Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 34
4.1.2. Catchment Area
Kelompok hutan ini pada dasarnya masuk dalam tipe hutan lindung seperti yang tertera dalam SK Menteri Kehutanan Nomor: 955Kpts-II1992, namun istilah
cacthment area lebih populer di masyarakat. Kawasan cacthment area memiliki luas 37.000 yang kawasannya berupa lahan milik Negara dan sebagian berupa lahan milik
masyarakat. Wilayah cacthment area meliputi 5 DAS yaitu DAS Jago, Ekang-Anculai, Bintan, Kangboi dan Kawal.
Fungsi dari kawasan ini sama seperti fungsi hutan lindung untuk kepentingan tata air bagi masyarakat kota Tanjung Pinang dan Bintan. Sebagai wilayah tangkapan
air hujan semestinya kawasan ini memiliki penutupan kawasan yang baik agar fungsinya untuk menampung dan menahan aliran air dapat berfungsi dengan baik.
Kepulauan Riau memiliki wilayah daratan hanya 5 dari luas wilayah dan wilayahnya berupa pulau-pulau kecil sehingga pemenuhan kebutuhan air menjadi prioritas untuk
diperhatikan dalam rangka penataan wilayah. Perubahan yang kecil dapat menyebabkan timbulnya dampak yang besar. Namun kenyataannya cacthment area
mendapat tekanan yang besar dalam beberapa bentuk, antara lain: a. Areal
yang dijadikan
cacthment area berupa hutan sekunder yang didominasi oleh kebun karet rakyat, kebun rakyat. Kebun karet dan kebun rakyat dalam peta hasil
olahan citra satelit Lampiran 1 termasuk dalam tipe penutupan hutan dataran rendah.
b. Dalam kawasan akan dibangun ibukota Kabupaten Bintan sehingga konversi lahan akan semakin tinggi seiiring pertumbuhan ibukota kabupaten ke depan.
c. Terdapat permukiman penduduk yang sudah lama menetap sebelum kawasan ditetapkan menjadi cacthment area. Sebagian telah mendapatkan ganti rugi oleh
alih kepemilikan lahan, namun sebagian masyarakat belum mendapat ganti rugi. d. Akses yang tinggi dalam kawasan berupa jalan aspal sehingga mendorong tinggi
gangguan berupa illegal logging, dan pemukiman liar. e. Pemanfaatan lahan untuk menara telkomsel yang tidak melalui proses perjinan
pinjam pakai kawasan hutan.
4.1.3. Hutan Mangrove
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi kepulautan Riau tahun 2002 luas total hutan mangrove 32.700 ha. Dari jumlah tersebut Pulau Bintan
memiliki hutan mangrove seluas 16.998 ha atau 52 dari total luas hutan mangrove di
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 35
Propinsi Kepulauan Riau. Hutan mangrove tersebut tersebar di dua kecamatan yaitu kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Bintan Utara yang terdiri dari 16 kelompok.
Letak hutan mangrove tersebut, sebagian masuk kawasan catchment area sebagian lainnya terletak di luarnya.
Tabel 4.2. Distribusi dan luas hutan mangrove di Pulau Bintan
No Unit Hutan Mangrove
Luas ha Kecamatan
1. Tanjung Uban
1.845 Bintan Utara
2. Tanjung Siambang
936 Bintan Utara
3. Teluk Sumpat
1.218 Bintan Utara
4. Busung 1.020
Bintan Utara
5. Ekang Anculai
2.520 Bintan Utara
6. Sungai Gesek
1.780 Bintan Timur
7. Tanjung Tangkap
760 Bintan Timur
8. Pulau Dompak
520 Bintan Timur
9. Sungai Dompak
1.140 Bintan Timur
10. Pulau Buton
300 Bintan Timur
11. Kijang 1.888
Bintan Timur
12. Pulau Angkut
143 Bintan Timur
13. Pulau Kelong
720 Bintan Timur
14. Pulau Koyan
683 Bintan Timur
15. Air PalongP.Mantang
927 Bintan Timur
16. Tanjung Paku
598 Bintan Timur
Luas Total Ha 16.998
Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan dapat dibagi dalam dua karakter berdasarkan loksi dan formasi vegetasinya, yaitu; mangrove pantai yang berbatasan
langsung dengan laut, dan mangrove air payau di daerah muara sungai. Formasi vegetasi mangrove di Pulau Bintan dari laut ke darat terdiri atas Rhizophora,
Sonneratia, Bruguiera, dan Xylocarpus Gambar 4.9.
