Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin-Pirimetamin + Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

(1)

PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI KOMBINASI

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT

DENGAN SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

TESIS

Oleh

PHILIP DARMAWAN SONY

047027007/KT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI KOMBINASI

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT

DENGAN SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Di Medan

Oleh

PHILIP DARMAWAN SONY

047027007/KT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI

KOMBINASI SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT DENGAN SULFADOKSIN-

PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

Nama Mahasiswa : PHILIP DARMAWAN SONY

Nomor Pokok : 047027007

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing

dr. Yosia Ginting,SpPD-KPTI Ketua

dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc. DTM&H, MSc.(CTM),SpAK


(4)

Tanggal lulus : 18 Juni 2007. Telah diuji pada

Tanggal : 18 Juni 2007.

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

ANGGOTA : 1. dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI

2. Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD. 3. dr. Datten Bangun, MSc.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa mendatang.

Dengan selesainya penulisan tesis yang merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Ilmu Kedokteran Tropis.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM), SpA(K) dan juga dr. R. Lia Kusumawati, MS., SpMK. selaku sekretaris Program Studi beserta jajarannya atas kesempatan,


(6)

bimbingan, dorongan serta petunjuk selama penulis mengikuti pendidikan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini.

4. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI, dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI dan Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD. selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan dan saran yang sangat berharga dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

5. dr. Datten Bangun, MSc. dan dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, SpParK. selaku komisi pembanding yang telah banyak membimbing dan memberikan saran yang sangat berharga kepada penulis dalam penelitian dan penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II Kabupaten Nias Selatan, dr. Margan R.P. Sibarani, Mkes. beserta staf, Bapak Bupati Kabupaten Nias Selatan yang telah memberi izin, penyediaan fasilitas, sarana dan bantuan tenaga dalam pelaksanaan penelitian ini.

7. Seluruh staf pengajar program studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan yang telah banyak membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Kepala SMF

Penyakit Dalam, Kepala SMF Penyakit Anak beserta seluruh staf yang telah memberikan fasilitas dan sarana selama penulis mengikuti pendidikan.

9. dr. Indira Julia, dr. Titik Yuniarti dan dr. Lambok Siahaan atas persahabatan dan kerjasama yang telah terjalin selama penulis mengikuti pendidikan, melakukan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini.


(7)

Tropis Universitas Sumatera Utara lainnya serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan pendidikan dan penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang tercinta istri saya dr. Juniar Djunaidy, anak-anak saya tersayang Eric Hartawan Sony dan Cynthia Eliza Sony, begitu juga kepada kedua orang tua tercinta, ibunda Indriaty Elly dan ayahanda Drs. Joseph Amran Sony, serta saudara-saudaraku yang selalu mendoakan , memberi dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2007.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Philip Darmawan Sony

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 4 Maret 1966

Alamat : Jl. Letjend. S. Parman Blok DD No. 2

Medan Bisnis Center – Medan 20112

Telepon/Fax : 4565395 / 4157105

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar : SD Katolik Budi Murni Medan Tahun 1972 s/d 1978.

2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Katolik Budi Murni Medan Tahun 1978 s/d 1981.

3. Sekolah Menengah Atas : SMA Katolik St. Thomas Medan Tahun 1981 s/d 1984.

4. Universitas : Fakultas Kedokteran

Universitas Methodist Indonesia Medan Tahun 1984 s/d 1993.

Ujian Negara di Universitas Diponegoro Semarang Tahun 1992/1993.

5. Pendidikan/latihan lain : Kursus Ilmu Akupunktur FK - UI Tahun 1993.

Pendidikan Intensif Seksologi FK-Univ.


(9)

Riwayat Pekerjaan :

1. Dokter jaga di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 1991 s/d 1992. 2. Dokter jaga di Rumah Sakit Deli Medan Tahun 1993 s/d 1994.

3. Dokter PTT di Puskesmas Serbalawan Kab. Simalungun Propinsi Sumatera Utara Tahun 1994 s/d 1997.

4. Dokter jaga di Rumah Sakit Vita Insani P.Siantar Tahun 1994 s/d 1997.

5. Anggota Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan Tahun 1993 hingga sekarang. 6. Anggota Perhimpunan Dokter Ahli Akupunktur Indonesia Tahun 1993 hingga sekarang.

7. Anggota Lions Club Medan Oriental Tahun 1995 hingga sekarang. 8. Dokter Asisten Bedah Ortopedi dan Bedah Plastik dalam program sosial yang diselenggarakan oleh Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya Pematang Siantar tahun 1996 - 1998.

9. Dokter residen (RMO) di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 1998 hingga sekarang dan menjabat sebagai :

- Kepala Instalasi Rawat Jalan RSU Materna. - Kepala Tim Audit Medik RSU Materna.

- Sekretaris Komite Medik Umum RSU Materna.

10. Wakil Ketua Komite Pelayanan Kesehatan, Diabetes dan Donor Darah Lions Clubs Indonesia Distrik 307-A masa bakti 2007 – 2008.


(10)

RINGKASAN

Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan di beberapa negara di dunia sampai saat ini. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1 juta orang meninggal dunia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan (15 juta kasus dengan 38.000 kematian setiap tahunnya).

Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk Anopheles. Dari ke empat spesies yang biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.

Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini merupakan tantangan yang serius dalam strategi pengendalian penyakit malaria. Resistensi obat antimalaria merupakan masalah serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria di Indonesia. Salah satu upaya untuk mengurangi cepatnya perkembangan resistensi adalah dengan penggunaan obat secara kombinasi.

WHO tahun 2001 menganjurkan pengobatan malaria falciparum dengan menggunakan kombinasi obat antimalaria yang berbasis artemisinin.

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mencari efikasi penggunaan obat antimalaria kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin terhadap malaria falciparum.

Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka (open trial) yang dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan September 2006 sampai bulan Desember 2006. Populasi penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan subjek penelitian adalah penderita malaria falciparum yang ditemukan melalui pemeriksaan mikroskopis, yaitu dengan cara menemukan Plasmodium falciparum saja pada sediaan darahnya (monoinfeksi) serta memenuhi kriteria inklusi. Dari sebanyak 826 orang penduduk yang diperiksa dari 11 desa dalam 3 kecamatan di kabupaten Nias Selatan, hanya sebanyak 723 orang yang memenuhi persyaratan umur, gejala dan tanda klinis untuk dilakukan pemeriksaan darah. Sebanyak 311 orang (43%) didiagnosa menderita penyakit malaria dengan perincian : infeksi P. falciparum 238 orang (76,5%), infeksi P. vivax 7 orang (2,3%) dan infeksi campuran (P. falciparum dan P. vivax) sebanyak 66 orang (21,2%).

Penderita yang terinfeksi dengan P. falciparum ada sebanyak 238 orang dan 85 orang diantaranya yang memenuhi kriteria dibagi dalam 2 kelompok pengobatan secara random sederhana yaitu 46 orang pada kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin (AR+SP) dan 39 orang pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (AQ+SP). Pemeriksaan darah tepi dilakukan pada hari ke 0, 1, 2, 3, 7, 14 dan 28 untuk melihat kepadatan parasit sedangkan pemeriksaan kadar gula darah dan darah rutin dilakukan pada hari ke-0 dan 14. Selama penelitian berlangsung ada sebanyak 7 orang yang dikeluarkan dari penelitian. Tiga orang berasal dari kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin oleh karena tidak makan obat pada hari ke-2. Dua orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak bersedia lagi mengikuti pemeriksaan ulangan yaitu 1 orang dari kelompok Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan 1 orang lagi dari kelompok pengobatan Amodiakuin +


(11)

Sulfadoksin-pirimetamin. Dua orang lainnya dikeluarkan dari penelitian oleh karena pindah ke kota lain yaitu dari kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Walaupun terjadi perubahan yang bermakna terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit, eritrosit dan trombosit (p<0,05) sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok pengobatan, namun berdasarkan hasil uji statistik yang membandingkan kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP terhadap perubahan komponen hematologi tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna, baik pada kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05). Efek samping pengobatan yang sering timbul pada kedua kelompok pengobatan adalah sakit kepala (40,5% pada kelompok pengobatan AR+SP, 75% pada kelompok pengobatan AQ+SP). Terjadi penurunan kepadatan parasit yang signifikan (100%) pada masing-masing kelompok pengobatan (p<0,05). Namun dari hasil uji statistik yang membandingkan efek penurunan kepadatan parasit terhadap kelompok pengobatan AR+SP dengan AQ+SP tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Tidak dijumpai adanya kegagalan pengobatan baik Early Treatment Failure (ETF) maupun Late Treatment Failure (LTF).

Dapat diambil kesimpulan, pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi dengan kombinasi Artesunat + pirimetamin dan kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin memberikan efikasi yang sama.

Kata kunci : malaria falciparum tanpa komplikasi, kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin,


(12)

SUMMARY

Malaria, an acute infectious disease, still remains a problem of community or public health in Indonesia and several countries until these days. In tropical countries like Indonesia, malaria remains a leading cause of morbidity and mortality in infants, children and delivery mothers (Fifteen million cases with thirty-eight thousand people died every year). Globally, there were 500 million malaria cases that causes almost one million people died.

This infectious disease caused by protozoa genus Plasmodium and transmitted by the bite of Anopheles mosquitoes. From the four Plasmodiumspecies that infect humans, 95% caused by Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax. The spread of antimalaria drug resistant in Indonesia poses a serious challenge and remains a serious problem to the management of malaria infections in Indonesia. WHO in 2001 suggested to use artemisinin-based combination therapy for malaria falciparum to decrease resistancy to other antimalaria drugs.

