BAB 2 TI JAUA PUSTAKA
2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi
Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia
dan . Manusia adalah hospes definitif bagi
., namun untuk
dan manusia juga dapat berperan sebagai hospes perantara
dimana hospes perantara sebenarnya adalah babi untuk atau
Depkes, 2000. Infeksi terbatas di Asia dan banyak dijumpai di Republik
Korea, China, Taiwan, Indonesia dan Thailand CDC, 2010. Menurut 9 , taeniasis ialah nama untuk infeksi intestinal yang disebabkan
oleh cacing pita dewasa cacing pita sapi atau babi. Memakan daging babi atau daging yang mentah dan kurang matang merupakan faktor resiko primer untuk
mendapat taeniasis. Menurut definisi 7 8
WHO dari sumber Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali, cacing pita adalah parasit
sikloozonis yang dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Ada juga yang memasukkan pada kelompok cacing anthropozoonosis karena melihat fakta
selain sebagai penyebar, manusia juga menjadi inang buntu dari parasit
tersebut Infovet, 2007.
2.1.2. Cara penularan
Seseorang bisa terkena infeksi cacing pita taeniasia melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung larva, baik larva yang terdapat pada daging sapi
. maupun larva
. atau larva
yang terdapat pada daging babi Depkes, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Morfologi dan Siklus Hidup Taenia sp.
Secara umum bagian tubuh sama seperti
dan yaitu terdiri dari skoleks, leher dan strobila dimana strobila merupakan rangkaian dari
proglotid imatur, matur serta yang telah mengandung telur proglotid gravid. Proglotid gravid
memiliki 15130 cabang uterus yang dapat bergerak aktif keluar sendiri dari lubang dubur maupun bersama tinja penderita Tan, 2006.
Walaupun cacing pita babi secara morfologinya sama seperti
namun agak lebih pendek dan mempunyai skoleks yang berbeda.
Skoleksnya terdiri dari 4 batil isap dengan 2 baris kait1kait. Telur dan
tidak dapat dibedakan karena keduanya berukuran 31143 mikrometer dan berisi embrio
Tan, 2001. Manusia merupakan satu1satunya hospes definitif bagi
dan . Telur atau proglotid gravid akan terlepas
dan ikut keluar bersama1sama tinja penderita, telur dapat bertahan untuk beberapa hari hingga bulan di lingkungan. Sapi
dan babi terinfeksi ketika makan tumbuh1tumbuhan yang terkontaminasi dengan telur atau proglotid gravid. Dalam usus ternak, telur tergesek sehingga menetas
membentuk larva yang disebut , seterusnya menginvasi dinding usus, dan
bermigrasi ke otot1otot lurik, dimana mereka berkembang menjadi sistiserkus. Sistiserkus dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun dalam tubuh hewan. Manusia
terinfeksi setelah memakan daging yang mentah atau dimasak kurang matang. Di dalam usus manusia, sistiserkus berkembang dalam waktu 2 bulan menjadi cacing
pita dewasa yang dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun. Cacing pita dewasa melekat pada usus kecil dengan skoleks dan tinggal di dalam usus kecil. Panjang
cacing dewasa biasanya 5 meter atau kurang untuk namun dapat
mencapai sehingga 25 meter dan 2 hingga 7 meter untuk . Cacing dewasa
menghasilkan proglotid yang mana akan matang, menjadi gravid, melepaskan diri dari cacing pita dan kemudian bermigrasi ke anus atau keluar bersama tinja kira1kira
Universitas Sumatera Utara
6 per hari. dewasa umumnya mempunyai 1000 hingga 2000 proglotid,
sementara dewasa mempunyai rata1rata 1000 proglotid. Telur1telur yang
terdapat di dalam proglotid gravid terlepas setelah keluar bersama tinja penderita.
dapat menghasilkan 100.000 telur dan dapat menghasilkan 50.000
telur per proglotid masing1masing CDC, 2010. Untuk
dan , manusia juga berperan sebagai hospes
perantara di mana manusia terinfeksi melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur1telur cacing
atau yang menyebabkan sistiserkosis.
Penularan dapat juga terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano1oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taeniasis solium, atau
autoinfeksi internal akibat adanya gerakan antiperistaltik dari usus maupun pemakaian obat teniacidal. Telur
tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia Depkes, 2000.
2.1.4. Tanda dan Gejala Klinis