3. Mengelola krisis sumberdaya
Secara global, timbulnya berbagai krisis lingkungan selalu melahirkan diskursus baru yang mengikutinya.
Diskursus dalam kebijakan pengelolaan krisis sumber daya hutan yang muncul belakangan, misalnya, melahirkan tiga
wacana utama, yaitu tentang bagaimana melindungi keanekaragaman
hayati biodiversity,
bagaimana menciptakan
pembangunan berkelanjutan
sustainable development dan bagaimana merumuskan tata kelola yang
baik governance Arts Buizer, 2009:344.
Tabel 2. Diskursus kebijakan pengelolaan hutan
Keanekaragaman hayati Pembangunan
berkelanjutan Tata kelola
-1986, National Forum on Biodiversity,
Woshington DC -1984, IUCN
-1992, UNCED Rio de Jeneiro
-Populer pada 1980- 1990an
-1980, World Conservation Strategy
WCS of IUCN, UNEP, WWF
-1992, UNCED Rio de Jeneiro
Populer pada tahun 2000-an, sebagai
jawaban baru atas kegagalan negara,
liberalisasi pasar, internasionalisasi,
desentralisasi dan individualisasi,
pradigma lama top- down.
Wacana : tidak hanya
keanekaragaman spesies, tetapi juga
keanekaragam-an genetik dan habitat
hutan hujan tropis. Kerangka: krisis hutan.
Wacana : Manajemen Hutan
Berkelanjutan Sustainable Forest
ManagementSFM
7
, win-win-options,
keseimbangan kebutuhan manusia dan
kapasitas produksi hutan, ekonomi dan
ekologi, penggunaan sumber daya hutan dan
konservasi keanekaragaman hayati.
Wacana : Perpindahan dari
pemerintahan ke tata kelola atau tata
kelola tanpa pemerintahan
kemitraan publik- privat, kovenan,
skema perdagangan emisi, dan program
sertifikasi.
Sumber : Arts Buizer, 2009:344.
Pada era sekarang, tantangan pengelolaan hutan diwarnai dengan munculnya diskursus governance atau tata
kelola. Meskipun diskursus tata kelola pada mulanya merupakan diskursus ekonomi politik pengelolaan negara, namun diskursus
ini mampu juga merasuki cara-cara pengelolaan hutan. Diskursus tata kelola yang lebih menekankan pada partisipasi para pihak
swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah memunculkan konsep-konsep baru dalam pengelolaan
hutan seperti PHBM
8
, HKm
9
, Hutan Desa
10
, HTR
11
, dan lain-lain.
7
SFM atau manajemen hutan lestari merupakan konsep pengelolaan hutan yang menjalankan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis hutan dengan pelibatan
masyarakat secara aktif didalamnya.
8
PHBM atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara
Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif LPF project
9
HKm atau Hutan Kemasyarakatan merupakan salah satu program kementrian kehutanan untuk membuka akses masyarakat dalam pengelolaan hutan,
pengentasan kemiskinan dan mengatasi laju kerusakan hutan. Beberapa landasan kebijakan pelaksanaan HKM ini antara lain Kepmenhut nomor
622Kpts-II1995, Kepmenhutbun
nomor 677Kpts-II1998
Jo. Nomor
Sekalipun ada beberapa best practices dari program-program ini
12
, akan tetapi efektivitas di tingkat tapak, implementasi konsep ini belum membuahkan hasil yang ideal.
Contoh kasus adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM yang dilakukan oleh Perhutani. Secara
substansi, program ini telah cukup mengakomodasi berbagai kritik terhadap kegagalan pengelolaan hutan. Setidaknya ada 10
sepuluh prinsip yang melandasi program PHBM ini, yaitu: 1 keadilan dan demokratis, 2 keterbukaan dan kebersamaan, 3
pembelajaran bersama dan saling memahami, 4 kejelasan hak dan kewajiban, 5 pemberdayaan ekonomi kerakyatan, 6
kerjasama kelembagaan, 7 perencanaan partisipatif, 8 kesederhanaan sistem dan prosedur, 9 perusahaan sebagai
fasilitator, 10 kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah
Setiahadi, 2011:61.