The aim of this study is to find the efficacy of the combination of Sulfadoxine-pyrimethamine with Artesunate or Amodiaquine for the treatment of uncomplicated malaria falciparum. We performed an open trial clinical study which was conducted from September 2006 to December 2006 in the 11 rural districts in the district of Lahusa, Teluk Dalam and Amandraya in the South Nias Regency, North Sumatera Province.

The study was carried out for the people who lived in the district of Lahusa, Teluk Dalam and Amandraya in the South Nias Regency, and the subject of this study is the people who were positive only with Plasmodium falciparum (mono infection) and fulfilled the inclusion criteria. A total of 826 people who underwent a complete physical examination, only 723 people were fulfilled the condition of age, clinical symptoms and signs to proceed with blood sample collection. 311 people (43%) were diagnosed for malaria disease with the description : P.falciparum 238 people (76,5%), P.vivax 7 people (2,3%) and mix-infection 66 people (21,2%). From the 238 people who infected with Plasmodium falciparum, only 85 people who meet the inclusion criteria and randomly divided into two groups of treatment. 46 people in the group of Artesunate + Sulfadoxine-pyrimethamine (AR+SP) and 39 people in the group of Amodiaquine + Sulfadoxine-pyrimethamine (AQ+SP). Peripheral blood examination were performed at day 0, 1, 2, 3, 7, 14 and 28 to monitor the parasite density. Blood glucosa level and complete blood count were performed at day 0 and 14.

During the study, 3 people were drop out because of not taking the medicine at day 2 (AR+SP group), 2 people were drop out because of lost to follow up (1 from AR+SP group and 1 from AQ+SP group) and another 2 people were drop out because of moving to other city (AQ+SP group).

Even though there was a significant changes of hematologic component such as blood glucosa level, haemoglobin, leucocyte, erythrocyte and thrombocyte (p<0,05) before and after treatment in each group of treatment, statistically shows no significantly different between these two group of treatment (p>0,05). Headache was found in both groups of treatment (40,5% in AR+SP group, 75% in AQ+SP group). The decrease of parasite density was significantly different in each group of treatment (p<0,05) but statistically not significantly different in the comparison of both groups of treatment (p>0.05). No early treatment failure (ETF) and late treatment failure (LTF) were found in this study.

In conclusion, the combination of Sulfadoxine-pyrimethamine with Artesunate or Amodiaquine are both effective and give the same efficacy for the treatment of uncomplicated malaria falciparum.


(13)

Key words : uncomplicated malaria falciparum, combination of Artesunate +

Sulfadoxine-pyrimethamine and Amodiaquine + Sulfadoxin-pyrimethamine, parasite density, efficacy.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 5

I.3. Hipotesa... 6

I.4. Tujuan Penelitian ... 6

I.4.1. Tujuan Umum ... 6

I.4.2. Tujuan Khusus ... 6

I.5. Manfaat Penelitian ... 6

I.6. Kerangka Konsep ... 7

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 9

II.1. Epidemiologi Malaria ... 9

II.2 Data Demografi Kabupaten Nias Selatan ... 10

II.3. Siklus Hidup Plasmodium Malaria ... 15

II.4. Resistensi Antimalaria ... 17

II.4.1. Sulfadoksin-pirimetamin ... 19

II.4.2. Amodiakuin ... 20

II.4.3. Artesunat ... 22

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 23

III.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 23

III.2. Alat dan Bahan ... 23

III.2.1. Peralatan Pemeriksaan Fisik dan Klinis ... 23

III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-obatan ... 23

III.3. Desain Penelitian ... 24

III.4. Populasi Penelitian ... 24

III.4.1. Kriteria Inklusi... 25

III.4.2. Kriteria Eksklusi ... 25

III.4.3. Perkiraan Besar Sampel... 26


(15)

III.5.1. Kerangka Kerja ... 27

III.5.2. Cara Kerja ... 28

III.5.3. Kelompok Perlakuan ... 30

III.6. Variabel Yang Diamati ... 30

III.6.1. Variabel tergantung/dependen ... 30

III.6.2. Variabel bebas/independen ... 30

III.7. Analisa Data ... 31

III.8. Definisi Operasional ... 31

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

IV.1. Hasil Penelitian ... 34

IV.2. Pembahasan ... 43

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 47

V.1. Kesimpulan ... 47

V.2. Saran ... 48


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian ... 8

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan ... 10

Gambar 3. Sepuluh Besar Data Kesakitan Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005 ... 12

Gambar 4. Skema Siklus Hidup Plasmodium ... 16

Gambar 5. Struktur Kimia Sulfadoksin-pirimetamine ... 19

Gambar 6. Struktur Kimia Amodiakuin ... 21

Gambar 7. Struktur Kimia Artesunat ... 22

Gambar 8. Kerangka Kerja Penelitian ... 27

Gambar 9. Alur Pemeriksaan Pasien ... 36


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Nias Selatan Berdasarkan Jumlah Puskesmas Tahun 2006 Pada Daerah Penelitian (Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Amandraya dan

Kecamatan Lahusa) ... 13 Tabel 2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan

Berdasarkan Kelompok Umur ... 26 Tabel 3. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan

Berdasarkan Gejala Klinis ... 38 Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kepadatan Plasmodium Sebelum dan Sesudah Pengobatan ... 39 Tabel 5. Gambaran Perubahan Hematologi Sebelum dan Sesudah

Pengobatan ... 41 Tabel 6. Distribusi Efek Samping Obat ... 42


(18)

DAFTAR SINGKATAN

ACPR : Adequate Clinical and Parasitological Response

AMI : Annual Malaria Incidence

API : Annual Parasite Incidence

AR : Artesunat

AQ : Amodiakuin

BB : Berat Badan

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Depkes : Departemen Kesehatan

dkk : dan kawan-kawan

Et al : et alliance

ETF : Early Treatment Failure

FCT : Fever Clearance Time

Hb : Hemoglobin

HIA : High Incidence Area

kg : kilogram

KGD : Kadar Gula Darah

LCF : Late Clinical Failure

LPF : Late Parasitological Failure

LTF : Late Treatment Failure

mg : miligram

NaHCO3 : Natrium Bikarbonat


(19)

SD : Standard Deviation

SP : Sulfadoksin-pirimetamin

SPR : Slide Positivity Rate

SPSS : Statistical Programme for Social Science

USU : Universitas Sumatera Utara


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Formulir Anamnesa ... 52

Lampiran 2 Formulir Catatan Medis ... 53

Lampiran 3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 57

Lampiran 4 Surat Pernyataan Kesediaan (Informed Consent) ... 58

Lampiran 5 Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan ... 59

Lampiran 6 Naskah Penjelasan Untuk Mendapatkan Persetujuan Subjek Penelitian ... 60

Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Kepadatan Plasmodium ... 62

Lampiran 8 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin H0 dan H14 ... 66

Lampiran 9 Formulir Pemeriksaan Fisik Diagnostik ... 70


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan di beberapa negara di dunia sampai saat ini. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan satu juta orang meninggal dunia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan (Davis, 2002; Depkes RI, 2005).

Di Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya (Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2001). Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 167 kabupaten/kota merupakan wilayah endemik malaria (Depkes RI, 2005).

Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk Anopheles. Dari ke empat spesies yang biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (Depkes RI, 2005).

Prinsip strategi global dalam mengontrol malaria antara lain berupa diagnosa dini dan pengobatan sesegera mungkin. Penggunaan yang rasional dan efektif dari penggunaan obat antimalaria tidak hanya mengurangi resiko penyakit menjadi berat yang akhirnya menyebabkan kematian, serta juga memperpendek masa sakit, tetapi juga menghambat perkembangan resistensi terhadap obat antimalaria yang ada. Cepatnya penyebaran resistensi


(22)

terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini merupakan tantangan yang serius dalam strategi pengendalian penyakit malaria (WHO, 2001).

Demikian juga halnya di Indonesia, resistensi obat antimalaria merupakan masalah serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria di Indonesia (Tjitra, 1996), dimana klorokuin salah satu obat antimalaria yang banyak dilaporkan telah resisten. Kasus resistensi obat antimalaria di Indonesia, terutama klorokuin penyebarannya tidak merata dan tidak saja terdapat di daerah tertentu, namun semua propinsi telah melaporkan kasus resistensi obat tersebut.

Melihat begitu banyak kasus kegagalan pengobatan malaria dengan klorokuin telah teridentifikasi sejak lama ( in vivo maupun in vitro ), maka perlu diuji penggunaan kombinasi obat antimalaria mengganti klorokuin yang selama ini masih digunakan dalam pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi. Pengobatan monoterapi selama ini digunakan sebagai pengobatan untuk penderita malaria di Kabupaten Nias Selatan sudah tidak dianjurkan lagi karena dapat mempercepat terjadinya resistensi. Sebagai alternatif pengobatan, Depkes RI menganjurkan penggunaan kombinasi derivat artemisinin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi, seperti kombinasi dengan menggunakan artesunat ataupun amodiakuin. WHO tahun 2001 menganjurkan pengobatan malaria falciparum dengan menggunakan kombinasi obat antimalaria yang berbasis artemisinin. (Bloland, 2001 ; Yeka dkk, 2005 ; RBM, 2003). Artemisin telah direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan R.I. dan telah beredar dalam jumlah terbatas, berupa kombinasi artesunat dengan meflokuin dan artesunat dengan amodiakuin. Uji klinik kedua kombinasi ini di Indonesia belum banyak dilakukan.


(23)

Pemberian antimalaria secara monoterapi tidak disarankan lagi. Pemberian kombinasi antimalaria merupakan pola pengobatan yang dianut saat ini. Hal ini dilakukan untuk ’memperlambat’ terjadinya resistensi terhadap obat antimalaria (WHO, 2006).

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Tjitra dkk pada tahun 2001 di Irian Jaya dengan pengobatan kombinasi artesunat dan sulfadoksin-pirimetamin pada malaria falciparum tanpa komplikasi menunjukkan adanya peningkatan efikasi sulfadoksin-pirimetamin (Tjitra dkk, 2001).

Di Kabupaten Nias Selatan penggunaan obat antimalaria yang berbasis artemisinin (artesunat-amodiakuin) untuk pengobatan malaria falciparum sedang dikembangkan. WHO dan organisasi kesehatan dunia lainnya telah menyediakan obat-obat antimalaria kombinasi artesunat dan amodiakuin (Arsucam®, Artesdiaquine®) untuk digunakan di Kabupaten Nias Selatan. Penggunaan obat kombinasi ini masih belum berjalan dengan baik di daerah ini. Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dan adanya penolakan dari masyarakat terhadap cara penggunaan obat kombinasi antimalaria tersebut antara lain jumlah tablet yang terlalu banyak dan adanya efek samping yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan akibat obat antimalaria kombinasi ini.

Penelitian di Uganda, Afrika pada tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi antara amodiakuin dengan sulfadoksin-pirimetamin dan artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan hasil yang lebih baik dan lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan tunggal dengan menggunakan amodiakuin saja (92,3%, 82,7% dan 74,5%), dan secara keseluruhan didapati bahwa kombinasi amodiakuin dengan sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin (p=0,02) (Rwagacondo dkk, 2003).


(24)

Sedangkan penelitian oleh Taylor dkk pada tahun 1998 dengan membandingkan pengobatan kombinasi artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin dan pengobatan tunggal dengan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan bahwa angka keberhasilan pengobatan kombinasi lebih tinggi daripada pengobatan tunggal (58,6% dan 38,2% , p=0,001) (Taylor dkk, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Vreugdenhil dkk. terhadap penderita malaria falciparum dengan menggunakan amodiakuin dan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas obat sulfadoksin-pirimetamin dibandingkan dengan amodiakuin. Pada penelitian yang sama juga telah dianjurkan untuk menggunakan pengobatan kombinasi dengan memakai amodiakuin dan artesunat sedangkan untuk daerah dengan tingkat resistensi yang rendah dianjurkan untuk menggunakan pengobatan kombinasi amodiakuin dan sulfadoksin-pirimetamin (Vreugdenhil dkk, 2004).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dorsey dkk pada tahun 2000 di Kampala, Uganda menunjukkan bahwa kombinasi obat sulfadoksin-pirimetamin dengan amodiakuin memberikan hasil yang lebih efektif (99%) dibandingkan dengan pengobatan tunggal dengan sulfadoksin-pirimetamin (Dorsey dkk, 2002).

Pengobatan dengan artesunat yang dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi selain dapat meningkatkan efikasi dan mengurangi resistensi, diharapkan penggunaan kombinasi obat ini secara teknis dapat berjalan baik karena diketahui sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria yang sudah dikenal dengan baik disamping harganya yang murah dan penggunaannya dengan dosis tunggal. Pada penelitian ini, efikasi pengobatan diukur dari penurunan kepadatan Plasmodium, hilangnya tanda dan gejala klinis malaria, perubahan dan perbaikan komponen hematologi serta toleransi dan efek samping obat yang minimal.


(25)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang muncul pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah kombinasi Amodiakuin dengan Sulfadoksin-pirimetamin mempunyai efikasi yang lebih baik dibanding dengan kombinasi Artesunat dengan Sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan.

I.3. HIPOTESA

Obat kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi obat Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan.

I.4. TUJUAN PENELITIAN I.4.1. Tujuan Umum

Untuk mencari efikasi penggunaan obat antimalaria kombinasi terhadap malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan.

I.4.2. Tujuan Khusus

I.4.2.1. Untuk mengetahui apakah kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin- pirimetamin dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan.

I.4.2.2. Untuk mengetahui efikasi masing-masing kombinasi obat antimalaria terhadap malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan.


(26)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

- Untuk mendapatkan terapi alternatif mana yang bisa dipakai untuk pengobatan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di daerah yang resisten terhadap obat-obat antimalaria standar.

- Sebagai masukan bagi kalangan praktisi dalam menentukan obat antimalaria alternatif yang lebih efektif untuk menentukan kebijakan dalam pengobatan malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya.

I.6. KERANGKA KONSEP

Penelitian ini dilakukan pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan melakukan pengamatan pada perubahan kepadatan Plasmodium serta efek samping obat antimalaria kombinasi yang dipergunakan dalam penelitian ini.

Pengamatan dilakukan pada saat sebelum makan obat dan beberapa kali setelah makan obat. Penderita malaria falciparum tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok pengobatan secara random sederhana, yaitu kelompok penderita yang mendapatkan kombinasi pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan kelompok penderita yang mendapatkan kombinasi pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin maupun kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin adalah merupakan salah satu terapi kombinasi dengan derivat Artemisinin pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.


(27)

TERAPI KOMBINASI ARTESUNAT +

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN

TERAPI KOMBINASI AMODIAKUIN + SULFADOKSIN-

PIRIMETAMIN MALARIA FALCIPARUM

TANPA KOMPLIKASI

• KEPADATAN PLASMODIUM

• EFEK SAMPING OBAT


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EPIDEMIOLOGI MALARIA

Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia. Setiap tahunnya dijumpai hampir sebanyak 120 juta kasus malaria di dunia. Malaria merupakan penyakit infeksi sistemik yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Plasmodium yang dapat mengenai manusia adalah Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium falciparum (Gunawan, 2000). Plasmodium falciparum merupakan jenis Plasmodium yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian.

Di Indonesia angka kejadian malaria masih sangat tinggi, yaitu terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38 ribu kematian setiap tahunnya (Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2001). Di Jawa dan Bali misalnya, angka kejadian parasit tahunan (Annual Parasite Incidence – API) meningkat dari 0,12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 1998, 0,62 per 1000 penduduk pada tahun 1999, 0,81 per 1000 penduduk pada tahun 2000 dan 0,62 per 1000 penduduk pada tahun 2001. Di luar Jawa Bali terjadi peningkatan Annual Clinical Malaria Incidence (AMI) dari 16,06 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 21,97 per 1000 penduduk pada tahun 1998, 24,9 per 1000 penduduk pada tahun 1999, 31,09 per 1000 penduduk pada tahun 2000 dan 26,02 per 1000 penduduk pada tahun 2001.


(29)

II.2. DATA DEMOGRAFI KABUPATEN NIAS SELATAN

Pulau Nias terletak 125 km sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di Lautan Hindia, dan merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara. Dilihat dari letak geografis,

Pulau Nias seluas 5.625 km2 termasuk tidak menguntungkan karena terletak di belakang Pulau

Sumatera, di luar jalur kegiatan ekonomi. Keadaan ini menjadikan Pulau Nias termasuk daerah terisolir, jauh dari pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Pulau Nias terbagi dalam 2 kabupaten yaitu Kabupaten Nias (12 kecamatan) dan Kabupaten Nias Selatan (8 kecamatan).

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan

Kabupaten Nias Selatan merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang berada di bagian selatan Pulau Nias dan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Malaria merupakan penyakit utama di Kabupaten Nias Selatan. Besarnya Annual Malaria Incidence


(30)

(AMI) di seluruh Kabupaten Nias Selatan sangat berfluktuatif. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan AMI yang melebihi tahun sebelumnya yaitu 105‰ dan dari 7,36% kasus malaria klinis yang diperiksa darah, diperoleh angka Slide Positivity Rate (SPR) sebesar 11,46% sehingga dapat dikategorikan sebagai High Incidence Area (HIA) (Hakim, 2006).

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai kasus malaria cukup tinggi. Apalagi semenjak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami pada bulan Maret tahun 2005. Bencana ini menyebabkan terjadinya wabah ( outbreak ) dan munculnya daerah-daerah endemik. Hal ini terjadi akibat banyaknya terbentuk cekungan-cekungan, kolam, dan parit yang bercampur dengan air laut yang masuk saat bencana gempa bumi dan tsunami sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk malaria (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan data sepuluh besar penyakit di Kabupaten Nias Selatan tahun 2005 yang diperoleh dari sumber Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan dapat dilihat bahwa penyakit yang paling banyak dijumpai adalah malaria klinis (sebanyak 42.626 kasus).

10 BESAR DATA KESAKITAN KABUPATEN NIAS SELATAN TAHUN 2005

42626

9884 6407

4701 4312 2889

2710 2274 1835 1173

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Nias Selatan Keterangan : 1. Malaria klinis

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 3. Anemia

4. Kecacingan 5. Infeksi kulit


(31)

6. Infeksi penyakit usus yang lain (Gastritis) 7. Diare

8. Bronkitis 9. Asma 10. Skabies

Gambar 3. Sepuluh Besar Data Kesakitan Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005

Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Nias Selatan Berdasarkan Jumlah Puskesmas Tahun 2006 Pada Daerah Penelitian (Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Amandraya dan Kecamatan Lahusa)

JUMLAH JUMLAH

NO NAMA

KECAMATAN

NAMA

PUSKESMAS DESA/ KELURAHAN JIWA RT / KK A. P U S K E S M A S T E L U K D A L A M

1. Te luk Da la m Te luk Da la m Ke l. Psr. T. Da la m 1,253 275

2. Ba wo lo wa la ni 878 259

3. Hilito b a ra 535 124

4. Ba wo nifa o so 525 123

5. Hilimo nd re g e Ra ya 1,828 343

6. Hilina mo za 'ua 1,479 336

7. Hilifa la g o 1,234 313

8. Hilifa ro no 1,400 325

9. Ba wo d o b a ra 1,036 212

10. Ba wo za ua 961 213

11. Hilig a no wo 1,682 412

12. Hilia ma e ta luo 1,513 301

13. Hilisa ta ro 3,590 836

14. Hilina mo niha 1,003 211

15. Ba wo g a no wo 1,179 238

16. Hilia la wa 405 97

17. Hilind ra so niha 943 203

18. Ba wo la husa 961 213

19. Hiliza lo 'o ta no 2,399 570

20. Hilina wa lo Ma zing o 1,498 246

21. La wind ra 851 117

22. Hilizo ro ila wa 1,116 124

23. Hiliziho no 1,918 266

24. Ba wo na ho no 1,732 191

25. Ora hilifa u 1,363 312

26. Ba wo ma ta luo 3,125 975

27. Siwa la wa 1,889 449

28. Ono ho nd ro 617 179

29. Hilina wa lo Fa u 1,170 340

30. Hilig e ho 2,014 458

31. Hiliso nd re kha 1,198 231

32. Hilisa o to niha 1,120 312


(32)

B. P U S K E S M A S L A G U N D R I

1. Te lukd a la m La g und ri La g und ri 491 104

2. Hilia ma e ta niha 1,151 208

3. Hilima e na mo lo 1,157 257

4. Bo to hilita no 1,374 311

JUMLAH ………. 4,173 880

C. P U S K E S M A S H I L I S I M A E T A N O

1. Te lukd a la m Hilisima e ta no Hilisima e ta no 2,048 475

2. La husa 862 197

3. Ba wo g o sa li 726 180

JUMLAH………. 3,636 852

D. P U S K E S M A S A M A N D R A Y A

1. Ama nd ra ya Ama nd ra ya Hilia ma uzula 1,380 587

2. Hiliho ru 242 77

3. Hilito ta o 2,407 548

4. Hilifa la wu 738 179

5. Hilimb ula wa 743 176

6. Sifo a ro a si 1,243 292

7. Siso b a mb o wo 840 186

8. Hilifa d o lo 322 83

9. Siso b a hili 1,247 254

10. Sisa ra hili Susua 2,742 508

11. Tuind ra o 1,481 348

12. Fo nd ra ko Ra ya 4,642 837

13. Hilio rud ua 2,788 643

14. Hilimb o wo 1,232 159

15. Lo lo za ria 1,044 230

16. Ora hili Eho 633 141

17. Lo lo mo yo 520 115

18. Ra mb a -ra mb a 1,469 235


(33)

E. P U S K E S M A S L A H U S A

1. La husa La husa Ba wo o ta lua 1,802 425

2. Ba wo ziho no 2,242 515

3. Ba wo la to 1,391 311

4. Hilisima e ta no 2,147 492

5. Go la mb a nua I 1,579 418

6. Siha re 'o 1,218 296

7. Hilid o ho na 2,715 411

8. Uluid a no d uo 3,912 725

9. Hilisa o 'to 1,992 432

10. Ho ya 1,431 268

11. Te te zo u 709 130

12. Siwa lu Mb a nua 1,301 265

13. Silima Mb a nua 2,210 443

14. La husa 3,110 686

15. Go lo mb a nua II 1,426 269

JUMLAH………. 29,185 6,086

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan

II.3. SIKLUS HIDUP PLASMODIUM MALARIA

Plasmodium falciparum mempunyai 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang terjadi di dalam tubuh manusia yang disebut skizogoni dan siklus seksual yang terjadi di tubuh nyamuk yang disebut sporogoni.

Pada siklus aseksual, sporozoit yang terdapat pada kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk ke dalam peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Kemudian dalam waktu singkat masuk ke sel-sel parenkim hati dan memulai stadium eksoeritrositik. Dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas dan sebagian difagosit, proses ini disebut stadium preeritrositik (eksoeritrositik). Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah membentuk tropozoit dan berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi merozoit. Sel darah merah pecah, merozoit, pigmen, dan sisa sel keluar memasuki plasma darah,


(34)

sebagian masuk dalam sel darah merah lain untuk mengulang siklus skizogoni dan sebagian membentuk gametosit yaitu bentuk seksual yang siap dihisap oleh nyamuk (Nugroho, 2000 ; Schema Life Cycle Malaria).

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Di dalam tubuh nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan dan betina yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Ookista matang dan pecah, keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk dan siap ditularkan kepada manusia (Nugroho, 2000; Schema of the Life Cycle Malaria).

Gambar 4. Skema siklus hidup Plasmodium(Nugroho,2000 Schema of the Life Cycle Malaria)

II.4. RESISTENSI OBAT ANTIMALARIA

Saat ini obat-obatan antimalaria yang dapat dijumpai di Indonesia hanya terbatas pada klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, primakuin, dan kina (Tjitra, 2000). Antibiotika yang bersifat antimalaria seperti derivat Tetrasiklin, Doksisiklin, Klindamisin, Eritromisin,


(35)

Kloramfenikol, Azitromisin, Sulfametoksasol-trimetoprim dan Quinolon. Obat ini umumnya bersifat skizontosida darah untuk P.falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif..

Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain dengan kina (Tjitra, 1996).

Oleh karena banyaknya faktor, telah terjadi resistensi pada kebanyakan antimalaria, terutama di wilayah Asia Tenggara, begitu pula dengan Indonesia. Resistensi antimalaria menjadi suatu tantangan besar dalam pengendalian malaria pada masa kini. Resistensi obat ini berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali pada daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga memegang peranan penting dalam terjadinya epidemi dan memberatnya manifestasi penyakit pada beberapa daerah. Perpindahan penduduk juga menyebabkan munculnya resistensi parasit pada suatu wilayah yang dulunya tidaklah demikian (Depkes, 2002).

Resistensi antimalaria terjadi karena kemampuan adaptasi Plasmodium untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi (yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat) (Sutisna, 2004 ; Tjitra, 2000).

Secara umum mekanisme resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria disebabkan oleh mutasi spontan dari gen parasit. Keadaan ini menyebabkan penurunan sensitivitas parasit terhadap obat atau kelompok obat yang digunakan. Mutasi ini tidak menyebabkan peningkatan kemampuan hidup atau perkembangbiakan parasit, tetapi menekan pengaruh obat terhadap parasit. Proses resistensi ini terjadi karena penggunaan antimalaria secara monoterapi atau juga kombinasi yang tidak rasional serta ketidakpatuhan dalam penggunaannya (Tjitra, 2004).


(36)

Kombinasi antimalaria adalah pemakaian dua jenis atau lebih antimalaria yang bersifat skizontosida serta mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda. Tujuan pemakaian kombinasi antimalaria, selain untuk meningkatkan efek obat, secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resisten. Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara kombinasi, peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin, telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria (WHO,2006 ; White, 1999 ; Bloland, 2001 ; Kremsner dkk, 2004).

II.4.1. Sulfadoksin-pirimetamin

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria kombinasi antara sulfonamida atau sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan Plasmodium falciparum, skizontosida darah dan sporontosida untuk keempat jenis Plasmodium manusia (Tjitra, 2000). Kombinasi obat ini menghambat pembentukan asam folat dengan mengikat enzim parasit yaitu dihydropteroate synthase dan dihydrofolate reductase. Asam folat dibutuhkan oleh parasit untuk pembentukan asam nukleat yang berguna untuk pembentukan inti parasit. Obat ini sangat praktis karena dapat diberi dalam dosis tunggal, namun obat ini mempunyai kelemahan karena mudah menimbulkan resisten. Oleh karena itu, kombinasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falciparum di daerah yang resisten terhadap antimalaria klorokuin (Tjitra, 2000).


(37)

Pyrimethamine

Gambar 5. Struktur kimia Sulfadoksin-pirimetamin (WHO, 2006)

Secara farmakologis pirimetamin bekerja dengan cara menghambat enzim dihydrofolate reductase dari Plasmodium sehingga menghalangi pembentukan asam nukleat pada parasit malaria. Sedangkan sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan enzim dihydropteroate synthase sehingga pembentukan asam folat yang diperlukan oleh parasit tidak terbentuk (WHO, 2006).

Di Indonesia obat ini tersedia hanya dalam bentuk tablet untuk pemberian per-oral dan setiap tabletnya mengandung 500 mg sulfadoksin atau sulfalen dan 25 mg pirimetamin. Konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 2 – 4 jam. Dengan waktu paruh sulfadoksin adalah 180 jam dan pirimetamin adalah 90 jam. Dosis yang digunakan untuk sulfadoksin adalah 25 mg/kg BB dan pirimetamin 1,25 mg/kg BB.

Saat ini kombinasi sulfadoksin-pirimetamin merupakan pilihan pertama (first line drug) untuk kasus malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau daerah yang telah dinyatakan resisten terhadap klorokuin. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah kulit kemerahan dengan gatal dan sindroma Steven Johnson (Tjitra,2000).


(38)

II.4.2. Amodiakuin

Amodiakuin merupakan obat antimalaria golongan 4 aminokuinolin yang mempunyai struktur dan aktifitas yang sama dengan klorokuin. Obat ini mempunyai efek antipiretik dan antiinflamasi dan mempunyai efek skizontosidal.

Gambar 6. Struktur kimia Amodiakuin (WHO, 2006)

Amodiakuin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup hidroklorida atau klorohidrat untuk pemberian oral. Satu tablet amodiakuin mengandung 200 mg dan 600 mg basa amodiakuin hidroklorida atau 151,1 mg basa amodiakuin klorohidrat, sedangkan 1 ml sirup mengandung 10 mg basa amodiakuin hidroklorida atau klorohidrat.

Dosis amodiakuin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi adalah seperti klorokuin yaitu 25-35 mg basa/kgBB/3 hari.

Efek samping yang sering dijumpai sama seperti klorokuin yaitu berupa mual, muntah, sakit perut, diare, sakit kepala dan gatal-gatal. Sedangkan efek samping yang berat dapat menyebabkan hepatitis toksik dan agranulositosis yang fatal sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati, dan tidak digunakan untuk profilaksis (Tjitra, 2000).


(39)

II.4.3. Artesunat

Artesunat merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosidal dan gametosidal yang bekerja dengan cara menghambat enzim Calcium AdenosineTriphosphatase.

Gambar 7. Struktur kimia Artesunat (WHO, 2006)

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral, dan dalam bentuk serbuk kering dalam ampul dengan pelarut 5% NaHCO3 untuk pemberian secara parenteral (intravena atau intramuskular). Dosis untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug, peroral adalah 2 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB dosis tunggal pada 4 hari selanjutnya. Sedangkan untuk pemakaian kombinasi dengan obat antimalaria lainnya digunakan dosis 4 mg/kgBB/dosis selama 3 hari.

Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual dan muntah, bercak merah di kulit, gatal-gatal, rambut rontok dan demam obat (Tjitra, 2000; WHO, 1997).


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITAN

Penelitian ini dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan September 2006 sampai bulan Desember 2006.

III.2. ALAT DAN BAHAN

III.2.1. Peralatan Pemeriksaan Fisik dan Klinis

Peralatan pemeriksaan fisik dan klinis yang digunakan pada subjek penelitian adalah stetoskop, timbangan badan, termometer suhu tubuh (WHO, 2003).

III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-Obatan

Pembuatan sediaan darah tebal dan darah tipis serta pemeriksan secara mikroskopis membutuhkan peralatan dan bahan laboratorium antara lain sebagai berikut : mikroskop binokuler, object glass, cover glass, slide box, rak pewarnaan, rak tabung reaksi, kertas tissue, kapas, aquadest, pipet tetes, pipet 10ml, gelas ukur 10ml, dan 100ml, baker glass 100 ml dan 500 ml, hair dryer, minyak imersi, larutan Giemsa, metanol, alkohol dan larutan buffer (WHO,2003).

Sedangkan obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

- Sulfadoksin-pirimetamin, yang merupakan kombinasi antara sulfonamida dengan diaminopirimidin, mengandung 500 mg sulfadoksin atau sulfalen dan 25 mg


(41)

pirimetamin. Sediaan ini merupakan sediaan generik buatan PT. Indofarma dengan nomor Batch 0505005 dan kadaluarsa 06/2009.

- Artesdiaquine®, yang merupakan kombinasi dari Artesunat 50 mg dan Amodiakuin 200 mg. Sediaan ini merupakan produksi dari Beijing Wanhui Double Crane Pharmaceutical yang diimpor oleh PT. Trimitra Sehati, Indonesia dengan tanggal produksi 08042006, kadaluarsa 04/2009 dan nomor Batch 050406. Setiap kotak berisi 12 buah tablet artesunat @ 50 mg dan 12 buah tablet amodiaquine @ 200 mg (setara dengan 153 mg amodiaquine basa) dalam kemasan blister yang digunakan untuk pemakaian dengan dosis harian yang sama selama 3 hari.

- Parasetamol tablet 500 mg buatan PT. Indofarma yang diberikan bila suhu aksila pasien >38,50C, sebagai pengobatan simptomatis.

III.3. DESAIN PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara uji klinis terbuka (open trial) pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.

III.4. POPULASI PENELITAN

Populasi penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan subjek penelitian adalah penderita malaria falciparum yang ditemukan melalui pemeriksaan mikroskopis, yaitu dengan cara menemukan Plasmodium falciparum saja pada sediaan darahnya (monoinfeksi).

III.4.1. Kriteria Inklusi


(42)

• Didiagnosa sebagai penderita malaria falciparum, dengan kepadatan parasit 100 – 100.000/µl.

• Temperatur aksila ≥ 37,5 0 C atau dengan riwayat demam dalam 1 minggu terakhir. • Tidak pernah mengkonsumsi obat anti malaria dalam 2 minggu terakhir.

• Bersedia ikut serta dalam penelitian dan mengikuti prosedur yang ditetapkan (informed consent).

III.4.2. Kriteria Eksklusi

• Terdapat gejala dan tanda malaria berat.

• Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai Plasmodiumjenis lain, selain falciparum. • Pernah/sedang mendapat pengobatan antimalaria.

• Mempunyai riwayat alergi terhadap obat-obatan yang akan diteliti dan munculnya reaksi alergi terhadap obat-obatan yang digunakan selama proses penelitian.

• Adanya gangguan fungsi hati, ginjal, dan jantung yang diketahui dari pemeriksaan anamnesa, fisik diagnostik dan laboratorium.

• Demam yang disebabkan oleh penyakit lain. • Ibu hamil / menyusui.

• Tidak mengikuti prosedur penelitian yang ditetapkan dan mengundurkan diri dari penelitian.

III.4.3. Perkiraan Besar Sampel (Sudigdo, 2002)

n1=n2=

(

)

(

)

2 2 1 2 2 2 1 1 2 P P Q P Q P z PQ z − + + β α

P = ½ ( P1 + P2 ) = ½ (0,99 + 0,82) = 0,905


(43)

amodiakuin dan sulfadoksin-pirimetamin = 99% = 0,99 (Dorsey dkk,2000). P2 : Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan

artesunat dan sulfadoksin-pirimetamin = 82% = 0,82 (Clinical Judgement).

Q1 = 1 – P1 = 0,01 Q = 1 – P = 1 – 0,905 = 0,095

Q2 = 1 – P2 = 0,18

= 0,05 z = 1,645 = 0,20 z = 0,842

Dari perhitungan di atas didapatkan besarnya sampel pada masing-masing kelompok yaitu sebanyak 36 orang, dan untuk mengantisipasi adanya drop out, diambil jumlah sampel sebanyak 40 orang untuk tiap kelompok kombinasi pengobatan.


(44)

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1. Kerangka Kerja

Pemeriksaan Darah Tepi Pemeriksaan fisik

Malaria falciparum tanpa komplikasi

Kriteria Eksklusi

Randomisasi Populasi Terjangkau

Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin

Gambar 8. Kerangka Kerja Penelitian Plasmodium falciparum dalam darah

Toleransi dan Efek Samping Obat Pemeriksaan Darah Tepi dan

Pemeriksaan Fisik H-0,1,2,3,7,14,28 Kriteria Eksklusi :

̇ efek samping

Kriteria Eksklusi :

̇ efek samping

̇ drop out ̇ drop out

̇ pindah t.tin


(45)

III.5.2. Cara Kerja

Semua penderita yang datang dengan keluhan dan tanda-tanda klinis malaria dilakukan pemeriksaan yang meliputi anamnese sampai pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan darah tepi malaria, sediaan tebal dan tipis untuk menghitung kepadatan parasit malaria dalam darah.

Pada pemeriksaan darah tebal, mula-mula jari penderita dibersihkan dengan kapas alkohol dan dikeringkan, kemudian tusuk dengan lancet steril, darah tetes pertama dibuang dan tetes kedua diletakkan di bagian tengah gelas objek sebanyak ± 2 tetes. Kemudian keringkan pada suhu kamar. Setelah kering tuangi Giemsa 10% dan biarkan selama 10-15 menit, lalu bilas dengan air kran yang mengalir. Keringkan pada suhu kamar dan periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100x untuk mendapatkan Plasmodium spp (Harijanto,2000). Pada sediaan darah tipis, cara pengecatannya sama dengan pemeriksaan darah tebal tetapi sebelum dilakukan pengecatan sediaan darah difiksasi dengan metanol.

Bila dari pemeriksaan tersebut hanya ditemukan infeksi parasit P.falciparum dan penderita memenuhi kriteria inklusi lainnya maka dipilih sebagai subjek penelitian. Bila tidak memenuhi kriteria inklusi maka penderita akan diobati sesuai dengan penyakit yang dideritanya. Kemudian penderita dijadikan 2 kelompok yang selanjutnya secara random diberikan pengobatan sesuai nomor obat yang telah dibuat secara random dengan menggunakan tabel random.

Kepadatan parasit diperiksa pada hari ke 0,1,2,3,7,14, dan 28 setelah pengobatan. Semua sediaan hapus darah tepi penderita yang diteliti, dikonfirmasi di Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran USU Medan terhadap diagnostik jenis spesies Plasmodium dan kepadatan parasitnya.


(46)

Setiap penderita dari masing-masing kelompok pengobatan akan dinilai respon klinisnya, yang diklasifikasikan dengan Early Treatment Failure (ETF), Late Treatment Failure (LTF), dan Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR).

