wilayah kota dan 0,4 persen lahan pertanian Disgupta, 2007 dalam Satria, 2009:59.
Kenaikan permukaan ini juga akan merusak ekosistem mangrove. Pemanasan global bukan hanya akan meningkatkan
permukaan air laut tetapi juga akan meningkatkan suhu air laut. Jika saja air laut meningkat 1,5-2,5°celcius, maka kondisi ini akan
mengancam 20-30 spesies hewan dan tumbuhan Satria, 2009:61. Barangkali kerusakan di laut tidak begitu nampak oleh
pandangan kita, tetapi kerusakan air permukaan di daratan tentu menjadi
pemandangan akrab
keseharian kita.
Data mengungkapkan, 73 sumur di Jawa telah tercemar amoniak.
Kasus pencemaran di sungai Citarum misalnya, dimana 250.000 m
3
limbah domestik dibuang ke Citarum setiap tahunnya. Selain itu, 280 ton limbah kimia dibuang ke Citarum setiap harinya.
Lebih dari 700 pabrik 70 nya adalah industri tekstil yang membuang limbahnya ke sungai ini. Hanya 10 dari jumlah itu
yang menerapkan standar baku pengolahan limbah. Padahal, ada kurang lebih 40 juta orang yang tergantung pada sungai
Citarum ini untuk kebutuhan hidup sehari-harinya Greenpeace, 2012I:13.
2. Sejarah pengelolaan dan kerusakan hutan di Indonesia
Sumber kekayaan hutan Indonesia - terutama kayu - telah mulai dieksploitasi sejak era kongsi dagang VOC abad 17.
Produksi perkapalan untuk alat transportasi dagang dan perang VOC telah membuat hutan jati di kawasan Jawa mengalami
kerusakan. Meskipun upaya pengelolaan dan pemulihan telah dilakukan sejak diambil alih oleh Pemerintahan Hindia Belanda
melalui pembangunan hutan jati dengan tenaga ahli rimbawan Jerman, akan tetapi penguasaan dan pemanfaatan kayu dan
lahan hutan untuk kebutuhan tanam paksa dan industri perkapalan dan perkebunan yang masif menyebabkan proses
pemulihan hutan Jawa tidak begitu efektif.
Pada era kemerdekaan, ketika tuntutan pengelolaan aset negara Pemerintahan Hindia Belanda oleh masyarakat pribumi
mencuat, para petani di sekitar hutan dan perkebunan pun mulai menduduki lahan eks-perkebunan untuk dijadikan lahan
pertanian dimana sebagian besar lahan perkebunan ini sebelumnya adalah kawasan hutan. Adanya tarik menarik
kepentingan ini menyebabkan proses pemulihan kawasan hutan eks-perkebunan tidak dilakukan dan membiarkan lanskapnya
berubah menjadi lanskap pertanian rakyat. Era orde baru ketika Soeharto memimpin negara, tuntutan “pemanfaatan” hutan
sebagai sumber devisa negara untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan cepat menjadi bagian strategi pembangunan
ekonomi Indonesia masa Soeharto. Sejak tahun 1970-1990 banyaknya penerbitan izin hak pengusahaan hutan telah
merusak sebagian besar hutan di luar Jawa. Di era reformasi pun, hutan belum juga mendapatkan perhatian pemulihan.
Maraknya kasus perambahan hutan, pendudukan hutan oleh rakyat pasca reformasi, illegal logging, alih fungsi hutan oleh
Pemerintah Daerah semakin memperumit upaya penyelamatan hutan Indonesia. Dalam proses perjalanan kerusakan hutan ini,
peran diskursus wacana menjadi bagian penting dalam mempengaruhi kerusakan hutan.
Menilik secara historis terkait kerusakan hutan di Indonesia dari masa ke masa, maka kondisi kerusakan hutan
yang terjadi saat ini merupakan akibat dari pengelolaan sumber daya yang kurang bijak dan tidak memperhatikan segi
keberlanjutannya. Sehingga, ketika kran kebebasan dibuka pada era reformasi dan otonomi daerah yang terjadi adalah munculnya
berbagai konflik sosial sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah dan perilaku korporasi yang dianggap merugikan
masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan, baik yang telah dikonversi menjadi perkebunan maupun di dalam zona
konservasi. Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria
6
KPA, konflik agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975
kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010,
rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor
pertambangan, dan 1 kasus di wilayah tambak atau pesisir. Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah yang paling banyak
dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara 25, Sulawesi
6
KPA adalah konsorsium yang beranggotakan organisasi petani, organisasi masyarakat adat, organisasi nelayan, organisasi perempuan, NGO, individu,
dan akademisi yang memperjuangkan dijalankannya Pembaruan Agraria Sejati Genuine Agrarian Reform di Indonesia.
Di level Internasional KPA ini tergabung dalam International Land Coalition ILC
Tenggara 15, Jawa Tengah 12, Jambi 11, Riau 10, Sumatera Selatan 9, dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi
Kompas, 2011.
Tabel 1. Sejarah kerusakan hutan di Indonesia Situasi
Struktur Perilaku
Performa
Jaman kolonial
Diskursus : 1 Penguasaan hutan oleh
negara Belanda 2 Perdagangan sumber
daya alam 3 Industrialisasi
Politik : 1Penjajahan, kerja paksa,
pendudukanperang 2Pemberlakuan Undang-
undang Agraria 1870 Aktor : 1Kerajaan
Belanda 2Pedagang etnis Cina 3Jepang
Institusi : VOC Pada 1808, setelah VOC
bangkrut, pemerintah kolonial Belanda mengumumkan
bahwa “semua hutan dikuasai negara dan akan dikelola untuk
kepentingan negara” serta membatasi akses masyarakat
lokal pada jati untuk tujuan komersial.
Pembabatan hutan jati di pulau Jawa untuk bahan baku
industri perkapalan Pembabatan kayu untuk bahan
bakar industri gula di Pulau Jawa
Pada 1927, Dinas Kehutanan menguasai seperempat dari luas
tanah di Jawa. Selama 1920 dan 1930an,
produksi jati di Jawa berkisar antara 550.000 dan 1,8 juta
meter kubik per tahun m
3
th. Muncul perlawanan dari
masyarakat Samin. Pada 1905-1924, volume kayu
yang ditebang melalui sistem panglong di Riau rata-rata
mencapai 270.000 m
3
per tahun, kebanyakan diekspor ke
Singapura.
Orde Lama
Diskursus : Hutan untuk kesejahteraan pribumi vs
penguasaan penuh oleh negara
Politik : 1sosialisme, anti barat 2pro-pribumi dan
pro pertanianpangan Aktor : 1pemerintah
rezim Sukarno2perusahaan
Belanda3pedagang etnis Cina
Institusi : partai politikPartai politik, BTI,
Perhutani, Mitsui Overseas Forestry Development
Corporation Konflik pendudukan lahan
hutan untuk pertanian pangan meluas
Rehabilitasi hutan yang mempunyai fungsi ekologis
penting di daerah aliran sungai.
Pemberlakukan Undang- Undang No.51960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria UUPA.
Pecahnya kepentingan internal ideologis jawatan kehutanan
Pengelolaan hutan di luar jawa tidak pastijelas
Perhutani menetapkan tujuh konsesi penebangan kayu,
mencakup kawasan seluas 280.000 ha di Kalimantan Timur
dari Desember 1963 hingga Maret 1967.
Orde Baru Diskursus : Hutan untuk
pembangunan nasional investasi
Politik : 1pro-barat 2komando secara politik,
liberal secara ekonomi Aktor : elit militer,
penguasa, pengusaha partai politik
pemegang HPH Institusi : Apkindo,
Nippindo Pada Mei 1967, Orde Baru
mengesahkan Undang-Undang Pokok Kehutanan UUPK
No.51967, yang memberikan negara kekuasaan hukum
komprehensif atas wilayah seluas 143 juta ha. Hutan ini,
sebanyak 64 juta ha dikuasai oleh 572 unit HPH swasta
yang dimiliki oleh hanya sekitar 20 konglomerat kehutanan
Pada 1980an dan 1990an, pemerintah Orde Baru juga
mengalokasikan beberapa juta hektar lahan hutan untuk
dikonversi menjadi perkebunan kayu pulp bubur kertas dan
kelapa sawit. Volume ekspor kayu
gelondongan meningkat dari 334,000 m
3
menjadi 18,5 juta m
3
. Pada 1973, industri kayu Indonesia menghasilkan US562
juta, atau 18 dari total pendapatan devisa 2tahun 1985
terjadi laju kerusakan hutan deforestasi sebesar antara
600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun. Kemudian pada periode
1985-1997 meningkat mencapai 1,7 juta ha per tahun.
Pasca Orde Baru
Diskursus : Desentralisasi otonomi daerah
Pengelolaan hutan bersama masyarakat
Politik :1Kekuasaan lebih besar pada pemerintah
daerah Aktor : Pemerintah pusat,
rakyat dan pemerintah daerah,
Institusi : IMF, World Bank
KRPKP, CGI, Ornop, FKKM, AMAN, PHBM,
MHBM. Disahkan PP No. 342002
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan.
Banyak HPH dicabut izinnya areal eks HPH yang dibuka
dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan
dan pembangunan kebun- kebun rakyat.
Pengelolaan hutan oleh Pemda justru semakin meningkatkan
akses terbuka dari hutan yang mempercepat kerusakan hutan.
Sekitar55 juta m
3
kayu gelondongan ditebang dari
sumber-sumber ilegal setiap tahun.
Sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per tahunnya.
Sumber : San Afri Awang, Hariadi Kartodihardjo dkk., 2007
3. Mengelola krisis sumberdaya