4. Diskursus ekonomi hijau
Pada dekade 1970-an dan 1980-an berbagai krisis yang ada telah memunculkan kesadaran bersama bahwa persoalan
krisis lingkungan ini harus diatasi bersama-sama. Sebagai contoh, pada tahun 1970-an, publik menaruh perhatian pada
persoalan krisis sumber daya, satu dekade kemudian perubahan keseimbangan lingkungan yang menjadi kesadaran populer,
khususnya pemanasan global dan menipisnya lapisan ozon. Akibat kelemahan dari skema pembangunan konvensional yang
hanya mengacu kepada Pertumbuhan ekonomi Growth economy maka pada tahun 1972 ditawarkanlah suatu konsep
baru
yaitu Pembangunan
berkelanjutan Sustainable
development. Konsep ini lahir dari para ahli ekonomi dan lingkungan hidup tingkat dunia atau yang biasa disebut Komisi
Brundtland. Intisari dari pembangunan berkelanjutan ini adalah
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Sampai
akhirnya muncul konsep Ekonomi hijau Green economy pada tahun 2012 yang merupakan penyempurnaan dari KTT Bumi
tahun 1992 dan KTT Rio+10 pada tahun 2002 serta merupakan re-branding dari pembangunan berkelanjutan Sustainable
development. Kesadaran ini kemudian melahirkan dua reaksi yang berbeda, yaitu environmental responses dan green
responses.
Pendekatan lingkungan
cenderung untuk
menyelesaikan krisis dengan cara linier dan konvensional, misalnya pemanasan global harus diatasi dengan mengurangi
gas rumah kaca, teknologi yang menghasilkan polusi diganti dengan yang minim polusi, dan seterusnya. Sementara itu,
pendekatan ekologi atau “green”, mencoba menyelesaikan krisis dengan pendekatan yang radikal dan fundamental, yaitu dengan
merubah tatanan sosial, ekonomi dan politik yang telah menyebabkan lingkungan menjadi rusak.
Oleh karena itu, Ife 2002 dengan mantap memasukkan perpektif ekologi ini dalam strategi pengembangan masyarakat
karena secara mendasar selaras dengan kebutuhan masyarakat yang sebagian besar menghadapi persoalan struktural sosial,
ekonomi, dan politik yang tidak adil, baik bagi manusia maupun lingkungan itu sendiri. Konsep ekologi green ecological
perspective memang
memberikan alternatif
pendekatan penyelesaian krisis lingkungan yang radikal dan mendasar. Akan
tetapi, seringkali isu-isu ekologis ini tidak mampu menangkap atau mengontrol secara sempurna isu-isu lain yang terkait
dengan konsep dasar dari pemberdayaan masyarakat, seperti keadilan sosial, penindasan struktural, hak asasi manusia, dan
wacana tentang kekuasaan. Sebagai contoh, ketika perhatian dari rezim yang berkuasa tidak cocok dan selaras dengan
agenda politik hijau, maka hal itu justru akan memberikan implikasi yang tidak baik terhadap agenda perubahan lingkungan.
Oleh karena itu, pendekatan ekologi harus dikombinasikan dengan konsep keadilan sosial yang mampu membedah isu-isu
tentang ketimpangan sosial global dengan pendekatan kemiskinankeadaan merugi disadvantage, pemberdayaan
empowerment, kebutuhan need dan hak asasi right.
Dalam makalahnya pada saat peluncuran Buku “Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau” di Gedung
Bappenas bersama LIPI dan Kemenristek 7213, Prof. Emil Salim
menggarisbawahi perlunya
perubahan paradigma
pembangunan dari single track economy menjadi triple track economy, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar
pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan dari aspek sosial dan lingkungan ekologi Prasetyo et al., 2012:12.
Senada dengan Prof. Emil Salim, Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Bappenas dalam kata pengantar
buku Ekonomi Hijau mengatakan bahwa ekonomi hijau merupakan keniscayaan bagi negara-negara di dunia. Indonesia,
sebagai negara yang kaya akan bioresources, harus ikut ambil bagian karena beberapa alasan utama, yaitu pertama, ekonomi
indonesia sangat menggantungkan diri pada pengelolaan sumber daya alam sehingga Indonesia sangat berkepentingan terhadap
keberlanjutannya. Kedua, dengan menerapkan ekonomi hijau selain Indonesia akan menjadi pelopor di tingkat global, ekonomi
Indonesia akan mengarah kepada ekonomi yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya yang terbatas dan akan lebih
berkelanjutan. Ketiga, penerapan ekonomi hijau akan lebih mempercepat usaha memperbaiki krisis lingkungan hidup
Djajadiningrat, 2011:ix.
Pada hakikatnya, ekonomi hijau merupakan suatu paradigma pembangunan yang didasarkan kepada efisiensi
pemanfaatan sumber daya resources efficiency, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan sustainable consumption and
production pattern, serta internalisasi biaya-biaya lingkungan dan sosial internalization the externalities. Paradigma Ekonomi
Hijau di Indonesia sebenarnya telah dicanangkan oleh Presiden Indonesia yang menitiberatkan kepada Pro Growth, Pro Job and
Pro Poor serta Pro Green Economy. Paradigma ini lahir tidak semata-mata karena adanya pertemuan antar kepala negara
melalui forum internasional ataupun sejenisnya akan tetapi didasari pada berbagai dampak yang muncul terhadap
lingkungan akibat berbagai aktivitas manusia. Sistem manufaktur yang muncul ketika revolusi industri memandang bahwa
sumberdaya alam dipandang sebagai suatu hal yang tidak ada habisnya dan alam dipandang sebagai sesuatu yang mudah di
untuk dijinakkan. Akibatnya, proses produksi terus dilakukan dengan cara mengekstrak dan mengeksploitasi sumber daya
alam untuk memaksimalkan keuntungan semata. Pada gilirannya hal ini berakibat pada kerusakan lingkungan yang mulai
dirasakan sekarang.
Implementasi nyata mengenai Green economy ini adalah dengan lahirnya produk baru bernama REDD+ Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation dimana REDD+ berperan sebagai kompensasi untuk perlindungan hutan
atas emisi karbon yang diberikan oleh negara maju ke hutan belantara Indonesia. Melalui konsep REDD+ ini, negara
berkembang yang memiliki hutan tropis dimungkinkan untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari negara industri maju,
misalnya antara kerjasama Indonesia dengan Norwegia senilai US 1 milyar yang telah ditandatangani pada bulan Mei 2010,
maupun kemungkinan kerjasama serupa dengan negara industri maju lainnya, seperti: Kanada, AS, Jerman, Inggris dan Australia.
Fokus utama ekonomi hijau terletak pada kebutuhan manusia dan lingkungannya dimana ekonomi hijau bukan sekedar
permasalahan lingkungan saja. Seyogyanya, multistakeholders harus terus bergerak untuk mengharmonisasikan kegiatan
dengan sistem alam sehingga membuat ekonomi mengalir secara alamiah. Proses pengembangan ekonomi hijau bukan
sekedar mengkonversi energi dan mengurangi emisi karbon, tetapi mempunyai cakupan yang lebih luas dimana pengefektifan
penggunaan sumber daya, memperluas permintaan pasar dan menciptakan lapangan pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan
utama Ekonomi hijau.
5. Penutup