Selama pengobatan penderita difollow-up terhadap kepatuhan, efek samping, komplikasi malaria ataupun keadaan klinis lain yang dianggap penting. Bila dalam follow-up terjadi komplikasi pada penderita atau menunjukkan tanda-tanda malaria berat atau parasitemia pada hari ke-3 tidak menurun atau meningkat, maka penderita segera diberikan pengobatan malaria yang lebih intensif dengan kinine dihidroklorida drip, dengan cara loading dose 20 mg/kgBB dalam dekstrosa 5% atau NaCl fisiologis diberikan dalam 4 jam. Dilanjutkan dengan 10 mg/kgBB dalam 4 jam setiap 8 jam berikutnya sampai penderita dapat minum obat (Tjitra, 2000), dan dirawat di puskesmas atau rumah sakit dan dikeluarkan dari penelitian.

III.5.3. Kelompok Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok perlakuan sebagai berikut :

1. Kelompok I : diberikan pengobatan dengan kombinasi artesunat dengan

sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis artesunat sebanyak 4 tablet yang diberikan pada hari pertama, kedua dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin diberikan sebanyak 3 tablet dosis tunggal pada hari pertama.

2. Kelompok II : diberikan pengobatan kombinasi amodiakuin dengan

sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis amodiakuin sebanyak 4 tablet yang diberikan pada hari pertama, kedua dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin diberikan sebanyak 3 tablet dosis tunggal pada hari pertama.

Semua obat diminum bersamaan pada hari pertama pengobatan sesuai dengan kelompok pengobatannya masing-masing dengan menggunakan air putih dan diawasi pemberiannya.


(47)

Bila didapati penderita muntah setengah jam setelah makan obat, maka penderita diberikan obat kembali dengan dosis yang sama sesuai dengan kelompok pengobatan masing-masing. Penderita yang demam (temperatur ≥ 37,50 C) diberikan obat antipiretik Parasetamol 500 mg dengan dosis 3 kali sehari 1 tablet secara per-oral.

III.6. VARIABEL YANG DIAMATI III.6.1. Variabel tergantung/dependen

Variabel tergantung/dependen adalah Plasmodium falciparum.

III.6.2. Variabel bebas/independen

Variabel bebas/independen adalah kelompok pengobatan.

III.7. ANALISA DATA

Data yang mempunyai skala nominal atau ordinal akan dianalisa dengan menggunakan Uji Chi-Square. Uji normalitas digunakan uji Kolmogorov-Smirnov (uji non parametrik). Untuk data numerik yang berdistribusi normal (parametrik) akan diuji dengan Uji ”t” berpasangan dan tidak berpasangan. Sementara itu data numerik tidak berdistribusi normal (non parametrik) akan diuji dengan Uji Mann-Whitney. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan Program SPSS versi 10.0.05.

III.8. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pasien malaria falciparum tanpa komplikasi adalah pasien dengan gejala klinis malaria dan pada pemeriksaan darah tepi dengan metode standar ditemukan bentuk Plasmodium falciparum aseksual dan penderita tidak menunjukkan tanda dan gejala malaria berat sejak awal pemeriksaan sampai selesai pengobatan (DepKes, 2005).


(48)

2. Malaria berat adalah suatu kondisi malaria dengan faktor pemberat seperti : penurunan kesadaran, anemia berat (Hb < 5 gr % atau hematokrit < 15%), gagal ginjal akut (urine < 400 ml/24 jam atau < 12 ml/kgBB atau kreatinin > 3 mg %), edema paru, hipoglikemia ( KGD < 40 mg%), syok, perdarahan spontan, kejang, hemoglobinuria, hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik, ikterus (bilirubin > 3 mg% dan hiperpireksia (temperatur rektal > 400C) (PAPDI, 2003).

3. Pemeriksaan apusan darah tepi adalah tehnik pemeriksaan standar untuk menegakkan diagnosa malaria, yaitu dengan menentukan Plasmodium dalam darah penderita.

4. Kepadatan parasit adalah jumlah Plasmodiumper-200 lekosit atau per-1000 eritrosit yang ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi.

5. H0 adalah hari pertama pengamatan dan didiagnosa sebagai penderita malaria.

6. H1,H2,H3,H7,H14,H28 adalah hari ke-n pemberian obat dan pengamatan lanjutan pada penderita malaria.

7. Parasite Clearance Time (PCT) adalah lamanya waktu yang diperlukan sampai tidak ditemukannya lagi Plasmodium dalam bentuk aseksual dalam darah penderita.

8. Demam adalah suatu kenaikan suhu tubuh >37,50C yang diukur dengan termometer pada aksila (WHO, 2003).

9. Anemia adalah suatu penurunan kadar Hb darah di bawah nilai standar normal yang diukur dengan menggunakan metode cyan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Sahli.

10. Komponen hematologi pasien diperoleh dengan melakukan pemeriksaan darah rutin untuk melihat kadar eritrosit, leukosit,trombosit, eosinofil, hematokrit dan beberapa komponen darah lainnya.


(49)

11. Hipoglikemi adalah suatu keadaan penurunan kadar gula darah < 40 mg% (PAPDI, 2003). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ACCU-CHEK® Active buatan Roche Mannheim Germany.

12. Early Treatment Failure (ETF), bila terjadi salah satu kriteria di bawah ini (WHO, 2003; PAPDI, 2003) :

a. Ditemukan tanda-tanda bahaya / malaria berat pada HI, H2, dan H3 serta dijumpai parasitemia ≥ 5%.

b. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H2 > H0.

c. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H3 dengan bentuk seksual masih positif disertai dengan temperatur aksila ≥ 37,5 0 C.

d. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H3 ≥ 25% H0.

13. Late Treatment Failure (LTF), dibagi atas dua golongan, yaitu (PAPDI, 2003) : a. Late Clinical and Parasitological Failure (LCPF)

Bila terjadi salah satu kriteria di bawah ini pada hari ke 4 sampai ke 28 :

̇ Terjadi gejala malaria berat.

̇ Masih terdapat gametosit disertai demam (>37,50C).

b.Late Parasitological Failure (LPF)

Bila masih terdapat parasit bentuk aseksual pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 walaupun tidak disertai dengan demam.

14. Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR)

Penderita yang pada kunjungan ulangan/kontrol (H3, H7, dan H28) tidak ada keluhan (demam) dan hasil pemeriksaan darah parasit negatif (PAPDI, 2003).


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

Dari sebanyak 826 orang penduduk yang diperiksa dari 11 desa dalam 3 kecamatan di kabupaten Nias Selatan, hanya sebanyak 723 orang yang memenuhi persyaratan umur, gejala dan tanda klinis untuk dilakukan pemeriksaan darah. Sebanyak 311 orang (43%) didiagnosa menderita penyakit malaria dengan perincian : infeksi P. falciparum 238 orang (76,5%), infeksi P. vivax 7 orang (2,3%) dan infeksi campuran (P. falciparum dan P. vivax) sebanyak 66 orang (21,2%).

Sebanyak 238 orang yang terinfeksi dengan P. falciparum, 85 orang yang memenuhi kriteria dibagi dalam 2 kelompok pengobatan secara random sederhana yaitu 46 orang pada kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin (AR+SP) dan 39 orang pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (AQ+SP).

Selama penelitian berlangsung ada sebanyak 7 orang yang dikeluarkan dari penelitian. Tiga orang berasal dari kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin oleh karena tidak makan obat pada hari ke-2. Dua orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak bersedia lagi mengikuti pemeriksaan ulangan yaitu 1 orang dari kelompok Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan 1 orang lagi dari kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin. Dua orang lainnya dikeluarkan dari penelitian oleh karena pindah ke kota lain yaitu dari kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin. Sehingga jumlah sampel diakhir penelitian adalah 78 orang yaitu 42 orang pada kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan 36 orang pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (Gambar 9).


(51)

Pasien yang diperiksa 826 orang

Pasien yang periksa darah 723 orang Pasien yang bukan malaria

412 orang

Pasien Malaria 311 orang

P.vivax 7 orang

Mix 66 orang

P.falciparum 238 orang

Kombinasi AR+SP 46 orang Kombinasi AQ+SP 39 orang

Jumlah pasien pada awal pemeriksaan

46 orang

Jumlah pasien pada awal pemeriksaan

39 orang

Jumlah pasien pada akhir pemeriksaan

42 orang

Eksklusi 4 orang Eksklusi 3 orang

Jumlah pasien pada akhir pemeriksaan

36 orang


(52)

KARAKTERISTIK DASAR SAMPEL PENELITIAN

Tabel 2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Suhu Tubuh

Karakteristik AR+SP AQ+SP p

(n=42) pa) (n=36) pa)

Kelompok Umur 0,437 0,638 0,291メ) a. 15 – 24 thn 6 (14,3%) 5 (13,9%)

b. 25 – 34 thn 9 (21,4%) 8 (22,2%) c. 35 – 44 thn 10 (23,8%) 6 (16,7%) d. 45 – 54 thn 5 (11,9%) 11 (30,6%) e. ≥ 55 thn 12 (28,6%) 6 (16,6%)

Jenis Kelamin 0,000* 0,000* 0,823 b) a. Laki-laki 13 (30,9%) 12 (33,3%)

b. Perempuan 29 (69,1%) 24 (66,7%)

Suhu Tubuh 0,184メ)

a. < 37,5 0C 23 (54,8%) 25 (69,4%) b. ≥ 37,5 0C 19 (45,2%) 11 (30,6%)

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin a) Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

b) Uji Mann-Whitney

) Uji Kelompok (Uji Chi-Square) * Signifikan

Dari tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa distribusi sampel penelitian sebelum pengobatan yang terbanyak dijumpai adalah kelompok umur ≥ 55 tahun (28,6%) pada kelompok pengobatan AR+SP dan kelompok umur 45 – 54 tahun (30,6%) pada kelompok pengobatan AQ+SP, dengan jenis kelamin perempuan dan suhu tubuh

< 37,50C dimana pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok pengobatan.


(53)

Tabel 3. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan Berdasarkan Gejala Klinis

Karakteristik AR+SP AQ+SP p)

(n=42) (n=36)

Gejala Klinis

a. Demam 19 (45,2%) 11 (30,6%) 0,184 b. Menggigil 7 (16,7%) 12 (33,3%) 0,087 c. Pusing 8 (19,1%) 3 (8,3%) 0,175 d. Badan Pegal 8 (19,1%) 22 (61,1%) 0,000* e. Lemas 5 (11,9%) 4 (11,1%) 0,913 f. Gangguan Pencernaan 4 (9,5%) 11 (30,6%) 0,019*

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin ) Uji Chi-Square

* Signifikan

Gejala klinis yang muncul pada awal pemeriksaan adalah demam, menggigil, pusing, pegal, lemas dan gangguan pencernaan. Dalam penelitian ini dijumpai perbedaan yang bermakna (p<0,05) terhadap gejala badan pegal dan gangguan pencernaan pada kedua kelompok pengobatan, sedangkan penderita demam yang diikutkan dalam penelitian ini hanya sebesar 19 orang (45,2 %) dari kelompok pengobatan AR+SP dan 11 orang (30,6 %) dari kelompok pengobatan AQ+SP (Tabel 3). Sebahagian besar penderita yang diikutkan dalam penelitian ini mempunyai riwayat demam dalam 1 minggu terakhir baik pada kelompok pengobatan AR+SP maupun kelompok pengobatan AQ+SP.


(54)

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kepadatan Plasmodium Sebelum Dan Sesudah Pengobatan

No Karakteristik AR+SP AQ+SP

p†) * pb)

Mean ± SD pa) Mean ± SD

pa)

1. Kepadatan Plasmodium

a. H0 344,762 ± 350,381 0,000 283,333 ± 294,463 0,000 0,000 0,452

b. H1 47,619 ± 106,102 0,000 34,444 ± 106,542 0,000 0,000 0,165

c. H2 11,429 ± 28,334 0,000 6,667 ± 22,424 0,000 0,000 0,415

d. H3 0 0

e. H7, H14 dan H28 0 0

2. Gagal Pengobatan

a. ETF 0 0

b. LTF 0 0

3. Sembuh (ACPR) 42 (100%) 36 (100%)

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin

ETF = Early Treatment Failure LTF = Late Treatment Failure ACPR = Adequate Clinical and Parasitological Response

SD = Standard Deviation

a) Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

b) Uji Mann-Whitney

†) Uji Friedman

* Signifikan

Kepadatan Plasmodium sebelum pengobatan (H0) pada umumnya rendah dengan nilai rata-rata 344,762 Plasmodium/µl pada kelompok pengobatan AR+SP dan 283,333

Plasmodium/µl pada kelompok pengobatan AQ+SP.

Pada tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kepadatan Plasmodium yang signifikan pada masing-masing kelompok pengobatan, dan dengan uji Friedman diperoleh nilai p=0,000 yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap penurunan kepadatan Plasmodium sebelum dan sesudah pengobatan baik pada kelompok pengobatan AR+SP maupun kelompok pengobatan AQ+SP. Namun dari hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test yang membandingkan efek penurunan kepadatan Plasmodium pada kelompok


(55)

pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) (Gambar 10).

0 50 100 150 200 250 300 350 400

H0 H1 H2 H3 H7 H14 H28

Hari Pengamatan K e p a da ta n P la s m od ium ( /m l) AQ+SP AR+SP

Gambar 10. Perbandingan Nilai Mean Kepadatan Plasmodium

Sementara itu pada respon pengobatan sampai hari ke-28 tidak terjadi kegagalan pengobatan dimana tidak dijumpai lagi Plasmodium dalam sediaan darah penderita. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua kelompok pengobatan tidak ada yang mengalami kegagalan pengobatan, baik itu Early Treatment Failure (ETF) maupun Late Treatment Failure (LTF). Semua subjek penelitian mengalami kesembuhan baik secara klinis maupun parasitologis (Adequate Clinical and Parasitological Response).


(56)

Tabel 5. Gambaran Perubahan Hematologi Sebelum Dan Sesudah Pengobatan

No Karakteristik AR+SP AQ+SP

p‡)

Mean ± SD pa) Mean ± SD pa)

1. Kadar Gula Darah (mg/µL) 0,138) 0,002)

KGD H0 99±16,146 0,437 103±16,310 0,698 0,190

KGD H14 95±16,156 0,712 97±13,508 0,868 0,549

2. Hemoglobin (gr%) 0,000) 0,043)

Hb H0 10,65±0,674 0,654 10,82±0,827 0,550 0,323

Hb H14 11,32±0,808 0,135 11,11±0,781 0,892 0,233

3. Lekosit (x 103/µL) 0,000) 0,770)

Lekosit H0 4933±768,485 0,599 5739±993,774 0,543 0,000*

Lekosit H14 5493±748,134 0,184 5792±1085,324 0,290 0,156

4. Eritrosit (x 106/µL) 0,000) 0,005)

Eritrosit H0 3,74±0,267 0,888 3,79±0,389 0,734 0,493

Eritrosit H14 4,11±0,520 0,477 4,03±0,508 0,959 0,446

5. Trombosit (x 103/µL) 0,000 ) 0,003)

Trombosit H0 180714±26813,981 0,614 170278±26884,527 0,470 0,091 Trombosit H14 198095±15018,378 0,179 190278±14635,790 0,292 0,023*

6. Eosinofil (%) 0,317) 0,150)

Eosinofil H0 1,12±0,705 0,000 1,06±0,674 0,001 0,643 b)

Eosinofil H14 0,98±0,604 0,000 0,83±0,655 0,004 0,305 b)

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin a) Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ) Uji T Berpasangan b) Uji Mann-Whitney ‡) Uji T Tidak Berpasangan

*

Signifikan

Pada tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa walaupun terjadi perubahan yang bermakna terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit, eritrosit dan trombosit (p<0,05) sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok pengobatan, namun berdasarkan hasil uji statistik yang membandingkan kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP terhadap perubahan komponen hematologi


(57)

tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna, baik pada kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05).

Tabel 6. Distribusi Efek Samping Obat

No Karakteristik AR+SP AQ+SP Uji

(n=42) (n=36) Kelompok )

1. Tremor 0 (0 %) 4 (11,1%)

0,027* 2. Gangguan Pencernaan 7 (16,7%)

7 (19,4%) 0,050

3. Lemas 14 (33,3%) 6 (16,7%)

0,093

4. Sakit Kepala 17 (40,5%) 27 (75%) 0,002*

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin ) Uji Chi-Square

* Signifikan

Efek samping yang timbul pada hari kedua setelah makan obat adalah tremor, gangguan pencernaan, lemas dan sakit kepala, dimana frekwensi yang terbanyak adalah sakit kepala, baik pada kelompok pengobatan AR+SP maupun AQ+SP. Dari hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p<0,05 pada gejala tremor dan sakit kepala, hal ini berarti ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok pengobatan dimana gejala tersebut lebih sering ditemukan pada kelompok pengobatan AQ+SP dibandingkan dengan kelompok pengobatan AR+SP (Tabel 6).

IV.2. PEMBAHASAN

Malaria falciparum merupakan jenis malaria yang paling sering menimbulkan kematian dan resisten terhadap beberapa jenis obat antimalaria diantaranya klorokuin. Masalah resistensi obat antimalaria merupakan suatu masalah yang serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria di Indonesia.


(58)

Penelitian ini dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, Teluk Dalam dan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara dengan memakai metode uji klinis terbuka (open trial). Kombinasi obat Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin merupakan pilihan obat yang peneliti gunakan dalam penelitian ini.

Dari 78 sampel penelitian yang diteliti berdasarkan kelompok umur yang terbanyak dijumpai adalah kelompok umur ≥ 55 tahun (28,6%) pada kelompok pengobatan AR+SP dan kelompok umur 45 – 54 tahun (30,6%) pada kelompok pengobatan AQ+SP sedangkan berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki pada kedua kelompok pengobatan.

Perubahan terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit, eritrosit dan trombosit sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok pengobatan adalah bermakna (p<0,05), namun berdasarkan hasil uji statistik yang membandingkan kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP terhadap perubahan komponen hematologi tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna, baik pada kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05).

Pada efek samping obat seperti tremor, gangguan pencernaan dan sakit kepala lebih sering muncul pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin, sedangkan efek samping lainnya seperti lemas lebih sering dijumpai pada kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin. Keluhan lemas ini semakin mengganggu terutama pada hari ketiga pengamatan, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap efek samping obat pada kedua kelompok pengobatan (p>0,05).


(59)

Basco dkk dalam suatu penelitian di Kamerun Afrika yang membandingkan efikasi pengobatan terhadap beberapa macam obat antimalaria juga mendapatkan efek samping lemas dan sakit kepala pada kombinasi pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (Basco dkk, 2002).

Pada penelitian ini dijumpai kepadatan Plasmodium yang rendah dan tidak dijumpainya bentuk seksual (gametosit) pada pemeriksaan darah tepi serta pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai adanya pembesaran limpa, sehingga hal ini menunjukkan bahwa daerah tempat penelitian dapat dikategorikan sebagai Low Transmission Area (WHO, 2006). Penurunan kepadatan Plasmodium ini dijumpai pada kedua kelompok pengobatan, dimulai sejak H1 dan menghilang pada H3 sampai H28.

Hasil perbandingan dalam uji normalitas terhadap kepadatan Plasmodium pada H0, H1, H2, H3, H7, H14, dan H28 pada kedua kelompok pengobatan adalah tidak berdistribusi normal. Untuk melihat perubahan kepadatan Plasmodium pada masing-masing kelompok pengobatan dipakai uji Non Parametrik (Uji Friedman) dan didapati hasil :

1. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perubahan kepadatan Plasmodium sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok pengobatan AR+SP (p=0,000).

2. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perubahan kepadatan Plasmodium sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok pengobatan AQ+SP (p=0,000).

Namun dari hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test yang membandingkan efek penurunan kepadatan Plasmodium pada kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05).


(60)

Dalam penelitian ini semua subjek penelitian tidak mengalami kegagalan pengobatan, baik itu Early Treatment Failure maupun Late Treatment Failure. Semua subjek penelitian mengalami kesembuhan (100%), baik secara klinis maupun parasitologis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok kombinasi obat antimalaria ini, baik itu kombinasi Artesunat + pirimetamin maupun kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat yang sangat efektif dalam pengobatan penyakit malaria falciparum. Tetapi bila dilihat dari efek samping obat selama penelitian ini, maka kombinasi Artesunat + Sulfadoksin- pirimetamin lebih unggul dibandingkan dengan kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya hipoglikemia pada awal pengobatan. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kepadatan Plasmodium dan dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan kadar gula darah.

Secara umum tidak dijumpai adanya anemia pada awal penelitian sebelum pengobatan pada kedua kelompok pengobatan. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain rendahnya kepadatan Plasmodium, gizi yang baik, tidak adanya penyakit kronis sebelumnya serta metode pengukuran hemoglobin dengan cara Sahli yang masih sangat subjektif penilaiannya. Peningkatan kadar hemoglobin sesudah pengobatan berkaitan dengan hilangnya Plasmodium dalam darah.

Van den Broek dkk (2003) pada penelitian di Sudan juga telah mengemukakan adanya peningkatan kadar hemoglobin pada pengobatan kombinasi AR+SP.

Peningkatan kadar eritrosit pada penelitian ini seiring dengan meningkatnya kadar hemoglobin dan penurunan kepadatan Plasmodium yang merupakan salah satu faktor terjadinya anemia. Peningkatan kadar eritrosit ini terjadi baik pada kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin maupun Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.


(61)

Namun dari hasil uji statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna terhadap kadar eritrosit pada kedua kelompok pengobatan.

Dalam penelitian ini dijumpai peningkatan kadar trombosit sesudah pengobatan. Hal ini dipengaruhi oleh sistim imun tubuh terhadap P.falciparum. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kepadatan Plasmodium berakibat pada peningkatan kadar trombosit pada masing-masing kelompok pengobatan.

Pada kebanyakan infeksi parasit, peninggian kadar eosinofil sering ditemukan, tapi pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada kadar eosinofil baik sebelum maupun sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok pengobatan.


(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Penurunan kepadatan Plasmodium pada H3 pada kedua kelompok pengobatan tidak berbeda bermakna (p>0,05).

2. Efek samping obat berupa sakit kepala dan tremor setelah hari kedua pengobatan yang ditimbulkan dari kedua kelompok pengobatan lebih sering muncul pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin, dan dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok pengobatan tersebut (p=0,002 ; p=0,027). Sedangkan efek samping obat berupa lemas setelah hari kedua pengobatan yang ditimbulkan dari kedua kelompok pengobatan lebih sering muncul pada kelompok pengobatan Artesunate + Sulfadoksin-pirimetamin, namun dari hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok pengobatan tersebut (p=0,093).

3. Pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi dengan kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin memberikan efikasi yang sama, namun mengingat efek samping obat berupa sakit kepala dan tremor maka kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin lebih dianjurkan dibandingkan dengan kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.


(63)

V.2. SARAN

1. Untuk menghilangkan kelemahan dari penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode double blind randomized dan kepadatan Plasmodium yang lebih besar (≥ 1000/µl).

2. Mengingat efek samping obat yang cukup mengganggu (sakit kepala , tremor dan lemas), maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan

kombinasi obat antimalaria lainnya dengan menggunakan double blind randomized study.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Basco L.K., Same-Ekobo A., Ngane V.F., Ndounga M., Metoh T., Ringwald P., and Soula G. Therapeutic efficacy of pyrimethamine, amodiaquine and the sulfadoxine-pyrimethamine – amodiaquine combination against uncomplicated Plasmodium falciparum malaria in young children in Cameroon. Bulletin of the World Health Organization 2002, 80 (7)

Bloland PB, 2001 :Drug Resistance in Malaria, World Health Organization : 2,6-8

Davis TME., 2002 :Malaria treatment. Available from URL: http://www.rph.wa.gov.au/labs/haem/malaria/treatment.html (diakses tanggal 28 Mei 2006)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005 : Gebrak Malaria, Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Kedua, 1-2, 15-16

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004 : Penggunaan artemisinin untuk mengatasi malaria di daerah yang resisten Klorokuin, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002 : Profil Kesehatan Indonesia 2001, Menuju Indonesia Sehat 2010

Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Modul Epidemiologi Malaria, Buku I, Direktorat Jenderal PPM & PLP, Jakarta, 1999

Dorsey G., Njama D., Kamya M.R., Cattamanchi A., Kyabayinze D., Staedke S.G., Gasasira A., Rosenthal P.J. Sulfadoxine/pyrimethamine alone or with amodiaquine or artesunate for treatment of uncomplicated malaria : a longitudinal randomized trial. The Lancet; Dec 21-Dec 28, 2002; 360, 9350; ProQuest Medical Library; 2031

Gunawan, S., 2000. Epidemiologi Malaria. Dalam : Harijanto, P.N. (editor), Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC : 1-15

Hakim L., 2006. Laporan Akhir Pendampingan Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias Selatan Propinsi Sumatera Utara, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Harijanto PN., 2000: Malaria epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, & penanganan. EGC Cet. I. 194-223.

Kremsner PG & Sanjeev Krishna., 2004 : Antimalarial combinations, The Lancet; 364, 9430; 285-294


(1)

Lampiran 6

NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPATKAN

PERSETUJUAN SUBJEK PENELITIAN

Bapak/Ibu yang kami hormati,

Penyakit malaria merupakan penyakit yang banyak kita temukan di masyarakat kita ini, dan masih merupakan penyebab kematian yang tinggi. Di Indonesia, khususnya di Kabupaten Nias Selatan, penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular yang masih memerlukan perhatian khusus.

Oleh karena itu, kami datang kesini untuk memeriksa bapak/ibu sekalian disini. Adapun tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui seberapa banyak orang di kota ini yang menderita malaria. Setelah mengetahui jumlah orang yang menderita malaria, kami akan memberikan obat antimalaria untuk membasmi malaria ini. Selain itu kami juga meminta kesediaan bapak/ibu sekalian untuk memberi izin pemeriksaan darah.

Pemeriksaan darah ini dilakukan sebanyak 7 kali yaitu saat sekarang, hari ke-1, 2, 3, 7, 14 dan 28. Dengan memeriksa darah ini, kita akan mengetahui apakah bapak/ibu menderita malaria atau tidak, dan setelah diberikan obat apakah ada perbaikan atau tidak. Hal ini juga sangat perlu untuk menentukan bagaimana kita dapat menurunkan angka kesakitan dan mempersempit daerah penularan.

Pemeriksaan dan pemberian obat ini tidak dipungut biaya apapun alias gratis. Kepada bapak/ibu kami juga akan meminta izin pemeriksaan ini dengan membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas/surat yang telah kami sediakan, secara sukarela tanpa paksaan. Apabila

Philip Darmawan Sony : Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin…, 2007 USU e-Repository © 2008


(2)

kelak bapak/ibu ingin membatalkan keikutsertaan ini, bapak/ibu dapat mengatakannya kepada kami.

Demikianlah bapak/ibu sekalian, semoga dapat mengerti apa yang telah kami sampaikan dan percayalah tujuan kami kesini adalah untuk membantu bapak/ibu sekalian untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah angka kesakitan dan kematian yang masih cukup tinggi ini.


(3)

Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Kepadatan Plasmodium

Philip Darmawan Sony : Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin…, 2007 USU e-Repository © 2008


(4)

(5)

Lampiran 9

FORMULIR PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

No. Register : Nama :

Status Presens :

Sensorium : Anemia : ( ) Tek.Darah : Ikterus : ( ) Nadi : Sianosis : ( ) Pernafasan : Dispneu : ( ) Temperatur : Edema : ( ) R.fisiologis : KU/KP/KG : R.patologis :

Pemeriksaan Fisik :

Kepala : - Mata : - Telinga : - Hidung : - Mulut : Leher :

Thoraks :

Abdomen : - Hati : - Limpa : -

Ekstremitas :

Pemeriksa,

Philip Darmawan Sony : Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin…, 2007 USU e-Repository © 2008


(6)