Rhizophora dominan pada daerah depan diselingi oleh beberapa jenis Sonneratia. Kondisi tanah berpasir di daerah pantai merupakan faktor penyebab
terjadinya kombinasi dua jenis vegetasi tersebut. Sementara itu, di daerah muara sungai memiliki keadaan tanah yang sedikit pasir dan bibir pantai yang relatif lebih
curam. Formasi vegetasi dari sungai ke arah darat sama dengan daerah pantai, tetapi di daerah muara sungai Sonneratia baru dijumpai pada jarak 15 m hingga 20 m ke
daratan. Kemudian baru diikuti Xylocarpus dan Bruguiera serta beberapa vegetasi daratan Gambar 4.10.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 36
Gambar 4.9. Sketsa formasi vegetasi mangrove daerah pantai di Pulau Bintan
Gambar 4.10. Formasi vegetasi mangrove daerah muara sungai di Pulau Bintan Hutan mangrove dicirikan dengan vegetasi yang memiliki perakaran dan
cabang-cabang bagian bawah yang terendam air asin sedalam 0,5–1 meter. Sistem perakaran yang khas untuk pertukaran gas diatas tanah yang tergenang air dan
kekurangan oksigen, dikenal sebagai pneumatophora Mann, 1982 dalam Whitten et al., 1987. Masing-masing spesies memiliki karakter batang yang spesifik untuk habitat
yang dipengaruhi pasang surut, seperti akar nafas, akar lutut, akar tunjang, akar sauh yang tinggi atau akar kabel yang mendatar di permukaan tanah Richard,1984;
Vallejo, 1989.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 37
Hutan mangrove di Pulau Bintan memiliki potensi yang besar sebagai sumber perekonomian masyarakat dalam hal pemanfaatan kayu dan pengembangan
perikanan. Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang atau dapur arang telah lama berkembang dan diusahakan oleh masyarakat dan terus meningkat. Ijin
pengusahaan panglong arang tahun 2004 berjumlah 10 ijin pengusahaan panglong arang dengan target produksi 4.980 m
3
, tahun 2005 ada 11 ijin dengan target produksi 6180 m
3
, dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 20 ijin pengusahaan arang dan target produksi lebih dari 6380 m
3
. Luas yang terbatas dengan target produksi yang tinggi akan menyebabkan laju kerusakan mangrove yang cepat.
Industri arang ini mempunyai nilai strategis yang cukup tinggi. Jika dapat dikelola secara berkelanjutan maka panglong arang merupakan industri ramah
lingkungan yang patut dijaga dan ditingkatkan kualitas pengelolaannya. Dari industri ini dipungut berbagai pungutan resmi dari pemerintah. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 859Kpts-II1999 tentang Provisi Sumber Daya Hutan PSDH Per Satuan Hasil Hutan Bukan Kayu sebesar, Panglong arang dipungut biaya sebesar
Rp. 32.000, per ton arang yang dihasilkan. Panglong arang juga menggunakan kayu sebagai bahan bakar sehingga dikenai provinsi sebesar Rp. 1.500 per SM staple
meter kayu bakar yang digunakan. Selain itu, pihak Pemerintah Daerah juga akan memberlakukan sebuah perda tentang restribusi hasil hutan sebesar Rp. 100.000 per
ton arang dan Rp. 16.500 per SM kayu bakar. Kegiatan tambak dengan membuka hutan mangrove belum banyak dilakukan
di Kabupatan Bintan. Pada umumnya masyarakat lebih sering menggunakan keramba dalam melakukan budidaya ikan. Meskipun demikian, aktivitas pembukaan hutan
mangrove untuk dijadikan lokasi tambak sudah mulai dilakukan. Hal ini terlihat di kawasan Sungai Tiram, desa Penaga, Teluk bintan. Kegiatan pembalakan juga terjadi
di kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan. Pembalakan ini terjadi dengan cara masyarakat membagi kawasan mangrove menjadi tanah kapling. Tanah tersebut
kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan maupun kawasan pemukiman. Alih fungsi kawasan mangrove menjadi kawasan perkebunan pisang dan
nanas dapat ditemukan di Sungai Tiram, sedangkan alih fungsi kawasan mangrove menjadi kawasan pemukinan dapat ditemukan di Selat Bintan.
Permasalahan lain yang terdapat di kawasan mangrove berupa pemanfaatan untuk kegiatan tambang bauksit. Aktivitas tambang bouksit untuk pengolahan,
penampungan limbah tailing, aktivitas pengangkutan turut andil terjadi kerusakan mangrove. Kegiatan tambang di Kabupaten Bintan secara umum merugikan kawasan
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 38
hutan mangrove. Kawasan tambang yang memiliki lokasi di atas kawasan hutan mangrove memberikan dampak negatif dengan pencemaran air yang dipergunakan
untuk proses tailing. Akibat pencemaran tersebut, hutan mangrove yang berada di sekitar lokasi tailing menjadi layu, kering dan kemudian mati. Hal ini seperti yang
terjadi di kawasan tambang Teluk Bintan. Gambar 4.13 menunjukkan kerusakan hutan mangrove akibat aktivitas pertambangan khusunya tailing.
a b
Gambar 4.11. Tanaman mangrove; a. Rhizophora; b. Sonneratia
Gambar 4.12. Foto pembukaan hutan mangrove untuk lokasi tambak di Sungai Tiram, P. Bintan
Gambar 4.13. Vegetasi mangrove yang kering di lokasi tailing
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 39
Selain itu penimbunan kawasan mangrove untuk lokasi pengangkutan bahan hasil tambang juga sangat merugikan karena merusak hutan mangrove dan
mengakibatkan hutan mangrove yang juga digunakan sebagai habitat satwa liar menjadi terfragmentasi. Habitat yang terganggu kan menyebabkan adanya reduksi
populasi terhadap satwa liar terutama mamalia besar yang membutuhkan daerah jelajah yang luas, untuk kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan adalah jenis
primata. Terjadinya fragmentasi juga menjadi pemicu adanya kegiatan perburuan terhadap satwa liar karena akses menjadi lebih mudah. Hal ini terbukti di daerah
Tanjung Mamboi, pegawai tambang biasa beberburu satwa liar untuk dimakan.
Gambar 4.14. Foto kegiatan penimbunan mangrove di kawasan mangrove Desa Kelong
Gambar 4.15. Foto pemanfaatan kawasan mangrove sebagai tempat pengolahan bouksit dan penampungan limbah tailing
Kegiatan reklamasi terhadap area bekas tambang juga dilakukan. Usaha ini terlihat dengan adanya pembuatan lokasi persemaian oleh salah satu perusahaan
tambang. Vegetasi yang digunakan untuk reklamasi tersebut adalah mahoni Swetenia mahagoni. Namun usaha ini banyak mengalami kegagalan karena
minimnya data mengenai kesesuaian lahan terhadap tanaman yang akan ditanam.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 40
Meskipun demikian tidak semua aktivitas pengolahan bauksit merusak mangrove dalam jumlah luas. Pengolahan limbah di Gunung Siung menjadi contoh
yang baik dengan membuat 6 sampai 7 kolam pengolahan limbah tailing dan selanjutnya air limbah tersebut dipakai lagi dalam proses pengolahan pemisahan biji
bouksit. Sistem daur ulang limbah ini dapat memperkecil resiko kerusakan mangrove dalam jumlah yang luas, seperti tertera pada gambar di bawah ini.
4.2.
Kabupaten Lingga
Kabupaten Lingga meliputi tiga pulau utama yaitu Pulau Lingga, Pulau Singkep dan Pulau Senayang. Pulau Lingga secara administratif dibagi dalam dua kecamatan
yaitu Kecamatan Lingga dan Kecamatan Lingga Utara, Pulau Singkep dibagi menjadi Kecamatan Singkep dan Kecamatan Singkep Barat, sedangkan Pulau Senayang
hanya masuk dalam Kecamatan Senayang. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang RUTR Kabupaten Lingga tahun
2005-2015, kawasan hutan di Kabupaten Lingga mempunyai total luasan sebesar 69.266,93 ha atau 32,66 dari seluruh tipe penggunaan lahan di kabupaten ini.
Kawasan hutan menempati posisi kedua setelah tipe penggunaan lahan lainnya sebesar 111.925,00 52.78. Tabel 4.3. menunjukkan tipe penggunaan lahan, luas
dan proporsi antar tipe penggunaan lahan di kabupaten Lingga berdasarkan RUTR kabupaten Lingga tahun 2005-2015.
Tabel 4.3. Tipe penggunaan lahan, luas dan proporsi antar tipe penggunaan lahan di kabupaten Lingga
No Jenis
Luas Ha Prosentase
1. Hutan 69.266,93
32,81 2. Perkebunan
23.880,00 11,31
3. Pertanian 750,75
0.36 4. Pertambangan
1.084,86 0.51
5. Industri 139,00
0,06 6. Pemukiman
4.066,50 1,92
7. Lain-lain 111.925,00
53,02 TOTAL
211113.04 100,00
Sumber: RUTR 2005-2015 kabupaten Lingga Dari total luasan hutan yang ini dibagi menjadi tiga tipe kawasan hutan yaitu
kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mangrove. Berdasarkan sumber data yang sama, ketiga kawasan ini menunjukkan bahwa
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 41
kawasan hutan lindung memiliki luasan terbesar 37.505 Ha diikuti dengan kawasan hutan produksi 28.328,93 Ha dan kawasan hutan Mangrove 2.435. Proporsi ketiga
tipe kawasan hutan ini disajikan dalam Gambar 4.16.
Gambar 4.16. Grafik proporsi kawasan hutan Lindung, hutan Produksi dan hutan Mangrove di Kabupaten Lingga.
Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015
Gambar 4.17. Distribusi tiap tipe hutan lindung di Pulau Lingga Kabupaten Lingga
Hutan Lindung 55
Hutan Produksi 41
Hutan Mangrove 4
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga