stage di PT. X. Semakin rendah mean score yang diperoleh sebuah kelompok, mengindikasikan semakin rendah pula stres kerja yang dialami subjek kelompok
tersebut terkait decline stage di PT. X. Pada irisan usia dan divisi pekerjaan, mean score tertinggi dimiliki kelompok subjek di atas 50 tahun pada divisi T E. S., yang
mengindikasikan tingginya stres kerja yang dialami karyawan pada kelompok ini terkait decline stage di PT. X. Sementara mean score terendah diperoleh kelompok
subjek di atas 50 tahun pada divisi CMBD, yang mengingikasikan rendahnya stres kerja karyawan pada kelompok ini dalam menghadapi decline stage di PT. X.
C. PEMBAHASAN
Stres kerja pada karyawan PT. X yang mengalami decline stage dibagi atas 3 kategori yakni rendah, sedang dan tinggi. Stres kerja karyawan PT. X secara umum
tergolong dalam kategori sedang, terkait dengan decline stage yang dialami perusahaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang tertera pada Tabel 12,
sebanyak 78 orang 48,4 dari 161 orang mengalami stres kerja kategori sedang. Stres kerja kategori sedang ini mengindikasikan adanya pengaruh adaptasi dalam
perusahaan dan bisa mengatasi tantangan yang ada tanpa menganggapnya sebagai ancaman Berry, 1998.. Karyawan mampu menerima perubahan sebagai salah satu
jalan yang harus dihadapinya untuk terus bergerak maju dan optimis akan adanya
Universitas Sumatera Utara
hasil yang lebih baik dari perubahan pada perusahaan tersebut Berry, 1998. Hal ini ditemukan senada dengan kutipan dari komunikasi personal berikut :
“Sekarang ini suasana jauh lebih baik, dari karyawan sendiri terlihat berbagai usaha untuk fight dengan situasi, sehingga ya kita ga
terpuruk..” Komunikasi Personal, 17 Desember 2013 Selain itu pada beberapa karyawan PT. X, penurunan tidak hanya diadaptasikan
namun juga dapat meningkatkan iniovasi karyawan, yang ditunjukkan dari pernyataan berikut :
“Memang berbeda dengan jaman kita sebelum turun ya.. Dulu kita gampang aja mau bertindak untuk perawatan, karena perusahaan
pasti setuju. Tapi sekarang memang harus lebih mempertimbangkan kebijakan dan dana, memang lebih sulit untuk bergerak sekarang.
Tapi justru bagaimana kita mengembangkan inovasi ketika perusahaan gak sejaya dulu ini jadi sebuah tantangan yang sayang
kalo harus dibawa susah” Komunikasi Personal, 24 Desember 2013
Rollinson 2005 menyatakan bahwa rasa kurang percaya dan kurang menghargai antarkaryawan maupun karyawan terhadap perusahaan, dapat
berkembang menjadi lingkungan yang menimbulkan distres bagi karyawan. Sementara subjek cukup percaya dengan perusahaan dan teman sejawat di PT. X
yang diakui oleh subjek dari LNG SRU dapat menjadi salah satu faktor pereda stresnya. Hal ini dinyatakan dalam komunikasi personal berikut:
“Masing-masing sudah ada job desk nya, teman-teman Relation Legal pasti menginfokan kalo ada apa-apa, Masalah teknis lapangan
memang mulai berat, tapi kita gak sendiri kan”Komunikasi Personal 18 Oktober, 2013.
Universitas Sumatera Utara
Subjek dari divisi Utilities Marine juga menyatakan bahwa pada dasarnya decline stage sudah diperkirakan, namun terdapat beberapa faktor yang sifatnya sangat
kondisional yang dapat memperberat dan meringankan stres kerja : “Oke penurunan, terus? Kita belajar dari pengalaman sebuah
perusahaan yang dulunya diakusisi. Karyawannya digantung tanpa status, akhirnya ketika akuisisi dilakukan, karyawan gak puas karena
budaya perusahaan yang berbeda. Nah itu menjadi pelajaran untuk kami, karyawan PT. X untuk gak pasrah digantung perusahaan.
Kami sudah mengisi angket mengenai pesangon yang harusnya diberikan di akhir 2014. Kami juga enggak butuh uang itu jatuh
sekarang, at least ada bukti bahwa sesuai tanggal tertentu, uang tersebut masuk ke rekening kami. Sebenernya ini gak mudah, temen-
temen juga sebenernya udah kerasa pada sensitif, iklim politik perusahaan juga udah mengarah ke subjektif. Berat dek. tapi kita
punya kawan kawan kerja yang gak akan kita temukan di kantor manapun di dunia. Kita suka terbuka dan cerita, kita masak indomi
dan kari kambing, kita kerjain sama sama tugas tugas yang bukan tugas kita. Istilahnya sama sama kita grogotin kerjaan itu biar cepat
siap. Nah yang begini, ex-PT. X bilang gak mereka temui di kantor
mereka yag baru” Komunikasi personal, 13 Februari 2014 Kutipan pernyataan di atas juga senada dengan pernyataan yang ada sebelumnya,
bahwa adanya kepastian dan rekan kerja yang baik, serta hubungan harmonis dengan pihak perusahaan dapat mengurangi stres kerja yang dirasakan karyawan PT. X
dalam menghadapi decline stage.
Stres kerja berikutnya adalah stres kerja kategori rendah yakni sebanyak 57 35,4 dari 161 karyawan PT. X yang mengalami decline stage. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa mereka mampu untuk tidak mempersepsikan perubahan tersebut menjadi sebuah hal yang perlu dipermasalahkan Aamodt, 2007. Karyawan mampu
menerima perubahan sebagai salah satu jalan yang harus dihadapinya untuk terus bergerak maju dan optimis akan adanya hasil yang lebih baik dari perubahan pada
perusahaan tersebut Berry, 1998. Stres kerja yang rendah pada beberapa karyawan PT. yang mengalami decline stage ini juga menunjukkan bahwa mereka mampu
untuk tidak mempersepsikan perubahan tersebut menjadi sebuah hal yang perlu dipermasalahkan. Sebaliknya, pada dasarnya perubahan tidak pernah mudah dan
dapat menjadi sumber stres karena perubahan itu memaksa kita untuk menyesuaikan diri Nevid, 2005. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan seorang subjek dari divisi F
A : “Kita sudah tau pasti akan ada penurunan, kita adalah perusahaan
yang stabil, dan kita sudah sediakan dana untuk setiap tindakan. Jadi sebenarnya no worries, hanya saja ya pasti perubahan ini kan
membawa dampak misalnya PHK, nah ini yang perlu di worry. Kepake lagi gak ya saya? begitu. Tapi gaada problem lah, kita
memang harus jalani” Komunikasi Personal, 18 Oktober 2013
Pada stres kerja kategori tinggi, terdapat 26 orang 16,1 dari 161 orang yang mengindikasikan bahwa subjek yakni karyawan PT. X belum bisa menghadapi
keadaan yang telah berubah, dan mempersepsikan keadaan tersebut sebagai ancaman Rice, 1992. Rasa takut atau insecure ini kemudian dapat menyebabkan karyawan
merasa cemas, resisten ataupun marah terhadap perubahan tersebut Aamodt, 2007. Banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya stres kerja, misalnya persaingan di
Universitas Sumatera Utara
kantor dengan relasi dan rekan kerja Rice, 1999. Hal ini senada dengan pendapat salah seorang karyawan dari divisi LNG SRU :
“Kalau mau naik jabatan ya mesti pinter datangin bos. Ini semenjak penurunan, ada saja kebijakan yang mendadak dan kita sendiri
gaktau apa. Kalo mau selamat, ya coba aja manis manis sama atasan. Manatau ada jabatan, teringatlah dia sama kita yang manis
ini. Amanlah kita ngelindasin karir orang dibawah. Semua bisa main
senggol sekarang dek” Komunikasi Personal, 1 Maret 2014 Kutipan pernyataan seorang karyawan di atas juga menunjukkan bahwa karyawan
sendiri masih belum merasa tenang dengan keadaan perusahaan, dimana pekerjaan ini dianggap sebagai salah satu hal yang penting. Hal ini senada dengan Schuller 2002
bahwa stres kerja dapat disebabkan dari kondisi yang menghadapkan individu pada hal yang dihasratkannya, dianggap penting, namun tidak pasti.
Stres kerja pada karyawan PT. X yang mengalami decline stage kemudian dilihat lebih spesifik lagi berdasarkan simtom stres kerja, dimana ketiga simtom stres
kerja yakni simtom prilaku, simtom psikologis dan simtom fisik, ketiganya memiliki mayoritas pengalaman simtom yang sedang dari stres kerja. Pada simtom prilaku,
sebnayak 57,1 mengalami simtom prilaku yang sedang dari stres kerja yang artinya lebih dari sebagian subjek masih terus bertanggung jawab pada tanggung jawab
pekerjaan, merasa puas dengan hasil pengerjaan tugas baik yang dilakukan secara individu maupun dengan tim serta adanya komitmen yang baik dari karyawan kepada
perusahaan maupun kolega. Pengalaman simtom prilaku yang sedang juga mencerminkan bahwa absensi pada karyawan selama decline stage terjadi namun
Universitas Sumatera Utara
jumlahnya minim, penundaan tugas ataupun pekerjaan yang masih dapat ditangani, namun cukup signifikan pada keluhan dari karyawan mengenai perubahan yang
terjadi di perusahaan selama decline stage. Hal ini diperkuat pula dengan hasil komunikasi personal dengan salah seorang staf Relation Legal berikut:
“Keluhan selalu ada di awal perubahan. Namanya pro dan kontra akan selalu terjadi, namun saya selaku HRD sendiri menerima
beberapa keluhan dan syukurnya kemudian kelihan itu memiliki jalan keluar. Karyawan ga sampe membangkang yang merugikan
perusahaan seperti penundaan pekerjaan, malas malasan apalagi gak masuk kerja. Setidaknya kita bantu untuk menyampaikan keluhan
para karyawan, atau kita membantu mereka untuk mengahadapi perubahan. Sejak 2010, keluhan terus berkurang, karyawan lebih
mandiri sekarang” Komunikasi personal, 12 Februari 2014
Simtom betikutnya yang mendukung skor total stres kerja pada karyawan PT. X yang mengalami decline stage adalah simtom psikologis. Sebanyak 47,2 karyawan
mengalami simtom psikologis yang terkategori sedang dari stres kerja yang mereka alami. Paparan stres yang berkepanjangan juga dapat mengurangi reaksi yang
ditimbulkan dari inidividu yang mengalami stres tersebut Sarafino, 2010. Decline stage di PT. X mulai di cetuskan sejak tahun 2010, dengan perubahan dan
ketidakjelasan yang terus dipaparkan pada karyawan, yang kemudian membuat karyawan lebih resisten terhadap stres kerja yang dihasilkan. Skor simtom psikologis
dari stres kerja ini mengindikasikan adanya kemunculan beberapa simton seperti cemas, marah, tertekan, sulit tidur dan merasa diasingkan yang dirasakan karyawan
saat penelitian dilangsungkan, jumlahnya juga cukup signifikan namun masih dapat
Universitas Sumatera Utara
dikendalikan. Asumsi berkurangnya simtom psikologis sebagai bentuk berkurangnya reaksi stres akibat paparan yang berkepanjangan ini ditemukan peneliti dari
komunikasi dengan salah satu karyawan LNG SRU yang telah bekerja selama 16- 20 tahun berikut :
“ Penurunan udah kita rasakan sejak lama, walau kita tau waktunya akan datang, tapi gak bisa kita bohongin kita juga mulai bedegup
kan. Awal-awal itu mulai perampingan karyawan, terus berubah kebijakan, rombak sistem divisi, semuanya ya pasti buat kita streslah.
Mana kalo dibuat kebijakan yang selama ini gak jadi budaya.. Tapi lama lama ya udah bosan sama stres stres ini, jadi ya semakin lama
semakin gak kerasa stresnya. Udah biasa kok. Kalo mau diikutin stres
nya yang ada gila”Komunikasi Personal, 17 Februari 2014
Simtom berikutnya adalah simtom fisik. Sebanyak 66,5 dari karyawan mengalami simtom fisik yang terkategori sedang dari stres kerja yang mereka alami
terkait dengan decline stage di perusahaan tempatnya bernaung. Pada subjek penelitian ini, skor simtom fisik lebih rendah daripada skor simtom fisik stres kerja
pada umumnya dari simtom fisik. Hal ini diasumsikan peneliti sebagai dampak dari simtom psikologis yang juga menurun, sehingga membantu meredanya simtom fisik
yang hadir. Hal ini senada dengan temuan Schulz Hanusa 1978 bahwa ketika seseorang telah mampu mengontrol dan menjaga kesehatan psikologisnya dengan
baik, secara fisik, kesehatannya juga akan lebih baik. Simtom fisik yang terkategori sedang mengindikasikan bahwa nyeri pada ulu hati, sakit kepala dan pengalaman
kesulitan bernafas ketika memikirkan hal-hal terkait decline stage dialami oleh lebih
Universitas Sumatera Utara
dari sebagian karyawan PT. X , namun kehadiran simtom masih dapat ditangani atau karyawan mampu berdaptasi dengan ketidaknyamanan fisik tersebut, pada saat
mereka menghadapi masa decline stage tersebut. Selain melihat stres kerja dari sisi simtom stres kerja yang dialami oleh
karyawan, penelitian ini juga melihat bagaimana gambaran stres kerja pada beberapa faktor demografis yang berpengaruh pada stres kerja yang dialami seseorang. Faktor
demografis tersebut adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, divisi, masa kerja, golongan gaji dan jumlah tanggungan.
Stres kerja pada subjek pada kelompok perempuan atau yang merupakan karyawati di PT. X lebih tinggi dibandingkan stres kerja pada karyawan yang
merupakan subjek pada kelompok laki-laki, walau keduanya terkategori dalam stres kerja sedang. Aamodt 2007 menyatakan bahwa ternyata perempuan lebih banyak
mengalami stres di banding laki-laki, terutama akibat konflik peran pada perempuan yang bekerja, dibandingkan laki-laki. Hal ini senada dengan pernyataan salah seorang
karyawati divisi F A sebagai berikut : “ Saya memang bekerja bukan sebagai mata pencaharian atau tulang
punggung keluarga. Tapi keadaan yang stressful justru semakin membuat saya dan teman-teman bisa lebih stressful. Karena urusan
kami bukan urus pekerjaan aja, tapi juga suami, anak dan rumah. Jadi begitu teman-teman di kantor pada pusing, kita 3 kali lipat lebih
pusing” Komunikasi Personal, 10 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
Hasil komunikasi personal peneliti dengan beberapa karyawati lain juga senada dengan komunikasi personal di atas. Banyak karyawati yang bekerja bukan untuk
menjadi tulang punggung keluarga. Mereka masih memiliki suami yang menanggung kebutuhan rumah tangga. Namun ketika keadaan menjadi cukup stressful bagi para
karyawan, tentu saja ini mempengaruhi karyawati dalam berprilaku. Konflik peran selaku pekerja, teman, ibu dan istri inilah yang kemudian menjadi penyebab lebih
tingginya stres kerja yang dirasakan para karyawati dalam menghadapi decline stage di PT. X tempatnya bekerja.
Faktor demografis berikutnya adalah usia, yang dibagi menjadi 2 kelompok yakni di bawah 50 tahun dan di atas 50 tahun. Pembagian ini didasarkan pada
kebijakan perusahaan mengenai adanya masa pra pensiun MPP pada karyawan di atas 50 tahun. Stres kerja pada subjek atau karyawan di atas 50 tahun lebih tinggi
daripada yang dialami oleh subjek berusia di bawah 50 tahun akibat decline stage di PT. X . Hal ini dapat dapat disebabkan oleh masa kerja yang dimiliki oleh para
karyawan yang berusia di atas 50 tahun yang diperkuat dengan data tambahan dari hasil irisan usia dan masa kerja yang dimiliki karyawan yang juga menunjukkan
bahwa pada karyawan berusia di atas 50 tahun, tidak ada lagi karyawan yang memliki masa kerja di bawah 16 tahun. Artinya, karyawan dengan usia di atas 50 tahun telah
bekerja cukup lama di PT. X, yakni berkisar dari 16 tahun hingga 30 tahun ke atas. Masa kerja ini yang kemudian dapat menimbulkan stres kerja pada karyawan
yang berusia di atas 50 tahun, karena perubahan yang dirasakan karyawan selama
Universitas Sumatera Utara
masa decline stage merupakan salah satu life change event yang menurut Ibarra 2003 perubahan yang terjadi dalam dunia pekerjaan akan menuntut seorang
karyawan untuk mengadaptasikan peran, sikap, nilai dan prilakunya terhadap norma atau aturan baru yang dikehendaki perusahaan dan hal ini tentu tidak mudah. Apalagi
pada karyawan yang telah bekerja dalam jangka waktu yang lama di PT. X, dimana budaya dan aturan perusahaan telah melekat dalam kesehariannya. Selain itu,
menurut Skirbek 2003, produktifitas pekerja akan mengalami penurunan mulai dari usia 50 tahun keatas. Perubahan pada pekerjaan dengan rentang usia ini dapat
menimbulkan stres tersendiri Government of Alberta Human Services, 2007. Faktor lain yang dapat menyebabkan lebih tingginya stres kerja pada
karyawan berusia di atas 50 tahun adalah adanya penurunan kesehatan fisik pada usia yang semakin tua sehingga rentan menjadi pemicu stres Fink, 2007. Kesehatan fisik
yang semakin tua dan rentan menjadi pemicu stres kerja ini kemudian dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam melakukan penyembuhan diri dari stres yang
telah dihadapi rate of recovery. Usia yang semakin tua menyebabkan aspek fisik seseorang semakin melemah dan memperlambat rate of recovery-nya dari stressor
yang dihadapi Sarafino, 2010. Pada irisan usia dan jenis kelamin juga dapat terlihat bahwa baik karyawan
laki-laki maupun perempuan yang berusia di atas 50 tahun memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada karyawan yang berada di bawah usia 50 tahun. Artinya
Universitas Sumatera Utara
secara keseluruhan, karyawan berusia di atas 50 tahun mengalami stres kerja yang lebih tinggi akibat decline stage di PT. X, baik laki-laki maupun perempuan.
Faktor demografis berikutnya adalah tingkat pendidikan karyawan. Stres kerja yang dialami oleh karyawan mulai dari tingkat pendidikan SMA hingga S2 sangat
beragam dan tidak menunjukkan urutan stres kerja yang berbanding lurus maupun terbalik dengan urutan tingkat pendidikan. Hal ini senada dengan temuan Mobley
1982 bahwa stres kerja tidak begitu berhubungan dengan tingkat pendidikan, tetapi lebih kepada kualitas pengalaman akan pendidikan itu sendiri. Temuan Mobley
1982 juga ditemukan senada dengan pernyataan dari salah satu karyawan dengan pendidikan terakhir SMA dan S1 berikut :
“ Saya sudah kerja hampir 30 tahun, saya punya banyak informasi mengenai LNG processing disbanding anak S1 jaman sekarang.
Masalahnya adalah teknik itu pekerjaan lapangan, bukan cuma
teori.” Komunikasi Personal, 13 Februari 2014 “ Saya rasa disini mau pendidikan apapun udah ga takut lagi sama
dampak penurunan.. Karena orang mengakui kompetensi karyawan PT. X ini dek. Atau ya kalo saya stres, temen temen D3, SMK atau S2
juga punya potensi yang sama karena tingkat pendidikan juga kayaknya gak begitu berpengaruh di pembagian pekerjaan dan kami
semua kan sama sama kena dampak yang sama dari penurunan ini dek. Sehingga kalo tadi kita bicara tentang tingkat pendidikan dan
dampak penurunan, saya rasa hampir tidak ada..
” Komunikasi Personal, 1 Maret 2014
Pada faktor demografis berikutnya yakni divisi pekerjaan, hampir semua divisi mengalami stres kerja kategori rendah dan sedang, terkait decline stage di PT. X.
Namun pada divisi FSHE Security yang skor stres kerjanya cukup tinggi, skor stres
Universitas Sumatera Utara
kerja yang diperoleh memang masih terkategori sedang, namun sudah sangat mendekati skor stres kerja untuk kategori tinggi. Hal ini dijelaskan oleh salah seorang
karyawan PT. X berikut : “FSHE Security adalah divisi bagian safety, ya FSHE itu isinya
fireman, security isinya ya sekuriti. Kalo stres kerjanya paling tinggi, malah menurut saya sangat mungkin. Semenjak penurunan ini
berlangsung, banyak sekali asset kita yang diincar pihak luar, bahkan dicuri atau dirusak. Sementara aset kita tidak ada yang
murah, jadi memang mereka punya tanggung jawab berat yang yah ini gak kita duga bahkan pencurian atau perusakan bakal kejadian.
Kalo divisi lain, bagaimanapun kita punya gambaran” Komunikasi Personal, 16 Maret 2014
Sementara secara umum pada divisi lain, seperti yang telah disampaikan pada komunikasi personal di atas bahwa masing-masing divisi sudah mendapat gambaran
mengenai hal-hal yang akan terjadi selama masa penurunan. Namun demikian, hal yang telah diperkirakan pun ternyata tetap membawa stres kerja tersendiri. Hal ini
berbanding lurus dengan pernyataan dari salah seorang karyawati berikut : “Kan ceritanya kita tau nih ke depan bakal dihadapkan sama situasi
seperti apa.. Tapi tetep aja kalo dilakoni mah bikin pusing. Kata orang kan gak semulus kata kita yang di
dalam” Komunikasi Personal, 1 Maret 2014
Hal yang menarik, pada stres kerja yang dilihat dari irisan usia dan divisi pekerjaan, hampir semua karyawan berusia di bawah 50 tahun dari berbagai divisi
mengalami stres kerja yang terkategori rendah dan sedang dalam menghadapi decline stage di PT. X. Namun karyawan berusia di atas 50 tahun pada VP Secretary
Maintainance dan VP Secretary General, divisi F A, Internal Audit, T E. S., serta FSHE Security mengalami stres kerja yang terkategori tinggi terkait decline
Universitas Sumatera Utara
stage di PT. X. Hanya ada 1 divisi yang mengakami stres kerja rendah yakni CMBD. Artinya pada kesembilan divisi pekerjaan yang ada, usia termasuk hal penting yang
mempengaruhi skor kerja mereka secara keseluruhan dalam menghadapi decline stage di PT. X.
Stres kerja dilihat dari masa kerja juga berkisar pada kategori sedang dan rendah. Stres kerja tertinggi berdasarkan masa kerja dialami oleh subjek atau
karyawan yang telah bekerja selama lebih dari 30 tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh loyalnya karyawan dengan masa kerja yang lebih dari separuh hidupnya pada
PT. X. Hawkins 2007 menyatakan bahwa semakin loyal seseorang terhadap sebuah
perusahaan atau brand, maka semakin kuat pula ikatan emosional yang dihasilkan. Jika kita posisikan pada karyawan PT. X yang telah bekerja dalam jangka waktu yang
lama maka pernyataan Hawkins ini senada dengan hasil temuan lapangan. Pada faktor golongan gaji, mayoritas karyawan mengalami stres kerja sedang
terkait decline stage di PT. X. Hanya golongan gaji 14 yakni golongan gaji tertinggi yang mengalami stres kerja yang rendah. Sebelumnya peneliti memiliki asumsi awal
bahwa semakin rendah golongan gaji maka semakin tinggi stres kerja yang dihasilkan, karena golongan gaji menentukan posisi karyawan di dalam perusahaan.
Semakin rendah golongan maka semakin besar kemungkinannya untuk mengalami PHK kapan saja, sementara keadaan terus berubah dan ketidakpastian terus melanda.
Stres kerja rentan terjadi pada keadaan seperti ini, dimana seseorang dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan
Universitas Sumatera Utara
olehnya, hasilnya dipandang penting namun tidak pasti dalam pekerjaannya Schuller, 2002.
Hasil penelitian tambahan kemudian menjawab asumsi peneliti yang awalnya sudah dianggap tidak berlaku pada hasil temuan lapangan mengenai golongan gaji.
Ketika dilakukan pengirisan data stres kerja antara masa kerja dan golongan, maka terlihat bahwa pada golongan gaji 5 dan 6, seluruh subjek atau karyawan telah
bekerja di PT. X selama kurang dari 10 tahun. Artinya masa kerja yang ditempuh juga belum lama, jika dibandingkan dengan karyawan lainnya yang telah bekerja
diatas 16 tahun. Selain itu, peneliti menemukan bahwa usia karyawan pada golongan 5 dan 6 juga relatif sangat muda yakni dibawah 35 tahun dapat dilihat pada
lampiran. Usia yang muda memungkinkan karyawan pada golongan tersebut untuk mendapatkan pekerjaan lain dan menjadikan pengalaman kerja di PT. X sebagai batu
loncatan. Hal ini dinyatakan oleh salah seorang karyawan divisi Utilities Marine yang berusia di atas 50 tahun :
“ Karyawan muda ini apa takot takot, keluar dari sini, pigi daftar ke Qatar. Lulus itu apalagi ada surat dari PT. X ini. Mereka kan dikasi
surat nanti, pokoknya gapapa kali lah itu. Kami yang tua tua ini lah
yang mau kemana hehehe” Komunikasi Personal, 1 Maret 2014
Stres kerja berdasarkan irisan masa kerja juga berbanding lurus dengan stres kerja yang hanya dilihat dari masa kerja saja, ataupun golongan saja. Skor stres kerja
pada masa kerja dan golongan gaji tidak berbanding lurus maupun berbandin terbalik
Universitas Sumatera Utara
dengan skor stres kerja yang dihasilkan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak senada dengan pernyataan Sarafino 2010 bahwa semakin tinggi tanggung jawab
seseorang terhadap orang lain, maka semakin tinggi pula stres kerja yang akan di hasilkan, dalam hal ini golongan gaji menentukan posisi, semakin tinggi angka
golongan gaji maka semakin berat pula tanggung jawab yang dipikul terhadap kehidupan orang lain terkait decline stage di PT. X.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN