokt. Indon. 1996; 1:24-32.

Tracy JW, Webster LT. Drugs Used in Chemotherapy of Protozoa Infections. Dalam: Hardman JG, Gilman AG, Limbird LE. Penyunting. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapheutics. Edisi ke-9. New York: Mc Milan, 1996. h. 965-85.

Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. Katzung & Trevor’s Pharmacology Examination & Board Review. Newyork: McGraw Hill; 2002. h. 455-67.

Tuti S, Arbani PR, Romzan A, Tjitra E, Rheny M. Masalah Plasmodium Falsiparum Resisten terhadap Klorokuin dan/atau Obat Anti Malaria Lain di Kabupaten Banjar Negara Jawa Tengah. Maj. Kedok. Indon. 1994; 6:377-83.

World Health Organization. Advances in malaria chemotherapy. WHO Technical Report Series 711, Geneva; 1984. h. 198-215.


(1)

- Untuk mengetahui perbedaan efektifitas obat antara kedua kelompok dilakukan uji Kai kuadrat, dengan tingkat kepercayaan 95% ( p < 0,05 ). - Data diolah memakai program komputer perangkat lunak SPSS versi 10.0.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Dari 255 orang yang dilakukan pemeriksaan darah tepi dengan metoda Giemsa , 104 diantaranya positif menderita malaria falsiparum. Selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok studi yakni kelompok Klorokuin (1) dan Fansidar (2). Jumlah ini berkurang sebanyak 4 orang dari kelompok Fansidar karena tidak bersedia untuk pemeriksaan darah lanjutan. Pada kelompok Klorokuin, 14 orang tidak mengikuti penelitian dengan alasan yang sama dan 3 orang lainnya karena mengalami muntah dan sakit kepala setelah minum klorokuin.

Akhirnya didapati sebanyak 48 sampel dari kelompok Fansidar dan 35 sampel dari kelompok Klorokuin dengan karakteristik seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Dari Dua Kelompok Studi

Klorokuin Fansidar

(Kelompok 1) (Kelompok 2)

P

Jumlah Kasus 35 48

Kelamin :

-Laki-laki 17 (49%) 22 (46%) -Perempuan 18 (51%) 26 (54%) Usia (tahun) 25,8 (21,9)* 18,9 (21,9)*

Berat Badan (kg) 32,2 (15,9)* 25,5 (17,7)* 0.490 0.725 0.698 * Rerata ( deviasi standar )

Dari tabel 2 terlihat perbandingan penderita laki-laki dan perempuan pada kedua kelompok dimana penderita perempuan lebih banyak dari pada laki-laki (54% : 46%). Usia rata-rata penderita terlihat lebih banyak pada usia dewasa dengan usia rata-rata (dalam tahun) yaitu 25,8 (21,9) dan 18,9 (21,9). Berat badan rata-rata sampel (dalam kg) menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok klorokuin dari pada kelompok fansidar yaitu 32,2 (15,9) : 25,5 (17,7). Tetapi, dari ketiga karakteristik antara kedua kelompok ini secara statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 )

Dari pemeriksaan fisik gejala yang paling banyak adalah demam yakni sebanyak 33 (94%) pada kelompok klorokuin dan 46 (96%) pada kelompok Fansidar. Gejala klinis lain adalah pucat dimana terdapat sebanyak 19 (54%) pada kelompok klorokuin dan 31 (65%) dari kelompok fansidar. Splenomegali, hepatomegali, dan ikterik merupakan gejala klinis lain yang dijumpai pada penderita seperti terlihat pada tabel 3. Dari lima gejala klinis yang dijumpai pada kedua kelompok tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0,05 )


(2)

Tabel 3. Gejala Klinis

Klorokuin (Kelompok 1)

Fansidar (Kelompok 2)

p

Demam 33 94 % 46 96 % 0,565

Pucat 19 54 % 31 65 % 0,238

Ikterik 2 6 % 3 6 % -

Hepatomegali 3 9 % 6 13 % 0,368

Splenomegali 11 31 % 18 38 % 0,075

Pada pemeriksaan laboratorium, diperoleh nilai hemoglobin yang lebih rendah dari normal, nilai rata-rata hemoglobin penderita pada kedua kelompok adalah 10,7 g/dL dan 10,28 g/dL. Hasil pemeriksaan laboratorium yang lebih rendah dari normal juga dijumpai pada nilai rata-rata dari eritrosit (3,77 dan 3,41 .106/mm3) dan nilai rata-rata dari hematokrit (35 dan 30 %) pada kedua kelompok

studi. Namun dari nilai rata-rata trombosit penderita dijumpai hasil yang masih normal (221 dan 227 . 103/mm3). Dari empat jenis pemeriksaan laboratorium pada kedua kelompok diatas, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistk (p > 0,05). (tabel 4)

Pada pemeriksaan sediaan apusan darah tipis dengan metode Giemsa pada hari 0 didapati nilai rata-rata parasitemia P falciparum dari kedua kelompok sebesar 3309 (1449)/µ L dan 2929 (835)/µ L. Disini terlihat perbedaan yang bermakna dari nilai rata-rata parasitemia pada hari 0 antara kedua kelompok ( p < 0,05 ). (tabel 4)

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klorokuin

(Kelompok 1)

Fansidar (Kelompok 2)

p

Hemoglobin (g/dL) 10,7 (1,49)* n = 15 10,28 (1,62)* n = 32 0,979 Eritrosit (106/mm3 ) 3,77 (0,49)* n = 15 3,41 (0,54)* n = 26 0,846 Hematokrit (%) 34,9 (7,02)* n = 15 30,2 (4,62)* n = 26 0,172 Trombosit

(103/mm3)

221 (64,11)* n = 31 227 (54,51)* n = 43 0,659 Parasitemia ( /µL) 3309 (1449)** n =

35

2920 (835)** n = 48

0,014

Rerata ( simpang baku )

** Rerata ( standard error )

Dari pemeriksaan parasitemia penderita, pada kelompok 1 (Klorokuin) dijumpai penderita malaria falsiparum yang masih sensitif dengan klorokuin sebanyak 24 orang

(68%), resisten R II sebanyak 10 orang (29%), dan resisten R III 1 orang (3%), penderita yang resisten R I tidak dijumpai. Pada kelompok 2 (Fansidar) dijumpai penderita yang sensitif terhadap fansidar sebanyak 34 orang (71%) dan resisten R II sebanyak 14 orang (29%), penderita yang resisten R I dan R III tidak dijumpai pada kelompok ini. Dari kedua kelompok pengobatan didapat tingkat sensitif dan


(3)

resistensi yang hampir sama pada kedua kelompok dan tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0.05 ). (tabel 5)

Tabel 5. Sensitifitas P. Falciparum Terhadap Pengobatan Klorokuin

(Kelompok 1)

Fansidar

(Kelompok 2) P Sensitif (S) 24 (68 %) 34 (71 %)

Resisten I (RI) 0 (0 %) 0 (0 %) 0.494 Resisten II (RII) 10 (29 %) 14 (29 %)

Resisten III (RIII) 1 (3 %) 0 ( 0 %)

Pada gambar 8 dapat juga dilihat gambaran penurunan parasitemia penderita malaria Falsiparum pada kedua kelompok pengobatan dimana pada gambar terlihat penurunan parasitemia yang hampir sama pada kelompok klorokuin dan kelompok fansidar. Penurunan parasitemia ini dari kedua kelompok pengobatan juga tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik ( p > 0.05 )

Gambar 8. Parasitemia Setelah Pengobatan 0

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

H0 H2 H7 H28

Hari Pemeriksaan

Pa

r

a

s

ite

m

ia

Klorokuin Fansidar

P > 0,05 p > 0,05

Pada penelitian ini juga dicatat efek samping obat terhadap penderita dimana dijumpai efek samping pada 3 orang yakni 1 orang anak perempuan usia 4 tahun dengan keluhan mual muntah dan sakit perut setelah minum klorokuin dan 2 orang laki-laki usia 29 dan 35 tahun dengan keluhan muntah dan diare serta sakit kepala setelah minum klorokuin. Pada ketiga penderita tersebut pengobatan dengan klorokuin tidak bisa dilanjutkan. Sementara pada kelompok fansidar tidak dijumpai keluhan dari penderita setelah minum obat ( tabel 6 ).


(4)

Tabel 6. Efek Samping Pengobatan

Klorokuin Fansidar

( Kelompok 1 ) ( Kelompok 2 ) Sakit Kepala 2 (6%) 0

Mual & Muntah 3 (9%) 0

Diare 2 (6%) 0

Sakit Perut 1 (3%) 0 4.2 Pembahasan

Malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang paling sering menimbulkan kematian dan resisten terhadap obat anti malaria khususnya klorokuin dan bahkan resisten terhadap beberapa macam obat.10 Penelitian ini dilakukan di lima desa, kabupaten Mandailing Natal. Diperoleh hasil, 83 penderita malaria falsiparum yang mendapat pengobatan dengan klorokuin dan kombinasi sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar).

Dari 35 kasus yang diberi klorokuin, dijumpai resisten R II 10 orang (29%), resisten R III 1 orang (3%), sensitif 24 orang (68%). Dari 48 kasus yang mendapat fansidar, dijumpai resisten R II 14 orang (29%), sensitif 34 orang (71%), tidak dijumpai kasus yang resisten R III.

Hasil diatas berbeda dari laporan sebelumnya yang dilakukan oleh Panjaitan dan Simanjuntak di beberapa kecamatan di daerah propinsi Sumatera Utara pada tahun 1983 – 1986. Pada penelitian tersebut didapati kasus malaria falsiparum resisten klorokuin pada 4 kecamatan dengan derajat resisten R I – R III , namun belum dijumpai adanya kasus yang resisten terhadap fansidar.17 Demikian juga

dengan hasil penelitian dari Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan pada tahun 1977 - 1981 oleh Wita Pribadi dan kawan-kawan. Laporan ini menyebutkan bahwa Plasmodium falciparum yang resisten klorokuin dari berbagai daerah di Indonesia masih sensitif terhadap fansidar. Hanya satu kasus yang resisten terhadap fansidar yang mendapat infeksi P. falciparum dari Timor Timur. Kasus ini merupakan kasus pertama adanya resistensi P. falciparum terhadap sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar) di Indonesia.15

Tuti dkk melaporkan, dari 17 orang penderita malaria falsiparum yang dites secara in vivo terhadap klorokuin didapatkan 1 resisten R III dan 3 resisten R II. Tidak dijumpai resistensi secara in vivo terhadap fansidar.28 Hal ini berbeda dengan laporan Mogi dan Rampengan yang memperoleh, pada kelompok penderita malaria falsiparum yang diobati dengan fansidar didapat kasus resisten dengan derajat R II sebanyak 2 kasus (6%).29

Tingkat resistensi yang lebih tinggi dilaporkan oleh Ompusunggu dkk, dimana pada penelitian tes resistensi Plasmodium falciparum secara in vitro didapati tingkat resistensi sebesar 76,7% terhadap klorokuin dan 70% terhadap kombinasi sulfadoksin-pirimetamin.30

Penelitian resistensi plasmodium falsiparum terhadap obat anti malaria telah banyak dilaporkan dari berbagai daerah di Indonesia. Untuk kabupaten Mandailing Natal, penelitian resistensi obat anti malaria ini merupakan yang pertama sejak ditetapkannya daerah ini sebagai kabupaten baru. Ternyata dari hasil yang didapat tingkat resistensi malaria falsiparum terhadap klorokuin dan Fansidar sudah cukup tinggi yaitu 32% untuk klorokuin dan 29% untuk fansidar.

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab tingginya prevalensi penyakit malaria di daerah ini adalah disebabkan tingkat resistensi obat


(5)

yang sudah cukup tinggi. Sehingga perlu dipertimbangkan penyediaan obat anti malaria yang masih sensitif terhadap parasit malaria yang ada di daerah ini.

Menurut informasi dari Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, daerah dengan proporsi resistensi sebesar 25% hingga 30% bisa ditetapkan sebagai daerah resisten malaria. Untuk klorokuin keadaan ini baru dijumpai di daerah Bukit Menoreh (Jawa Tengah dan Yokyakarta) serta daerah Timika dan Jayapura (Papua). Selain itu, Pemerintah juga sedang mengevaluasi tingkat resistensi fansidar di beberapa daerah endemis malaria untuk mengetahui seberapa jauh tingkat resistensi obat anti malaria tersebut. Sehingga kebijakan terhadap obat anti malaria bisa diperbaiki.31

Hasil penelitian ini mungkin belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari resistensi obat anti malaria di daerah di kabupaten Mandailing Natal. Karena pelaksanaan penelitian yang dilakukan dengan prosedur standar lapangan memungkinkan terjadinya bias, disamping itu sampel yang didapat juga masih sedikit. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih akurat dan sampel yang lebih besar sehingga bisa didapat hasil yang lebih memuaskan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan :

5.1.1 Efektifitas klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar®) pada pengobatan penderita malaria falsiparum di kabupaten Mandailing Natal tidak berbeda bermakna

5.1.2 Kasus resistensi malaria falsiparum terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar®) di kabupaten Mandailing Natal cukup tinggi.

5.2 Saran

5.2.1 Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan obat anti malaria baru dalam mengatasi kasus malaria falsiparum yang resisten terhadap klorokuin

atau kombinasi sulfadoksin-pirimetamin ( Fansidar ® )

5.1.3 Diperlukan penelitian lanjutan mengenai uji resistensi malaria falsiparum terhadap obat anti malaria yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki B. Besar Sampel. Dalam: Tjokronegoro A, Sudarsono S, penyunting. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999. h. 135-83.

Biro Pusat Statistik Sumatera Utara. Mandailing Natal Dalam Angka. BPS Sumatera Utara: Medan; 2001.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Pemeriksaan Parasit Malaria Secara Mikroskopik. Jakarta: Dit.Jen. PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Pengobatan. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria: Tes Resistensi Untuk P. Falciparum. Jakarta: Dit.Jen.PPM & PLP; 1995.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001. h. 37-46.

Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal. Rencana Strategis Tahun 2001-2005. Panyabungan: Febuari 2001.


(6)

Guerin P, Nosten F, White NJ. Malaria: An Essential R&D Agenda. Drugs For Neglected Diseases Working Group, Geneva, Switzerland. September 2001. Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: ECG; 2000. h. 151-65.

Iptek. Malaria Sudah Resisten Obat Klorokuin. Harian Republika: 18 Januari 2002. Lubis CP. Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Bagian I. Medan: BP FK

USU; 1989. h. 35-45

Lubis CP. Sero-Epidemiologi Malaria. Majalah Kedokteran Nusantara 1990;3:135-46 Luxemburger C. Treatment of Malaria in Young Children. J Pediatr Obstet Gynecol

1999; 3: 5-9.

Mogi G, Rampengan TH. The Efficacy of Sulphate Quinine Compared to Fansidar in Treating Falciparum Malaria in Children 6 Months – 7 Years Old. Paediat Indon. 1991; 31:104-10.

Ompusunggu S, Arbani PR, Marwoto HA, Tuti S, Suwarni. Sensitivitas Plasmodium falsiparum Secara In Vitro Terhadap Beberapa Macam Obat di Sabang, Aceh. Cermin Dunia Kedok. 1989; 54:19-21.

Panjaitan W, Simanjuntak J. Tes resistensi in vivo dan in vitro-mikro untuk P. falsiparum terhadap beberapa jenis obat di Sumatera Utara periode 1983 – 1986. Simposium Malaria FK – USU. Medan, 17 Agustus 1987.

Pribadi W, Dakung LS, Adjung SA. Infeksi Plasmodium Falsiparum Resisten terhadap Klorokuin dari Beberapa Daerah di Indonesia. Medika. 1983; 8:689-93.

Pribadi W, Sungkar S. Malaria. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 1994. h. 15-24.

Siregar M. Epidemiologi Malaria. Disampaikan pada Simposium Recent Advances on Malaria, Medan,6 Desember 1994.

Sungkar S, Achmad MF. Masalah Yang Dihadapai Dalam Pengobatan Malaria. Maj. Kedokt. Indon. 1999; 1: 1-2

Taylor TE, Strickland GT. Malaria. Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases. Philadephia: W.B. Saunders Company; 2000. h. 614-43.

Tjitra E, Pribadi W, Raharjo K, Budiono W, Arbani PR, Naibaho P, dkk. Treatment of Uncomplicated In Vitro Chloroquine Resistant Falciparum Malaria with Artemether in Irian Jaya. Med J Indones. 1996; 1:33-41.

Tjitra E. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN, penyunting. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: ECG, 2000. h. 195-223.

Tjitra E. Obat-Obat Baru Anti Malaria. Cermin Dunia Kedok. 1994; 94:16-22. Tjitra E. Pengobatan Malaria. Maj. Kedokt. Indon. 1996; 1:24-32.

Tracy JW, Webster LT. Drugs Used in Chemotherapy of Protozoa Infections. Dalam: Hardman JG, Gilman AG, Limbird LE. Penyunting. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapheutics. Edisi ke-9. New York: Mc Milan, 1996. h. 965-85.

Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. Katzung & Trevor’s Pharmacology Examination & Board Review. Newyork: McGraw Hill; 2002. h. 455-67.

Tuti S, Arbani PR, Romzan A, Tjitra E, Rheny M. Masalah Plasmodium Falsiparum Resisten terhadap Klorokuin dan/atau Obat Anti Malaria Lain di Kabupaten Banjar Negara Jawa Tengah. Maj. Kedok. Indon. 1994; 6:377-83.

World Health Organization. Advances in malaria chemotherapy. WHO Technical Report Series 711, Geneva; 1984. h. 198-215.