Akan tetapi
dalam implementasinya, berbagai kajian dan penelitian menunjukkan
bahwa Perhutani masih “setengah hati” dalam melaksanakan program PHBM. Masyarakat masih dianggap sebagai obyek
sehingga belum terlihat implementasi kemitraan dalam program ini. Aspirasi masyarakat belum sepenuhnya menjadi dasar
penyusunan kebijakan program sehingga belum mampu menjadi solusi bagi permasalahan sosial yang ada. Masalah dasarnya
adalah masih ada kesenjangan persepsi antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH
13
dan Perhutani terkait
865Menhut-II1999, Kepmenhutbun nomor 31Kpts-II2001 dan Permenhut nomor P.37Menhut-II2007 Pangaribuan, 2010
10
Hutan Desa merupakan hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa UU no 411999. Dalam PP no 6 tahun 2007,
hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa santosa, 2008:11
11
HTR atau Hutan Tanaman Rakyat merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan PP No 6 tahun 2007, Bab 1,
pasal 1 ayat 17
12
Membangun Kelembagaan, Menjaga Kelestarian, Menuju Kesejahteraan: Kisah-Kisah Sukses Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Bengkulu, Lampung,
Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. 2009. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kemitraan Partnership.
13
LMDH atau Lembaga Masyarakat Desa Hutan adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada didalam atau disekitar hutan untuk
perencanaan, wilayah kelola, pengaturan waktu dan ruang kelola yang menyebabkan implementasi PHBM belum sesuai dengan
10 prinsip diatas Setiahadi, 2011:61-64.Minimnya pemahaman ide partisipasi sebagai inti konsep governance di tingkat para
pihak serta kontestasi
14
kepentingan ekonomi menjadi batu hambatan implementasi konsep ini. Pada mulanya, diskursus
governance dan forestgovernance muncul sebagai jawaban berbagai permasalahan dan konflik pengelolaan hutan termasuk
aspek agraria. Banyaknya kasus-kasus konflik agraria pada kawasan hutan seharusnya menjadi momen bagi pemerintah
dalam menerapkan kebijakan pengelolaan hutan partisipatif yang lebih mengedepankan kepentingan kesejahteraan rakyat diatas
kepentingan yang lain.
Kawasan dengan ekosistem dan keragaman sosial budaya yang pluralistik seperti di Indonesia ini tentu saja tidak
dapat dikelola dengan satu cara tunggal. Konflik-konflik yang terjadi akibat krisis sumberdaya – baik terkait penguasaan,
pemilikan maupun pengelolaan – ini juga tidak dapat didekati dengan satu pendekatan saja. Setiap titik keragaman dan konflik
yang mengiringinya memerlukan pendekatan spesifik yang mungkin berbeda satu sama lain. Beragam alternatif pengelolaan
krisis yang dirumuskan dan diterapkan tersebut setidaknya harus dibangun
berdasarkan beberapa
aspek-aspek universal
Kartodihardjo, 2008:22-23 antara lain : 1 alternatif tidak dibuat di “ruang hampa”, artinya tidak mengada-ada, melainkan
dikonstruksi dari bawah berdasarkan realitas yang ada, 2 alternatif harus holistik dan memperhatikan prinsip kehati-hatian
serta antisipatif terhadap berbagai perubahan, 3 alternatif harus mampu menyeimbangkan manfaat dan resiko dapat ditanggung
bersama secara adil, 4 alternatif mampu menjembatani dikotomi antara konservasi dan produksi dan 5 alternatif mampu
mencegah konflik baru dan mengatasi konflik lama.
mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya Awang, dkk. 2008:13
14
Kontestasi merupakan “the action or process of disputing or arguing” yang berarti persengketaanperdebatanpertentangan.
4. Diskursus ekonomi hijau